Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Death Anxiety

Antara pria dan wanita diketahui memiliki pola pikir yang berbeda satu sama lain, perbedaan pola pikir tersebut juga mempengaruhi death anxiety. Holcomb, Neimeyer, dan Moore 1993, dalam Bath, 2010 membuktikan bahwa wanita cenderung melihat kematian sebagai suatu kepastian dan kehidupan selanjutnya dibanding pria. Namun, studi lainnya membuktikan hal yang tidak sejalan. Neimeyer 1994, dalam Bath, 2010 menemukan bahwa tidak ada perbedaan antara pria dan wanita dalam ketakutan akan kematian. Dari faktor-faktor tersebut, penulis memutuskan bahwa faktor-faktor yang akan peneliti gunakan sebagai variabel bebas adalah Religious Orientation, Locus of Control dan Perceived Social Support.

2.2.4 Pengukuran Death Anxiety

Untuk mengukur variabel death anxiety, peneliti menggunakan alat ukur berdasarkan skala baku Death Anxiety Scale dari Templer 1970. Alat ukur ini akan diadaptasi kedalam bahasa Indonesia dan akan disesuaikan dengan norma yang ada di Indonesia. Alat ukur ini terdiri dari 15 item dan memiliki dua alternatif jawaban, True benar dan False salah. Dalam penelitian ini, peneliti mengganti alternatif pilihan jawaban menjadi 4, yaitu SS sangat setuju, S setuju, TS tidak setuju, dan STS sangat tidak setuju agar dapat dianalisis lebih lanjut. Responden harus memilih salah satu dari empat alternatif jawaban yang paling menggambarkan dirinya.

2.3 Locus of Control

2.3.1 Pengertian Locus of Control

Selama tahun 1950-an dan awal 1960-an, Rotter mulai tertarik dengan observasi terhadap banyak orang yang tidak meingkatkan perasaan kontrol personal mereka setelah mengalami kesuksesan, dan orang lainnya yang tidak meurunkan ekspektasi mereka setelah mengalami kegagalan yang berulang-ulang Zuroff Rotter, 1985 dalam Feist Feist, 2009. Dengan kata lain, beberapa orang cenderung untuk menganggap tercapainya sesuatu yang diinginkan sebagai hasil dari keberuntungan, sementara orang lain mempertahankan kontrol personal yang tinggi setelah beberapa perilaku yang dilakukan tidak membuahkan penguatan. Kecenderungan ini sering terjadi pada situasi yang dianggap ambigu atau baru Rotter, 1992 dalam Feist Feist, 2009, atau pada saat mereka tidak mengetahui apakah akibat dari perilaku mereka disebabkan oleh kemampuan mereka sendiri atau kebetulan. Rotter 1990 dalam Feist Feist, 2009 berpendapat bahwa baik situasi maupun orangnya berkontribusi pada perasaan kontrol personal. Oleh karena itu, jika seseorang telah memiliki ekspektasi untuk dapat berhasil dalam suatu kondisi, dapat memiliki perasaan kontrol personal yang rendah dalam situasi lainnya. Rotter 1989 menyatakan bahwa kontrol internal dan eksternal mengacu pada bagaimana seseorang mengharapkan sebuah penguat atau akibat dari sebuah perilaku merupakan bagian dari perilakunya sendiri atau karakteristik personal versus apakah seseorang menganggap penguat atau akibat dari perilaku merupakan hasil dari keberuntungan, kesempatan, atau sekedar tidak dapat diduga. Rotter 1966 menyatakan bahwa locus of control mengacu pada perbedaan yang terjadi di antara individu dalam hal kontrol personal mana yang akan digunakan seseorang dalam situasi yang sama. Sedangkan Levenson 1981 mengartikan locus of control sebagai espektasi umum untuk mempersepsikan penguat sebagai suatu kesatuan dan bagian dari perilaku individu internal control atau merupakan hasil dari kekuatan diluar kontrol manusia dan bergantung pada takdir, kesempatan, atau orang yang berkuasa external control. Dari pengertian-pengertian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa locus of control adalah bagaimana individu mempersepsikan kejadian-kejadian disekitarnya apakah karena faktor dari dalam tingkah lakunya sendiri dan usaha yang dilakukannya sendiri atau karena faktor dari luar dirinya keberuntungan, kesempatan, orang-orang yang berkuasa atau takdir.

2.3.2 Dimensi-Dimensi Locus of Control

Terdapat dua dimensi dari locus of control. Dimensi-dimensi tersebut antara lain: 1. Internal Locus of Control Internal locus of control adalah keyakinan bahwa perbuatan seseorang dapat menghasilkan konsekuensi sesuai yang diharapkan Friedman Schutstack, 2009. Individu dengan internal locus of control cenderung lebih berorientasi pada prestasi karena mereka yakin bahwa perilaku mereka menghasilkan efek yang positif, dan mereka cenderung adalah orang-orang yang berprestasi high achievers Findley Cooper, 1983 dalam Friedman Schustack, 2009. Menurut Rotter 1966, apabila seseorang mempersepsikan bahwa suatu kejadian merupakan akibat dari perilakunya ataupun karakteristiknya yang relatif permanen. 2. External Locus of Control External locus of control adalah keyakinan bahwa hal-hal yang berasal dari luar diri individu, seperti kesempatan atau kekuatan, dapat menentukan terjadinya konsekuensi yang diharapkan Friedman Schutstack, 2009. Sedangkan Rotter 1966 menyatakan external locus of control adalah ketika seseorang mempersepsikan penguat yang mengikuti sebuah perilaku dianggap bukan hasil dari dirinya, namun dalam budaya kita dianggap sebagai hasil dari keberuntungan, kesempatan, karena kontrol dari kekuatan orang lain, atau kebetulan. Individu dengan external locus of control cenderung kurang independen dan lebih mudah depresi dan stress, seperti yang diduga oleh Rotter Benassi, Sweeney, Dufour, 1988; Rotter, 1954 dalam Friedman Schutstack, 2009. Dalam 40 tahun terakhir, sebagian besar locus of control dari anak-anak amerika adalah eksternal. Mereka percaya bahwa hidup mereka lebih dikontrol oleh kekuatan dari luar diri. Hal tersebut berbeda dengan apa yang orangtua mereka yakini saat mereka masih muda di usia yang sama dengan anak mereka Twenge, Zhang, Im, 2004 dalam Friedman Schutstack, 2009. Sayangnya, hal tersebut menjadi konsisten dengan peningkatan sinisme dan depresi. Orang-orang tersebut lebih mudah