Pribumi, Non-Pribumi Dan Negara (Suatu Studi Terhadap Pidato Soepomo tahun 1945 Tentang Negara Integralistik)
PRIBUMI, NON-PRIBUMI DAN NEGARA
(Suatu Studi terhadap Pidato Soepomo tahun 1945 tentang Negara Integralistik)
SKRIPSI
Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat
Untuk Mendapat Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
O L E H
RONALD W.S. 050906073
Dosen Pembimbing : Drs. P. Antonius Sitepu, M.Si. Dosen Pembaca : Warjio, SS, MA.
DEPARTEMEN ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2010
(2)
KATA PENGANTAR
Sebelum Indonesia merdeka, para founding fathers telah mendiskusikan bagaimana nantinya bentuk negara yang akan dijalankan di Indonesia. Pada sidang BPUPKI semua yang berkaitan dengan masa depan Indonesia dirancang pada saat itu. Pada 31 Mei 1945, founding fathers diantaranya yang menyampaikan konsep bentuk negara yaitu, Muhammad Yamin, Soepomo, dan Soekarno. Soepomo membacakan konsepnya dalam bentuk pidato yang mengenai negara integralistik.
Indonesia memiliki keanekaragaman budaya, bahasa, ras, suku, agama dan lain sebagainya memerlukan suatu sistem yang mampu mengontrol masyarakat agar terhindar dari disintegrasi. Inilah alasan Soepomo mengapa konsep integralistik ditawarkan beliau. Konsep negara integralistik yang ditawarkan Soepomo perpaduan antara unsur totaliter yang pada sifat aslinya menghimpun masyarakat secara organik, utuh dan total, sehingga tidak dikenal perbedaan apapun dan konsep beliau sesuai dengan sifat ketimuran Indonesia yang pluralis. Sedangkan unsur demokrasi yang terdapat dalam konsep beliau merupakan bagian yang mengupayakan dimana totalitarisme dalam integralistik tidak total bekerja atau kediktatoran bekerja total. Demokrasi menjadi unsur yang mengembalikan kedaulatan masyarakat dalam pemerintahan dan negara. Sehingga pada akhirnya konsep negara integralistik merupakan jawaban dari pluralisme yang dimiliki Indonesia dan konsep tersebut mampu mengatasi aspirasi masyarakat yang beragam tanpa memihak minoritas, mayoritas ataupun kelompok manapun, disamping mampu mewujudkan kesejahteraan masayarakat Indonesia secara seimbang.
(3)
ABSTRAKSI
Judul : PRIBUMI, NON-PRIBUMI DAN NEGARA
(Suatu Studi terhadap Pidato Soepomo tahun 1945 tentang Negara Integralistik)
Nama : Ronald W.S NIM : 050906073 Departemen : Ilmu Politik
Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Dalam penelitian yang dituangkan dalam skripsi ini merupakan penelitian yang mengkaji permasalahan pribumi atau non-pribumi yang timbul dalam suatu negara terutama negara Indonesia sendiri. Indonesia yang menganut pluralisme dengan keberagaman budaya, suku, agama, ras, dan lain sebagainya seringkali menjadi pemicu munculnya pertikaian, kesenjangan sosial antara mayoritas dan minoritas serta menimbulkan disintegrasi bangsa yang pada akhirnya mampu merusak persatuan negara Indonesia. Pada saat sidang BPUPKI yang membahas bentuk negara, pada tanggal 31 Mei 1945, Prof. Mr. Dr. R. Soepomo menyajikan konsepnya dalam bentuk pidato. Beliau membacakan pidatonya tentang konsep negara Integralistik. Beliau menyatakan bahwa konsep negara Integralistik dengan sifat totaliter mampu menyatukan masyarakat secara organis tanpa melihat apapun identitas dibalik setiap individu, apakah dia pribumi ataupun non-pribumi. Beliau menawarkan konsep negara integralistik setelah ia menelitinya dan menyatakan konsep tersebut sesuai dengan sifat ketimuran terutama Indonesia yang pluralis. Dalam sifat aslinya, totaliter mengikat masyarakat secara utuh dan total sehingga dengan seperti itu negara dengan mudah mencapai cita-citanya. Sedangkan unsur demokrasi yang juga terkandung didalamnya menjadi kontrol terhadap unsur totaliter sehingga tidak sepenuhnya totalitarisme seperti pada rezim Hitler berjalan pada pemerintahan Indonesia. Disamping itu dengan beragamnya latar belakang masyarakat Indonesia, unsur demokrasi yang terkandung dalam konsep negara integralistik menjadi sistem yang memastikan setiap lapisan masyarakat mendapatkan hak dan kewajibannya. Dalam unsur demokrasi juga tidak dikenal siapa pribumi atau non-pribumi dalam susunan masyarakatnya. Sehingga perpaduan unsur totalitarian dan demokrasi dalam konsep integralistik memastikan masyarakat yang pluralis dalam satu negara dapat hidup bersama tanpa menimbulkan masalah karena perbedaan yang terdapat dalam negara.
(4)
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI………. ... i
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah………. ... 1
2. Perumusan Masalah……….... ... 11
3. Pembatasan Masalah………... ... 11
4. Tujuan Penelitian………... .... 12
5. Manfaat Penelitian………... .... 12
6. Kerangka Teori... 13
6.1. Teori Tentang Negara... ... 13
6.1.1. Negara Plato dan Aristoteles... 13
6.1.2. Teori Negara Hegelian ... 15
6.2. Demokrasi... ... 17
6.3. Negara Integralistik... .. 21
7. Metodologi Penelitian... ... 24
7.1. Jenis Penelitian... 24
7.2. Teknik Pengumpulan Data... ... 25
8. Teknik Analisa Data... ... 25
9. Sistematika Penulisan... ... 25
BAB II KONSEP NEGARA INTEGRALISTIK 1. Pidato Soepomo ... 27
2. Negara Integralistik Menurut Soepomo ... 47
3. Konsep Negara ... 48
3.1. Sejarah Negara... 48
3.2. Sifat Negara ... 54
(5)
3.4. Tujuan Negara ... 57
3.5. Bentuk Negara ... 59
BAB III ANALISA DAN PEMBAHASAN 1. Negara Integralistik ... 63
2. Totalitarisme ... 66
2.1. Negara dalam Totalitarisme ... 67
2.2. Pribumi dan Non-Pribumi ... 70
3. Demokrasi ... 73
3.1. Negara dalam Sistem Demokrasi ... 74
3.2. Masyarakat Pribumi dan Non-Pribumi ... 76
3.2.1. Azas Kewarganegaraan ... 77
3.2.2. Musyawarah Mufakat ... 81
3.2.3. Negara, Individu dan Kelompok ... 82
3.2.4. Pemimpin Ideal ... 86
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan ... 88
2. Saran ... 91
DAFTAR PUSTAKA... ... 93
(6)
ABSTRAKSI
Judul : PRIBUMI, NON-PRIBUMI DAN NEGARA
(Suatu Studi terhadap Pidato Soepomo tahun 1945 tentang Negara Integralistik)
Nama : Ronald W.S NIM : 050906073 Departemen : Ilmu Politik
Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Dalam penelitian yang dituangkan dalam skripsi ini merupakan penelitian yang mengkaji permasalahan pribumi atau non-pribumi yang timbul dalam suatu negara terutama negara Indonesia sendiri. Indonesia yang menganut pluralisme dengan keberagaman budaya, suku, agama, ras, dan lain sebagainya seringkali menjadi pemicu munculnya pertikaian, kesenjangan sosial antara mayoritas dan minoritas serta menimbulkan disintegrasi bangsa yang pada akhirnya mampu merusak persatuan negara Indonesia. Pada saat sidang BPUPKI yang membahas bentuk negara, pada tanggal 31 Mei 1945, Prof. Mr. Dr. R. Soepomo menyajikan konsepnya dalam bentuk pidato. Beliau membacakan pidatonya tentang konsep negara Integralistik. Beliau menyatakan bahwa konsep negara Integralistik dengan sifat totaliter mampu menyatukan masyarakat secara organis tanpa melihat apapun identitas dibalik setiap individu, apakah dia pribumi ataupun non-pribumi. Beliau menawarkan konsep negara integralistik setelah ia menelitinya dan menyatakan konsep tersebut sesuai dengan sifat ketimuran terutama Indonesia yang pluralis. Dalam sifat aslinya, totaliter mengikat masyarakat secara utuh dan total sehingga dengan seperti itu negara dengan mudah mencapai cita-citanya. Sedangkan unsur demokrasi yang juga terkandung didalamnya menjadi kontrol terhadap unsur totaliter sehingga tidak sepenuhnya totalitarisme seperti pada rezim Hitler berjalan pada pemerintahan Indonesia. Disamping itu dengan beragamnya latar belakang masyarakat Indonesia, unsur demokrasi yang terkandung dalam konsep negara integralistik menjadi sistem yang memastikan setiap lapisan masyarakat mendapatkan hak dan kewajibannya. Dalam unsur demokrasi juga tidak dikenal siapa pribumi atau non-pribumi dalam susunan masyarakatnya. Sehingga perpaduan unsur totalitarian dan demokrasi dalam konsep integralistik memastikan masyarakat yang pluralis dalam satu negara dapat hidup bersama tanpa menimbulkan masalah karena perbedaan yang terdapat dalam negara.
(7)
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang memiliki ribuan pulau yang diperkaya juga oleh keanekaragaman kebudayaan. Keanekaragaman yang ada ditandai dengan tampaknya perbedaan suku bangsa atau etnis, budaya, bahasa, dan keyakinan agama.
Keanekaragaman yang dimiliki Indonesia menjadi satu dilemma yang cukup menantang sekaligus membanggakan. Pada satu sisi, kekayaan budaya dari berbagai etnis yang ada menjadi kemajemukan budaya yang bernilai tinggi, namun disisi lainnya pluralitas kultural tersebut memiliki potensi sebagai pemicu disintegrasi atau perpecahan bangsa.
Pluralitas kultural sering kali menjadi salah satu pemicu munculnya konflik ditengah-tengah masyarakat Indonesia. Konflik suku bangsa (etnis), agama, ras dan antar golongan (SARA) sebenarnya tidak murni karena hal tersebut dan pada dasarnya berawal dari hal-hal lain, baik karena ekonomi, ketidakadilan sosial, politik, salah paham, dan faktor lainnya.
Munculnya konflik pribumi dan non-pribumi diawali dari perbedaan antara etnis setempat dengan etnis pendatang. Hal ini dialami Indonesia sejak masuknya masa kolonial Portugis, Spanyol dan Belanda.
Konsep masyarakat majemuk pertama kali diperkenalkan oleh J.S. Furnivall (1948). Furnivall merumuskan konsep masyarakat majemuk yang
(8)
berasal dari temuan hasil penelitiannya di Indonesia. Menurutnya masyarakat Indonesia terbagi atas tiga lapisan:
1. Bangsa-bangsa Eropa menempati urutan teratas dalam stratifikasi masyarakat.
2. Bangsa-bangsa Asia (Cina, Arab, dan India) berada diurutan berikutnya.
3. Dan lapisan terbawah adalah kaum pribumi
Konsep masyarakat majemuk yang dirumuskan oleh Furnivall tersebut merujuk pada pengertian sebuah masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa adanya pembauran satu sama lain dalam kesatuan politik. Pada masa penelitian Furnivall, konsep masyarakat majemuk diteliti pada masa kolonial Belanda di Indonesia. J.S. Furnival melihat pembauran yang terjadi sangat sulit sehingga kaum pendatang dalam hal ini kolonial Belanda lebih mendominasi dan lebih berkuasa.
Dalam konsep masyarakat majemuk, J.S. Furnival melihat dari studi kasusnya di Indonesia bahwa masyarakat pribumi adalah masyarakat yang tertindas atau pada sistem stratifikasi sosial, merupakan lapisan masyarakat paling bawah. Masyarakat pribumi atau penduduk setempat asli daerah jajahan bangsa kolonial masyarakat yang menjadi lapisan terbawah pada saat itu dikarenakan masyarakat pribumi menjadi subjek dari penindasan bangsa Belanda. Mulai dari saat itu, saat pendatang memasuki daerah Indonesia, masyarakat Indonesia-lah yang disebut pribumi dan sebaliknya para pendatang disebut non-pribumi. J.S. Furnival membedakan bahwa diluar bangsa Indonesia adalah merupakan non-pribumi, yakni bangsa Eropa dan bangsa Asia yang terdapat di Indonesia seperti
(9)
etnis Tionghoa, etnis India, etnis Arab, dan etnis lainnya yang masuk ke Indonesia.
Di samping itu J.S. Furnival juga menggambarkan stratifikasi sosial ke dalam bentuk piramida sebagai berikut1
a. Lapisan atas, orang kulit putih, Belanda yang bekerja di perkebunan dan pemerintahan
:
b. Lapisan menengah, yaitu kelompok keturunan Asia atau Timur Asing, khususnya etnis Tionghoa yang menguasai perdagangan
c. Lapisan Menengah ke bawah, kaum priyayi, dan pamong praja d. Lapisan bawah, yaitu rakyat atau penduduk pribumi.
Tampak jelas stratifikasi sosial yang terjadi dimana yang dimaksud masyarakat pribumi dan masyarakat non-pribumi. Hal ini tidak jauh dengan apa yang dimaksud dengan masyarakat pribumi pada masa modern yang pada dasarnya masyarakat pribumi adalah diluar dari etnis-etnis yang ada di Indonesia atau seperti yang dikategorikan diatas.
Pada dasarnya istilah pribumi sendiri tidak diketahui lebih pasti kapan munculnya, yang pasti pada masa kolonial Belanda istilah pribumi dan non-pribumi telah akrab disebut pada masyarakat Indonesia pada masa itu. Ditinjau dari segi pengertian kamus Indonesia bahwa pribumi memiliki arti sebagai penghuni asli dari tempat keberadaan yang bersangkutan. Sedangkan non-pribumi berarti yang bukan pribumi atau penduduk asli suatu negara. Dari makna tersebut, pribumi berarti penduduk yang asli (lahir, tumbuh, dan berkembang) berasal dari tempat negara tersebut berada. Dalam hal ini terkait negara Indonesia, anak dari
1
(10)
orang tua yang lahir dan berkembang di Indonesia adalah orang pribumi, meskipun sang kakek dan nenek adalah orang asing.
Ditinjau dari sudut pandang masyarakat Indonesia, pribumi didefenisikan sebagai penduduk Indonesia dari salah satu suku asli Indonesia. Sebaliknya yang disebut non-pribumi adalah kebalikan dari makna pribumi dan cenderung diklasifikasikan berdasarkan warna kulit mereka. Contoh dari objek yang dimaksud yaitu etnis Tionghoa, Arab, India, bangsa Eropa dan lain-lain.
Penggolongan pribumi dan non-pribumi muncul sebagai akibat adanya perbedaan mendasar (diskriminasi) terutama pada perlakuan oleh penguasa rezim yang sedang berkuasa. Ini hanya terjadi jika rezim yang berkuasa adalah pemerintahan otoriter, penjajah dan kroninya ataupun nasionalisme yang sempit. Contoh, di zaman penjajahan Belanda, Belanda memperlakukan orang di Indonesia secara berbeda didasari oleh etnik/keturunan. Mereka yang berketurunan Belanda akan mendapat pelayanan kelas wahid, sedangkan golongan pengusaha/pedagang mendapat kelas kedua, sedangkan masyarakat umum (penduduk asli) diperlakukan sebagai kelas rendah (“kasta sudra”).
Masalah siapa yang pribumi dan non-pribumi selalu dipertanyakan ketika menyangkut etnis, dan ras. Hal tersebut juga menjadi pembatas untuk hak dan kewajiban yang pada akhirnya bertentangan dengan cita-cita luhur bangsa Indonesia seperti yang tersurat dalam Pembukaan UUD 1945. Sadar atau tidak sadar bahwa sebenarnya semua penduduk Indonesia sekarang ini secara antropologis merupakan non-pribumi, dalam arti bukan asli dari Indonesia. Hal ini
(11)
seperti yang dinyatakan oleh antropolog senior Universitas Airlangga Surabaya, Dr. Josef Glinka SVD, dalam seminar Man: Past, Present, and Future2
2
Benny G. Setiono, Tionghoa dalam Pusaran Politik, Jakarta; TransMedia Pustaka, 2008, hal. 17.
.
Seperti yang telah diungkap sebelumnya bahwa konflik muncul karena adanya perbedaan unsur SARA yang otomatis membuat cara pandang yang berbeda terhadap segala sesuatu. Tindakan yang timbul dari konflik tersebut pada akhirnya sampai pada tingkat tinggi, yaitu eksterminasi yang diaplikasikan seperti menghukum tanpa peradilan (lynching), pembunuhan massal yang terorganisasi (pogrom), pembunuhan besar-besaran (massacre) dan pemusnahan terhadap kelompok etnis tertentu (genocide). Di Indonesia sendiri sendiri contoh dari peristiwa bentuk eksterminasi tersebut mungkin masih dapat di ingat kembali peristiwa Sanggau Ledo, Sambas, Sampit yang dikenal dengan konflik antar etnis Dayak/Melayu dengan Madura, kemudian adanya peristiwa Ambon dan Poso yang berlatar-belakangkan masalah agama dan peristiwa Mei 1998, yakni konflik paling ekstrim di mana konflik politik yang berimbas pada sentimen etnis Tionghoa dan peristiwa tersebut hampir saja menjadi peristiwa genocide ketiga di dunia.
Hal ini merupakan perwujudan masyarakat multikultur secara sosiologis dan demografis. Setiap lapisan masyarakat membuat identitas mereka dan pada kondisi tertentu mereka akan menentukan ke dalam ingroup dan outgroup atau dalam arti luasnya menggolongkan bagi mereka siapa pribumi yang berhak atas tempat keberadaan mereka dan siapa non-pribumi sebagai pendatang. Hal ekstrim dalam suatu negara pun dapat terjadi berupa perpecahan atau disintegrasi
(12)
Pada masa Proklamasi Indonesia di mana Indonesia mulai terbentuk, pada pidato Soekarno menegaskan kembali untuk memahami kembali budaya Indonesia3
Satu negara tidak pernah terlepas dari bangsa yang membentuknya. Oleh karena itu hal pertama ketika negara akan ditujukan berjalan baik sesuai cita-cita kehidupan bangsa untuk mendapat keamanan, tentram sampai sejahtera dibutuhkan penggalangan persatuan antar warga tanpa terkecuali dalam kebangsaan yang dibangun dalam organisasi warga, yaitu negara. Menurut Soekarno negara adalah suatu organisasi kekuasaan, suatu alat perjuangan
.
“Ingat kita ini bukan dari satu adat istiadat. Ingat, kita ini bukan dari satu agama. Bhineka Tunggal Ika, berbeda tetapi satu, demikianlah tertulis di lambing Negara kita, dan tekanan kataku sekarang ini kuletakkan kepada kata bhinna, yaitu beda. Ingat kita ini bhinna, kita ini berbeda-beda…”
Pada Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, pada alinea ke-4 ditegaskan lagi, yaitu “…Persatuan Indonesia…” dapat disimpulkan bahwa apa yang disebut dengan Negara Indonesia adalah ketika adanya persatuan yang terjaga dengan baik bukan saja dalam sistem sosial masyarakat, tetapi dalam sistem negara antar masyarakat dan pemerintahan.
Adanya dikotomi pribumi dan non-pribumi yang ditujukan pada salah satu etnis atau warga negara yang berkembang di tengah masyarakat secara langsung keutuhan negara telah mulai terganggu. Apa yang disebut sebagai negara yang merupakan suatu kumpulan integral atau kesatuan masyarakat secara organis yang bersatu untuk mencapai kemakmuran bersama sudah tidak utuh lagi.
3
(13)
organisasi yang diorganisir di atas suatu wilayah, yang diatasnya ada manusia-manusianya4
Selanjutnya Roger H. Soltau menyatakan bahwa tujuan negara ialah memungkinkan rakyatnya, berkembang serta menyelenggarakan daya cipta sebebas mungkin dan menurutnya mennciptakan keadaan dimana rakyatnya dapat mencapai terkabulnya keinginan-keinginan secara maksimal
.
Negara menjadi penentu akan cara-cara dan batas-batas untuk masyarakat dalam mendapatkan kesejahteraan atau cita-cita bangsa. Masyarakat yang membentuk negara secara tidak langsung juga mematuhi dan mengikuti aturan main yang disediakan oleh negara. Dengan kata lain negara menjadi pengontrol dalam integrasi bangsa yang sedang dijalankan oleh pemerintah negara. Sehingga dengan demikian masyarakat dalam mencapai tujuannya dipimpin oleh negara.
5
. Sama halnya dengan negara Republik Indonesia yang memiliki tujuan yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, bahwa "...untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Republik Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, dengan berdasarkan kepada ke-Tuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia6
4
Agus Surata dan Tuhana Taufiq A, Runtuhnya Negara Bangsa, Yogyakarta:UPN "VETERAN" Yogyakarta Press, 2002, hal. 3.
5
Agus Surata, Ibid. hal. 35.
6
Undang-Undang Dasar RI 1945. .
(14)
Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang dibentuk melalui kesepakatan masyarakat setelah masa penjajahan. Setelah berpuluh tahun di jajah oleh bangsa asing, pada akhirnya masyarakat Indonesia pada masa itu dengan kesepakatan bersama dan memiliki tujuan dan cita-cita yang sama membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia dan membentuk sistem dan pemerintahan yang akan mambawa masa depan negara Indonesia.
Dalam konsep teori integralistik seperti yang diutarakan oleh Soepomo bahwa masyarakat dalam satu negara merupakan satu kesatuan sah yang organis dan menjadi satu dengan negara sehingga tidak menimbulkan perbedaan yang pada akhirnya menimbulkan disintegrasi bangsa atau perpecahan. Dalam hal ini masyarakat yang dimaksud adalah sesuai peraturan negara yang berlaku dalam sistem pemerintahan. Paham integralistik menurut Soepomo, bahwa dalam negara sebagai organisasi terbesar yang dibentuk oleh masyarakat awalnya, merupakan bangsa yang teratur, persatuan rakyat yang saling terkait demi kemajuan negara dan kesejahteraan masyarakat7
Bagi Soepomo sendiri pertama kali Beliau mengkonsep negara integralistik dan mengajukan konsep tersebut sebagai bentuk negara Indonesia. Dia melihat konsep yang diserap dari unsur Hegelian dengan adaptasi yang sesuai dengan negara timur seperti keadaan Indonesia yang multikultur, konsep negara intralistik sesuai dengan Indonesia. Pada awalnya sebelum negara Indonesia terbentuk, Soepomo membuat urutan yang sistematis dalam syarat sebuah negara terbentuk. Penetapan dasar sistem pemerintahan tergantung pada konsep negara yang disepakati bersama. Kemudian Soepomo melihat keadaan Indonesia seperti
.
7
(15)
apa. Berdasarkan pengembangan hasil pemikiran filsafat Hegelian, Spinoza dan Adam Muller, kemudian Soepomo menghasilkan konsep negara integralistik. Soepomo menyatakan bahwa teori integralistik masih tetap dalam hubungan negara yang tidak lain dengan negara persatuan. Secara luasnya, merupakan keseluruhan masyarakat negara, dan tidak hanya menyangkut bentuk negara kesatuan atau semangat persatuan nasional semacam yang sering dianjurkan Soekarno.
Hal ini menjadi bagian yang menarik ketika membahas integrasi bangsa terkait dengan konflik-konflik etnis yang terjadi di Indonesia baik itu melibatkan bangsa Indonesia maupun warga negara asing yang sah menjadi warga NKRI. Persatuan adalah salah satu hal yang perlu di jaga pemerintah. Persatuan yang dimaksud bukan semata persatuan pada sistem yang makro tetapi juga mikro, dimana seluruh warga bangsa secara terintegrasi.
Dengan catatan yang dibuat, bahwa ketika istilah ‘negara persatuan’ dipakai, bukan hanya antara masyarakat dengan masyarakat tetapi juga hubungan integral antara masyarakat dengan negara8
8
Marsilam Simanjuntak, Pandangan Negara Integralistik, Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1994, hal. 94-95.
. Sehingga setiap individu masyarakat dalam negara harus menjaga integritas nasionalisme dengan menjalin persatuan antar sesame selain itu negara juga berfungsi untuk mengawasi setiap peran serta masyarakat dan komponen dalam sistem negara, baik itu aparat negara dalam struktur maupun jabatan sampai ke daerah. Sehingga segala hak dan kewajiban setiap individu dapat terjamin. Di samping itu keutuhan dan kesenjangan sosial akan terjaga dengan sendirinya.
(16)
Ketertarikan penulis dalam melihat permasalahan tentang negara yang sangat kompleks terkait dengan konsep negara integralistik, seperti yang pernah dibicarakan Prof. Mr. Dr. R. Soepomo dalam pidatonya pada tanggal 31 Mei 19459
Dikotomi pribumi dan non-pribumi yang semakin dipermasalahkan ditengah masyarakat menjadi dilema bagi negara Indonesia yang multietnis. merupakan satu konsep negara yang sesuai dengan keadaan Indonesia. Maksudnya bahwa Indonesia yang multietnis, dalam arti bahwa ada banyak individu berbeda yang memiliki kepentingan atau harapan berbeda yang akan diaplikasikan dalam negara. Negara Indonesia terkait hal ini harus mampu mengintegrasikan segala aspirasi masyarakatnya disamping menjaga keutuhan organis setiap elemen. Penulis tertarik membahas permasalahan ini disebabkan bahwa dalam satu negara tidak ada perbedaan antarwarganegara. Segala hal mengenai warganegara telah diatur dalam peraturan negara, namun seiring siapa yang pribumi dan yang non-pribumi dipermasalahkan oleh masyarakat itu sendiri memunculkan dikotomi yang serius dan cenderung bisa dikatakan keamanan negara sedang terganggu oleh masyarakatnya sendiri, karena hal tersebut dapat memunculkan konflik kecil bahkan konflik yang besar antar-etnis. Mengapa hal ini dipermasalahkan ketika negara telah mengatur segalanya demi kesejahteraan bersama. Apa kemungkinan dasar sistem atau bentuk negara yang dibentuk oleh
founding fathers sedang mengalami kegagalan? Atau apakah bentuk negara
sekarang ini kurang sesuai dengan perkembangan yang dialami Indonesia dalam arti apakah bentuk negara yang ada tidak mampu mengatasi permasalahan yang ada dalam masyarakat?
9
(17)
Negara yang memegang teguh persatuan namun pribumi dan non-pribumi menjadi hal yang masih berkembang ditengah masyarakat. Hal ini menjadi bertolak belakang dengan cita-cita bangsa Indonesia. Ini menjadi salah satu penyebab bagi penulis untuk meneliti dikotomi pribumi dan non-pribumi yang terjadi di Indonesia dilihat dari sudut pandang Soepomo, lebih tepatnya berdasarkan pidato Soepomo yang dibacakan pada tanggal 31 Mei 1945.
2. Perumusan Masalah
Perumusan masalah merupakan satu bagian pertanyaan yang akan menjadi inti permasalahan yang akan diselesaikan dalam penelitian. Dalam penelitian yang dilakukan ini, yang menjadi perumusan masalahnya adalah bagaimana Soepomo melihat dikotomi pribumi, non-pribumi yang muncul ditengah masyarakat Indonesia yang multietnis terkait dengan konsep teoritis negara integralistik yang terdapat pada pidato Soepomo yang dibacakan pada tanggal 31 Mei 1945.
3. Pembatasan Masalah
Dalam sebuah penelitian tentunya harus memiliki pembatasan masalah yang diteliti, Agar ruang masalah yang diteliti tersebut tidak terlalu melebar atau bahkan keluar dari jalur inti pembahasan yang diteliti. Oleh sebab itu untuk lebih fokus terhadap penelitian yang dilakukan, penulis membatasi permasalahan pada seputar integritas bangsa Indonesia sesuai konsep teoritis negara integralistik oleh Soepomo yang disampaikannya pada pidatonya.
(18)
4. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana integritas bangsa Indonesia ketika permasalahan pribumi, nonpribumi dalam konsep negara semakin melebar yang dilihat dari sudut pandang teori Soepomo tentang negara integralistik yang terdapat dalam pidato beliau yang dibacakan pada tanggal 31 Mei 1945.
5. Manfaat Penelitian
Penelitian yang dilakukan ini berharap mempunyai nilai yang bermanfaat bagi para pembaca, terutama di kalangan akademis, masyarakat dan pemerintah. Adapun manfaat menurut penulis dari penelitian ini adalah:
1. Bagi penulis, penelitian ini dapat menambah ilmu terutama mengenai penelitian ini, mengasah daya pikir dan daya kritis, meningkatkan kreatifitas menulis karya ilmiah serta menambah wawasan dalam membaca berbagai literatur penelitian ini.
2. Bagi akademis, hal ini bermanfaat dalam memperkaya penelitian di bidang politik, khususnya pada permasalahan integritas bangsa dan negara.
3. Bagi masyarakat, dengan adanya penelitian ini dapat memberikan pemahaman yang lebih tentang tanggung jawab bersama dalam menjaga keutuhan negara dan integritas bangsa.
4. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat membuka wacana berfikir untuk lebih melihat Indonesia yang multietnis dengan beragam kepentingan mampu menjaga integritas bangsa dan
(19)
keutuhan negara tanpa melupakan setiap kepentingan masyarakat dalam mencapai cita-cita bangsa.
6. Kerangka Teori
Kerangka teori menjadi acuan dasar bagi peneliti untuk menggambarakan apa yang akan diteliti. Sebelum melakukan penelitian, maka peneliti akan menyusun suatu kerangka teori sebagai landasan berpikirnya dalam penelitiannya. Teori adalah rangkaian asumsi, konsep, konstruksi, defenisi, dan proporsi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep10. Menurut Kerlinger, teori adalah sebuah konsep atau
construct yang berhubungan satu dengan yang lainnya, suatu set dari proposisi
yang mengandung suatu pandangan yang sistematis dan fenomena11
Dua pemikir besar yang berasal dari Yunani, Plato dan Aristoteles memiliki pemikiran tentang negara bahwa negara merupakan kekuasaan yang besar. Setiap individu akan bertindak liar diluar jangkauan bila negara itu tidak . Penggunaan teori penting kiranya dalam menalaah atau suatu masalah atau fenomena yang terjadi sehingga fenomena tersebut dapat diterangkan secara eksplisit dan sistematis. Kerangka teori yang dipakai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
6.1. Teori Tentang Negara 6.1.1. Negara Plato dan Aristoteles
10
Masri Simangarimbun dan Sofyan Efendy, Metode Penelitian Sosial Surveri, Jakarta: Rajawali Pers, 1999, hal. 112.
11
(20)
ada. Dengan kata lain negara merupakan satu aturan yang mengikat dan disepakati oleh masyarakat yang ada didalamnya.
Plato berpendapat bahwa setiap individu mempunyai kecenderungan untuk bertindak keras terutama dalam memenuhi kepentingan pribadinya. Hal ini menjadi ancaman tersendiri bagi masyarakat dan negara bertindak sebagai pengontrol. Bagi Plato dan Aristoteles, kekuasaan negara atas individu ini perlu untuk menegakkan moral12
Negara merupakan satu komponen dalam sistem pemerintahan yang terbesar. Pada dasarnya komponen negara dibentuk dari bagian-bagian yang kecil dan hal ini berawal dari aplikasinya yang terkecil, yaitu desa. Manusia disebut . Negara dalam hal ini harus mendidik masyarakat sehingga kekacauan dalam negara dapat terkendali. Disamping itu negara timbul akibat adanya rasa timbal balik yang terjadi dan rasa saling membutuhkan antara sesama, dan negara menjamin semua ini agar terjadi dan kebutuhan masyarkat dapat terjamin dengan baik.
Satu hal bagi Plato bahwa negara ideal itu merupakan negara yang melarang pemilikan harta kekayaan, uang, istri, anak dan lain sebagainya secara berlebihan. Plato melihat ketidakseimbangan dalam pemilikan tersebut.hal ini dapat menimbulkan kecemburuan sosial yang tinggi yang pada akhirnya memunculkan persaingan yang tidak sehat. Negara berperan dalam hal ini untuk menjaga keseimbangan kesejahteraan disetiap lapisan masyarakat. Plato menegaskan pada masa itu bahwa negara ideal yang dimaksudkan tersebut hanya berlaku kepada para penguasa negara dan mereka di kelas menengah keatas, namun tidak berlaku bagi mereka kelas bawah.
12
Arief Budiman, Teori Negara: Negara, Kekuasaan, dan Ideologi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996, hal. 8-9.
(21)
Aristoteles merupakan zoon politicon, dimana dimaksudkan sebagai mahluk yang berpolitik juga dan manusia menjadi penentu dari watak politik dari satu unit yang sedang berlangsung. Negara terbentuk karena ketergantungan antar manusia yang saling membutuhkan satu sama lain.
Aristoteles sendiri menyatakan bahwa negara merupakan suatu lembaga yang paling berdaulat. Sehingga pada akhirnya negara memiliki kekuasaan tertinggi yang bertujuan dalam mensejahterakan seluruh warga negara, bukan antar individu saja13
Hegel, sebagai seorang filsuf dari Jerman memiliki analisis yang berbeda tentang pandangan terhadap negara. Dia mengembangkan filsafatnya tentang dialektika dari yang ideal dan yang real. Teori ini kemudian dihidupkan lagi di jaman modern melalui Teori Negara Organis
.
6.1.2. Teori Negara Hegelian
14
. Pemikiran Hegel lebih cenderung menempatkan posisinya pada perkembangan sejarah umat manusia. Dalam sejarah umat manusia merupakan proses sebuah ide yang universal yang sedang merealisasikan dirinya mengikuti perkembangan15
13
. Hal ini dikarenakan manusia merupakan mahluk yang tidak sempurna, terkait dengan ide yang natural yang berupaya merealisasikan diri demi menciptakan perkembangan manusia yang sempurna. Kemudian, Hegel mengembangkan pemikirannya bahwa negara merupakan penjelmaan dari ide yang universal yang dimaksudnya. Sedangkan individu merupakan penjelmaan dari yang pertikular, dalam bentuk kepentingan
14
Arief Budiman , Teori Negara, Negara, Kekuasaan, dan Ideologi, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1996, hal. 7.
15
(22)
yang sempit. Negara sebagai bagian kumpulan masyarakat yang modern membantu ide masyarakat secara umum dalam menciptakan kesejahteraan dari manusia yang sempurna. Pada akhirnya Hegel berpendapat bahwa keinginan negara merupakan keinginan umum untuk kebaikan semua orang, karena itulah negara harus dipatuhi16
Pemikiran Hegel mengalami perkembangan dan mendukung berdirinya negara kuat, diteruskan oleh teori Negara Organis di jaman modern. Maksud dari konsep Negara Organis yang juga merupakan bagian dari konsep Negara Integalistik Soepomo bahwa negara merupakan sebuah lembaga yang memiliki kemauan sendiri untuk mandiri
.
17
. Dalam hal ini keinginan yang akan diwujudkan negara bukan kepentingan pribadi ataupun kelompok melainkan berdasarkan misi negara itu sendiri dalam mewujudkan masyarakat yang lebih baik, dan menegakkan moralitas baru di dalam masyarakat18
Pada dasarnya negara bisa saja bertentangan negara dan bahkan sering terjadi karena adanya perbedaan kepentingan yang diharapkan terealisasi melalui kebijakan yang dibuat. Dalam pandangan Hegelian antara masyarakat dan negara, maka kepentingan negara-lah yang harus dimenangkan karena negara
.
Alfred Stepen salah seorang tokoh yang membahas teori Negara Organis: Konsep kebaikan umum, denga keharusan moral yang dibebankan kepada negara untuk menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat, membuka kesempatan bagi negara untuk merumuskan dan mengambil prakarsa sendiri untuk memaksakan perubahan-perubahan besar kepada sebuah masyarakat yang sudah mapan, supaya dapat diciptakan sebuah masyarakat baru yang lebih baik.
16
Arief Budiman, Ibid., hal. 16.
17
Arief Budiman, Ibid., hal. 17.
18
Muhammad Budairi, Masyarakat Sipil dan Demokrasi, Yogyakarta: E-law Indonesia, 2002, hal. 130.
(23)
mendasarkan kebijakannya bagi kepentingan publik, sedangkan masyarakat sipil terpecah-terpecah dan hanya memperjuangkan kepentingan pribadi dan golongannya saja19
Disamping semua hak, kebebasan, dan kesempatan yang amat diperlukan supaya pemerintahan berjalan demokratis, warga negara di negara demokrasi pasti menikmati banyak kebebasan yang lebih bagus
.
6.2. Demokrasi
Robert A. Dahl melontarkan pertanyaan mengenai mengapa harus demokrasi yang dipilih dalam suatu sietem pemerintahan diterapkan. Robert A. Dahl menyatakan bahwa demokrasi mampu menghindari adanya tirani, jaminan akan hak asasi, kebebasan umum yang terjamin juga, kemampuan bagi tiap individu untuk menetukan nasib sendiri dan adanya persamaan politik. Demokrasi bukan hanya masalah sebuah pemerintahan. Hak menjadi bagian utama ketika berbicara demokrasi.
20
Dalam sebuah negara yang memiliki masyarakat pluralistik dalam negara demokrasi merupakan satu tantangan yang cukup besar dan kuat. Namun, dalam negara-negara besar yang memiliki bentuk lain: distriki, negara bagian, propinsi, wilayah, dan lain-lain. Sekecil apapun sebuah negara dalam skala dunia, negara . Di samping itu demokrasi melindungi kesempatan dan kebebasan ini lebih baik daripada semua sistem politik alternative yang pernah terjadi. Jhon Stuart Mill menyatakan juga bahwa tidak ada yang lebih diinginkan daripada pengakuan dari semuanya untuk berbagi kekuasaan dalam memerintah negara.
19
Arief Budiman, Op. Cit., hal. 59-60.
20
Robert A. Dahl, Perihal Demokrasi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999, hal. 70-71.
(24)
akan membutuhkan sederetan asosiasi dan organisasi yang bebas, yaitu masyarakat sipil yang pluralistik21
Untuk memerintah suatu negara dengan baik membutuhkan lebih dari sekedar ilmu pengetahuan
.
Robert A. Dahl melihat demokrasi bukan berbicara sekedar pemerintahan yang oleh masyarakat, dari masyarakat dan untuk masyarakat. Kedaulatan pemerintahan memang terlihat pada masyarakat. Masyarakat merupakan salah satu bagian dari sistem demokrasi oleh sebab itu segala sesuatu yang berhubungan dengan masyarakat dioptimalkan berjalan dengan baik dan memiliki keseimbangan yang baik. Kecenderungan terganggunya hak dari masyarakat sudah tentu akan mengganggu implementasi demokrasi yang sedang dijalankan. Oleh sebab itu Robert A. Dahl lebih menekankan pada hak, persamaan dan segala hal yang menitikberatkan pada kepentingan pribadi yang dasar. Dalam hal ini bukan terlalu fokus pada kepentingan pribadi namun hal tersebut menjadi hal yang dilihat dalam negara demokrasi. Dimana demokrasi melihat masyarakat lebih subjektif sebagai pemeran utamanya.
22
21
Ibid., hal. 163-164.
22
Robert A. Dahl, Ibid., hal. 100
. Maksud dari Dahl bahwa suatu negara demokrasi tidak membtuhkan ilmu yang begitu tinggi untuk menerapkan demokrasi. Sama halnya pada masa awal yang disebut negara muncul dan dikolaborasi dengan demokrasi, ilmu tidak mendominasi namun suatu perasaan peka terhadap isu yang berkembang dalam masyarakat. Paling utamanya bahwa satu pemimpin harus mampu melihat tujuan awal dari demokrasi dan mampu melaksanakan pemerintahan dengan baik dalam mencapai tujuan yang telah disepakati bersama
(25)
dahulunya. Pada dasarnya ilmu yang berlebihan menjadi bumerang sendiri melalui adanya penyalahgunaan kekuasaan.
Hal ini berbeda dengan pemikiran David Held dalam memandang konsep demokrasi. Jika Robert A. Dahl melihat hak sebagai unsur dasar dalam demokrasi yang dikonsepnya, sementara David Held melihat keseimbangan dalam sistem pemerintahan. Maksudnya tersebut dituangkanya dalam 6 (enam) prinsip yang harus ada dalam sebuah negara yang mengaku demokrasi23
1. Para pejabat yang dipilih. Pemegang atau kendali terhadap segala keputusan pemerintahan mengenai kebijakan secara konstitusional berada di tangan para pejabat yang dipilih oleh warga negara. Jadi, pemerintahan demokrasi modern ini merupakan demokrasi perwakilan;
, yaitu sebagai berikut:
2. Pemilihan umum yang jujur, adil, bebas, dan periodik. Para pejabat ini dipilih melalui Pemilu;
3. Kebebasan berpendapat. Warga negara berhak menyatakan pendapat mereka sendiri tanpa halangan dan ancaman dari penguasa;
4. Akses informasi-informasi alternatif. Warga negara berhak mencari sumber-sumber informasi alternatif;
5. Otonomi asosiasional, yakni warga negara berhak membentuk perkumpulan-perkumpulan atau organisasi-organisasi yang relatif bebas, termasuk partai politik dan kelompok kepentingan;
6. Hak kewarganegaraan yang inklusif
23
Deddy Ismatullah dan Asep A. Sahid Gatara, Ilmu Negara dalam Multi Perspektif, Kekuasaan, Masyarakat, Hukum, dan Agama, Penerbit CV. Pustaka Setia, Bandung, 2007, hlm.119-120.
(26)
Pada dasarnya bila diteliti lebih dalam lagi, ke-6 prinsip dasar yang harus ada pada negara demokrasi seperti yang diutarakan oleh David Held tersebut tercantum dalam konstitusi tertinggi oleh negara Amerika Serikat. Sama halnya seperti di negara Indonesia sendiri. Indonesia memiliki aturan tertinggi yang terdapat pada Undang-undang dank ke-6 dari prinsip David Held telah membaur didalamnya.
Demokrasi yang diagungkan oleh David Held tidak jauh berbeda halnya dengan Robert A. dahl. Patokan mereka dalam menggerakkan demokrasi berawal dari warga negara yang menjadi bagian dasar atau komponen utama dari negara. Jika Robert A. Dahl menekankan pada warga melalui hak individunya, maka David Held menjurus kepada hal-hal yang mendukung pada kepentingan asasi warga negara. Hal ini berbeda halnya dengan konsep demokrasi ala Jean Jacques Rousseau yang mengkonsepkan The Social Contract. Rousseau berasumsi bahwa walaupun manusia bahagia dalam sebuah komunitas mereka, mereka akan menggunakan sebuah kontrak social dalam menghadapi rintangan hidup mereka. Rousseau menyatakan bahwa manusia memiliki suatu hak yang absolut. Sama halnya seperti Robert dan David yang terpusat pada hak. Rousseau menyatakan bahwa ketika kebebasan satu individu terhalang dan seperti berada pada sebuah tekanan secara tidak langsung maka hal tersebut tidak akan membedakan manusia dengan hewan.
Hal yang dimaksud Rousseau tidak termasuk pada saat warga harus mematuhi undang-undang. Undang-undang merupakan bagian dari satu kedaulatan yang dibuat oleh warga negara sendiri. Pada dasarnya undang-undang tersebut hasil kesepakatan bersama warga sehingga tidak adanya unsur tekanan
(27)
pada hak individu dan kelompok. Rousseau adalah pemikir politik teoritikus demokrasi modern yang pertama. Rousseau percaya bahwa demokrasi langsung tidak dapat direalisasikan secara langsung. Ia tidak percaya pada partai golongan kelompok penekan. Rousseau hanya melihat pada kesepakatan yang dihasilkan bersama dengan warga yang disetujui dengan suara bulat. Rousseau menghendaki kekuasaan rakyat dan kesetaraan semua warga. Hal ini terealisasi dari kontrak sosial yang dimaksudkannya dalam konsepnya sendiri.
Rousseau melihat kontrak sosial sebagai bagian dari demokrasi yang berjalan dengan baik. adanya jaminan akan suatu kebebasan yang terjamin bagi setiap individu. Kontrak sosial mempercayakan keterwakilan pemerintahan pada individu tertentu yang mampu mewakili rakyat atau warga negara dalam memerintah negara. Sehingga secara tidak langsung kedaulatan rakyat berjalan melalui kontrak sosial sebagai jaminan dalam negara demokrasi. Selain itu dalam konsep kontrak sosial negara merupakan kehendak umum. Maksudnya di sini bahwa kepentingan bersama menjadi bagian utama. Sama halnya seperti ketika kontrak sosial disepakati warga negara, segala keputusan di ambil berdasarkan kepentingan umum dan menghindari adanya kepentingan pribadi.
6.2. Negara Integralistik
Sebagai bangsa yang multietnis dengan berbagai kebudayaan yang dimiliki, kecenderungan adanya konflik antaretnis dapat menghancurkan cita-cita integritas nasional yang dicita-citakan oleh Indonesia sejak dari awal. Maurice Duverger menyatakan bahwa konflik dan integrasi bukan seharusnya dua kontradiktif di dalam politik, tetapi saling melengkapi satu sama lain. Fungsi
(28)
negara dan pemerintah dalam menjaga integritas nasional merupakan satu hal yang harus dijalankan oleh pemerintah. Hal ini dapat ditandai dengan jaminan bagi setiap warga negara baik mayoritas maupun minoritas. Disamping itu berdasarkan Undang-Undang RI setiap warga negara telah memberi jaminan namun tidak harus lepas tangan. Misalnya kepada etnis Tionghoa yang merupakan salah satu etnis yang dimiliki Indonesia cenderung masih ragu dalam melaksanakan hak politik mereka. Rendahnya tingkat partisipasi aktif politik mereka disetiap wilayah menjadi bukti. Disamping itu setiap pengurusan bidang administrasi masih ada pemisahan yang dilakukan oleh birokrasi, dalam hal partisiapasi politik masih adanya streotip pribumi dan non-pribumi yang selalu mengenai etnis Tionghoa. Dalam hal ini pemerintah perlu mengkaji kembali cita-cita integrasi nasional yang terdahulu. Masalah seperti ini dapat menjadi pemicu terciptanya disintegrasi nasional.
Salah karakteristik sebagai sifat dasar dari suatu masyarakat majemuk sebagaimana yang dikemukakan oleh van den Berghe yaitu adanya dominasi politik oleh suatu kelompok oleh kelompok-kelompok lainnya24
24
Jacobus Ranjabar, Sistem Sosial Budaya Indonesia, Ghalia Indonesia: 2006, hal. 186. . Etnis Tionghoa sebagai satu etnis yang minoritas dan etnis lainnya memberikan tekanan tersendiri yang pada akhirnya melumpuhkan sistem demokrasi dalam integrasi nasional. Seperti yang diajarkan oleh Spinoza, Adam Muhler, Hegel pada abad ke -18 dan 19 bahwa yang berpaham negara bukanlah untuk kepentingan individu melainkan menjamin kepentingan masyarakat bersama dalam kesatuan yang disebut negara. Negara dalam pandangan mereka adalah susunan dari berbagai golongan
(29)
masyarakat yang integral yang berbeda dan saling keterkaitan secara erat dan merupakan persatuan masyarakat yang organis25
25
Moh. Mahfud, Op. Cit., hal. 38.
.
Pandangan Soepomo terhadap integritas nasional Indonesia terkonsep dalam pandangan konsep integralistiknya. Konsep negara integralistik muncul mengatasi segala paham golongan, mengatasi segala paham perseorangan, dan menghendaki persatuan. Dalam teks pidato Prof. Mr. Dr. R. Soepomo tanggal 31 Mei 1945, konsep negara integralistik dikumandangkan pertama kali sebagai suatu jenis konsep negara dan hal ini menurutnya sesuai dengan pola masyarakat ketimuran terutama masyarakat Indonesia.
Dalam pidato Soepomo secara tersirat bahwa negara tidak terlalu mencampuri semua urusan masyarakat tetapi tetap berperan dalam kehidupan masyarakat. Dalam hal ini negara tetap harus berupaya menjaga persatuan seperti konsep Hegel yang dianutnya dalam teori negara organis. Sama halnya dalam teori negara organis, konsep negara integralistik menjaga kesatuan dari setiap komponen di dalam negara tersebut. Seperti halnya pada satu tumbuhan organis yang didalamnya terdapat berjuta-juta sel demi mendukung pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan tersebut, maka setiap sel harus membentuk sistem yang saling mendukung dan tumbuhan tersebut harus mampu merangkum seluruh sel tersebut. Demikian halnya yang dilihat Hegel yang kemudian dikembangkan oleh Soepomo. Indonesia dengan berbagai komponen masyarakat yang berbeda harus mampu merangkum semua dalam satu sistem pemerintahan yang utuh demi tercapainya cita-cita bangsa.
(30)
Pada dasarnya konsep negara integralistik yang sedikit banyaknya menyerap pemikiran dari pemikir Hegel. Namun dalam hal ini Soepomo mengadaptasikan konsepnya ke dalam sistem yang dianut Indonesia. Hal ini dapat dilihat ketika memilih penguasa negara dilakukan dengan cara pemungutan suara secara dengan demokratis. Artinya bahwa masyarakat memiliki ruang publik yang bebas dalam menentukan aspirasi mereka. Masih terkait permasalahan ini, konsep negara integrelistik tidak harus sepenuhnya diserap dan perlu adanya penyesuaian dengan konsep demokrasi yang juga berjalan agar dapat terhindar dari adanya otoriter atau totaliternya penguasa negara. Bila ditinjau lebih dalam konsep negara integralistik merupakan rancangan yang tidak menyalahi. Seperti konsep dari pemikir Hegel, John Locke dan Montesquieu bila disesuaikan dengan aspirasi masyarakat maka semuanya itu dapat berjalan seimbang dengan bentuk negara yang demokrasi tanpa menghilangkan peran, hak dan kewajiban setiap komponen negara.
7. Metodologi Penelitian 7.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah merupakan penelitian kualitatif, penekanan pada deskriptif dan analisis. Metode ini dapat digunakan untuk mengunkap dan memahami sesuatu dibalik fenomena yang sedikit pun mungkin belum diketahui. Metode ini member rincian yang kompleks tentang fenomena yang sulit diungkap oleh metode kuantitatif. Disamping itu, metode ini dapat dipergunakan untuk menyelidiki lebih dalam konsep-konsep atau ide-ide26
26
Ansem Strauss dan Juliet Corbin, Dasar-dasar Penelitian Kualitatif, Tata Langkah dan Teknik-teknik Teorisasi Data, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, hal. 5.
(31)
7.2. Teknik Pengumpulan Data
Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah Deskriptif, yaitu analisis masalah dengan pengumpulan data melalui Studi Pustaka (library research) dengan teknik pengumpulan bahan kepustakaan buku-buku, artikel, media massa cetak maupun media massa elektronik serta data-data tertulis yang berkaitan dengan masalah penelitian.
8. Teknik Analisa Data
Metode kualitatif merupakan metode yang digunakan penulis dalam menganalisis yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini. Data-data yang diperoleh dalam penelitian ini kemudian disusun sehingga memberikan keterangan terhadap masalah-masalah yang aktual dan berdasarkan data yang sudah terkumpul. Dalam penelitian kualitatif ini penulis tidak mencari kebenaran dan moralitas tetapi lebih kepada upaya pemahaman.
9. Sistematika Penulisan BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini merupakan pemaparan Latar Belakang, Perumusan Masalah, Pembatasan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Kerangka Teori, Metodologi Penelitian, Teknik Analisa Data, dan Sistematika Penulisan.
(32)
BAB II : KONSEP NEGARA INTEGRALISTIK
Bab ini membahas mengenai suatu konsep negara integralistik sesuai konsep yang diutarakan oleh Soepomo dalam pidatonya yang juga sesuai dengan situasi negara Indonesia.
BAB III : ANALISA DAN PEMBAHASAN
Bab ini membahas tentang analisa yang dilakukan terhadap permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini.
BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini berisikan tentang kesimpulan dan saran atas penelitian studi pustaka yang dilakukan.
(33)
BAB II
KONSEP NEGARA INTEGRALISTIK
1. PIDATO SOEPOMO
Berikut adalah isi pidato Soepomo yang dibacakan pada tanggal 31 Mei 1945 berdasarkan yang tertulis pada notulen rapat sidang BPUPKI27
Soal yang kita bicarakan ialah bagaimanakah akan dasar-dasarnya Negara Indonesia Merdeka. Tadi oleh beberapa pembicara telah dikemukakan beberapa faktor dari beberapa Negara, syarat-syarat mutlak (faktor-konstitutif) dari suatu
.
Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia Sidang Pertama
Rapat Besar tanggal 31 Mei 1945
Waktu :
Tempat : Gedung Tyuuoo Sangi-In (sekarang Departemen Luar Negeri) Acara : - Pembicaraan tentang Dasar Negara Indonesia (lanjutan)
- Pembicaraan tentang Daerah Negara dan Kebangsaan Indonesia. Ketua : Dr K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat
Anggota, Soepomo:
Paduka Tuan Ketua, hadirin yang terhormat!
27
___________, Lahirnya PANCASILA Kumpulan Pidato BPUPKI, Yogyakarta:Media Pressindo, 2006, hal. 56-80.
(34)
Negara. Syarat-syarat mutlak untuk mengadakan Negara dipandang dari sudut hukum dan dari sudut formeel, (jurisprudence), yaitu harus ada daerah (territory), rakyat, dan harus ada perintah yang daulat (souverein) menurut hukum internasional. Akan tetapi, syarat-syarat mutlak ini tidak mengenai dasar kemerdekaan dari Negara dalam arti sosiologi dan arti politik. Juga suatu syarat mutlak yang telah dibicarakan dalam sidang ini ialah tentang pembelaan tanah air. Maka pembelaan tanah air sangat penting adanya dan tentang ini saya setuju dengan nasihat-nasihat dan anjuran-anjuran dari pihak Pemerintah Bala tentara, yaitu dari Paduka Tuan Soomubutyoo yang telah dimuat dalam surat kabar Asia
Raya dan setuju juga dengan pandangan yang baru tadi diuraikan oleh anggota
yang terhormat Tuan Abdulkadir.
Tentang syarat mutlak lain-lainnya. Pertama tentang daerah, saya mufakat
dengan pendapat yang mengatakan, “Pada dasarnya Indonesia, yang harus meliputi batas Hindia-Belanda”. Akan tetapi jikalau, misalnya daerah Indonesia lain, umpamanya negeri Malaka, Borneo Utara hendak ingin juga masuk lingkungan Indonesia, hal itu kami tidak keberatan. Sudah tentu itu bukan kita saja yang akan menentukan, akan tetapi juga pihak saudara-saudara yang ada di Malaka dan Borneo Utara.
Tentang syarat mutlak kedua, hal rakyat sebagai warga Negara. Pada
dasarnya ialah sebagai warga Negara yang mempunyai kebangsaan Indonesia, dengan sendirinya bangsa Indonesia asli. Bangsa peranakan, Tionghoa, India, Arab yang telah berturun-temurun tinggal di Indonesia dan baru saja diuraikan oleh anggota yang terhormat Dahler, mempunyai kehendak yang sungguh-sungguh untuk turut bersatu dengan bangsa Indonesia yang asli; harus diterima
(35)
sebagai warga-negara dengan diberi kebangsaan Indonesia (nasionaliteit
Indonesia).
Yang penting juga kita harus menjaga supaya tidak ada ”dubbele
onderdaanscap” dan menjaga jangan ada “staatloosheid”. Hal yang sebagian
tergantung juga dari sistem undang-undang dari Negara lain-lain. Sebagai pokok dasar kewarganegaraan Indonesia ialah ius sanguinis (prinsip keturunan) dan ius
soli (prinsip teritorial).
Syarat mutlak yang ketiga, ialah pemerintah daulat menurut hukum
internasional.
Jikalau kita hendak membicarakan tentang dasar system pemerintahan yang hendak kita pakai untuk Negara Indonesia, maka dasar sistem pemerintahan yang hendak kita pakai untuk Negara Indonesia, maka dasar sistem pemerintahan itu bergantung kepada staatsidee, kepada “begrip” (pengertian – red.) “staat” (Negara) yang hendak kita pakai untuk pembangunan negara Indonesia akan didirikan? Oleh anggota terhormat Moh. Hatta dan lain-lain pembicara dikemukakan tiga soal ialah:
Pertama, apakah Indonesia akan berdiri sebagai persatuan Negara (eenheidsstaat) atau Negara serikat (bondstaat) atau sebagai persekutuan Negara (statenbond).
Kedua, dipersoalkan hubungan antara Negara dan agama,
Ketiga, apakah republik atau monarki. Menurut pendapat saya, hadirin
yang terhormat, sebelum kita membicarakan soal persatuan negara, atau negara serikat, Republik atau Monarkhi terlebih dahulu kita harus membeicarakan soal
(36)
yang disebut negara itu, negara menurut dasar pengertian pengertian apa, oleh karena segala pembentukan susunan negara itu tergantung daripada dasar pengertian negara (staatsidee) tadi.
Tentang persatuan negara atau negara serikat atau tentang republik atau monarki, itu sebetulnya menurut pendapat saya, soal bentuk susunan negara. Maka saya sekarang hendak membicarakan dasarnya negara Indonesia Merdeka. “Negara” menurut dasar pengertian (staatsidee) apa?
Sebagaimana Tuan-tuan telah mengetahui, dalam ilmu negara kita, mendapati beberapa teori, beberapa aliran pikiran tentang negara. Marilah dengan singkat kita meninjau teori-teori negara itu.
1. Ada suatu aliran pikiran yang menyatakan bahwa negara itu terdiri atas dasar teori perseorangan, teori individualistis. Sebagaimana diajarkan oleh Thomas Hobbes dan John Locke (abad ke-17), Jean Jacques Rousseau (abad ke-18), Herbert Spencer (abad ke-19), H.J. Laski (abad ke 20). Menurut aliran pikiran ini, negara ialah masyarakat hukum (legal society) yang disusun atas kontrak antara seluruh seseorang dalam masyarakat itu (contract social). Susunan hukum negara yang berdasar individualism terdapat di negeri Eropa Barat dan di Amerika.
2. Aliran pikiran lain tentang negara ialah teori “golongan” dari negara (class theory) sebagai diajarkan oleh Marx, Engels, dan Lenin. Negara dianggap sebagai suatu alat dari suatu golongan (suatu klasse) untuk menindas klasse lain. Negara ialah alatnya golongan yang mempunyai kedudukan ekonomi yang paling kuat untuk menindas
(37)
golongan-golongan lain yang mempunyai kedudukan yang lembek. Negara kapitalis ialah perkakas bourgeoisi untuk menindas kaum buruh, oleh karena itu para Marxis menganjurkan revolusi politik dari kaum buruh untuk merebut kekuasaan negara agar kaum buruh dapat ganti menindas kaum bourgeoisi.
3. Aliran pikiran lain dari pengertian negara ialah teori yang dapat dinamakan teori integralistik yang diajarkan oleh Spinoza, Adam Muller, Hegel, dan lain-lain (abad ke-18 dan abad ke-19). Menurut pikiran ini negara ialah tidak untuk menjamin kepentingan seseorang atau golongan, akan tetapi menjamin kepentingan masyarakat seluruhnya sebagai persatuan.
Negara ialah suatu susunan masyarakat yang integral, segala golongan, segala bagian, segala anggotanya berhubungan erat satu sama lain dan merupakan persatuan masyarakat yang organis. Yang terpenting dalam negara yang berdasar aliran pikiran integral ialah penghidupan bangsa seluruhnya. Negara tidak memihak kepada suatu golongan yang paling kuat, atau yang paling besar, tidak menganggap kepentingan seseorang sebagai pusat, akan tetapi negara menjamin keselamatan hidup bangsa seluruhnya sebagai persatuan yang tak dapat dipisah-pisahkan. Sekarang Tuan-tuan akan membangunkan negara Indonesia atas aliran pikiran mana?
(38)
Kami hendak mengingatkan lagi nasihat P.T. Soomubutyoo bahwa pembangunan negara bersifat barang yang bernyawa. Oleh karena itu, corak dan bentuknya harus disesuaikan dengan keadaan umum pada masa sekarang dan harus mempunyai keistimewaan yang sesuai dengan keadaan umum tadi. Kecuali itu P.T. Soomubutyoo juga member nasihat janganlah kita meniru belaka susunan negara lain. Contoh-contoh negara lain hendaknya menjadi peringatan saja, supaya bangsa Indonesia jangan sampai mengulang kegagalan yang telah dialami oleh bangsa lain, atau paling banyak hanya mengambil contoh-contoh yang sungguh patut dipandang sebagai teladan.
Sungguh benar, dasar dan bentuk susunan dari suatu negara itu berhubungan erat dengan riwayat hukum (rechtsgeschichte) dan lembaga social (sociale structuur) dari negara itu. Berhubung dengan itu apa yang baik dan adil untuk negara lain, oleh karena keadaan tidak sama.
Tiap-tiap negara mempunyai keistimewaan sendiri-sendiri berhubung dengan riwayat dan corak masyarakatnya. Oleh karena itu, politik pembangunan negara Indonesia harus disesuaikan dengan “sociale structuur” masyarakat Indonesia, yang nyata pada masa sekarang, serta harus disesuaikan dengan panggilan zaman, misalnya cita-cita negara Indonesia dalam lingkungan Asia Timur Raya.
Dengan mengingat ini, marilah kita melihat contoh-contoh dari negara lain. Dasar susunan hukum negara Eropa Barat ialah perseorangan dan liberalisme. Sifat perseorangan ini, yang mengenai segala lapangan hidup (sistem undang-undang ekonomi, kesenian, dan lain-lain), memisah-misahkan manusia sebagai seseorang dari masyarakatnya, mengasingkan diri dari segala pergaulan
(39)
yang lain. Seorang manusia dan negara yang dianggap sebagai seseorang pula, selalu segala-galanya itu menimbulkan imperialisme dan sistem memeras (uitbuitings systeem) membikin kacau-balaunya dunia lahir dan batin.
Tuan-tuan telah mengerti sendiri bahwa sifat demikian harus kita jauhkan dari pembangunan negara Indonesia, bahkan Eropa sendiri pada waktu sekarang mengalami krisis rohani yang maha hebat berhubung dengan jiwa rakyat Eropa telah jemu kepada keangkaramurkaan, sebagai akibat semangat perseorangan tersebut.
Dasar susunan negara Soviet Rusia pada masa sekarang ialah dictator dari
proletariat. Boleh jadi dasar itu sesuai dengan keistimewaan keadaan social dari
negeri Rusia, akan tetapi dasar pengertian negara itu bertentangan dengan sifat masyarakat Indonesia yang asli.
Lain negara ialah negara Jerman nasional sosialis sebelum menyerah dalam peperangan sekarang. Negara itu berdasar atas aliran pikiran negara totaliter, das Ganze der politischen Einheit des Volkes (integrate theory). Prinsip “pimpinan” (fuhrung) sebagai kernbegriff (ein totaler fuhrerstaat) dan sebagai prinsip yang dipakainya juga ialah persamaan darah dan persamaan daerah (blut
and boden theorie) antara pimpinan dan rakyat.
Tuan-tuan yang terhormat, dari aliran pikiran nasional sosialis ialah prinsip persatuan antara pimpinan dan rakyat dan prinsip persatuan dalam
negara seluruhnya cocok dengan aliran pikiran ketimuran.
Kita sekarang meninjau negara Asia ialah dasar negara Dai Nippon. Negara Dai Nippon berdasar atas persatuan lahir dan batin yang kekal antara
(40)
Yang Maha Mulia Tennoo Heika, negara, dan rakyat Nippon seluruhnya. Tennoo adalah pusat rohani dan seluruh rakyat. Negara bersandar atas kekeluargaan. Keluarga Tennoo yang dinamakan “Konshitu” ialah keluarga yang terutama.
Dasar persatuan dan kekeluargaan ini sangat sesuai pula dengan corak masyarakat Indonesia.
Setelah kita meninjau dengan ringkas contoh-contoh dari sifat negeri-negeri lain, maka tadi dengan sepatah dau patah kata kami mengatakan apa yang tidak sesuai dan apa yang sesuai dengan lembaga social (struktur sosial) dari masyarakat Indonesia yang asli. Sebagai Tuan-tuan telah mengetahui juga, struktur sosial Indonesia yang asli tidak lain ialah ciptaan kebudayaan Indonesia, ialah buat aliran pikiran atau semangat kebatinan bangsa Indonesia.
Maka semangat kebatinan, struktur kerohanian dari bangsa Indonesia bersifat dan bercita-cita persatuan hidup, persatuan kawulo dan gusti, yaitu persatuan antara dunia luar dan dunia batin, antara mikrokosmos dan makrokosmos, antara rakyat dan pemimpin-pemimpinnya. Segala manusia sebagai seseorang, golongan manusia manusia dalam suatu masyarakat, dan golongan-golongan lain dari masyarakat itu, dan tiap-tiap masyarakat dalam pergaulan hidup di dunia seluruhnya dianggap mempunyai tempat dan kewajiban hidup (darma) sendiri-sendiri menurut kodrat alam dan segala-galanya ditujukan kepada keimbangan lahir dan batin. Manusia sebagai seseorang tidak terpisah dari seseorang lain atau dari dunia luar, golongan-golongan manusia. Malah segala golongan makhluk, segala sesuatu bercampur-baur dan bersangkut-paut, segala sesuatu berpengaruh-pengaruhi, dan kehidupan mereka bersangkut paut.
(41)
Inilah ide totaliter, ide integralistik dari bangsa Indonesia yang berwujud juga dalam susunan tata negaranya yang asli.
Menurut sifat tata negara Indonesia yang asli, yang sampai zaman sekarang pun masih dapat terlihat dalam suasana desa baik di Jawa, maupun di Sumatera dan kepulauan-kepulauan Indonesia lain, maka para pejabat negara ialah pemimpin yang bersatu-jiwa dengan rakyat dan para pejabat negara senantiasa wajib memegang teguh persatuan keseimbangan dalam masyarakatnya.
Kepala desa, atau kepala rakyat wajib menyelenggarakan keinsafan keadilan rakyat, harus senantiasa memberi bentuk (gestaltung) kepada rasa keadilan dan cita-cita rakyat. Oleh karena itu kepala rakyat “memegang adat” (kata pepatah Minangkabau) senantiasa memperhatikan segala gerak-gerik dalam masyarakatnya. Dan untuk maksud itu, senantiasa bermusyawarah dengan rakyatnya atau dengan kepala-kepala keluarga dalam desanya supaya pertalian batin antara pemimpin dan rakyat seluruhnya senantiasa terpelihara.
Dalam suasan persatuan antara rakyat dan pemimpinnya, antara golongan-golongan rakyat satu sama lain, segala golongan-golongan diliputi oleh semangat gotong
royong, semangat kekeluargaan.
Maka teranglah Tuan-tuan yang terhormat, bahwa jika kita hendak mendirikan negara Indonesia yang sesuai dengan keistimewaan sifat corak masyarakat Indonesia, maka negara kita harus berdasar atas aliran pikiran (staatsidee) negara yang integralistik, negara yang bersatu dengan seluruh
rakyatnya, yang mengatasi seluruh golongan-golongannya dalam lapangan apapun.
(42)
Menurut aliran pikiran ini, kepala negara dan badan-badan pemerintah lain harus bersifat pemimpin yang sejati, penunjuk jalan kea rah cita-cita luhur, yang diidam-idamkan oleh rakyat. Negara harus bersifat "badan penyelenggara", badan pencipta hukum yang timbul dari hati sanubari rakyat seluruhnya. Dalam pengertian ini, menurut teori ini yang sesuai dengan semangat Indonesia yang asli, negara tidak lain ialah seluruh masyarakat atau seluruh rakyat Indonesia sebagai persatuan yang teratur dan tersusun.
Dalam pengertian ini, negara tidak bersikap atau bertindak sebagai seseorang yang mahakuasa, yang terlepas dari seseorang-seseorang manusia dalam daerahnya dan yang mempunyai kepentingan sendiri, terlepas dari kepentingan warga-warga negaranya sebagai seseorang (paham individualis).
Tuan-tuan yang terhormat, menurut pengertian "negara" yang integralistik, sebagai bangsa yang teratur, sebagai persatuan srakyat yang tersusun, maka spada dasarnya tidak akan ada dualisme "staat dan individu", tidak akan ada pertentangan antara susunan staat dan ssusunan hukum individu, tidak akan ada dualisme "staat and staatsfreie gesellschaft", tidak akan membutuhkan jaminan
grund und freiheitsrechte dari individu contra staat. Oleh karena individu tidak
lain adalah suatu bagian organic dari staat. Dan sebaliknya oleh karena staat bukan suatu sbadan kekuasaan atau raksasa politik yang berdiri di luar lingkungan suasana kemerdekaan seseorang.
Paduka Tuan Ketua, seseorang filosof Inggris, bernama Jeremy Bentham (akhir abad ke-18) mengajarkan bahwa staat menuju kepada "the greatest
happiness of the greatest number”, akan tetapi pikiran ini berdasar atas pikiran
(43)
dengan semangat Indonesia asli tadi, negara tidak mempersatukan dirinya dengan golongan yang terbesar dalam masyarakat, pun tidak mempersatukan dirinya dengan golongan yang paling kuat (golongan politik atau ekonomi yang paling kuat), akan stetapi mengatasi segala golongan dan segala sseseorang mempersatukan diri dengan segala lapisan rakyat seluruhnya.
Tuan-tuan yang terhormat, hendaknya jangan salah paham. Teori negara integralistik atau negara totaliter ini tidak berarti bahwa negara tidak akan memperhatikan adanya golongan-golongan sebagai golongan, atau tidak akan memperdulikan manusia sebagai seseorang. Bukan itu maksudnya! Aliran pikiran ini mempunyai sifat concrete dan reel, tidak meng-abstraheer segala keadaan (seperti sifat teori individualism).
Negara akan mengakui dan menghormati adanya golongan-golongan dalam masyarakat yang nyata, akan tetapi setiap orang dan segala golongan akan insaf kepada kedudukannya sebagai bagian organik dan negara seluruhnya, wajib meneguhkan persatuan dan harmoni antara segala bagian-bagian itu.
Negara persatuan tidak berarti bahwa negara atau pemerintah akan menarik segala kepentingan masyarakat ke dirinya untuk dipelihara sendiri, akan tetapi menurut alas an-alasan yang “doelmatig” akan membagi-bagi kewajiban negara kepada badan-badan pemerintahan di pusat dan di daerah masing-masing atau akan memasrahkan sesuatu hal untuk dipelihara oleh suatu golongan atau seseorang, menurut masa, tempat, dan soalnya.
Paduka Tuan Ketua, setelah saya menguraikan dasar-dasar yang menurut hemat saya hendak dipakai untuk membangun negara Indonesia, maka saya
(44)
sekarang hendak menguraikan kensekuensi dari teori negara tersebut terhadap pada soal-soal:
1. Perhubungan negara dan agama, 2. Cara pembentukan pemerintahan.
3. Hubungan negara dan kehidupan ekonomi.
Sebelum saya membicarakan soal-soal ini, saya mengingatkan kepada Tuan-tuan, bahwa bukan saja negara yang berdasar persatuan itu akan sesuai dengan corak masyarakat Indonesia, akan tetapi negara yang bersifat persatuan itu telah menjadi cita-cita pergerakan politik Indonesia pada zaman dahulu sampai sekarang.
Saya hendak memperingatkan kepada Tuan-tuan pasal 2 dari Panca Dharma yang telah diterima oleh Chuuoo Sangi-In bahwa kita hendak mendirikan negara Indonesia yang merdeka, bersatu. Jadi, cita-cita ini tepat dan sesuai dengan corak masyarakat Indonesia yang asli.
Bagaimanakah dalam negara yang saya gambarkan tadi hubungan antara negara dan agama?
Oleh anggota yang terhormat Tuan Moh. Hatta telah diuraikan dengan panjang-lebar bahwa dalam negara persatuan di Indonesia hendaknya urusan negara dipisahkan dari urusan agama. Memang disini terlihat ada dua paham ialah paham dari anggota-anggota ahli agama yang menganjurkan supaya Indonesia didirikan sebagai negara Islam. Dan anjuran lain sebagaimana telah diajurkan oleh Tuan Moh. Hatta ialah negara persatuan nasional yang memisahkan urusan negara dan Islam; dengan lain kata: bukan negara Islam. Apa sebabnya disini saya
(45)
mengatakan “bukan negara Islam?” Perkataan ”negara Islam”, lain artinya daripada perkataan “negara berdasar atas cita-cita luhur dari agama Islam”. Apakah perbedaannya akan saya terangkan. Dalam negara yang tersusun sebagai “negara Islam”, negara tidak bias dipisahkan dari agama. Negara dan agama ialah satu, bersatu padu.
Islam, sebagaimana Tuan-tuan telah mengetahui ialah suatu sistem agama, sosial, dan politik, yang bersandar atas Quran sebagai pusat dan sumber dari segala susunan hidup manusia Islam.
Telah diuraikan, bahwa negara Turki – sekarang kita melihat lagi contoh-contoh dari negara-negara lain – sebelum tahun 1924 M ialah negara Islam semata-mata. Semenjak tahun 1924 Turki mangganti sifat negaranya dan bukan menjadi negara Islam lagi. Betul agama rakyat Turki ialah Islam, akan tetapi sebagai negara, menurut sistem pemerintahannya, Turki bukan negara Islam lagi. akan tetapi negara Mesir, Irak, Iran, Saudi Arabia ialah negara-negara Islam.
Apakah kita hendak mendirikan negara Islam di Indonesia? Tadi saya mengingatkan anjuran dari pemerintah bahwa kita jangan meniru belaka contoh-contoh dari negara lain, akan tetapi hendaklah Tuan-tuan mengingat kepada keistimewaan masyarakat Indonesia yang nyata. Dengan ini saya hendak mengingatkan kepada Tuan-tuan bahwa menurut letaknya Indonesia di dunia, Indonesia mempunyai sifat yang berlainan dengan geografi negara-negara Irak, Iran, Mesir, atau Syria; negara-negara yang bersifat ke-Islaman (corpus
(46)
Indonesia berada di Asia Timur dan akan menjadi anggota dari lingkungan kemakmuran bersama di Asia Timur Raya. Dari lingkungan itu anggota yang lain-lain, misalnya negara Nippon, Tiongkok, Manchukuo, Filipina, Thai, Birma ialah bukan negara Islam. Betul peristiwa itu bukan suatu alasan yang dengan sendirinya harus menolak pembentukan negara Indonesia sebagai negara Islam, itu bukan. Tetapi itu suatu faktor penting yang harus diperingati juga.
Saya hendak mengingatkan juga kepada Tuan-tuan bahwa di negara-negara Islam sendiri pun, misalnya di negara-negara Mesir, Iran, dan Irak sampai sekarang masih ada beberapa aliran pikiran yang mempersoalkan cara bagaimana akan menyesuaikan hukum syariah dengan kebutuhan internasional, dengan kebutuhan modern, dengan aliran zaman sekarang.
Tadi saya mengatakan bahwa dalam negara Islam negara tidak bisa dipisah-pisahkan dari agama, dan hukum syariah itu dianggap sebagai perintah Tuhan untuk menjadi dasar, untuk dipakai oleh negara. Dalam negara-negara Islam, misalnya di negara Mesir dan lain-lain yang menjadi soal ialah apakah hukum syariah dapat dan boleh diubah, diganti, disesuaikan menurut kepentingan internasional, menurut aliran zaman? Ada suatu golongan yang terbesar yang mengatakan bahwa itu tidak diperbolehkan tetapi ada lagi golongan yang mengatakan: bias disesuaikan dengan zaman baru. Umpamanya saja seorang ahli agama terkenal, yaitu kepala dari sekolah tinggi Al-Azhar di Kairo, Muhamad Abduh, yang termashur namanya – dan ia mempunyai murid di sini juga – mengatakan, ”Memang hukum syariah bias diubah dengan cara “ijmak”, yaitu permusyawaratan, asal saja tidak bertentangan dengan Quran dan dengan Hadis.” Ada lagi yang mempunyai pendirian yang lebih radikal, seperti Ali Abdul Razik,
(47)
yang mengatakan bahwa agama terpisah daripada hukum yang mengenai kepentingan negara. Dengan pendek kata, dalam negara-negara Islam masih ada pertentangan pendirian tentang bagaimana seharusnya bentuk hukum negara supaya sesuai dengan aliran zaman modern, yang meminta perhatian dari negara-negara yang turut berhubungan dengan dunia internasional itu. Jadi, seandainya kita di sini mendirikan negara Islam, pertentangan pendirian itu akan timbul juga di masyarakat kita dan barangkali Badan Penyelidik ini pun akan susah memperbincangkan soal itu. Akan tetapi, Tuan-tuan yang terhormat, akan mendirikan negara Islam di Indonesia berarti tidak akan mendirikan negara
persatuan. Mendirikan negara Islam di Indonesia berarti mendirikan negara yang
akan mempersatukan diri dengan golongan yang terbesar, yaitu golongan Islam. Jikalau di Indonesia didirikan negara Islam, maka akan timbul soal-soal "minderheden" soal golongan agama yang kecil-kecil, golongan agama Kristen, dan lain-lain. Meskipun negara Islam akan menjamin dengan sebaik-baiknya kepentingan golongan-golongan lain itu, akasn tetapi golongan-golongan agama kecil itu tentu tidak bisa mempersatukan dirinya dengan negara. Oleh karena itu, cita-cita negara Islam itu tidak sesuai dengan cita-cita negara persatuan yang telah diidam-idamkan oleh kita semuanya dan juga yang telah dianjurkan oleh Pemerintah Balatentara.
Oleh karena itu, saya menganjurkan dan saya mufakat dengan pendirian yang hendak mendirikan negara nasional yang bersatu dalam arti totaliter seperti yang saya uraikan tadi, yaitu negara yang tidak akan mempersatukan diri dengan golongan yang terbesar, akan tetapi yang akan mengatasi segala golongan dan akan mengindahkan dan menghormati keistimewaan dari segala golongan, baik
(48)
golongan yang besar maupun golongan yang kecil. Dengan sendirinya dalam negeri nasional yang bersatu itu, urusan agama akan terpisah dari urusan negara dan dengan sendirinya dalam negara nasional yang bersatu itu urusan agama akan diserahkan kepada golongan-golongan agama yang bersangkutan. Dan dengan sendirinya dalam negara demikian seseorang akan merdeka memeluk agama yang disukainya. Baik golongan agama yang terbesar maupun golongan yang terkecil, tentu akan merasa bersatu dengan negara (dalam bahasa asing "zal zich thuis
voelen" dalam negara)
Hadirin yang terhormat!
Negara nasional yang bersatu itu tidak berarti bahwa negara itu akan bersifat "a- religious". Bukan negara nasional yang bersatu itu akan memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur, akan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur. Maka negara demikian itu, dan hendaknya negara Indonesia juga memakai dasar moral yang luhur, yang dianjurkan juga oleh agama Islam.
Sebagai contoh, dalam negara Indonesia itu hendaknya dianjurkan supaya para warga negara cinta kepada tanah air, ikhlas akan diri sendiri dan suka
berbakti kepada tanah air; supaya mencintai dan berbakti kepada pemimpin dan
kepada negara; supaya takluk kepada Tuhan, supaya tiap-tiap waktu sisngat kepada Tuhan. Itu semuanya harus dianjur-anjurkan, harus dipakai sebagai dasar moral dari negara nasional yang bersatu itu. Dan saya yakin bahwa dasar-dasar itu dianjurkan oleh agama Islam.
(49)
Sekarang saya akan bicara soal yang berhubungan dengan bentuk susunan
negara. Apakah negara persatuan (eensheidsstaat) atau negara serikat (bondstaat)
atau negara persekutuan (federatie)?
Dengan sendirinya negara secara federasi kita tolak. Karena dengan mengadakan federasi itu, bukanlah mendirikan satu negara, tetapi beberapa negara. Sedang kita hendak mendirikan satu negara. Jadi tinggal membicarakan "eenheidsstaat" atau "bondstaat". Jika benar bahwa bondstaat itu juga satu negara belaka, maka lebih baik kita tidak memakai setiket "eenheidsstaat" atau "bondstaat", oleh karena perkataan-perkataan itu menimbulkan salah paham. Sebagaimana telah diuraikan oleh anggota yang terhormat Tuan Moh. Hatta, maka dalam negara itu soal sentralisasi atau desentralisasi pemerintahan tergantung daripada massa, tempat, dan soal yang bersangkutan. Maka dalam negara Indonesia yang berdasar pengertian negara integralistik itu, segala golongan rakyat, segala daerah yang mempunyai keistimewaan sendiri akan mempunyai tempat dan kedudukan sendiri-sendiri sebagai bagian organik dari negara seluruhnya. Soal pemerintahan apakah yang akan diurus oleh pemerintah pusat dan soal apakah yang akan diserahkan kepada pemerintah daerah, baik daerah besar maupun daerah kecil; itu semuanya akan tergantung daripada "doelmatigheid", berhubungan dengan waktunya, tempatnya dan juga soalnya.
Misalnya soal ini, pada masa ini, dan pada tempat ini lebih baik diurus oleh pemerintah daerah. Sedangkan soal itu, pada masa itu, dan tempat itu lebih baik diurus soleh pemerintah pusat. Jadi dalam negara totaliteratau integralistik, negara akan ingest kepada segala keadaan, hukum negara akan memperhatikan segala keistimewaan dari golongan-golongan yang bermacam-macam adanya
(50)
ditanah air kita itu. Dengan sendirinya dalam negara yang terdiri atas pulau-pulau yang begitu besar, banyak soal-soal pemerintahan yang harus diserahkan kepada pemerintah daerah. Sekian tentang bentuk susunan negara.
Sekarang tentang soal republik atau monarki?
Tuan-tuan yang terhormat! Menurut hemat saya soal republik atau monarki itu tidak mengenai dasar susunan pemerintahan. Yang penting hendaknya kepala negara bahkan semua badan pemerintahan mempunyai sifat pemimpin
negara dan rakyat seluruhnya.
Kepala negara harus sanggup memimpin rakyat seluruhnya. Kepala Negara harus mengatasi segala golongan dan bersifat mempersatukan negara dan bangsa. Apakah kepala negara itu akan diberi kedudukan sebagai raja atau presiden, atau sebagai adipati seperti di Birma, atau sebagai "fuhrer", itu semuanya stidak mengenai dasar susunan pemerintahan. Baik raja, atau presiden, atau fuhrer, atau atau kepala negara yang bergelar ini atau itu, misalnya bergelar "Sri Paduka yang Dipertemuan Besar" atau bergelar lain, ia harus menjadi pemimpin negara yang sejati. Ia harus bersatu jiwa dengan rakyat seluruhnya.
Apakah kita akan mengangkat seseorang sebagai kepala negara dengan hak turun-temurun, atau hanya suntuk waktu tertentu, itulah hanya mengenai bentuk susunan pimpinan negara yang nanti akan kita selidiki dalam badan ini. Caranya mengangkat pemimpin negara itu hendaknya janganlah diturut cara pilihan secara sistem demokrasi Barat itu berdasar atas paham perseorangan.
Tuan-tuan sekalian hendaknya insaf kepada konsekuenssi dari pendirian menolak dasar perseorangan itu. Menolak dasar individualisme berarti menolak
(1)
di masyarakat kita dan barangkali Badan Penyelidik ini pun akan susah memperbincangkan soal itu. Akan tetapi, Tuan-tuan yang terhormat, akan mendirikan negara Islam di Indonesia berarti tidak akan mendirikan negara persatuan. Mendirikan negara Islam di Indonesia berarti mendirikan negara yang akan mempersatukan diri dengan golongan yang terbesar, yaitu golongan Islam. Jikalau di Indonesia didirikan negara Islam, maka akan timbul soal-soal "minderheden" soal golongan agama yang kecil-kecil, golongan agama Kristen, dan lain-lain. Meskipun negara Islam akan menjamin dengan sebaik-baiknya kepentingan golongan-golongan lain itu, akasn tetapi golongan-golongan agama kecil itu tentu tidak bisa mempersatukan dirinya dengan negara. Oleh karena itu, cita-cita negara Islam itu tidak sesuai dengan cita-cita negara persatuan yang telah diidam-idamkan oleh kita semuanya dan juga yang telah dianjurkan oleh Pemerintah Balatentara.
Oleh karena itu, saya menganjurkan dan saya mufakat dengan pendirian yang hendak mendirikan negara nasional yang bersatu dalam arti totaliter seperti yang saya uraikan tadi, yaitu negara yang tidak akan mempersatukan diri dengan golongan yang terbesar, akan tetapi yang akan mengatasi segala golongan dan akan mengindahkan dan menghormati keistimewaan dari segala golongan, baik golongan yang besar maupun golongan yang kecil. Dengan sendirinya dalam negeri nasional yang bersatu itu, urusan agama akan terpisah dari urusan negara dan dengan sendirinya dalam negara nasional yang bersatu itu urusan agama akan diserahkan kepada golongan-golongan agama yang bersangkutan. Dan dengan sendirinya dalam negara demikian seseorang akan merdeka memeluk agama yang disukainya. Baik golongan agama yang terbesar maupun golongan yang terkecil,
(2)
tentu akan merasa bersatu dengan negara (dalam bahasa asing "zal zich thuis voelen" dalam negara)
Hadirin yang terhormat!
Negara nasional yang bersatu itu tidak berarti bahwa negara itu akan bersifat "a- religious". Bukan negara nasional yang bersatu itu akan memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur, akan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur. Maka negara demikian itu, dan hendaknya negara Indonesia juga memakai dasar moral yang luhur, yang dianjurkan juga oleh agama Islam.
Sebagai contoh, dalam negara Indonesia itu hendaknya dianjurkan supaya para warga negara cinta kepada tanah air, ikhlas akan diri sendiri dan suka berbakti kepada tanah air; supaya mencintai dan berbakti kepada pemimpin dan kepada negara; supaya takluk kepada Tuhan, supaya tiap-tiap waktu sisngat kepada Tuhan. Itu semuanya harus dianjur-anjurkan, harus dipakai sebagai dasar moral dari negara nasional yang bersatu itu. Dan saya yakin bahwa dasar-dasar itu dianjurkan oleh agama Islam.
Sekarang saya akan bicara soal yang berhubungan dengan bentuk susunan negara. Apakah negara persatuan (eensheidsstaat) atau negara serikat (bondstaat) atau negara persekutuan (federatie)?
Dengan sendirinya negara secara federasi kita tolak. Karena dengan mengadakan federasi itu, bukanlah mendirikan satu negara, tetapi beberapa negara. Sedang kita hendak mendirikan satu negara. Jadi tinggal membicarakan "eenheidsstaat" atau "bondstaat". Jika benar bahwa bondstaat itu juga satu negara belaka, maka lebih baik kita tidak memakai setiket "eenheidsstaat" atau
(3)
"bondstaat", oleh karena perkataan-perkataan itu menimbulkan salah paham. Sebagaimana telah diuraikan oleh anggota yang terhormat Tuan Moh. Hatta, maka dalam negara itu soal sentralisasi atau desentralisasi pemerintahan tergantung daripada massa, tempat, dan soal yang bersangkutan. Maka dalam negara Indonesia yang berdasar pengertian negara integralistik itu, segala golongan rakyat, segala daerah yang mempunyai keistimewaan sendiri akan mempunyai tempat dan kedudukan sendiri-sendiri sebagai bagian organik dari negara seluruhnya. Soal pemerintahan apakah yang akan diurus oleh pemerintah pusat dan soal apakah yang akan diserahkan kepada pemerintah daerah, baik daerah besar maupun daerah kecil; itu semuanya akan tergantung daripada "doelmatigheid", berhubungan dengan waktunya, tempatnya dan juga soalnya.
Misalnya soal ini, pada masa ini, dan pada tempat ini lebih baik diurus oleh pemerintah daerah. Sedangkan soal itu, pada masa itu, dan tempat itu lebih baik diurus soleh pemerintah pusat. Jadi dalam negara totaliteratau integralistik, negara akan ingest kepada segala keadaan, hukum negara akan memperhatikan segala keistimewaan dari golongan-golongan yang bermacam-macam adanya ditanah air kita itu. Dengan sendirinya dalam negara yang terdiri atas pulau-pulau yang begitu besar, banyak soal-soal pemerintahan yang harus diserahkan kepada pemerintah daerah. Sekian tentang bentuk susunan negara.
Sekarang tentang soal republik atau monarki?
Tuan-tuan yang terhormat! Menurut hemat saya soal republik atau monarki itu tidak mengenai dasar susunan pemerintahan. Yang penting hendaknya kepala negara bahkan semua badan pemerintahan mempunyai sifat pemimpin negara dan rakyat seluruhnya.
(4)
Kepala negara harus sanggup memimpin rakyat seluruhnya. Kepala Negara harus mengatasi segala golongan dan bersifat mempersatukan negara dan bangsa. Apakah kepala negara itu akan diberi kedudukan sebagai raja atau presiden, atau sebagai adipati seperti di Birma, atau sebagai "fuhrer", itu semuanya stidak mengenai dasar susunan pemerintahan. Baik raja, atau presiden, atau fuhrer, atau atau kepala negara yang bergelar ini atau itu, misalnya bergelar "Sri Paduka yang Dipertemuan Besar" atau bergelar lain, ia harus menjadi pemimpin negara yang sejati. Ia harus bersatu jiwa dengan rakyat seluruhnya.
Apakah kita akan mengangkat seseorang sebagai kepala negara dengan hak turun-temurun, atau hanya suntuk waktu tertentu, itulah hanya mengenai bentuk susunan pimpinan negara yang nanti akan kita selidiki dalam badan ini. Caranya mengangkat pemimpin negara itu hendaknya janganlah diturut cara pilihan secara sistem demokrasi Barat itu berdasar atas paham perseorangan.
Tuan-tuan sekalian hendaknya insaf kepada konsekuenssi dari pendirian menolak dasar perseorangan itu. Menolak dasar individualisme berarti menolak juga sistem parlementarisme, menolak sistem yang menyamakan manusia satu sama lain seperti angka-angka belaka yang semuanya sama harganya.
Untuk menjamin supaya pimpinan negara terutama kepala negara terus-menerus bersatu jiwa dengan rakyat, dalam susunan pemerintah negara Indonesia, harus dibentuk sistem badan permusyawaratan. Kepala negara akan terus bergaul dengan badan permusyawaratan supaya senantiasa mengetahui dan merasakan rasa keadilan rakyat dan cita-cita rakyat.bagaimana akan bentuknya badan ermusyawaratan itu ialah satu hal yang harus kita selidiki, akan tetapi hendaknya jangan memakai sistem individualisme. Bukan saja kepala negara, akan tetapi
(5)
pemerintah daerah pun sampai kepala daerah yang kecil-kecil, misalnya kepala desa, harus mempunyai sifat pemimpin rakyat yang sejati. Memang dalam masyarakat desa yang asli, kepala desa mempunyai sifat pemimpin rakyat yang sejati. Kepala adat atau kepala desa menyelenggarakan kehendak rakyat, senantiasa memberi gestaltung kepada keinsafan keadilan rakyat. Jika kepala negara Indonesia akan bersifat demikian, maka kepala negara itu akan mempunyai sifat Ratu Adil, seperti yang diidam-idamkan oleh seluruh rakyat Indonesia.
Sekarang tentang hubungan antara negara dan perekonomian. Dalam negara yang berdasar integraslistik, yang berdasar persatuan maka dalam lapangan ekonomi akan dipakai sistem "sosialisme negara (staatssocialisme). Perusahaan-perusahaan yang penting akan diurus oleh negara sendiri, akan tetapi pada hakikatnya negara yang akan menentukan di mana dan di masa apa dan perusahaan apa yang akan diselenggarakan oleh pemerintah pusat atau oleh pemerintah daerah atau yang akan diserahkan kepada suatu badan hukum prive atau kepada seseorang; itu semua tergantung daripada kepentingan negara, kepentingan rakyat seluruhnya. Dalam negara Indonesia baru, dengan sendirinya menurut keadaan sekarang, perusahaan-perusahaan sebagai lalu-lintas, electriciteit, perusahaan alas rimba harus diurus oleh negara sendiri. Begitupun tentang hal tanah. Pada hakikatnya negara yang menguasai tanah seluruhnya. Tambang-tambang yang penting untuk negara akan diurus oleh negara sendiri. Melihat sifat masyarakat Indonesia sebagai masyarakat pertanian, maka dengan sendirinya tanah pertaniasn menjadi lapangan hidup dari kaum tani dan negara harus menjaga supaya tanah pertanian itu tetap dipegang oleh kaum tani.
(6)
Dalam lapangan ekonomi, negara akan bersifat kekeluargaan. Juga oleh karena kekeluargaan itu sifat masyarakat Timur yang harus kita pelihara sebaik-baiknya. Sistem tolong-menolong, sistem kooperasi hendaknya dipakai sebagai salah satu dasar ekonomi negara Indonesia.
Dasar totaliter dari negara kebangsaan yang bersatu itu mempunyai akibat-akibat pula dalam lapangan-lapangan lain, akan tetapi akan kepanjangan, jikalau saya membicarakan soal-soal dari lapangan-lapangan lain itu.
Sekian saja Paduka Tuan Ketua, tentang dasar-dasar yang hendaknya dipakai untuk mendirikan negara Indonesia Merdeka. Atas dasar pengertian negara sebagai persatuan bangsa Indonesia yang tersusun atas sistem hukum yang bersifat integralistik tadi, di mana negara akan berwujud dan bertindak sebagai penyelenggara keinsafan keadilan rakyat seluruhnya, maka kita akan dapat melaksanakan negara Indonesia yang bersatu dan adil, seperti sudash termuat dalam Panca Dharma, pasal 2, yang berbunyi,"Kita mendirikan negara Indonesia, yang (makmur, bersatu, berdaulat) adil." Maka negara hanya bisa adil, jikalau negara itu menyelenggarakan rasa keadilan rakyat dan menuntun rakyat kepada cita-cita yang luhur, menurut aliran zaman. Negara Indonesia yang berdasar atas semangat kebudayaan yang asli, dengan sendirinya akan bersifat negara Asia Timur Raya. Dan negara Indonesia yang terbentuk atas aliran pikiran persatuan yang saya uraikan tadi, pun akan dapat menjalankan dharmanya (kewajibannya) dengan semestinya sebagai anggota daripada kekeluargaan Asia Timur Raya.