bidang kehidupannya. Disamping itu pemusatan kekuasaan dalam satu partai yang kemudian secara sentral menurut prinsip pemimpin
61
2.1. Negara dalam Totalitarisme
.
Totalitarisme merupakan istilah politik yang mulai berkembang pada massa Nazi berkuasa di Jerman. Frans Magnis-Suseno SJ sendiri mengatakan
bahwa totalitarisme merupakan suatu gejala paling mengejutkan dalam sejarah umat manusia, suatu gejala yang secara mendadak mencuat dalam bagian pertama
abad ke-20. Negara totaliter bukan hanya sekedar mengontrol kehidupan masyarakat dengan ketat dan mempertahankan dengan tegas kekuasaan sebuah
elit politik kecil yang dispotik sesuka hati, ia bukan juga sekedar rezim seorang diktator yang haus kuasa. Melainkan negara totaliter adalah sebuah sistem politik
yang, dengan melebihi bentuk-bentuk kenegaraan despotik tradisional, secara menyeluruh mengontrol, menguasai dan memobilisasi segala segi kehidupan
masyarakat
62
Keberhasilan gerakan totalitarisme dalam satu negara bukan berarti melumpuhkan semua hak dari masyarakat yang harus secara rela diserahkan
kepada pemimpin rezim atau pemerintah untuk mengatur segala sesuatunya sampai pada setiap sudut kehidupan masyarakat. Kecenderungan totalitarisme
menghimpun masyarakat secara organik tanpa melihat perbedaan apapun. Hal ini bisa dikatakan untuk lebih memudahkan pemerintah dalam menggiring
masyarakat atau negara bangsa menuju tujuan negara yang sebenarnya. Dalam .
61
Hannah Arendt, Asal-Usul Totalitarisme, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995, hal. xiv.
62
Ibid., hal. xi.
Universitas Sumatera Utara
sudut pandang saya sendiri, unsur dimana kekuatan totaliter untuk menghimpun masyarakat secara organik tanpa melihat apapun adalah satu kunci yang dipakai
atau dilihat Soepomo yang kemudian menjadi bagian konsep negara integralistik. Sehingga beliau menyatakan konsep tersebut sesuai dengan budaya ketimuran,
yakni Indonesia yang plural dan membutuhkan sistem negara yang mampu menyatukan semua warga negara yang berbeda dalam negara Indonesia. Dengan
seperti itu maka negara Indonesia mampu mewujudkan kesejahteraan bersama. Lebih jauh lagi, beliau memberikan argumentasi tersendiri mengenai
totaliter yang banyak dipermasalahkan para founding father saat itu dan beliau menyatakan bahwa,
Tuan-tuan yang terhormat, hendaknya jangan salah paham. Teori negara integralistik atau negara totaliter ini tidak berarti bahwa negara tidak
akan memperhatikan adanya golongan-golongan sebagai golongan, atau tidak akan memperdulikan manusia sebagai seseorang. Bukan itu
maksudnya Aliran pikiran ini mempunyai sifat concrete dan reel, tidak meng-abstraheer segala keadaan seperti sifat teori individualism.
Negara akan mengakui dan menghormati adanya golongan-golongan dalam masyarakat yang nyata, akan tetapi setiap orang dan segala
golongan akan insaf kepada kedudukannya sebagai bagian organik dan negara seluruhnya, wajib meneguhkan persatuan dan harmoni antara
segala bagian-bagian itu.
Kemudian Soepomo juga selanjutnya memberikan argumentasi untuk memperjelas lagi dimana kediktatoran dalam konsep negara integralistik yang
sedikit banyaknya dipengaruhi totalitarisme: Menurut aliran pikiran ini, Kepala negara dan badan-badan Pemerintah
yang lain harus bersifat pemimpin yang sejati, penunjuk jalan kearah cita- cita luhur, yang diidam-idamkan oleh rakyat. Negara harus bersifat
“badan pengelenggara”, badan pencipta hukum yang timbul dari hati sanubari rakyat seluruhnya. Dalam pengertian ini, menurut teori ini yang
sesuai dengan semangat Indonesia yang asli, negara tidak lain ialah seluruh masyarakat atau seluruh rakyat Indonesia sebagai persatuan yang
teratur dan tersusun.
Universitas Sumatera Utara
Dengan kata lain setelah masyarakat bersatu, kemudian beliau menerangkan badan pemerintahan harus mampu menjadi penyelenggara negara
dengan baik tanpa melupakan masyarakat sebagai komponen utama. Semakin jelas disini bahwa bentuk kediktatoran pada totalitarisme tidak mendominasi
konsep negara integralistik yang dihasilkan pemikiran Soepomo tersebut. Dalam konsep teori kekuasaan negara, bahwa penekanan utama terletak
pada pengembangan kekuatan militer yang efektif oleh negara dan hal itu pertama kali berkembang di Jerman pada abad ke-19 oleh mereka seperti, Heinrich von
Treitschke, friedrich Nietzsche seorang filosof. Dalam buku yang diterbitkan Erich Kauffmann bahwa “esensi negara adalah Machtentfaltung pengembangan,
peningkatan dan penyebaran kekuasaan
63
63
S.P. Varma, Teori Politik Modern, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001, hal. 242- 243, dalam Arnold Brecht, Political Theory, The Foundationsof Twentieth Century Political
Thought, The Times of India Press, Bombay 1970, hal. 345.
. Pengembangan-pengembangan dari konsep itu pada akhirnya memunculkan sistem pemerintahan yang baru. Rezim
baru muncul di Jerman, terutama di Eropa Tengah, rezim totaliter berkembang atas reaksi dari penyebaran kekuasaan, peningkatan dan pengembangan
kekuasaan. Kekuasaan yang tidak terkendali pun terjadi dan sepenuhnya dipegang oleh pemerintah atau negara.
Universitas Sumatera Utara
2.2. Pribumi dan Non-Pribumi