k i
ik
r p
p r
1 2
5
2 2
2
1 2
1 1
1 ˆ
r p
p r
p
Keterangan :
k
r = rata-rata elemen diagonal pada kolom atau baris ke k dari matrik R matrik korelasi
r
= rata-rata keseluruhan dari elemen diagonal Daerah penolakan :
tolak H jika
; 2
2 1
2 1
2 2
2
ˆ 1
1
p p
p k
k k
i ik
r r
r r
r n
T 6
Jika variabel-variabel saling berkorelasi berarti terdapat hubungan antar variabel. Jika H
ditolak maka analisis multivariat layak untuk digunakan terutama metode analisis komponen utama dan analisis faktor.
2.6. Analisis Strategi Pemberdayaan Masyarakat dengan AWOT
Analisis strategi pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan cara pemilihan faktor-faktor strategis dengan masing-masing kekuatan, kelemahan,
peluang dan ancaman yang dimiliki serta sasaran dan tujuan yang ingin dicapai. Untuk mencapai tujuan tersebut, dilakukan analisis kebijakan dengan
pendekatan AWOT, yang merupakan gabungan antara pendekatan AHP Analytical Hierarchy Process dan SWOT. AHP banyak digunakan pada
keputusan untuk banyak kriteria, perencanaan, alokasi sumberdaya dan penentuan prioritas dari strategi-strategi yang dimiliki pengambil keuputusan. ain dalam
situasi konflik Saaty, 1993.
AWOT , yaitu analisis strengs, weaknesses, opportunities, and threats
SWOT, yang diintegrasikan ke dalam analytical hierarchy process AHP. Tujuan integrasi ini adalah meningkatkaan basis informasi kuantitatif dari proses-
proses perencanaan strategis. Integrasi AHP ke dalam SWOT menghasilkan prioritas-prioritas yang ditentukan secara analitis berdasarkan faktor-faktor yang
tercakup dalam SWOT dan membuat semua itu sepadan. SWOT memberikan kerangka dasar untuk pembentukan suatu analisis keputusan, sementara AHP
membantu pembuatan SWOT lebih analitis, sehingga strategi-strategi alternatif keputusan pemberdayaan dapat diprioritaskan.
Tahapan metode A WOT sebagai berikut. Setelah analisis SWOT dilakukan, selanjutnya adalah analisis dengan menggunakan Analytical Hierarchy Prosess
AHP. Analytical Hierarchy Prosess AHP, pertama kali dikembangkan oleh Dr. Thomas L. Saaty 1970 dengan maksud untuk mengorganisasikan informasi dan
judgement dalam memilih alternatif yang paling disukai. Dengan menggunakan AHP, suatu persoalan yang akan dipecahkan dalam suatu kerangka berpikir yang
terorganisisr, sehingga dapat diekspresikan untuk mengambil keputusan yang efektif atas persoalan tersebut. Persoalan yang kompleks dapat disederhanakan dan
dipercepat proses pengambilan keputusannya. Prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan suatu persoalan kompleks yang
tidak terstruktur, strategis, dan dinamis menjadi bagian-bagiannya, serta menata dalam suatu hierarki. Kemudian tingkat kepentingan setiap variabel diberi nilai
numerik secara subjektif tentang arti penting variabel tersebut secara relatif dibandingkan dengan variabel yang lain. Dari berbagai pertimbangan tersebut
kemudian dilakukan sintesa untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas tertinggi dan berperan untuk mempengaruhi hasil pada sistem tersebut Marimin,
2004. Secara grafis, persoalan AHP dapat dikonstruksikan sebagai diagram
bertingkat, yang dimulai dengan goalsasaran, lalu kriteria level pertama, sub kriteria dan alternatif. Dari berbagai kriteria dan sub kriteria serta alternatif di atas,
akan diberikan bobot relatif dengan melakukan perbandingan berpasangan pairwise comparasion secara konsisten, sehingga akan diperoleh suatu himpunan
bilangan yang merepresentasikan prioritas relatif dari setiap kriteria dan alternatif tersebut.
Metode AWOT dikembangkan dari gabungan metode AHP dan SWOT dengan memanfaatkan kelebihan kedua metode tersebut untuk saling melengkapi
dalam meminimalisasi kelemahannya. Metode AHP adalah strukturisasi dari berbagai criteria guna menentukan alternative pilihan keputusan terbaik.
Sementara analisis SWOT merupakan kumpulan faktor dan sub-faktor kondisi internal kekuatan dan kelemahan, serta eksternal peluang dan ancaman suatu
objek, guna memperoleh pilihan strategi terbaik. Metode AWOT merupakan kombinasi dari strukturisasi AHP yang menggunakan berbagai faktor dan subfaktor
SWOT sebagai criteria dalm strukturnya. Selain itu, alternatif dalam struktur merupakan startegi analisis SWOT. Hal ini dijelaskan dalam gambar berikut.
Gambar 2. Strukturisasi metode AWOT
2.7. Review ICDP TNKS Kelahiran TNKS mendapat perhatian banyak lembaga internasional: GEF
Global Environment Facility, UNDP United Nations Development Program, Bank Dunia dan JGF Japan Grand Facility. GEF, bekerjasama dengan UNDP,
menawarkan proyek pelestarian keragaman hayati. Bank Dunia, dengan mengontrak konsultan, melaksanakan kajian investasi untuk komponen program
ICDP Integrated Conservation and Development Project. Implementasi kegiatan ICDP, yang dirancang sebagai proyek pengelolaan
TNKS, melibatkan semua pihak. Karena itu, kerangka kerjanya difokuskan pada empat komponen: Komponen A pada pengelolaan taman; Komponen B pada
pengembangan desa-desa yang tingkat interaksi dan ketergantungan pada TNKS relatif tinggi; Komponen C memfokuskan diri pada pengelolaan wilayah konsesi
hutan di kawasan penyangga taman; dan Komponen D melakukan evaluasi dan monitoring terhadap ketiga komponen.
Konsultan ini membentuk tim spesialis, yang berasal dari berbagi pihak: Pemerintah, LSM nasional dan internasional
– WWF dan juga kalangan swasta. Mereka mengkaji berbagai aspek yang terkait dengan pengelolaan TNKS. Untuk
menjembatani tahap persiapan ke implementasi, JGF melalui Bank Dunia, membantu kegiatan melalui Paket C dan D. Paket C untuk survei bentang alam dan
kondisi sosial ekonomi desa-desa perbatasan TNKS, dan Paket D untuk penguatan LSM lokal diserahkan pada Warsi Warung Informasi Konservasi dalam rangka
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNKS.
Selain kerjasama internasional dengan koordinasi Bank Dunia dan Pemerintah Indonesia, WWF Indonesia, melalui WWF ID 0094, sejak tahun 1991
membantu pengelolaan TNKS sebelum terbentuk UPT dan balai. Kegiatan yang dilakukan, antara lain, penguatan nilai-nilai tradisional masyarakat tentang
konservasi dengan membentuk hutan adat, pendampingan ekowisata dan pemanfaatan lahan terlantar.
Tahun 1995, Flora Fauna International melalui dukungan lembaga internasional dan bekerjasama dengan Ditjen PHKA Dephut, melakukan beberapa
kegiatan TNKS. Diantaranya proyek orang pendek, yang sempat dikabarkan menjadi ”penjaga” hutan TNKS, dan perlindungan pelestarian mamalia besar
seperti harimau Sumatera, badak Sumatera, gajah dan tapir, yang populasinya mulai langka. Setahun kemudian, Bank Dunia membantu pengelolaan, bersama
UPT TNKS, dengan memberikan dana kepada WWF ID 0094. Kegiatan yang dirancang adalah melakukan pra implementasi ICDP di 10 desa, dengan fokus
kegiatan pada pengembangan wilayah perdesaan. Sepuluh desa ini diambil dari desa yang sebelumnya melaksanakan kegiatan paket C dan D.
Dari proses fasilitasi desa dan KKD, hambatan itu berkaitan dengan persiapan rencana pengembangan ekonomi desa yang menggunakan dana dari
hibah konservasi desa HKD. Semua permasalahan yang ditangkap selama pelaksanaan adalah perlunya sebuah strategi dan pendekatan terpadu disemua
tingkatan dan disemua sektor. Solusi yang ditangkap untuk mengatasi hambatan pelaksanaan ICDP, termasuk proses HKD dan KKD--- adalah tidak mudah untuk
mengembangkan atau melaksanakan. Salah satu tujuan TNKS-ICDP adalah meningkatkan pengelolaan dan
perlindungan TNKS, termasuk melibatkan masyarakat setempat. Hal ini menandakan pentingnya pengelolaan bersama yang berkelanjutan. Lebih lanjut,
dituliskan dalam laporan yang sama bahwa pendekatan ICDP di Indonesia adalah mencari pengembangan yang sistematis atas tanggung jawab pengelolaan bagi
kehidupan masyarakat disekitar daerah yang dilindungi. Ini memerlukan suatu desentralisasi wewenang pengelolaan bagi instansi setempat, termasuk pendanaan
untuk daerah-daerah yang dilindungi. Namun demikian, masyarakat maupun pengelola TNKS sendiri diharapkan memiliki kemampuan untuk melindungi
TNKS. Penempatan staf lapangan Balai TNKS di desa merupakan suatu kesempatan untuk mencapai tujuan itu.
Dalam kaitan ini susunan dan peran Balai TNKS perlu diklarifikasi, dipertimbangkan kembali, dan diperkuat. Lembaga ini perlu mendapat kewenangan
oleh Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam PHKA. Departemen Kehutanan untuk menangani secara leluasa keadaan-keadaan setempat dan diberi
desentralisasi tanggung jawab lebih banyak untuk membuat keputusan yang bersifat lokal dan pengambilan resiko-resiko atas kebijakan setempat.
Seperti dikemukakan Wells dkk. 1999, sangat sedikit ICDP di Indonesia dapat secara realistis menyatakan bahwa konservasi keanekaragaman hayati telah
atau sepertinya ditingkatkan secara berarti sebagai hasil dari kegiatan-kegiatan proyek. Lebih lanjut Wells mengatakan, jelas terlihat bahwa paling banyak
percobaan untuk meningkatkan konservasi keanekaragaman hayati di Indonesia melalui ICDP, tidak meyakinkan dan tidak mungkin berhasil pada situasi jangka
pendek. Analisa oleh Barber dkk 1995 mengenai beberapa ICDP di Indonesia,
memberikan banyak rekomendasi terhadap keberlanjutan ICDP TNKS. Barber berpendapat, kebijakan mengenai daerah yang dilindungi harus diubah dalam
beberapa cara untuk memfasilitasi usaha-usaha model ICDP. Pertama, kenyataan akan pemanfaatan manusia dan pemakaian lahan dan sumber daya daerah yang
dilindungi harus dipahami dan kebijakan dirancang untuk meminimalkan dampak, mengamankan penghidupan setempat, dan memasukkan penduduk lokal untuk
mengawasi akses kedalam taman dan eksploitasi sumberdaya. Kedua, Kebijakan baru mengenai pengaturan batas di daerah yang dilindungi dan pengawasan sangat
diperlukan untuk mendukung tujuan pertama. Ketiga, Struktur dan mandat dari Instansi Pemerintah Ditjen PHKA harus diperkuat. Pernyataan diatas berasal dari
pengalaman dan tujuan ICDP TNKS. Bahwa pelibatan masyarakat setempat secara nyata dalam pengelolaan TNKS dan ketepatan akan penguatan institusi PKA,
masih tidak jelas. Jaringan Balai TNKS, berupa staf lapangan, yang bermarkas di desa adalah satu langkah terhadap klarifikasi atas prioritas-prioritas akan kebutuhan
pengelolaan lokal dan penguatan kemampuan. Penegakkan hukum yang efektif, khususnya pengaruh luar yang
terorganisir, harus dipertimbangkan sebagai dasar untuk mencapai tujuan ICDP secara optimal, termasuk titik berat pada fasilitasi dan pembangunan desa, seperti
menciptakan pendapatan alternatif, peningkatan produktifitas pertanian, identifikasi sumberdaya desa dan perencanaan penggunaan lahan.
Pelajaran yang dipetik dari berbagai ICDP dan proyek-proyek pembangunan masyarakat menunjukkan betapa pentingnya hubungan kerjasama
desa dan pemerintah. Penolakan terhadap hubungan akan membuang waktu, tenaga dan uang. Hubungan harus menjadi salah satu pendukung, bukan konfrontasi yang
berkepanjangan, kebijakan yang membingungkan, dan kadang-kadang penegakkan hukum yang tidak sesuai.
Fokus dari TNKS-ICDP adalah lebih banyak pada penduduk desa di zona penyangga. Mereka bukan merupakan komponen yang memiliki dampak terbesar
perlindungan TNKS dalam jangka panjang. Pengaruh luar yang terorganisir dan ketidakseriusan penegakkan hukum untuk mengontrol pengaruh-pengaruh ini,
harus menjadi perhatian ICDP. Masalahnya, fokus utama penegakkan hukum yang lebih ditujukan langsung terhadap penduduk desa, ini tidak menemukan akar
masalah yang pasti, melainkan hanya gejala. Penduduk desa membutuhkan kepastian dan jaminan lahan untuk mempertahankan kehidupan mereka, sementara
TNKS membutuhkan dukungan melalui kesadaran publik dan pencapaian konsensus untuk mempertahankan keanekaragaman hayatinya dan integritasnya.
Salah satu pelajaran yang diambil dari pelaksanaan program pengelolaan sumberdaya alam yang didanai USAID tahun 1998. Proyek ini menegaskan
pengelolaan taman nasional berkaitan dengan pengelolaan dan pemberdayaan manusia. Pengalaman menunjukkan, perlu mengetahui berapa banyak pihak atau
stakeholders yang berasosiasi dengan taman nasional. Untuk mengembangkan proses perencanaan, multi stakeholder dilibatkan secara aktif dalam membuat
keputusan. Stakeholder mewakili sebuah komunitas taman, terdiri dari kelompok- kelompok yang berbeda kepentingan.
Dalam hal ini, titik berat terbesar dari stakeholder untuk bekerjasama mengelola TNKS adalah staf lapangan BTNKS dan kelompok-kelompok desa, baik
didesa-desa ICDP, maupun yang tidak. Dukungan pemerintah daerah juga akan sangat dibutuhkan sebagai tambahan stakeholder kunci bagi kelanjutan tujuan
kerjasama pengelolaan TNKS. Asumsi yang berkembang selama ini meski pemikiran ini banyak yang gagal adalah bahwa konservasi melalui pembangunan
ekonomi harus menjadi fokus utama dalam pengelolaan TNKS. Akan tetapi, pemberian dana hibah HKD kepada sejumlah desa sebagai hasil kesepakatan
KKD untuk melindungi TNKS juga tidak menghentikan perambahan untuk kepentingan pertanian pada tingkat yang dibutuhkan.
Penduduk desa melihat proses ini sebagai sesuatu kesepakatan KKD untuk memperoleh hasil hibah HKD. Tapi tindak lanjut dari kesepakatan yang
sudah ditandatangani juga patut dipertanyakan, kecuali apabila beberapa perubahan diperbuat. Banyak faktor yang
mempengaruhi ”pelanggaran” kesepakatan itu, termasuk yang dari luar--- biasanya tidak dapat dikontrol oleh proyek ini, seperti
penebangan liar, perburuan dan pengambilan sumberdaya lain, ketidakmampuan untuk menghentikan perambah dari luar desa. Ada juga faktor dari dalam sendiri,
seperti penerima HKD yang terbatas, hanya kepada beberapa warga desa serta kurangnya pengertian komitmen yang serius terhadap konservasi TNKS.
Perlindungan alam, menurut Brechin dkk, adalah sebuah proses sosial dan politik yang harus difokuskan pada organisasi manusia dan tindakan bersama. Ada
lima konsep utama dari proses ini: i. martabat manusia, ii. legitimasi ; iii. kekuasaan, iv. pertanggungjawaban dan v. adaptasi dan belajar. Jika konsep-
konsep ini digunakan dalam rencana untuk pengelolaan TNKS, keberhasilan yang lebih besar untuk tujuan ganda dari konservasi keanekaragaman hayati dan
keadilan sosial dapat dicapai. Suatu pendekatan baru, lebih dari sekedar konservasi dan pembangunan,
mungkin melalui konservasi alam dan keadilan sosial. Kita perlu menemukan cara untuk menunjukkan bagaimana perlindungan alam bukan sekedar kepentingan
lingkunganekologis, tapi sesuai dengan kebudayaan, didukung secara politik dan secara sosial dan moral. Kesuksesan konservasi alam akan tergantung kepada
kemampuan untuk menegosiasikan legitimasi dan kesepakatan pengelolaan dilaksanakan. Ini membutuhkan penguatan kelembagaan yang telah ada dan
penyusunan organisasi. Sebuah langkah awal terhadap pengelolaan TNKS adalah meminta beberapa kelompok lokal dioganisir dan bagaiman kelompok-kelompok
ini boleh atau tidak boleh menghargai pelarangan pengelolaan TNKS. Sebagai kesimpulan, peningkatan pengelolaan TNKS dengan masyarakat
lokal perlu dibangun berdasarkan pengalaman bersama komponen ICDP lainnya dengan menegosiasikan kesepakatan secara ekologis dan membantu program-
program yang sesuai secara politis dan secara sosial. Program-program ini perlu diadopsi untuk kondisi desa yang spesifik, berdasarkan legitimasi penegakkan
hukum melalui kesepakatan yang kuat dengan semua stakeholders. Dr. Arthur H. Mitchell, Team Leader Komponen B ICDP TNKS.
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Kerinci Seblat TNKS
wilayah Kabupaten Musi Rawas Provinsi Sumatera Selatan. Kelompok sasaran adalah masyarakat desa di kawasan TNKS wilayah Kabupaten Musi Rawas.
Penelitian berlangsung selama 10 bulan, dimulai bulan Januari 2009 - Oktober 2009.
3.2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian ini dimulai dengan menganalisis faktor internal dan faktor eksternal yang mempengaruhi pemberdayaan masyarakat kawasan TNKS
wilayah Kabupaten Musi Rawas dengan menggunakan analisis faktor. Selanjutnya akan diketahui besarnya nilai indikator ketidakberdayaan. Tahap berikutnya
menggunakan analisis AWOT, yaitu integrasi antara analisis AHP dan SWOT. Tahap terakhir adalah penyusunan konsep pemberdayaan berdasarkan strategi hasil
analisis AWOT. Bagan alir pendekatan penelitian dapat dilihat pada Gambar 3:
Gambar 3. Pendekatan Penelitian
3.3. Jenis Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini digolongkan kedalam faktor-faktor internal dan eksternal. Data ini meliputi data primer dan data
sekunder. Adapun jenis data dan aspek yang diamati dapat dilihat pada Tabel 5.
Faktor- faktor
Internal
Faktor- faktor
Eksternal Analisis
Faktor Faktor-faktor
Ketidakberdayaan
AWOT Tujuan
Pemberdayaan
Konsep Pemberdayaan