Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Sejak tahun 1970-an, politik bahasa nasional telah menetapkan suatu kebijakan tentang perlunya mengatur dan membina tiga bahasa yang hidup dan berkembang di Indonesia, yaitu 1 bahasa Indonesia, 2 bahasa daerah, dan 3 bahasa asing. Bahasa Indonesia merupakan bahasa negara dan bahasa nasional yang harus digunakan dalam berbagai situasi resmi kenegaraan. Bahasa ini juga merupakan alat komunikasi antarsuku bangsa yang ada di Indonesia. Bahasa daerah digunakan dalam situasi-situasi tidak resmi atau upacara-upacara khusus yang terbatas untuk lingkungan penuturnya. Bahasa asing digunakan dalam rangka hubungan internasional dengan bangsa-bangsa lain, baik untuk tujuan diplomatik maupun untuk pengembangan ilmu, teknologi, dan kebudayaan. Dengan demikian, ketiga bahasa tersebut telah memiliki situasi batas dan aturan main masing-masing. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa sikap bahasa masyarakat cenderung tidak mengindahkan politik bahasa nasional yang berlaku. Mereka dengan sesuka hati menggunakan bahasa-bahasa tersebut secara serampangan tanpa memperhatikan situasi batas atau aturan main yang ada. Hal inilah yang kemudian memunculkan adanya bentuk-bentuk interferensi, integrasi, dan campur kode dalam berbahasa Indonesia. Munculnya gejala sosiolinguistik pemakaian bahasa semacam itu berkaitan erat dengan masalah sikap bahasa masyarakat Universitas Sumatera Utara penuturnya, yaitu masyarakat pengguna bahasa Indonesia Jamaluddin, 2003 : 54. Bahasa adalah alat komunikasi antaranggota masyarakat berupa lambang bunyi suara yang dihasilkan oleh alat ucap manusia yang terdiri dari bunyi dan arti. Bunyi merupakan getaran yang merangsang alat pendengaran kita, sedangkan arti atau makna adalah isi yang terkandung dalam arus bunyi yang menyebabkan adanya reaksi terhadap hal yang kita dengar Ritonga, 2005 : 1. Kalau seseorang menggunakan bahasa tidak jelas, atau kaku, maka akan terjadilah kesalahpahaman sehingga tidak terjadi komunikasi yang baik. Sebagai alat untuk berkomunikasi, bahasa harus mampu menampung perasaan dan pikiran pemakainya, serta mampu menimbulkan adanya saling mengerti antara penutur dengan pendengar atau antara penulis dengan pembacanya. Bahasa merupakan serangkaian bunyi yang dihasilkan alat ucap manusia secara sadar, sedangkan bunyi-bunyi yang tidak dihasilkan oleh alat ucap manusia tidak dapat disebut bahasa walaupun dapat dipakai untuk berkomunikasi. Semua bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia tersebut dalam penampilannya sebagai bahasa diatur oleh suatu sistem tertentu yang berbeda satu bahasa dengan bahasa yang lain. Misalnya, sistem bahasa Indonesia dengan bahasa daerah. Disamping perbedaan tentu terdapat juga persamaan antara sistem bahasa yang satu dengan bahasa yang lain. Di Indonesia terdapat berbagai bahasa daerah yang masing-masing dituturkan sebagai alat komunikasi antarwarga masyarakat bahasa itu. Bahasa daerah yang mereka pergunakan merupakan salah satu unsur kebudayaan nasional dan dilindungi oleh negara sesuai dengan bunyi penjelasan Pasal 36 UUD 1945 Universitas Sumatera Utara Bab XV. Bahasa daerah merupakan lambang identitas daerah, lambang kebanggaan daerah, dan menjadi pembinaan serta pengembangan kebudayaan daerah. Salah satunya adalah bahasa Batak Toba. Bahasa Batak Toba adalah bahasa ibu yang digunakan oleh penutur aslinya di daerah Tapanuli Utara. Bahasa Batak Toba berfungsi sebagai alat komunikasi antarkeluarga, adat-istiadat, bahasa budaya, dan sebagai bahasa pengantar di sekolah dasar disamping bahasa Indonesia. Mengingat pentingnya fungsi bahasa daerah ini, maka bahasa Batak Toba perlu dibina dan dikembangkan. Bahasa Indonesia dan bahasa daerah hidup berdampingan. Oleh karena itu, kemungkinan terjadinya kontak bahasa itu sangat besar, baik antara bahasa daerah dengan bahasa Indonesia. Bahasa Batak Toba merupakan salah satu bahasa daerah yang ada di Indonesia yang termasuk rumpun bahasa Melayu dari cabang Protomalaya Melayu kuno yang secara gramatikal adalah khas, yaitu mempunyai sistem tata bahasa sendiri dan arti kata sendiri. Bahasa Batak Toba adalah species dari bahasa Protomalaya, maka dalam mempelajari bahasa Batak Toba, orang dapat tertolong dengan membuat bahasa Indonesia menjadi term of reference. Misalnya, awalan maN- dalam bahasa Batak Toba dapat dianggap sebagai padanan awalan meN- dalam bahasa Indonesia. Bahasa Batak Toba mempunyai fonetiknya sendiri. Cara melafalkannya berbeda dengan menuliskannya. Misalnya, Adong hirang huboan [adok kirak kuboan], ada keranjang saya bawa. Selain itu, ucapan bahasa Batak Toba cukup Universitas Sumatera Utara sederhana dan tegas keras sehingga tidak harus memakai bermacam huruf fonem Anicetus, 2002 : vii. Suku Batak terdiri atas lima subsuku yaitu Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Pakpak-Dairi, dan Batak Angkola-Mandailing. Secara administratif, tiap-tiap subsuku itu berada pada satu kabupaten. Subsuku Batak Toba berada di Kabupaten Daerah Tingkat II Tapanuli Utara Sibarani, 1997 : 1. Kabupaten Daerah Tingkat II Tapanuli Utara secara geografis berada di bagian tengah wilayah provinsi Sumatera, yakni di punggung Bukit Barisan yang terletak 1 20’ – 2 4’ LU dan 98 10’ – 90 35’ BT Sibarani, 1997 : 3. Setiap bahasa akan mengalami perubahan selama bahasa itu masih dipakai. Perubahan ini sering tidak kita sadari. Salah satu perubahan bahasa adalah karena pengaruh bahasa lain, misalnya pengaruh dari bahasa daerah yang kita temukan dalam bahasa Indonesia. Kita sering mendengar seseorang yang berbicara dalam bahasa Indonesia terpengaruh bahasa daerahnya, misalnya, bahasa daerah Batak Toba. Pengaruh ini ada yang bersifat positif dan ada yang bersifat negatif. Pengaruh positif maksudnya adalah pengaruh dari bahasa pertama seseorang ke dalam bahasa asing atau bahasa kedua yang sedang dipelajarinya, yang dapat membantu dan memberi kemudahan baginya dalam mempelajari bahasa keduanya. Sebaliknya, pengaruh negatif merupakan pengaruh yang menyebabkan penyimpangankesalahan bagi seseorang dalam menggunakan bahasa kedua yang sedang dipelajarinya. Penyimpangan itu disebut juga dengan istilah interferensi. Menurut Chaer dan Agustina 1995, istilah “interferensi” pertama kali digunakan oleh Weinreich 1953 untuk menyebut adanya perubahan sistem suatu Universitas Sumatera Utara bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur- unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur bilingual. Penutur bilingual dwibahasawan adalah mereka yang memiliki kemampuan yang relatif seimbang dalam menggunakan dua bahasa secara alih-alih atau bergantian. Adapun interferensi pengacauan itu bisa berwujud interferensi reseptif maupun interferensi produktif. Interferensi reseptif terjadi apabila bahasa kedua yang digunakan oleh seorang bilingualis telah dimasuki unsur-unsur bahasa pertama dalam proses interpretasi. Sebaliknya, interferensi produktif terjadi jika seorang bilingualis menggunakan bahasa pertama, tetapi dengan unsur dan struktur bahasa kedua dalam proses representasi. Dalam situasi masyarakat Indonesia yang bilingual atau bahkan multilingual, disatu pihak pembelajaran bahasa Indonesia sering kali mengalami benturan sehubungan dengan kuatnya gejala interferensi transfer negatif dari unsur-unsur bahasa daerah. Dipihak lain, semakin derasnya arus informasi dan kian menguatnya proses globalisasi menyebabkan unsur-unsur bahasa asing ikut mempengaruhi pembelajaran bahasa Indonesia, khususnya pengaruh bahasa Inggris. Interferensi bahasa daerah maupun bahasa asing juga bisa terjadi dalam semua tataran kebahasaan, yaitu fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Pada tataran fonologi, transfer negatif itu tampak dalam cara pelafalan, intonasi kalimat, dan cara penulisannya; pada tataran morfologi terlihat dalam hal pembentukan kata dan peristilahan; pada tataran sintaksis menyangkut masalah kesalahan struktur kalimat; sedangkan pada tataran semantik bisa terjadi kekeliruan makna kata atau istilah akibat adanya kosakata atau istilah yang sama Universitas Sumatera Utara dalam bahasa daerah dan bahasa Indonesia, tetapi dengan konsep dan pengertian yang berbeda Jamaluddin, 2003 : 52. Perbandingan prefiks bahasa Indonesia dengan prefiks bahasa Batak Toba ini mencari perbedaan dan persamaan pada dua bahasa yang serumpun, dinamakan linguistik komparatif. Objek penelitiannya adalah prefiks dalam bahasa Indonesia dan prefiks bahasa Batak Toba. Setelah mengetahui prefiks dari kedua bahasa tersebut barulah dilakukan perbandingan dari segi bentuk, distribusi, fungsi, dan nosinya. Ada beberapa hal yang menarik minat untuk diteliti oleh penulis, yaitu : a. Prefiks meN- dalam bahasa Indonesia dengan maN- dalam bahasa Batak Toba. Dalam bahasa Indonesia bentuk prefiks meN- berubah menjadi ø zero atau hilang, sedangkan dalam bahasa Batak Toba prefiks maN- berubah bentuknya menjadi manga- apabila bertemu dengan kata- kata yang fonem awalnya l, dan r. Contoh bahasa Indonesia : meN- + lihat → melihat Contoh bahasa Batak Toba : maN- + loppa ‘masak’ → mangaloppa ‘memasak’ Perbedaan lain dapat dilihat pada contoh berikut : maN- + siram → maniram ‘menyiram’ Dalam bahasa Batak Toba bentuk many- tidak ditemukan sehingga kata- kata yang dimulai huruf s menjadi luluh. b. Prefiks ber- dalam bahasa Indonesia dengan prefiks mar- dalam bahasa Batak Toba. Prefiks ber- mengalami perubahan bentuk menjadi be-, Universitas Sumatera Utara bel-, dan ber-. Apabila bertemu dengan kata yang suku pertamanya berakhiran ər berubah menjadi be-. Apabila bertemu dengan kata ajar berubah menjadi bel-. Apabila bertemu dengan fonem awal r, tidak berakhir dengan fonem ər, dan bukan kata dasar ajar tetap menjadi ber-. Sedangkan prefiks mar- dalam bahasa Batak Toba tidak mengalami perubahan bentuk. Contoh bahasa Indonesia : ber- + rantai → berantai ber- + ajar → belajar Contoh bahasa Batak Toba : mar- + tua ‘bahagia’ → martua ‘berbahagia’ c. Prefiks peN- dalam bahasa Indonesia dengan prefiks paN- dalam bahasa Batak Toba. Pada dasarnya kedua prefiks ini mengalami perubahan bentuk yang sama, akan tetapi perlu dipahami bahwa bentuk paN- menjadi pany- tidak ada dalam bahasa Batak Toba. Contoh : paN- + sapu ‘sapu’ → panapu ‘penyapu’ Bentuk paN- di atas seharusnya berubah menjadi pany- apabila bertemu dengan kata-kata yang dimulai fonem s sebagaimana ketentuan yang terdapat dalam bahasa Indonesia. Universitas Sumatera Utara

1.2 Rumusan Masalah