lxxx rokok tidak mempengaruhi terjadinya ISPA, hal ini dikarenakan pengujian terhadap
variabel polusi asap rokok dilakukan secara simultan dengan metode enter sehingga variabel polusi asap rokok tersebut tidak berpengaruh.
Aditama 1990 menyatakan bahwa anak-anak yang terpapar asap rokok side stream smoke dapat mengalami gangguan pernapasan terutama memperberat
timbulnya ISPA karena satu batang rokok yang dinyalakan akan menghasilkan asap sampingan selama sekitar 10 menit, sementara asap utamanya hanya akan keluar pada
waktu rokok dihisap dan biasanya kurang dari 5 menit. Walaupun asap sampingan dikeluarkan dahulu ke udara bebas sebelum dihisap perokok pasif, tetapi karena
kadarnya lebih tinggi dari asap utamanya, maka perokok pasif tetap menerima akibat buruk dari kebiasaan merokok orang sekitarnya. Pernyataan yang sama juga
dikemukakan oleh Tuminah 1999 bahwa di negara maju anak-anak yang orang tuanya merokok dalam rumah didapatkan suatu peningkatan risiko bronchitis dan
pneumonia dibandingkan dengan anak-anak yang orang tuanya tidak merokok.
5.1.5. Polusi Asap Dapur
Penggunaan bahan bakar biomasa seperti kayu bakar untuk memasak, arang dan minyak tanah muncul sebagai faktor risiko terhadap terjadinya infeksi saluran
pernapasan. Saat ini sebagian masyarakat perdesaan masih menggunakan bahan bakar biomasa untuk memasak Charles dkk,1996. Ditambah lagi dengan kebiasaan ibu
yang membawa bayianak balitanya didapur yang penuh dengan asap sambil
Universitas Sumatera Utara
lxxxi memasak akan mempunyai risiko lebih besar terkena ISPA dibandingkan dengan ibu
yang tidak membawa anaknya didapur Sukar dkk, 1997. Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa proporsi polusi asap dapur 73,4
pada kelompok kasus dan 31,9 yang tidak terpapar asap dapur. Keadaan ini tentunya mendukung untuk terjadinya ISPA, seperti terlihat pada hasil uji statistik
didapatkan nilai p=0.000, artinya asap dapur berhubungan bermakna dengan kejadian ISPA. OR = 5,8 menunjukkan bahwa anak balita yang menderita ISPA kemungkian
besar 5,8 kali terpapar asap dapur dibandingkan dengan anak balita yang tidak menderita ISPA.
Hasil analisis multivariat terhadap variabel independen nilai p=0,005 yang berarti ada hubungan yang bermakna antara polusi asap dapur dengan kejadian ISPA
dan OR berubah menjadi 3,950 OR Adjusted. Hasil akhir analisis multivariat terhadap empat variabel independen didapatkan nilai p=0,001 dan OR berubah
menjadi 4,002 OR Adjusted. Dengan demikian dalam penelitian ini polusi asap dapur mempengaruhi kejadian ISPA
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Soesanto dkk 2000 bahwa rumah dengan bahan bakar minyak tanah baik untuk memasak maupun sumber
penerangan memberikan risiko terkena ISPA pada anak balita 3,8 kali lebih besar dibandingkan dengan bahan bakar gas. Keadaan dapur yang penuh asap dan lembab
juga merupakan faktor terjadinya infeksi pernapasan.
5.1.6. Kepadatan Hunian
Universitas Sumatera Utara
lxxxii Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa proporsi rumah yang dihuni anak
balita dengan kategori padat pada kelompok kasus sebesar 80,9 dan 29,8 pada kelompok kontrol. Dari hasil uji statistik diperoleh nilai p=0.000, artinya terdapat
hubungan secara bermakna kejadian ISPA dengan kepadatan tempat tinggal OR = 9,9 menunjukkan bahwa anak balita yang menderita ISPA kemungkinan besar 9,9
kali tempat tinggalnya padat dibandingkan dengan anak balita yang tidak menderita ISPA.
Hasil analisis multivariat terhadap variabel independen nilai p=0,420 yang berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara kepadatan hunian dengan kejadian
ISPA dan OR berubah menjadi 1,625 OR Adjusted. Hasil uji bivariat menunjukkan bahwa kepadatan hunian berhubungan dengan
terjadinya ISPA tetapi hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa ISPA tidak dipengaruhi oleh kepadatan hunian, hal ini disebabkan karena pengujian terhadap
variabel kepadatan hunian tersebut dilakukan secara simultan dengan metode enter sehingga variabel kepadatan hunian menjadi tidak berpengaruh.
Sementara Poerno 1983 membuktikan adanya hubungan antara kesehatan lingkungan dalam rumah dengan kejadian kesakitan. Studi terhadap kondisi rumah
menunjukan hubungan yang bermakna antara koloni bakteri dengan kepadatan penghuni permeter persegi, Sehingga adanya efek sinergis yang diciptakan dimana
sumber pencemar mempunyai potensi menekan reaksi kekebalan bersamaan dengan terjadinya peningkatan bakteri pathogen dengan kepadatan penghuni pada setiap
Universitas Sumatera Utara
lxxxiii keluarga,dengan demikian kuman yang umumnya sebagai penyebab penyakit
menular saluran pernapasan terdapat makin banyak bila jumlah penghuni yang padat, serta jumlah kamar yang sedikit akan memperbesar kemungkinan penularan penyakit
melalui droplet dan kontak langsung. Hal yang sama dikemukakan oleh Ahmadi 1991 yang melaporkan bahwa
anak yang tinggal dirumah yang padat 10 m
2
orang akan mendapatkan risiko ISPA sebesar 1,75 kali dibanding anak yang tinggal dirumah tidak padat.
5.1.7. Status Imunisasi Dasar