GAMBARAN UMUM Sintesis Pustaka

39

B. Tentang Penerjemah

1. Riwayat Hidup Mahjiddin Jusuf Mahjiddin dilahirkan, dibesarkan, bahkan hidup pada masyarakat yang sedang disentuh pembaharuan merebut kemerdekaan. Usaha melanjutkan perjuangan dilakukan dengan gagasan pembaruan politik perang baru dengan maksud dan tujuan mengusir tentara Belanda setelah pihak Belanda melakukan penghianatan, terhadap perjuangan rakyat Aceh. 45 Teungku 46 Mahjiddin Jusuf lahir di Peusangan Aceh Utara, salah satu Kabupaten di Aceh pada tanggal 16 September 1918. 47 Mahjiddin tumbuh dalam lingkungan islami, mengahabiskan masa kanak-kanak dalam asuhan keluarga yang taat dalam beragama, dan mendapatkan pendidikan langsung dari orang tuanya sendiri, Tgk. H. Fakir Jusuf, yang juga merupakan seorang ulama dan penyair dan pengarang Hikayat 48 di daerah Peusangan Aceh Utara. Setelah menyelesaikan pendidikan diberbagai Dayah 49 Aceh Utara, seperti ‘Balee Setui’, ia menempuh pendidikan nonformal pada orang tuanya, kemudian melanjutkan ke Paverlop school, detingkat Sekolah Dasar Pendidikan Belanda yang terdiri dari lima tingkat kelas. Setelah menyelesaikan 45 Ali Hasyimi, Peranan Islam dalam Perang Aceh dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia Jakarta: Bulan Bintang, 1976, h. 58-60. 46 Teungku adalah gelar penghormatan kepada ulama. Gelar ini berbeda di beberapa daerah minsalnya, di Jawa dikenal dengan sebutan kyai, di Sunda di kenal dengan ajengan, di Sumatra Barat dikenal dengan buya, di Nusa Tenggara Barat dikenal dengan sebutan tuan guru, di Sulawesi Selatan dikenal dengan sebutan topandeta, di Madura deikenal dengan nun atau bandara, di Aceh dikenal dengan sebutan teungku. Gelar teungku, hanya diberikan kepada orang yang memiliki ilmu pengetahuan agama, berakhlak mulia dan dalam waktu tertentu menuntut ilmu kesebuah Dayah. 47 Mahjiddin Jusuf, Al Qur’an Al Karim Terjemahan Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh Banda Aceh: Pusat Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Islam P3KI Aceh, 2007, h. xix. 48 Hikayat ditulis hampir seluruhnya bebentuk puisi dengan menggunakan huruf Arab- Melayu tetapi tetap dalam teks bahasa Aceh. Ditinjau dari segi masyarakar Aceh, hikayat tidaklah dipandang sebagai karya fisik yang utuh. Hikayat dan cerita rakyat semacam itu lebih berat dipandang sebagai suatu pristiwa kehidupan yang bener- bener ada daripada sebagai buah pikiran pengarangnya. Juga, dianggap isi kandungan hikayat dianggap mewakili sekelumit peristiwa kehidupan sosial Aceh sehingga amat mempengaruhi tingkah laku, norma atau nilai-nilai social, kehidupan masyarakata dan budayaan pada umumnya. 49 Istilah Dayah berasal dari bahasa Arab zawwiyah yang berarti pojok, sudut, bagian dari suatu tempat bangunan. Hasil Kesimpulan Pertemuan Ilmiah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh 1985, istilah Dayah berarti, Sekolah Tinggi Aceh.