Pengertian Locus of Control

Menurut Rotter 1966, apabila seseorang mempersepsikan bahwa suatu kejadian merupakan akibat dari perilakunya ataupun karakteristiknya yang relatif permanen. 2. External Locus of Control External locus of control adalah keyakinan bahwa hal-hal yang berasal dari luar diri individu, seperti kesempatan atau kekuatan, dapat menentukan terjadinya konsekuensi yang diharapkan Friedman Schutstack, 2009. Sedangkan Rotter 1966 menyatakan external locus of control adalah ketika seseorang mempersepsikan penguat yang mengikuti sebuah perilaku dianggap bukan hasil dari dirinya, namun dalam budaya kita dianggap sebagai hasil dari keberuntungan, kesempatan, karena kontrol dari kekuatan orang lain, atau kebetulan. Individu dengan external locus of control cenderung kurang independen dan lebih mudah depresi dan stress, seperti yang diduga oleh Rotter Benassi, Sweeney, Dufour, 1988; Rotter, 1954 dalam Friedman Schutstack, 2009. Dalam 40 tahun terakhir, sebagian besar locus of control dari anak-anak amerika adalah eksternal. Mereka percaya bahwa hidup mereka lebih dikontrol oleh kekuatan dari luar diri. Hal tersebut berbeda dengan apa yang orangtua mereka yakini saat mereka masih muda di usia yang sama dengan anak mereka Twenge, Zhang, Im, 2004 dalam Friedman Schutstack, 2009. Sayangnya, hal tersebut menjadi konsisten dengan peningkatan sinisme dan depresi. Orang-orang tersebut lebih mudah menyalahkan orang lain untuk masalah-masalah yang mereka alami dan kurang memiliki inisiatif untuk mengambil sikap dalam rangka pengembangan masyarakat Friedman Schutstack, 2009. Merton 1946, dalam Rotter, 1966 menyatakan bahwa kepercayaan pada keberuntungan merupakan perilaku defensif dalam rangka “mempersiapkan fungsi psikologis bagi seseorang agar dapat melindungi self-esteem mereka dalam menghadapi kegagalan. Sedangkan Levenson 1981 dalam konsep multidimensionalnya berpendapat bahwa terdapat dua tipe orientasi eksternal, yaitu kepercayaan bahwa dunia merupakans suatu hal yang tidak terduga dan kepercayaan bahwa dunia sebenarnya dapat diprediksi serta ada orang yang berkuasa yang ikut mengendalikan kejadian-kejadian di dunia. Seseorang yang mempercayai bahwa kesempatan itu ada mungkin memiliki kontrol yang berbeda secara perilaku dan kognitif dari orang-orang yang memiliki kontrol personal yang rendah. Levenson, 1981.

2.3.3 Pengukuran Locus of Control

Untuk mengukur variabel locus of control peneliti menggunakan alat ukur berdasarkan skala baku Levenson’s I,P, and C Scale dari Levenson 1981. Alat ukur ini akan diadaptasi kedalam bahasa Indonesia dan akan disesuaikan dengan norma yang ada di Indonesia. Alat ukur ini terdiri dari 24 item dan memiliki empat alternatif jawaban, yaitu Sangat Setuju SS, Setuju S, Tidak Setuju TS, dan Sangat Tidak Setuju STS. Responden harus memilih salah satu dari empat alternatif jawaban yang paling menggambarkan dirinya.

2.4 Religious Orientation

2.4.1 Pengertian Religious Orientation

Menurut Pargament 1997 pengertian yang cocok dalam kehidupan sehari- hari ketika kita berbicara mengenai agama adalah agama mengacu pada sebuah entitas, ide, kepercayaan, atau praktek yang spesifik. Agama juga merupakan sebuah sistem kepercayaan kepada kekuatan ketuhanan dan praktek atau ritual peribadatan yang ditujukan kepada kekuatan tersebut Argyle Beit-Hallahmi, 1975 dalam Pargament, 1997 Agama berfungsi sebagai sumber pendukung emosional dan sosial, terutama pada masa-masa krisis. Sebagai tambahan, agama memberikan seseorang gambaran perilaku dalam kehidupan personal mereka, menegakkan standar-standar bagi perilaku dan memunculkan ide-ide Cicirelli, 2002. Menurut Flere Lavric 1989, Dasar religiusitas yang multifaset dan kompleks telah dipola dengan cara yang berbeda-beda yang membuatnya menjadi lebih komprehensif. Salah satunya adalah klasifikasi dari Glock and Stark 1965 dalam Flere Lavric, 1989. Dibalik perilaku, perbuatan, dan afiliasi institusional, terdapat juga motif-motif yang seringkali tidak dapat terpisahkan dari religiusitas itu sendiri. Pendekatan inilah yang digunakan pula oleh Allport 1950 dalam Flere Lavric, 2007 untuk mendasari apa yang disebut dengan „orientasi religius’.