Keterbacaan Pedoman penilaian Terjemahan

34 sasaran. Pemahaman yang baik terhadap konsep keterbacaan itu akan sangat membantu penerjemah dalam melakukan tugasnya. 41 2. Faktor yang Menentukan Tingkat Keterbacaan Tingkat keterbacaan suatu teks ditentukan oleh beberapa faktor. Menurut Richards et al, keterbacaan tergantung pada panjang rata-rata kalimat, jumlah kata baru, dan kompleksitas gramatikal dari bahasa yang digunakan. 42 Sakri, juga mengemukakan faktor-faktor yang sama, seperti yang tertuang dalam kutipan ini. “Keterbacaan, antara lain, bergantung pada kosa kata dan bangun kalimat yang dipilih oleh pengarang untuk tulisannya. Tulisan yang mengandug banyak kata yang tidak umum lebih sulit dipahami daripada yang menggunakan kosa kata sehari-hari, yang sudah dikenal oleh pembaca pada umumnya. Demikian pula, bangun kalimat ganda, susunan yang panjang dan rumpul menyulitkan pembaca akan memahami. Kesulitan di sini terkait dengan keterbacaan nas, dan tidak ada hubungannya dengan isi yang sukar dicerna. Isi yang sukar, dalam batas tertentu, dapat disajikan dengan bahasa yang sederha na sehingga uraian keterbacaannya tinggi.” 3. Faktor Ketererbacaan dalam Penerjemahan Faktor keterbacaan dalam penerjemahan adalah hal yang membantu pembaca suatu karya terjemahan untuk memahami dan menyelami pesan dan ide sesuai dengan apa yang disampaikan oleh penulis Tsu. Faktor-faktor ini penting sekali agar penerjemah bisa mentransformasikan pesan yang dipahaminya dari Tsu ke dalam benak pembaca. 43 Faktor-faktor keterbacaan dalam 41 M. Rudolf Nababan, Teori Menerjemahkan Bahasa Inggris Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, h. 61- 62. 42 M. Rudolf Nababan, Teori Menerjemahkan Bahasa Inggris Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, h. 63. 43 Moch Syarif Hidayatullah, Seluk Beluk Penerjemahan Arab – Indonesia Kontemporer Tangerang: UIN PRESS, 2014, h. 29. 35 penerjemahan itu seperti konkret, tegas, jelas, dan populer, adapun perjelasannya sebagai berikut: 44 a. Konkret Seorang penerjemah yang baik harus bisa menyampaikan ide atau pesan pada Tsu secara konkret dan tidak abstrak. Ini terutama terkait dengan data-data sejarah, nama tokoh, nama tempat, dan yang lain. b. Tegas Seorang penerjemah yang baik harus bisa menyampaikan ide atau pesan pada Tsu secara tegas dan tidak bertele-tele. Ia punya kewenangan untuk membuang hal-hal yang bertele-tele dalam Tsu. c. Jelas Seorang penerjemah yang baik harus bisa menyampaikan ide atau pesan Tsu dengan jelas dan lengkap. Karenanya, ia harus bisa melengkapi informasi pada Tsa ketika konsep yang disebutkan dalam Tsu tidak mudah dipahami oleh penutur Tsa. d. Populer Seorang penerjemah yang baik harus bisa menyampaikan ide atau pesan pada Tsu dengan menggunakan bahasa yang populer dan lazim. Ia harus berni membuang arti kata-kata tertentu yang sebetulnya sudah tidak populer lagi dalam penggunaan Bsa mutakhir. 44 Moch Syarif Hidayatullah, Seluk Beluk Penerjemahan Arab – Indonesia Kontemporer Tangerang: UIN PRESS, 2014, hal.29-30. 36

D. Sintesis Pustaka

Dari penjelasan pustaka di atas, dapat diketahui bahwa setiap tokoh penerjemah memiliki cara yang berbeda dalam melakukan proses menilai suatu terjemahan. Tetapi, dari setiap proses tersebut memiliki tujuan yang sama yaitu untuk menilai kualitas suatu terjemahan. Setiap tokoh tersebut dalam proses penilaiannya ada yang melakukan secara matematis dan ada juga yang tidak. Penilaian secara matematis dilakukan oleh Benny Hoedoro Hoed, Moch. Syarif Hidayatullah, dan Rochayah Machali. Penialain yang tidak menggunakan cara matematis dilakukan oleh Syihabuddin. Dalam hal ini peneliti memilih untuk menggunakan teori yang dikemukakan oleh Moch. Syarif Hidayatullah. Karena selain proses penilaiannya dilakukan secara matematis, juga lebih mudah dalam melakukan penilaiannya. 37

BAB III GAMBARAN UMUM

AL QUR’AN AL KARIM TERJEMAHAN BEBAS BERSAJAK DALAM BAHASA ACEH

A. Seputar

Al- Qur’an Al Karim Terjemahan Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh Al- Qur’an Al Karim Terjemahan Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh Tgk. Mahjiddin Jusuf merupakan salah seorang ulama Aceh yang menaruh perhatian besar dalam mendidik masyarakat untuk cinta kepada Alquran. Dalam pandangannya, Alquran adalah sebuah tuntunan yang bukan saja harus dibaca oleh masyarakat, tetapi juga harus dipahami dan diamalkan oleh setiap muslim. Dakwah-dakwahnya yang bertujuan agar masyarakat kembali kepada Islam dengan mempelajari Alquran, sebagiannya ia sampaikan dengan menggunakan bahasa sastra berupa hikayat, pantun dan syair. Salah satu karya besarnya dan sekaligus sebagai bukti keinginannya agar masyarakat Aceh gemar mempelajari isi Alquran adalah usahanya menterjemahkan Alquran ke dalam bahasa Aceh dengan menggunakan bahasa syair. Pemikiran ulama Aceh dalam bidang seni sastra, salah satu pemikiran Ulama Aceh yang unik terdapat dalam bidang sastra. Sebagaimana halnya kebanyakan ulama Timur Tengah yang lihai dalam syair, ulama Aceh tidak ketinggalan dalam menampilkan bakat seni dan sastranya. Kemampuan ini dituangkan dalam bentuk mahakaryanya. Dalam kajian ini akan difokuskan pada karya Mahjiddin Jusuf berjudul: Al-Quran al-Karim, Terjemah Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh. 38 Sesuai dengan judulnya, karya ini merupakan penafsiran Alquran dengan gaya balagah. Tafsir ini mencakup tiga puluh juz dimulai dengan surah al-Fatihah dan diakhiri dengan surah an-Nas. Penafsiran menurut keterangan Syamsuddin Mahmud dalam pengantarnya terhadap karnya sebagai puncak sumbangan spiritual dan budaya masyarakat Aceh dalam memperingati setengah abad Indonesia merdeka 17 Agustus 1995. Menurut Syamsuddin, terjemah Alquran dalam Bahasa Aceh akan membantu rakyat Aceh untuk memahami kandungan Alquran secara konstektual, karena terjemahnya disajikan dalam bahasa yang mudah dipahami oleh masyarakat di daerah ini. Terjemahan al- Qur’an yang dibicarakan di sini dimulainya sejak 25 Nopember 1955 ketika ia berada dalam tahanan. Di dalam tahanan, ia menerjemahkan tiga surah: Yaasin, al-Kahf, dan al-Insyirah. Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam harian Duta Pantjatjita Banda Aceh, bulan Januari dan Februari 1965. Dua puluh tahun lamanya karnya ini terhenti, dan dilanjutkan kembali pada tahun 1977 dan rampung pada tahun 1988, yaitu bentuk yang disunting dan diterbitkan oleh P3KI. Menurut Al Yasa, naskah yang diterbitkan dalam harian Duta Pantjatjita masih bisa ditemukan. Naskahnya yang terakhir bila dibandingkan dengan naskah dalam harian tersebut, terlihat bahwa naskah terakhir lebih padat dan ringkas 80 bait sedangkan naskah awal lebih panjang yang kelihatannya lebih bebas dan mengandung lebih banyak tafsir 104 bait. Tafsir yang diteliti ini merupakan cetakan tahun 2007, lux, ukuran buku standar dengan jumlah halaman 976. Sebagai tanda apresiasi, tafsir ini dilengkapi sambutan menteri agama RI, Gubernur Aceh, kepala BRR-NAD Nias. Pelaku sejarah ini adalah Tgk. H . Mahjiddin Jusuf, seorang tokoh di Majelis Ulama Indonesia Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Untuk usaha besar ini diamini oleh Pusat Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Islam P3KI Aceh untuk menyunting dan menerbitkannya.