BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang memiliki ribuan pulau yang diperkaya juga oleh keanekaragaman kebudayaan. Keanekaragaman
yang ada ditandai dengan tampaknya perbedaan suku bangsa atau etnis, budaya, bahasa, dan keyakinan agama.
Keanekaragaman yang dimiliki Indonesia menjadi satu dilemma yang cukup menantang sekaligus membanggakan. Pada satu sisi, kekayaan budaya dari
berbagai etnis yang ada menjadi kemajemukan budaya yang bernilai tinggi, namun disisi lainnya pluralitas kultural tersebut memiliki potensi sebagai pemicu
disintegrasi atau perpecahan bangsa. Pluralitas kultural sering kali menjadi salah satu pemicu munculnya
konflik ditengah-tengah masyarakat Indonesia. Konflik suku bangsa etnis, agama, ras dan antar golongan SARA sebenarnya tidak murni karena hal
tersebut dan pada dasarnya berawal dari hal-hal lain, baik karena ekonomi, ketidakadilan sosial, politik, salah paham, dan faktor lainnya.
Munculnya konflik pribumi dan non-pribumi diawali dari perbedaan antara etnis setempat dengan etnis pendatang. Hal ini dialami Indonesia sejak
masuknya masa kolonial Portugis, Spanyol dan Belanda. Konsep masyarakat majemuk pertama kali diperkenalkan oleh J.S.
Furnivall 1948. Furnivall merumuskan konsep masyarakat majemuk yang
Universitas Sumatera Utara
berasal dari temuan hasil penelitiannya di Indonesia. Menurutnya masyarakat Indonesia terbagi atas tiga lapisan:
1. Bangsa-bangsa Eropa menempati urutan teratas dalam stratifikasi masyarakat.
2. Bangsa-bangsa Asia Cina, Arab, dan India berada diurutan berikutnya.
3. Dan lapisan terbawah adalah kaum pribumi Konsep masyarakat majemuk yang dirumuskan oleh Furnivall tersebut
merujuk pada pengertian sebuah masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa adanya pembauran satu sama lain dalam
kesatuan politik. Pada masa penelitian Furnivall, konsep masyarakat majemuk diteliti pada masa kolonial Belanda di Indonesia. J.S. Furnival melihat
pembauran yang terjadi sangat sulit sehingga kaum pendatang dalam hal ini kolonial Belanda lebih mendominasi dan lebih berkuasa.
Dalam konsep masyarakat majemuk, J.S. Furnival melihat dari studi kasusnya di Indonesia bahwa masyarakat pribumi adalah masyarakat yang
tertindas atau pada sistem stratifikasi sosial, merupakan lapisan masyarakat paling bawah. Masyarakat pribumi atau penduduk setempat asli daerah jajahan bangsa
kolonial masyarakat yang menjadi lapisan terbawah pada saat itu dikarenakan masyarakat pribumi menjadi subjek dari penindasan bangsa Belanda. Mulai dari
saat itu, saat pendatang memasuki daerah Indonesia, masyarakat Indonesia-lah yang disebut pribumi dan sebaliknya para pendatang disebut non-pribumi. J.S.
Furnival membedakan bahwa diluar bangsa Indonesia adalah merupakan non- pribumi, yakni bangsa Eropa dan bangsa Asia yang terdapat di Indonesia seperti
Universitas Sumatera Utara
etnis Tionghoa, etnis India, etnis Arab, dan etnis lainnya yang masuk ke Indonesia.
Di samping itu J.S. Furnival juga menggambarkan stratifikasi sosial ke dalam bentuk piramida sebagai berikut
1
a. Lapisan atas, orang kulit putih, Belanda yang bekerja di perkebunan
dan pemerintahan :
b. Lapisan menengah, yaitu kelompok keturunan Asia atau Timur Asing,
khususnya etnis Tionghoa yang menguasai perdagangan c.
Lapisan Menengah ke bawah, kaum priyayi, dan pamong praja d.
Lapisan bawah, yaitu rakyat atau penduduk pribumi. Tampak jelas stratifikasi sosial yang terjadi dimana yang dimaksud
masyarakat pribumi dan masyarakat non-pribumi. Hal ini tidak jauh dengan apa yang dimaksud dengan masyarakat pribumi pada masa modern yang pada
dasarnya masyarakat pribumi adalah diluar dari etnis-etnis yang ada di Indonesia atau seperti yang dikategorikan diatas.
Pada dasarnya istilah pribumi sendiri tidak diketahui lebih pasti kapan munculnya, yang pasti pada masa kolonial Belanda istilah pribumi dan non-
pribumi telah akrab disebut pada masyarakat Indonesia pada masa itu. Ditinjau dari segi pengertian kamus Indonesia bahwa pribumi memiliki arti sebagai
penghuni asli dari tempat keberadaan yang bersangkutan. Sedangkan non-pribumi berarti yang bukan pribumi atau penduduk asli suatu negara. Dari makna tersebut,
pribumi berarti penduduk yang asli lahir, tumbuh, dan berkembang berasal dari tempat negara tersebut berada. Dalam hal ini terkait negara Indonesia, anak dari
1
http:jalian.wordpress.com20080218stratifikasi-sosial-tiga-zaman-di-pangkalan-bun
Universitas Sumatera Utara
orang tua yang lahir dan berkembang di Indonesia adalah orang pribumi, meskipun sang kakek dan nenek adalah orang asing.
Ditinjau dari sudut pandang masyarakat Indonesia, pribumi didefenisikan sebagai penduduk Indonesia dari salah satu suku asli Indonesia. Sebaliknya yang
disebut non-pribumi adalah kebalikan dari makna pribumi dan cenderung diklasifikasikan berdasarkan warna kulit mereka. Contoh dari objek yang
dimaksud yaitu etnis Tionghoa, Arab, India, bangsa Eropa dan lain-lain. Penggolongan pribumi dan non-pribumi muncul sebagai akibat adanya
perbedaan mendasar diskriminasi terutama pada perlakuan oleh penguasa rezim yang sedang berkuasa. Ini hanya terjadi jika rezim yang berkuasa adalah
pemerintahan otoriter, penjajah dan kroninya ataupun nasionalisme yang sempit. Contoh, di zaman penjajahan Belanda, Belanda memperlakukan orang di
Indonesia secara berbeda didasari oleh etnikketurunan. Mereka yang berketurunan Belanda akan mendapat pelayanan kelas wahid, sedangkan golongan
pengusahapedagang mendapat kelas kedua, sedangkan masyarakat umum penduduk asli diperlakukan sebagai kelas rendah “kasta sudra”.
Masalah siapa yang pribumi dan non-pribumi selalu dipertanyakan ketika menyangkut etnis, dan ras. Hal tersebut juga menjadi pembatas untuk hak dan
kewajiban yang pada akhirnya bertentangan dengan cita-cita luhur bangsa Indonesia seperti yang tersurat dalam Pembukaan UUD 1945. Sadar atau tidak
sadar bahwa sebenarnya semua penduduk Indonesia sekarang ini secara antropologis merupakan non-pribumi, dalam arti bukan asli dari Indonesia. Hal ini
Universitas Sumatera Utara
seperti yang dinyatakan oleh antropolog senior Universitas Airlangga Surabaya, Dr. Josef Glinka SVD, dalam seminar Man: Past, Present, and Future
2
2
Benny G. Setiono, Tionghoa dalam Pusaran Politik, Jakarta; TransMedia Pustaka, 2008, hal. 17.
. Seperti yang telah diungkap sebelumnya bahwa konflik muncul karena
adanya perbedaan unsur SARA yang otomatis membuat cara pandang yang berbeda terhadap segala sesuatu. Tindakan yang timbul dari konflik tersebut pada
akhirnya sampai pada tingkat tinggi, yaitu eksterminasi yang diaplikasikan seperti menghukum tanpa peradilan lynching, pembunuhan massal yang terorganisasi
pogrom, pembunuhan besar-besaran massacre dan pemusnahan terhadap kelompok etnis tertentu genocide. Di Indonesia sendiri sendiri contoh dari
peristiwa bentuk eksterminasi tersebut mungkin masih dapat di ingat kembali peristiwa Sanggau Ledo, Sambas, Sampit yang dikenal dengan konflik antar etnis
DayakMelayu dengan Madura, kemudian adanya peristiwa Ambon dan Poso yang berlatar-belakangkan masalah agama dan peristiwa Mei 1998, yakni konflik
paling ekstrim di mana konflik politik yang berimbas pada sentimen etnis Tionghoa dan peristiwa tersebut hampir saja menjadi peristiwa genocide ketiga di
dunia. Hal ini merupakan perwujudan masyarakat multikultur secara sosiologis
dan demografis. Setiap lapisan masyarakat membuat identitas mereka dan pada kondisi tertentu mereka akan menentukan ke dalam ingroup dan outgroup atau
dalam arti luasnya menggolongkan bagi mereka siapa pribumi yang berhak atas tempat keberadaan mereka dan siapa non-pribumi sebagai pendatang. Hal ekstrim
dalam suatu negara pun dapat terjadi berupa perpecahan atau disintegrasi
Universitas Sumatera Utara
Pada masa Proklamasi Indonesia di mana Indonesia mulai terbentuk, pada pidato Soekarno menegaskan kembali untuk memahami kembali budaya
Indonesia
3
Satu negara tidak pernah terlepas dari bangsa yang membentuknya. Oleh karena itu hal pertama ketika negara akan ditujukan berjalan baik sesuai cita-cita
kehidupan bangsa untuk mendapat keamanan, tentram sampai sejahtera dibutuhkan penggalangan persatuan antar warga tanpa terkecuali dalam
kebangsaan yang dibangun dalam organisasi warga, yaitu negara. Menurut Soekarno negara adalah suatu organisasi kekuasaan, suatu alat perjuangan
. “Ingat kita ini bukan dari satu adat istiadat. Ingat, kita ini bukan dari satu
agama. Bhineka Tunggal Ika, berbeda tetapi satu, demikianlah tertulis di lambing Negara kita, dan tekanan kataku sekarang ini kuletakkan kepada
kata bhinna, yaitu berbeda-beda. Ingat kita ini bhinna, kita ini berbeda- beda…”
Pada Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, pada alinea ke-4 ditegaskan lagi, yaitu “…Persatuan Indonesia…” dapat
disimpulkan bahwa apa yang disebut dengan Negara Indonesia adalah ketika adanya persatuan yang terjaga dengan baik bukan saja dalam sistem sosial
masyarakat, tetapi dalam sistem negara antar masyarakat dan pemerintahan. Adanya dikotomi pribumi dan non-pribumi yang ditujukan pada salah satu
etnis atau warga negara yang berkembang di tengah masyarakat secara langsung keutuhan negara telah mulai terganggu. Apa yang disebut sebagai negara yang
merupakan suatu kumpulan integral atau kesatuan masyarakat secara organis yang bersatu untuk mencapai kemakmuran bersama sudah tidak utuh lagi.
3
Kompas, 4 Maret 2001, hal. 31.
Universitas Sumatera Utara
organisasi yang diorganisir di atas suatu wilayah, yang diatasnya ada manusia- manusianya
4
Selanjutnya Roger H. Soltau menyatakan bahwa tujuan negara ialah memungkinkan rakyatnya, berkembang serta menyelenggarakan daya cipta
sebebas mungkin dan menurutnya mennciptakan keadaan dimana rakyatnya dapat mencapai terkabulnya keinginan-keinginan secara maksimal
. Negara menjadi penentu akan cara-cara dan batas-batas untuk masyarakat
dalam mendapatkan kesejahteraan atau cita-cita bangsa. Masyarakat yang membentuk negara secara tidak langsung juga mematuhi dan mengikuti aturan
main yang disediakan oleh negara. Dengan kata lain negara menjadi pengontrol dalam integrasi bangsa yang sedang dijalankan oleh pemerintah negara. Sehingga
dengan demikian masyarakat dalam mencapai tujuannya dipimpin oleh negara.
5
. Sama halnya dengan negara Republik Indonesia yang memiliki tujuan yang tercantum dalam
Undang-Undang Dasar 1945, bahwa ...untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Republik Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, dengan berdasarkan kepada ke-Tuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan
beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta dengan mewujudkan suatu Keadilan
Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
6
4
Agus Surata dan Tuhana Taufiq A, Runtuhnya Negara Bangsa, Yogyakarta:UPN VETERAN Yogyakarta Press, 2002, hal. 3.
5
Agus Surata, Ibid. hal. 35.
6
Undang-Undang Dasar RI 1945.
.
Universitas Sumatera Utara
Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang dibentuk melalui kesepakatan masyarakat setelah masa penjajahan. Setelah berpuluh tahun di jajah
oleh bangsa asing, pada akhirnya masyarakat Indonesia pada masa itu dengan kesepakatan bersama dan memiliki tujuan dan cita-cita yang sama membentuk
Negara Kesatuan Republik Indonesia dan membentuk sistem dan pemerintahan yang akan mambawa masa depan negara Indonesia.
Dalam konsep teori integralistik seperti yang diutarakan oleh Soepomo bahwa masyarakat dalam satu negara merupakan satu kesatuan sah yang organis
dan menjadi satu dengan negara sehingga tidak menimbulkan perbedaan yang pada akhirnya menimbulkan disintegrasi bangsa atau perpecahan. Dalam hal ini
masyarakat yang dimaksud adalah sesuai peraturan negara yang berlaku dalam sistem pemerintahan. Paham integralistik menurut Soepomo, bahwa dalam negara
sebagai organisasi terbesar yang dibentuk oleh masyarakat awalnya, merupakan bangsa yang teratur, persatuan rakyat yang saling terkait demi kemajuan negara
dan kesejahteraan masyarakat
7
Bagi Soepomo sendiri pertama kali Beliau mengkonsep negara integralistik dan mengajukan konsep tersebut sebagai bentuk negara Indonesia.
Dia melihat konsep yang diserap dari unsur Hegelian dengan adaptasi yang sesuai dengan negara timur seperti keadaan Indonesia yang multikultur, konsep negara
intralistik sesuai dengan Indonesia. Pada awalnya sebelum negara Indonesia terbentuk, Soepomo membuat urutan yang sistematis dalam syarat sebuah negara
terbentuk. Penetapan dasar sistem pemerintahan tergantung pada konsep negara yang disepakati bersama. Kemudian Soepomo melihat keadaan Indonesia seperti
.
7
Moh. Mahfud, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Rineka Cipta: 2000, hal. 39.
Universitas Sumatera Utara
apa. Berdasarkan pengembangan hasil pemikiran filsafat Hegelian, Spinoza dan Adam Muller, kemudian Soepomo menghasilkan konsep negara integralistik.
Soepomo menyatakan bahwa teori integralistik masih tetap dalam hubungan negara yang tidak lain dengan negara persatuan. Secara luasnya, merupakan
keseluruhan masyarakat negara, dan tidak hanya menyangkut bentuk negara kesatuan atau semangat persatuan nasional semacam yang sering dianjurkan
Soekarno. Hal ini menjadi bagian yang menarik ketika membahas integrasi bangsa
terkait dengan konflik-konflik etnis yang terjadi di Indonesia baik itu melibatkan bangsa Indonesia maupun warga negara asing yang sah menjadi warga NKRI.
Persatuan adalah salah satu hal yang perlu di jaga pemerintah. Persatuan yang dimaksud bukan semata persatuan pada sistem yang makro tetapi juga mikro,
dimana seluruh warga bangsa secara terintegrasi. Dengan catatan yang dibuat, bahwa ketika istilah ‘negara persatuan’
dipakai, bukan hanya antara masyarakat dengan masyarakat tetapi juga hubungan integral antara masyarakat dengan negara
8
8
Marsilam Simanjuntak, Pandangan Negara Integralistik, Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1994, hal. 94-95.
. Sehingga setiap individu masyarakat dalam negara harus menjaga integritas nasionalisme dengan menjalin persatuan
antar sesame selain itu negara juga berfungsi untuk mengawasi setiap peran serta masyarakat dan komponen dalam sistem negara, baik itu aparat negara dalam
struktur maupun jabatan sampai ke daerah. Sehingga segala hak dan kewajiban setiap individu dapat terjamin. Di samping itu keutuhan dan kesenjangan sosial
akan terjaga dengan sendirinya.
Universitas Sumatera Utara
Ketertarikan penulis dalam melihat permasalahan tentang negara yang sangat kompleks terkait dengan konsep negara integralistik, seperti yang pernah
dibicarakan Prof. Mr. Dr. R. Soepomo dalam pidatonya pada tanggal 31 Mei 1945
9
Dikotomi pribumi dan non-pribumi yang semakin dipermasalahkan ditengah masyarakat menjadi dilema bagi negara Indonesia yang multietnis.
merupakan satu konsep negara yang sesuai dengan keadaan Indonesia. Maksudnya bahwa Indonesia yang multietnis, dalam arti bahwa ada banyak
individu berbeda yang memiliki kepentingan atau harapan berbeda yang akan diaplikasikan dalam negara. Negara Indonesia terkait hal ini harus mampu
mengintegrasikan segala aspirasi masyarakatnya disamping menjaga keutuhan organis setiap elemen. Penulis tertarik membahas permasalahan ini disebabkan
bahwa dalam satu negara tidak ada perbedaan antarwarganegara. Segala hal mengenai warganegara telah diatur dalam peraturan negara, namun seiring siapa
yang pribumi dan yang non-pribumi dipermasalahkan oleh masyarakat itu sendiri memunculkan dikotomi yang serius dan cenderung bisa dikatakan keamanan
negara sedang terganggu oleh masyarakatnya sendiri, karena hal tersebut dapat memunculkan konflik kecil bahkan konflik yang besar antar-etnis. Mengapa hal
ini dipermasalahkan ketika negara telah mengatur segalanya demi kesejahteraan bersama. Apa kemungkinan dasar sistem atau bentuk negara yang dibentuk oleh
founding fathers sedang mengalami kegagalan? Atau apakah bentuk negara sekarang ini kurang sesuai dengan perkembangan yang dialami Indonesia dalam
arti apakah bentuk negara yang ada tidak mampu mengatasi permasalahan yang ada dalam masyarakat?
9
Marsilam Simanjuntak, Ibid., hal. 82.
Universitas Sumatera Utara
Negara yang memegang teguh persatuan namun pribumi dan non-pribumi menjadi hal yang masih berkembang ditengah masyarakat. Hal ini menjadi bertolak
belakang dengan cita-cita bangsa Indonesia. Ini menjadi salah satu penyebab bagi penulis untuk meneliti dikotomi pribumi dan non-pribumi yang terjadi di
Indonesia dilihat dari sudut pandang Soepomo, lebih tepatnya berdasarkan pidato Soepomo yang dibacakan pada tanggal 31 Mei 1945.
2. Perumusan Masalah