Konsep Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan Masyarakat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pemberdayaan Masyarakat

2.1.1. Konsep Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan empowerment secara etimologis berasal dari kata „power’ kekuasaan atau keberdayaan. Empowerment diartikan sebagai pemberian atau peningkatan kekuasaan power kepada masyarakat yang lemah atau tidak beruntung disadvantage. Ife 1995 menyatakan, pemberdayaan menunjuk pada usaha realokasi kekuasaan melalui pengubahan struktur sosial. Swift dan Levin 1987 menyatakan, pemberdayaan adalah suatu cara sehingga rakyat, organisasi, dan komunitas dapat diarahkan agar mampu menguasai kehidupannya . Berbagai pengertian tentang pemberdayaan disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Pengertian Pemberdayaan No Pengertian Pustaka 1 Paradigma baru dari konsep pembangunan ekonomi yang bersifat “people centered, participatory, empowering and sustainable ”. Korten 1993 Chambers 1995 Kartasasmita 1996 2 Upaya meningkatkan harkat dan martabat, kekuasaan, kemampuan, dan kemandirian lapisan masyarakat yang tidak mampu melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan, agar mampu mengaktualisasikan dirinya sesuai dengan kebutuhan obyektif masyarakat itu sendiri. Hikmat 2001 Suharto 2004 Sumodiningrat 2009 3 Suatu aktifitas refleksi, suatu proses yang mampu diinisiasikan dan dipertahankan hanya oleh agen atau subyek yang mencari kekuatan atau penentuan diri sendiri self-determination. Simon 1990, Hikmat 2001 4 The expansion of assets and capabilities of poor people to participate in, negotiate with, influence, control, and hold accountable institutions that affect their lives” . Word Bank 2002 Dalam wacana pembangunan, pemberdayaan masyarakat selalu dihubungkan dengan kemandirian, partisipasi, jaringan kerja, dan keadilan. Oleh karena itu, ide utama pemberdayaan bersentuhan dengan konsep mengenai kekuasaan. Max Weber 1946 mengatakan bahwa kekuasaan adalah kesempatan seseorang atau sekelompok orang untuk menyadarkan masyarakat akan kemauan- kemauannya sendiri. Kekuasaan adalah sebagai alat atau metode yang tepat untuk meneruskan cita-cita eksistensialisme, fenomenologi ataupun personalisme, sekurang-kurangnya di dalam bidang politik, ekonomi dan kemasyaratan Soekanto,2003. Ife 1995 menjelaskan bahwa pemberdayaan memuat dua pengertian kunci, yakni kekuasaan dan kelompok lemah. Kekuasaan di sini diartikan bukan hanya menyangkut kekuasaan politik dalam arti sempit, melainkan kekuasaan atau penguasaan klien atas: 1 Pilihan-pilihan personal dan kesempatan-kesempatan hidup: kemampuan dalam membuat keputusan-keputusan mengenai gaya hidup, tempat tinggal dan pekerjaan; 2 Pendefinisian kebutuhan: kemampuan menentukan kebutuhan selaras dengan aspirasi dan keinginannya; 3 Ide atau gagasan: kemampuan mengekspresikan dan menyumbangkan gagasan dalam suatu forum atau diskusi secara bebas dan tanpa tekanan; 4 Kelembagaan: kemampuan menjangkau, menggunakan dan mempengaruhi pranata-pranata masyarakat, seperti lembaga kesejahteraan sosial, pendidikan dan kesehatan; 5 Sumber-sumber: kemampuan memobilisasi sumber-sumber formal, informal dan kemasyarakatan; 6 Aktivitas ekonomi: kemampuan memanfaatkan dan mengelola mekanisme produksi, distribusi serta pertukaran barang serta jasa; 7 Reproduksi: kemampuan dalam kaitannya dengan proses kelahiran, perawatan anak, pendidikan dan sosialisasi. Secara sosiologis, Pranarka dan Vidhyandika 1996 menyatakan bahwa terhadap sistem kekuasaan yang menjadi manifestasi dari determinisme sendiri, terbukti ada variasi dalam sikap dan pandangan. Keadaan tersebut melahirkan berbagai pandangan mengenai pemberdayaan, yaitu: pertama, suatu bentuk penghancuran kekuasaan atau power to no body. Didasari pada keyakinan bahwa kekuasaan telah mengasingkan dan menghancurkan manusia dari eksistensinya. Oleh sebab itu untuk mengembalikan eksistensi manusia dan menyelamatkan manusia dari keterasingan dan penindasan maka kekuasaan harus dihapuskan. Kedua, pemberdayaan adalah pembagian kekuasaan kepada setiap orang power to everybody. Pandangan ini didasarkan pada keyakinan bahwa kekuasaan yang terpusat menimbulkan abuse dan cenderung mengeliminasi hak normatif manusia yang tidak berkuasa atau yang dikuasai. Oleh karena itu, kekuasaan harus didistribusikan ke semua orang, agar semua orang dapat mengaktualisasikan diri. Ketiga, pemberdayaan adalah penguatan kepada yang lemah tanpa menghancurkan yang kuat. Pandangan ini adalah pandangan yang moderat dari dua pandangan sebelumnya. Pandangan ini merupakan antitesis dari pandangan power to no body dan pandangan power to every body. Menurut pandangan ini, power to no body adalah kemustahilan dan power to every body adalah chaos dan anarkis. Oleh sebab itu menurut pandangan ini, yang paling realistis adalah power to powerless Adimihardja dan Hikmat 2004. Menguatnya isu demokratisasi, semangat the civil society serta mencuatnya model pembangunan yang berbasis komunitas ini tidak hanya didasarkan pada pengalaman kegagalan strategi dan kebijakan pembangunan nasional pada masa lalu, tetapi juga pengalaman negara-negara maju yang kemudian mendorong terjadinya reorientasi dan perubahan paradigma pembangunan yang dikembangkan oleh Korten, et al 1984, dari ekonomi sebagai sentral capital centered development kepada manusia sebagai pusat utama pembangunan people centered development. Selanjutnya dalam konteks inilah, wacana pemberdayaan masyarakat perlu dikontekstualkan ke dalam kebijakan pembangunan. Dengan demikian, kebijakan pembangunan nasional tidak hanya berfungsi sebagai standar dan pemaksa yang menjamin adanya kesempatan yang sama bagi setiap orang, melainkan juga mampu menyediakan ruang bagi pemberdayaan masyarakat, baik dalam perumusan, strategi implementasinya maupun muatan program di dalamnya Munandar,2008. Menurut Nugraha 2005 ketidakberdayaan yang melahirkan kemiskinan masyarakat desa di kawasan konservasi bukan disebabkan karena faktor budaya cultural atau alam natural namun lebih disebabkan karena faktor struktural. Secara garis besar faktor penyebab ketidakberdayaan masayarakat dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu faktor internal dan eksternal.

2.1.2. Tujuan Pemberdayaan Masyarakat