Berpasrah total kepada Tuhan “Sevanam atau Atmanividanam”.

238 Kelas XII SMA Semester 1 nyata maupun kehidupan sunya niskala. Iklim saling bakti Atmanivedanam ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat manusia baik dalam kehidupan sosial dan kehidupan spiritualnya. Atmanividanam yang artinya bakti dengan kepasrahan total kepada Tuhan. Tahapan ini adalah tahapan terakhir dalam ajaran suci Nawa Wida Bhakti. Dalam perjalanan kehidupan manusia pada zaman Kali Yuga ini, jalan Atmanividanam yang dianggap sulit untuk diaplikasikan karena kuatnya ikatan material yang mengikat dirinya. Mulailah kita melakukan pelayanan dan mempersembahkan apapun yang kita miliki, kita terima, nikmati dan lain- lain itu hanya untuk-Nya. Karena hanya Tuhanlah yang pada akhirnya sebagai penikmat segalanya. Baik itu adalah kebahagiaan dan penderitaan kita harus bisa mempersembahkannya untuk-Nya. Demikian ajaran Nawa widha bhakti dalam kehidupan umat sedharma dapat mengantarkan untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan dalam hidup ini. Berikut ini adalah paparan ajaran nawa widha bhakti dalam bentuk cerita; Srawanam dan Prabhu Parikesit Dalam kitab mahabrata dikisahkan, Prabu Parikesit sedang mengadakan perjalanan untuk berburu ke tengah hutan. Prabhu Parikesit adalah keturunan wangsa bharata, cucu dari Panca Pandawa yang disebut-sebut sebagai raja terakhir memimpin Kerajaan Astinapura. Di tengah hutan belantara itu berdiri sebuah pertapaan yang dipimpin oleh Maha Rsi Samiti. Setelah lama melintasi perjalanan akhirnya Prabu Parikesit, sampailah beliau di tengah hutan dan memasuki wilayah pertapaan Maha Rsi Samiti. Sebagaimana biasanya apabila seorang Raja sedang melaksanakan perjalanan jauh, mau berkunjung kepertapaan layak mendapat sambutan dengan istimewa. Demikian juga sepanjang perjalanan disambut dan dihormati oleh setiap orang yang sedang melintas dijalanan tersebut. Penyambutan, penghormatan dan pelayanan yang istimewa adalah wujud dari appreasi atas kunjungan sang raja. Namun demikian di pertapaan Maha Rsi Samiti saat itu sedang berlangsung ritual brata. Maha Rsi Samiti sedang melaksanakan tribrata; brata makan Upawasa, brata tidur Jagra, dan brata berbicara Monobrata. Karena adanya ritual Tribrata inilah maka beliau tidak menyambut kedatangan Raja Parikesit sebagaimana mestinya. Prabhu Parikesit sangat tersinggung atas kejadian ini, sehingga kemarahannya ditumpahkan kepada seekor ular yang sedang lewat disana, ular itupun dipukulnya sampai mati, yang akhirnya bangkai ular itu dikalungkan dilehar Sang Rsi Samiti yang sedang melakukan Tribrata oleh Prabu parikesit. Kemudian sang Rsi ditinggalkan begitu saja dalam tri brata dengan leher dikalungi bangkai ular. Pendidikan Agama Hindu Dan Budi Pekerti 239 Maha Rsi Samiti memiliki seorang putra yang bernama Srenggi, usianya masih tergolong anak-anak yang baru berumur sekitar 8 tahun. Namun Srenggi mempunyai bakat yang luar biasa dalam ketekunannya melaksanakan Gayatri mantram. Dalam usianya yang ke lima Srenggi sudah mampu melaksanakan japa mala Gyatri mantram sampai lebih dari ribuan kali, bila sedang berada diluar desanya sendiri. Ketika Srenggi kembali dari taman pesraman mengambil bunga yang tadinya dipersiapkan untuk sembahyang, alangkah kagetnya mereka ketika melihat dan menyaksikan kondisi Ayahandanya sang Maha Rsi dengan posisi meditasi lehernya terlilit bangkai ular. Srenggi tidak terima dengan kejadian dan perbuatan orang yang tidak bertanggung-jawab itu terhadap orang tuanya. Ia berusaha untuk mencari tau siapa pelaku dari perbuatan amoral seperti itu. Dalam waktu tidak terlalu lama maka srenggi sudah mendapatkan jawabannya bahwa pelakunya adalah seorang Raja yang bernama Prabu Parikesit sebagai pelaku tunggal. Srenggi-pun segera mengejar Prabu Parikesit dan sekaligus melontarkan kutukan atas perlakuannya terhadap Ayahndanya sang Rsi. ”Dalam kurun waktu 7 hari Prabu Parikesit akan mati dengan cara yang menyedihkan digigit ular”. Maha Rsi Samiti mendengarkan kesemuanya itu, dan beliau mengetahui kemampuan putranya sang Srenggi, karena kesidhiannya, mengingat sejak kecil Srenggi sangat rajin dan tulus melakukan Japa Mala. Kutukan tinggal kutukan tak boleh ditarik dengan apapun, akhirnya dalam kurun waktu yang ditentukannya 7 hari pasti akan terjadi kejadian yang sangat mengenaskan Prabu Parikesit sudah pasti akan menderita atas kutukannya itu. Tinggal satu-satunya yang dapat dilakukan oleh Sang Rsi sekarang adalah masuk ke Istana kerajaan dan menyampaikan permasalahannya. Untuk mengamankan keberadaan Raja Parikesit dari gangguan ular, akhirnya beliau dibuatkan sebuh podium dengan penjagaan yang sangat ketat sehingga tidak ada lagi jalan bagi ular untuk bisa menghampiri Prabu Parikesit. Dalam waktu tujuh hari itulah dipergunakan bertobat oleh Sang Prabu Parikesit, untuk mengadakan Srawanam, yaitu mendengarkan dengan cara seksama Ikang Tinutur Pineh Ayu dari sang Rsi Samiti selama 7 hari. Persis pada hari yang ke 7 tujuh Jiwa sang Prabu Parikesit meninggalkan Raga Moksa. Dalam keadaan demikian akhirnya sang pelayan datang menyuguhkan hidangan makan buat sang Prabu Parikesit. Meskipun makanan itu sudah disortir secara sempurna oleh koki istana, namun Ular tersebut bersembunyi di balik kuping manggis, yang menjadi persembahan sang pelayan kepada rajanya. Ketika makanan sang Prabu sudah dihidangkan di atas mejanya, pelayanpun meninggalkan ruangan sang raja, keluarlah ular tersebut dengan 240 Kelas XII SMA Semester 1 dari balik kuping manggis dan dengan serta merta mematuk sang Prabu yang sebenarnya sudah dalam keadaan Sunia, dan Berakhirlah Prabu Parikesit yang merupakan akhir dari bagian kejayaan Wangsa Bratha di Astinapura Widyatmanta, Siman. 1958 : 68. -tamat- Mengikuti alur ceritera di atas, maka dapat dipahami bahwa dengan ajaran “nawa widha bhakti “srawanam” Prabu Parikesit mencapai moksa. Jnanam, Karma, dan Bhakti, dalam mewujudkan ajaran Hindu adalah merupakan satu kesatuan yang utuh dan sulit untuk dipisahkan karena merupakan satuan integral satu dengan yang lainnya. Svami Satya Narayana mengatakan : Ketiga jalan tersebut bak gula batu, bentuk, berat, dan penampilan gula tersebut sangatlah berbeda, namun mereka mempunyai kesatuan yang utuh dan sulit untuk dibeda-bedakan. Kalau Jnanam itu tidak diwujudkan dalam bentuk Bhakti, maka hanya tinggal di dalam hati saja, Karma tanpa dilandasi dengan Jnanam maka karma akan ngawur tanpa arah, Jnanam dan karma tanpa bakti, akan bisa menimbulkan arogansi dan gersang, Bhakti tanpa Jnanam dan karma juga akan nyaplir tidak menentu. Karena itu Bhakti kepada Tuhan merupakan ujung dari Jnanam dan karma. Latihan: 1. Setelah membaca teks tentang bentuk penerapan ajaran Nawa widha bhakti dalam kehidupan beragama Hindu, apakah yang anda ketahui tentang agama Hindu? Jelaskan dan tuliskanlah 2. Buatlah ringkasan yang berhubungan dengan bentuk penerapan Nawa widha bhakti dalam kehidupan beragama Hindu, dari berbagai sumber media pendidikan dan sosial yang anda ketahui Tuliskan dan laksanakanlah sesuai dengan petunjuk dari BapakIbu guru yang mengajar di kelas 3. Apakah yang anda ketahui terkait tentang bentuk penerapan Nawa widha bhakti dalam kehidupan beragama Hindu ? Jelaskanlah 4. Bagaimana cara-mu untuk mengetahui bentuk penerapan Nawa widha bhakti dalam kehidupan beragama Hindu ? Jelaskan dan tuliskanlah pengalamannya Pendidikan Agama Hindu Dan Budi Pekerti 241 5. Manfaat apakah yang dapat dirasakan secara langsung dari usaha dan upaya untuk memengetahui bentuk penerapan Nawa widha bhakti dalam kehidupan beragama Hindu ? Tuliskanlah pengalaman anda 6. Amatilah lingkungan sekitar anda terkait dengan adanya bentuk penerapan Nawa widha bhakti dalam kehidupan dan penerapan ajaran Hindu guna mewujudkan tujuan hidup manusia dan tujuan agama Hindu, buatlah catatan seperlunya dan diskusikanlah dengan orang tuanya Apakah yang terjadi? Buatlah narasinya 1 – 3 halaman diketik dengan huruf Times New Roman – 12, spasi 1,5 cm, ukuran kertas kuarto; 4-3-3-4

D. Ajaran Nawa Widha Bhakti sebagai dasar pembentukan budi pekerti yang luhur dalam

zaman Global Perenungan. “Aúmanvati riyate saý rabhadhvam uttisthata pra tarata sakhàyah, atra jahàma ye asan aúevah sivan vayam uttaremàbhi vàjàn. Terjemahan: ‘Wahai teman-teman, dunia yang penuh dosa dan penuh duka ini berlalu bagaikan sebuah sungai yang alirannya dirintangi oleh batu besar yang dimakan oleh arus air yang berat, tekunlah,bangkitlah dan seberangilah ia, tinggalkan persahabatan dengan orang-orang tercela, seberangilah sungai kehidupan untuk pencapaian kesejahteraan dan kemakmuran’ Ågveda X.53.8. Kedamaian dan ketenteraman Kerta Langu, adalah dambaan seluruh sekalian alam baik secara komunal maupun secara individual personal. Maksudnya adalah dambaan akan kedamaian itu tidak hanya bagi umat manusia, tetapi tumbuh-tumbuhan dan binatangpun memerlukan kedamaian itu. Kemudian perlu dipahami juga bahwa kedamaian itu bukan dibutuhkan saat ini saja, 242 Kelas XII SMA Semester 1 tetapi kedamaian itu dibutuhkan oleh seluruh sekalian alam baik untuk masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang. Demikianlah sabda, intruksi dan pesan dari Kitab Suci Veda yang harus kita tindaklanjuti dengan sraddha dan rasa bakti iman dan takwa yang mantap. Apabila dalam kehidupan ini setiap umat manusia umumnya dan khususnya umat Hindu mampu mewujudkan kedamaian itu maka impian umat manusia untuk menciptakan suasana sorga di dunia ini dapat diwujudkan. Tetapi kenyataannya masih banyak umat manusia yang keliru memaknai hidupnya khususnya tentang suasana alam surgawi yang mereka dambakan di saat alam kematian, mereka berharap masuk surga atau menikmati suasana alam surgawi di saat kematian tetapi melupakan suasana alam surgawi dalam kehidupan nyata yaitu kehidupan saat di dunia fana ini. Pada hal proses kematian yang baik adalah “Hidup yang baik dulu, baru mati yang baik”, karena dengan kehidupan yang baik di saat hidup dapat dijadikan modal dasar dan atau matra untuk pencapaian kehidupan yang lebih baik di saat ini dan saat di alam akhirat. Namun fenomena Devasa ini, ternyata ketenteraman, kesalehan, keharmonisan dan kedamaian semakin menjadi harga mahal bagi sebagian besar individu atau kelompok umat manusia dalam kehidupannya, padahal dalam sebuah pengakuan, hampir setiap orang di dunia ini mengakui dan diakui dirinya sebagai orang yang beragama, dengan status orang beragama itu semestinya orang-orang beragama secara kontinu selalu berupaya mewujudkan kesalehan dan keharmonisan serta kedamaian santih di dunia ini. Orang-orang beragama semestinya mampu memberikan penyembuhan konseling terhadap dirinya dan orang lain di saat-saat mengalami goncangan kejiwaan di mana orang- orang psikologi menyebutnya dengan ‘kekusutan mental’ akibat dari suatu masalah yang dihadapinya yaitu dengan menggunakan ayat-ayat kitab suci dan sastra-sastra agamanya sebagai pedoman dan tabletkapsul yang harus diramu dan selanjutnya dikonsumsi sebagai obat untuk mengonseling atau menterapi psikis dirinya. Renungkanlah sloka berikut ini; “Mogham annaý vindate aprcetaá satyam bravimi vadha it sa satya, nàryamanaý pusyati no sakhàyaý kevalàgho bhavati kevalàdi. Terjemahan: ‘Orang yang kurang pandai memperoleh kekayaan dengan sia-sia, Aku mengatakan kebenaran bahwa jenis kekayaan ini adalah benar-benar kematian untuk dia, Dia yang tidak menolong teman-temannya dan sahabat-sahabat karibnya, dia yang makan sendirian, menderita sendirian’ Ågveda X.117.6