lxvii
Tabel 4.7. Distribusi Proporsi Kasus dan Kontrol Berdasarkan Variabel Independen, Nilai p, Odds Rasio dengan 95 Confidence Interval
pada anak balita di Kabupaten Ogan Ilir Tahun 2006
Kasus Kontrol
Variabel Independen
n n
X
2
p value OR
CI 95 1. Status Gizi
Kurang Baik
69 25
73.4 26.6
28 66
29.8 70.2
35.802 0.000
6.506 3.444-12.291
Total 94
100 94
100
2. ASI Eksklusif Tidak
Ya 76
18 80.9
19.1 22
72 23.4
76.6 62.155
0.000 13.818
6.852 – 27.865 Total
94 100
94 100
3. Berat Badan Lahir 2500 gram
≥ 2500 gram 53
41 56.3
43.7 23
71 24.4
75.6 19.878
0.000 3.990
2.142-7.435 Total
94 100
94 100
4. Polusi Asap Rokok Ada
Tidak Ada 80
14 85.1
14.9 27
67 28.7
71.3 60.931
0.000 14.180
6.885 – 29.205 Total
94 100
94 100
5. Polusi Asap Dapur Ada
Tidak Ada 69
25 73.4
26.6 30
64 31.9
68.1 32.454
0.000 5.888
3.135-11.060 Total
94 100
94 100
6. Kepadatan Hunian Padat
Tidak padat 76
18 80.9
19.1 28
66 29.8
70.2 49.582
0.000 9.952
5.053 – 19.601 Total
94 100
94 100
7. Status Imunisasi Tidak Lengkap
Lengkap 67
27 71.3
28.7 27
67 28.7
71.3 34.043
0.000 6.158
3.274 – 11.583 Total
94 100
94 100
8. Pemberian vitamin A Tidak Ada
Ada 51
43 54.3
45.7 47
47 50
50 0.341
0.559 1.186
0.669 – 2.103 Total
94 100
94 100
9. Makanan Tambahan Ya
Tidak 79
15 84.0
16.0 26
68 27.7
72.3 60.596
0.000 13.774
6.749 – 28.113 Total
94 100
94 100
Ket = signifikan
Universitas Sumatera Utara
lxviii
4.2.2 Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan dengan menggunakan tes kemaknaan Chi-Square pada derajat kepercayaan 95, apabila hasil perhitungan statistik mempunyai nilai
p0,05 artinya terdapat hubungan yang signifikan antara variabel independen dan variablel dependen dengan hasil terlihat pada tabel 4.5.
a. Hubungan status gizi dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut
Dari hasil uji statistik didapatkan nilai p=0,000 artinya terdapat hubungan yang bermakna status gizi dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut yaitu anak
balita yang status gizinya kurang secara bermakna proporsinya lebih tinggi pada kasus 73,4 dibandingkan dengan kontrol 29,8. Nilai OR=6,506 CI 95:
3,444 -12,291, menunjukkan bahwa anak balita yang menderita infeksi saluran pernapasan akut kemungkinan 6,5 kali status gizinya kurang dibandingkan dengan
anak balita yang tidak menderita infeksi saluran pernapasan akut, pada tingkat kepercayaan 95 diyakini nilai OR berada pada interval 3,444 – 12,291.
b. Hubungan status ASI dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut
Dari hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,000 artinya terdapat hubungan yang bermakna antara pemberian ASI eksklusif dengan kejadian infeksi saluran pernapasan
akut yaitu anak balita yang tidak mendapatkan ASI eksklusif secara bermakna proporsinya lebih tinggi pada kasus 80,9 dibandingkan dengan kontrol 23,4.
Nilai OR=13,818 CI 95: 6,852 – 27,865, menunjukkan bahwa anak balita yang menderita infeksi saluran pernapasan akut kemungkinan besar 13,8 kali tidak
Universitas Sumatera Utara
lxix mendapat ASI eksklusif dibandingkan dengan anak balita yang tidak menderita
infeksi saluran pernapasan akut, pada tingkat kepercayaan 95 diyakini nilai OR berada pada interval 6,852 – 27,865.
c. Hubungan berat badan lahir dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut
Dari hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,000, artinya terdapat hubungan yang bermakna berat badan lahir dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut yaitu
proporsi anak balita yang berat badan lahirnya rendah secara bermakna lebih tinggi pada kasus 56,3dibandingkan dengan kontrol 24,4. Nilai OR=3,990 CI 95:
2,142 – 7,435, menunjukkan bahwa anak balita yang menderita infeksi saluran pernapasan akut kemungkinan besar 3,9 kali berat badan lahirnya kurang
dibandingkan dengan anak balita yang tidak menderita infeksi saluran pernapasan akut, pada tingkat kepercayaan 95 diyakini nilai OR berada pada interval 2,142 –
7,435.
d. Hubungan polusi asap rokok dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut
Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,000, artinya polusi asap rokok berhubungan secara bermakna dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut yaitu
anak balita yang terpapar asap rokok proporsinya secara bermakna lebih tinggi pada kasus 85,1 dibandingkan dengan kontrol 28,7. Nilai OR=14,1 CI 95: 6,885
– 29,205, menunjukkan bahwa anak balita yang menderita infeksi saluran pernapasan akut kemungkinan besar 14,1 kali terpapar asap rokok dibandingkan
Universitas Sumatera Utara
lxx dengan anak balita yang tidak menderita infeksi saluran pernapasan akut, pada tingkat
kepercayaan 95 diyakini nilai OR berada pada interval 6,885 – 29,205.
e. Hubungan polusi asap dapur dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut
Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,000, artinya polusi asap dapur berhubungan secara bermakna dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut yaitu
anak balita yang terpapar asap dapur secara bermakna proporsinya lebih tinggi pada kasus 73,4 dibandingkan dengan kontrol 31,9. Nilai OR= 5,888 CI 95:
3,135 – 11,060, menunjukkan bahwa anak balita yang menderita infeksi saluran pernapasan akut kemungkinan besar 5,9 kali terpapar polusi asap dapur
dibandingkan dengan anak balita yang tidak menderita infeksi saluran pernapasan akut, pada tingkat kepercayaan 95 diyakini nilai OR berada pada interval 3,135 –
11,060.
f. Hubungan kepadatan hunian dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut
Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,000, artinya terdapat hubungan bermakna kepadatan hunian dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut yaitu
anak balita yang tempat tinggalnya padat lebih tinggi proporsinya secara bermakna pada kasus 80,9 dibandingkan dengan kontrol 29,8. Nilai OR= 9,9 CI 95:
5,053 – 19,601, menunjukkan bahwa anak balita yang menderita infeksi saluran pernapasan akut kemungkinan besar 9,9 kali tempat tinggalnya padat dibandingkan
Universitas Sumatera Utara
lxxi dengan anak balita yang tidak menderita infeksi saluran pernapasan akut, pada tingkat
kepercayaan 95 diyakini nilai OR berada pada interval 5,053 – 19,601.
g. Hubungan status imunisasi dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut
Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,000, artinya terdapat hubungan bermakna status imunisasi dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut yaitu
proporsi anak balita yang status imunisasinya tidak lengkap secara bermakna lebih tinggi pada kasus 71,3 dibandingkan dengan kontrol 28,7. Nilai OR= 6,158
CI 95: 3,274 – 11,583, menunjukkan bahwa anak balita yang menderita infeksi saluran pernapasan akut kemungkinan besar 6,1 kali imunisasinya tidak lengkap
dibandingkan dengan anak balita yang tidak menderita infeksi saluran pernapasan akut, pada tingkat kepercayaan 95 diyakini nilai OR berada pada interval 3,274 –
11,583.
h. Hubungan pemberian vitamin A dengan kejadian infeksi saluran
pernapasan akut
Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,559, artinya pemberian vitamin A tidak berhubungan dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut yaitu anak balita yang
mendapatkan vitamin A secara bermakna proporsinya tidak begitu berbeda pada kasus 45,7 dan kontrol 50. Nilai OR= 1,186 CI 95: 0,669 – 2,103,
menunjukkan bahwa tidak mendapat vitamin A bukan merupakan faktor resiko kejadian infeksi saluran pernapasan akut, pada tingkat kepercayaan 95 diyakini
nilai OR berada pada interval 0,669 – 2,103.
Universitas Sumatera Utara
lxxii
i. Hubungan pemberian makanan tambahan dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut
Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,000, artinya terdapat hubungan bermakna pemberian makanan tambahan dengan kejadian infeksi saluran pernapasan
akut yaitu anak balita yang mendapatkan yang mendapatkan makanan tambahan secara bermakna proporsinya lebih tinggi pada kasus 84,0 dibandingkan dengan
kontrol 27,7. Nilai OR= 13,7 CI 95: 6,749 – 28,113, menunjukkan bahwa anak balita yang menderita infeksi saluran pernapasan akut kemungkinan besar 13,7
kali diberi makanan tambahan dini dibandingkan dengan anak balita yang tidak menderita infeksi saluran pernapasan akut, pada tingkat kepercayaan 95 diyakini
nilai OR berada pada interval 6,749 – 28,113.
4.2.3. Analisis Multivariat
Analisis multivariat dilakukan untuk melihat beberapa variabel yang secara bersama-sama berhubungan dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut. Pada
penelitian ini digunakan uji regresi logistik ganda multiple logistic regresion untuk mencari faktor risiko yang paling dominan terhadap kejadian infeksi saluran
pernapasan akut pada anak balita di Kabupaten Ogan Ilir. Berdasarkan hasil analisis bivariat antara variabel independen dengan
dependen pada tabel 4.7. ternyata ada 8 variabel yang memiliki nilai p-value 0,25 yaitu variabel status gizi, ASI eksklusif, berat badan lahir, polusi asap rokok, polusi
asap dapur, kepadatan hunian, status imunisasi, dan makanan tambahan dini. Tahap
Universitas Sumatera Utara
lxxiii selanjutnya ke 8 variabel ini dimasukkan sebagai kandidat untuk dilakukan analisis
multivariat. Analisis multivariat bertujuan untuk mendapatkan model terbaik dalam
menentukan variabel dominan yang mempengaruhi kejadian infeksi saluran pernapasan akut. Dalam permodelan ini semua kandidat dicobakan secara bersama-
sama, kemudian variabel yang memiliki nilai p0,05 akan dikeluarkan secara berurutan dimulai dari nilai p-Value terbesar metode enter, seperti terlihat pada
tabel 4.8 berikut ini.
Tabel 4.6 Uji Regresi Logistik Ganda untuk Identifikasi Variabel Yang akan Masuk Dalam Model dengan P
≤0.05 Variabel independen
B P
OR 95 CI
Kepadatan Hunian Makanan Tambahan Dini
Status gizi Polusi asap rokok
Status Imunisasi Polusi Asap dapur
Berat Badan Lahir Pemberian ASI eksklusif
Constant 0.485
0.954 0.623
1.482 1.481
1.374 1.804
1.682 -14.400
0.420 0.257
0.214 0.106
0.006 0.005
0.001 0.001
0.000 1.625
2.597 1.864
4.401 4.398
3.950 6.076
5.378 0.000
1.505 - 10.370 0.499 - 13.507
0.698 - 4.975 0.730 - 26.536
1.539 - 12.568 1.505 - 10.370
2.070 - 17.840 2.064 - 14.011
= dikeluarkan bertahap metode enter
Setelah dikeluarkan variabel dengan nilai p ≥0,05 secara bertahap, maka
didapat empat variabel yang akan masuk sebagai kandidat model yaitu status imunisasi, polusi asap dapur, berat badan lahir dan pemberian ASI eksklusif hasilnya
terdapat pada tabel 4.9.
Universitas Sumatera Utara
lxxiv
Tabel 4.9 Hasil Analisis Multivariat Regresi Logistik Ganda Pemodelan Faktor Risiko ISPA Pada Anak Balita Di Kabupaten Ogan Ilir Tahun 2006
Variabel B
SE Wald
d f
Sig. B OR
Adjusted 95 CI
ASI Eksklusif Berat Badan Lahir
Status imunisasi Polusi Asap Dapur
Constant 2.269
1.665 1.530
1.387 -10.311
0.419 0.449
0.443 0.418
29.322 137243
11.920 11.003
1 1
1 1
0.000 0.000
0.001 0.001
9.665 5.285
4.620 4.002
4.252-21.970 2.190-12.754
1.938-11.013 1.764 - 9.083
Overal percentage 80,9
Berdasarkan tabel 4.9 diatas, maka diperoleh model regresi dalam bentuk persamaan sebagai berikut:
Y = -10.311 + 2.269 ASI Eksklusif + 1.665 Berat badan lahir + 1.530 Status imunisasi + 1.387 polusi asap dapur
Pada variabel ASI eksklusif OR Adjusted = 9,7 menunjukkan bahwa anak balita yang menderita ISPA kemungkinan besar 9,7 kali tidak mendapatkan ASI
eksklusif dibandingkan anak balita yang tidak menderita ISPA setelah variabel berat badan lahir, polusi asap dapur dan status imunisasi dikontrol.
Variabel berat badan lahir, setelah tiga variabel lainnya dikontrol, didapat nilai OR Adjusted = 5,3. Ini menunjukkan bahwa anak balita yang menderita ISPA
kemungkinan besar 5,3 kali berat badan lahirnya 2500 gram dibandingkan dengan anak balita yang tidak menderita ISPA.
Variabel status imunisasi OR Adjusted = 4,6 artinya anak balita yang menderita ISPA kemungkinan besar 4,6 kali tidak mendapatkan imunisasi lengkap
Universitas Sumatera Utara
lxxv dibandingkan dengan anak balita yang tidak menderita ISPA setelah variabel ASI
eksklusif, berat badan lahir dan polusi asap dapur dikontrol. Variabel polusi asap dapur OR Adjusted = 4 menunjukkan bahwa anak balita
yang menderita ISPA kemungkinan besar 4 kali terpapar polusi asap dapur dibandingkan dengan anak balita yang tidak menderita ISPA setelah tiga variabel
lainnya dikontrol. Berdasarkan nilai OR Adjusted dapat diperkirakan kekuatan pengaruh variabel
ASI eksklusif, berat badan lahir, polusi asap dapur dan status imunisasi dalam hubungannya dengan kejadian ISPA. Makin besar nilai OR, makin kuat pengaruh
variabel tersebut terhadap kejadian ISPA. Pada penelitian ini variabel yang paling dominan adalah ASI eksklusif.
Melalui model ini juga dapat diperkirakan bahwa pengaruh faktor determinan : ASI eksklusif, berat badan lahir, polusi asap dapur dan status imunisasi secara
bersama-sama berhubungan dengan kejadian ISPA sebesar 80,9 overall
percentage = 80,9.
Universitas Sumatera Utara
lxxvi
BAB 5 PEMBAHASAN
5.1. Faktor Risiko Kejadian ISPA 5.1.1. Status Gizi Anak Balita
Hasil analisis bivariat nilai P = 0.000, artinya bahwa terdapat hubungan yang bermakna kejadian ISPA dengan status gizi kurang. OR = 6,5 menunjukkan bahwa
anak balita yang menderita ISPA kemungkinan 6,5 kali status gizinya kurang dibandingkan anak balita yang tidak menderita ISPA.
Setelah dilakukan analisis multivariat terhadap sembilan variabel independen hasil p=0,214 yang berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara status gizi
dengan kejadian ISPA dan OR berubah menjadi 1,9 OR Adjusted Hasil akhir uji multivariat ini berbeda dengan penelitian Dewi dkk dalam
penelitian kasus kontrol 1996, didapatkan nilai OR = 2,5 menunjukkan bahwa anak balita yang menderita ISPA kemungkinan besar 2,5 kali status gizinya kurang
dibandingkan dengan anak balita yang tidak menderita ISPA. Hasil uji statistik analisis bivariat didapatkan bahwa terdapat hubungan yang
bermakna status gizi kurang pada anak balita dengan terjadinya ISPA, tetapi setelah dilakukan analisis multivarita dengan uji regresi logistik ganda ternyata status gizi
kurang tidak mempengaruhi kejadian ISPA. Hal ini disebabkan karena pengujian terhadap variabel status gizi tersebut dilakukan secara simultan dengan metode enter,
sehingga menyebabkan variabel status gizi tersebut tidak berpengaruh.
Universitas Sumatera Utara
lxxvii
5.1.2. Status ASI Anak Balita
Ibu harus selalu dianjurkan menyusui bayinya bila bayi dan ibunya dalam keadaan sehat dan tidak terdapat kelainan-kelainan yang tidak memungkinkan untuk
menyusukan, jika memungkinkan ibu dapat memberikan ASI secara eksklusif selama 4 – 6 bulan dan dapat diteruskan hingga anak berusia 2 tahun.
Dari hasil penelitian ini didapatkan proporsi anak balita yang tidak mendapatkan ASI eksklusif pada kelompok kasus sebesar 80,9 dan kontrol 23,4.
Hasil analisis bivariat didapat nilai OR 13,8 p=0,000 yang artinya terdapat hubungan yang bermakna kejadian ISPA dengan tidak ASI eksklusif pada anak
balita. Hasil analisis multivariat terhadap variabel independen nilai p=0,001 yang
berarti ada hubungan yang bermakna antara tidak ASI eksklusif dengan kejadian ISPA dan OR berubah menjadi 5,378 OR Adjusted. Hasil akhir analisis multivariat
terhadap empat variabel independen didapatkan nilai p=0,000 dan OR berubah semakin tinggi menjadi 9,665 OR Adjusted. Dengan demikian dalam penelitian ini
tidak ASI eksklusif mempengaruhi kejadian ISPA. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Gani 2004 bahwa anak balita
yang menderita ISPA kemungkinan 5,3 kali tidak mendapatkan ASI eksklusif dibandingkan dengan anak balita yang tidak menderita ISPA.
Universitas Sumatera Utara
lxxviii ASI merupakan makanan terbaik bagi bayi terutama pada bulan-bulan
pertama karena ASI kaya akan faktor antibodi untuk melindungi bayi dari berbagai infeksi bakteri dan virus.
5.1.3. Berat Badan Lahir BBL
Berat badan lahir rendah BBLR ditetapkan sebagai suatu berat lahir 2500 gram. Bayi dengan BBLR akan meningkatkan risiko kesakitan dan kematian karena
bayi rentan terhadap kondisi-kondisi infeksi saluran pernapasan bagian bawah Tuminah,1999.
Dari hasil penelitian ini didapatkan proporsi anak balita yang berat badan lahir rendah BBLR pada kelompok kasus 56,3 dan kelompok kontrol 24,4. Hasil uji
statistik didapat bahwa anak balita dengan berat badan lahir 2500 gram p=0,007 yang artinya terdapat hubungan yang bermakna kejadian ISPA dengan berat badan
lahir rendah BBLR dan OR = 3,9 menunjukkan bahwa anak balita yang menderita ISPA kemungkinan besar 3,9 kali berat badan lahirnya 2500 gram dibanding dengan
anak balita yang tidak menderita ISPA. Hasil analisis multivariat terhadap variabel independen nilai p=0,001 yang
berarti ada hubungan yang bermakna antara berat badan lahir rendah dengan kejadian ISPA dan OR berubah menjadi 6,076 OR Adjusted. Hasil akhir analisis multivariat
terhadap empat variabel independen didapatkan nilai p=0,000 dan OR berubah menjadi 5,285 OR Adjusted. Dengan demikian dalam penelitian ini berat badan lahir
yang rendah mempengaruhi kejadian ISPA
Universitas Sumatera Utara
lxxix Penelitian ini sejalan dengan pendapat Tuminah 1999, bahwa bayi dengan
BBLR mempunyai angka kematian lebih tinggi dari pada bayi dengan berat badan lahir
≥2500 gram saat lahir selama tahun pertama kehidupannya dan ISPA adalah penyebab terbesar kematian akibat infeksi pada bayi baru lahir dengan BBLR bila
dibanding dengan bayi yang beratnya ≥2500 gram.
5.1.4. Polusi Asap Rokok.
Hasil uji bivariat menunjukan hubungan yang bermakna antara kejadian ISPA dengan asap rokok P=0,001, kemungkinan besar anak balita yang menderita ISPA
14,1 terpapar asap rokok dibandingkan dengan anak balita yang tidak menderita ISPA.
Hasil analisis multivariat terhadap variabel independen nilai p=0,106 yang berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara polusi asap rokok dengan kejadian
ISPA dan OR berubah turun menjadi 4,401 OR Adjusted. Pada penelitian ini Range CI sangat besar kemungkinan karena adanya bias
instrumen, rata-rata anggota keluarga yang merokok hanya pada saat setelah makan atau saat menerima tamu yang juga perokok, selebihnya mereka memilih merokok
pada saat duduk-duduk di teras rumah atau di pos ronda bersama teman-temannya. Selain itu kebanyakan dari para ibu membawa anak balitanya menjauh jika suami
atau kerabat ada yang merokok. Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa polusi asap rokok berhubungan
dengan terjadinya ISPA namun hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa asap
Universitas Sumatera Utara
lxxx rokok tidak mempengaruhi terjadinya ISPA, hal ini dikarenakan pengujian terhadap
variabel polusi asap rokok dilakukan secara simultan dengan metode enter sehingga variabel polusi asap rokok tersebut tidak berpengaruh.
Aditama 1990 menyatakan bahwa anak-anak yang terpapar asap rokok side stream smoke dapat mengalami gangguan pernapasan terutama memperberat
timbulnya ISPA karena satu batang rokok yang dinyalakan akan menghasilkan asap sampingan selama sekitar 10 menit, sementara asap utamanya hanya akan keluar pada
waktu rokok dihisap dan biasanya kurang dari 5 menit. Walaupun asap sampingan dikeluarkan dahulu ke udara bebas sebelum dihisap perokok pasif, tetapi karena
kadarnya lebih tinggi dari asap utamanya, maka perokok pasif tetap menerima akibat buruk dari kebiasaan merokok orang sekitarnya. Pernyataan yang sama juga
dikemukakan oleh Tuminah 1999 bahwa di negara maju anak-anak yang orang tuanya merokok dalam rumah didapatkan suatu peningkatan risiko bronchitis dan
pneumonia dibandingkan dengan anak-anak yang orang tuanya tidak merokok.
5.1.5. Polusi Asap Dapur
Penggunaan bahan bakar biomasa seperti kayu bakar untuk memasak, arang dan minyak tanah muncul sebagai faktor risiko terhadap terjadinya infeksi saluran
pernapasan. Saat ini sebagian masyarakat perdesaan masih menggunakan bahan bakar biomasa untuk memasak Charles dkk,1996. Ditambah lagi dengan kebiasaan ibu
yang membawa bayianak balitanya didapur yang penuh dengan asap sambil
Universitas Sumatera Utara
lxxxi memasak akan mempunyai risiko lebih besar terkena ISPA dibandingkan dengan ibu
yang tidak membawa anaknya didapur Sukar dkk, 1997. Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa proporsi polusi asap dapur 73,4
pada kelompok kasus dan 31,9 yang tidak terpapar asap dapur. Keadaan ini tentunya mendukung untuk terjadinya ISPA, seperti terlihat pada hasil uji statistik
didapatkan nilai p=0.000, artinya asap dapur berhubungan bermakna dengan kejadian ISPA. OR = 5,8 menunjukkan bahwa anak balita yang menderita ISPA kemungkian
besar 5,8 kali terpapar asap dapur dibandingkan dengan anak balita yang tidak menderita ISPA.
Hasil analisis multivariat terhadap variabel independen nilai p=0,005 yang berarti ada hubungan yang bermakna antara polusi asap dapur dengan kejadian ISPA
dan OR berubah menjadi 3,950 OR Adjusted. Hasil akhir analisis multivariat terhadap empat variabel independen didapatkan nilai p=0,001 dan OR berubah
menjadi 4,002 OR Adjusted. Dengan demikian dalam penelitian ini polusi asap dapur mempengaruhi kejadian ISPA
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Soesanto dkk 2000 bahwa rumah dengan bahan bakar minyak tanah baik untuk memasak maupun sumber
penerangan memberikan risiko terkena ISPA pada anak balita 3,8 kali lebih besar dibandingkan dengan bahan bakar gas. Keadaan dapur yang penuh asap dan lembab
juga merupakan faktor terjadinya infeksi pernapasan.
5.1.6. Kepadatan Hunian
Universitas Sumatera Utara
lxxxii Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa proporsi rumah yang dihuni anak
balita dengan kategori padat pada kelompok kasus sebesar 80,9 dan 29,8 pada kelompok kontrol. Dari hasil uji statistik diperoleh nilai p=0.000, artinya terdapat
hubungan secara bermakna kejadian ISPA dengan kepadatan tempat tinggal OR = 9,9 menunjukkan bahwa anak balita yang menderita ISPA kemungkinan besar 9,9
kali tempat tinggalnya padat dibandingkan dengan anak balita yang tidak menderita ISPA.
Hasil analisis multivariat terhadap variabel independen nilai p=0,420 yang berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara kepadatan hunian dengan kejadian
ISPA dan OR berubah menjadi 1,625 OR Adjusted. Hasil uji bivariat menunjukkan bahwa kepadatan hunian berhubungan dengan
terjadinya ISPA tetapi hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa ISPA tidak dipengaruhi oleh kepadatan hunian, hal ini disebabkan karena pengujian terhadap
variabel kepadatan hunian tersebut dilakukan secara simultan dengan metode enter sehingga variabel kepadatan hunian menjadi tidak berpengaruh.
Sementara Poerno 1983 membuktikan adanya hubungan antara kesehatan lingkungan dalam rumah dengan kejadian kesakitan. Studi terhadap kondisi rumah
menunjukan hubungan yang bermakna antara koloni bakteri dengan kepadatan penghuni permeter persegi, Sehingga adanya efek sinergis yang diciptakan dimana
sumber pencemar mempunyai potensi menekan reaksi kekebalan bersamaan dengan terjadinya peningkatan bakteri pathogen dengan kepadatan penghuni pada setiap
Universitas Sumatera Utara
lxxxiii keluarga,dengan demikian kuman yang umumnya sebagai penyebab penyakit
menular saluran pernapasan terdapat makin banyak bila jumlah penghuni yang padat, serta jumlah kamar yang sedikit akan memperbesar kemungkinan penularan penyakit
melalui droplet dan kontak langsung. Hal yang sama dikemukakan oleh Ahmadi 1991 yang melaporkan bahwa
anak yang tinggal dirumah yang padat 10 m
2
orang akan mendapatkan risiko ISPA sebesar 1,75 kali dibanding anak yang tinggal dirumah tidak padat.
5.1.7. Status Imunisasi Dasar
Imunisasi yang tidak memadai merupakan faktor risiko yang dapat meningkatkan insidens ISPA, sehingga faktor anak yang diimunisasi sangat
menentukan tingginya insidens ISPA Depkes RI, 2002. Demikian halnya pada penelitian ini, dimana proporsi anak balita dengan
imunisasi dasar tidak lengkap pada kelompok kasus sebanyak 71,3 dan kontrol 28,7. Ini tentunya memberikan bukti bahwa kejadian ISPA berhubungan secara
bermakna dengan status imunisasi p= 0,002. OR= 6 menunjukkan bahwa anak balita yang menderita ISPA kemungkian besar 6 kali tidak mendapatkan imunisasi
yang lengkap dibandingkan dengn anak balita yang tidak menderita ISPA. Hasil analisis multivariat terhadap variabel independen nilai p=0,006 yang
berarti ada hubungan yang bermakna antara status imunisasi dengan kejadian ISPA dan OR berubah menjadi 4,398 OR Adjusted. Hasil akhir analisis multivariat
terhadap empat variabel independen didapatkan nilai p=0,001 dan OR berubah
Universitas Sumatera Utara
lxxxiv menjadi 4,620 OR Adjusted. Dengan demikian dalam penelitian ini status imunisasi
yang tidak lengkap mempengaruhi kejadian ISPA. Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan Dewi dkk 1996,
bahwa ketidakpatuhan imunisasi imunisasi tidak lengkap mempengaruhi berkembangnya ISPA pada anak balita. Jumlah anak yang imunisasi tidak lengkap
pada kasus 10,25 dan kontrol 5,13. Anak balita dikatakan mendapat imunisasi lengkap apabila telah mendapatkan
imunisasi yang seharusnya diperoleh sesuai dengan batas waktunya. Tidak mendapatkan imunisasi campak, berarti anak tersebut termasuk lebih berisiko
terjadinya ISPA dan bahkan kematian karena pneumonia Depkes RI, 2002.
5.1.8. Vitamin A
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengetahui efek suplemen vitamin A terhadap morbiditas, mortalitas maupun ISPA, akan tetapi hasilnya masih saling
bertentangan. Pada anak-anak yang kekurangan vitamin A sering ditemukan berbagai macam infeksi, namun asosiasi langsung antara kekurangan vitamin A dan infeksi
tidak begitu jelas Pudjiadi, 2000. Dari hasil penelitian yang dilakukan mengenai morbiditas tidak menunjukan adanya efek positif suplemen vitamin A terhadap
morbiditas ISPA. Pada penelitian ini diketahui bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna
antara kejadian ISPA dengan vitamin A p=0,559 dengan nilai OR = 1,1 artinya tidak mendapatkan suplemen vitamin A bukan merupakan faktor risiko kejadian
Universitas Sumatera Utara
lxxxv ISPA. Hal ini dapat lihat bahwa proporsi anak balita yang tidak mendapatkan vitamin
A pada kelompok kasus sebesar 54,3 dan kontrol sebesar 54,7. Hasil penelitian ini sama dengan pendapat Kartasasmita 2000 yang
menunjukkan tidak adanya perbedaan bermakna pada insidens dan derajat ISPA sebelum dan sesudah pemberian vitamin A. Tetapi didapatkan hanya lamanya
penyakit ISPA lebih lama pada anak balita yang tidak mendapatkan vitamin A. Dengan demikian dapat diambil suatu kesimpulan bahwa di Kabupaten Ogan Ilir
bukan suatu risiko terjadinya ISPA pada anak balita bila tidak mendapatkan suplemen vitamin A.
Sampai saat ini suplemen vitamin A yang diterima secara luas yang juga direkomendasikan oleh badan kesehatan dunia WHO untuk memberikan vitamin A
pada penderita campak didaerah di mana angka kematian akibat campak CFR lebih dari 1.
5.1.9. Makanan Tambahan Dini
Anak balita yang mendapatkan ASI cukup tidak perlu diberikan makanan tambahan sampai usia 4 bulan atau bahkan 6 bulan WHO. Penelitian yang pernah
dilakukan diketahui bahwa ASI kaya akan antibody untuk melawan infeksi bakteri dan virus. Terutama selama minggu pertama 4 sampai 6 hari payudara akan
menghasilkan kolostrum yang mengandung zat kekebalan. ASI merupakan makanan yang terbaik untuk bayi, karena mengandung semua
zat gizi yang diperlukan tubuh untuk membangun dan penyediaan energi dalam
Universitas Sumatera Utara
lxxxvi susunan yang tepat. Lagi pula ASI memiliki berbagai zat anti infeksi yang dapat
melindungi balita dari berbagai infeksi. ASI tidak memberatkan fungsi traktus digetistivus dan ginjal yang belum berfungsi dengan baik pada bayi yang baru lahir,
serta menghasilkan pertumbuhan fisik yang optimum. Pemberian makanan tambahan dini 6 bulan memberikan berbagai kemungkinan bayi menderita penyakit
Pada penelitian ini secara proporsional diketahui bahwa anak balita yang mendapatkan makanan tambahan dini pada kelompok kasus 84 dan pada kelompok
kontrol 27,7. Angka ini menunjukan bahwa kejadian ISPA berhubungan secara bermakna dengan pemberian makanan tambahan dini p=0,000 dan artinya anak
balita yang menderita ISPA kemungkinan besar 13 kali mendapatkan makanan tambahan dini dibandingkan dengan anak balita yang tidak menderita ISPA.
Hasil analisis multivariat terhadap variabel independen nilai p=0,257 yang berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara pemberian makanan tambahan dini
dengan kejadian ISPA dan OR berubah menjadi 2,597 OR Adjusted. Perbedaan hasi analisis bivariat dan multivariat pada variabel makanan
tambahan dini karena pengujian dilakukan secara simultan dengan metode enter. Menurut Roesli 2001 bahwa bayi dapat diberikan makanan tambahan lebih
awal yaitu kira-kira usia 2 bulan jika ternyata ASI tidak mencukupi kebutuhan bayi atau karena sebab-sebab lain dan untuk mengawasi pertumbuhan, bayi perlu
ditimbang secara berkala.
Universitas Sumatera Utara
lxxxvii
5.1.10. Faktor Risiko Paling Dominan Terhadap Kejadian ISPA
Hasil yang didapatkan dari analisis regresi logistik ganda memperlihatkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh dalam hubungan pemaparan dan kejadian
ISPA adalah faktor : pemberian ASI eksklusif, berat badan lahir rendah, status imunisasi dan adanya polusi asap dapur.
Pada hipotesa penelitian diduga bahwa variabel kepadatan hunian merupakan faktor risiko yang paling dominan mempengaruhi kejadian ISPA ternyata dari hasil
penelitian variabel tersebut bukan faktor risiko paling dominan, hal ini mungkin dikarenakan bahwa di Kabupaten Ogan Ilir rata-rata penduduknya lebih banyak
beraktivitas di luar rumah pada pagi hingga sore hari, para orang tua pergi ke kebun atau sawah sedangkan anak-anak ke sekolah sehingga kesempatan berkumpul dengan
keluarga dalam rumah hanya pada malam hari. Dari hasil analisis regresi logistik ganda didapatkan variabel yang paling dominan mempengaruhi kejadian ISPA adalah
ASI Eksklusif dengan Odds Rasio Adjusted sebesar 9,665. Besarnya nilai OR ini sudah dikontrol oleh variabel lainnya seperti : berat badan lahir, status imunisasi dan
polusi asap dapur. Bila faktor determinan ASI Eksklusif, berat badan lahir rendah, status
imunisasi dan polusi asap dapur secara bersama-sama dihilangkan, diperkirakan 80,9 kejadian infeksi saluran pernapasan akut pada anak balita dapat diturunkan
overall percentage 80,9.
1. ASI Eksklusif
Universitas Sumatera Utara
lxxxviii Air susu ibu merupakan makanan yang terbaik untuk bayi terutama pada
bulan-bulan pertama, sebab ASI mengandung semua zat-zat gizi yang diperlukan tubuh untuk membangun dan penyediaan energi dalam susunan yang diperlukan. ASI
juga merupakan sumber nutrisi terbaik yang dapat meningkatkan daya tubuh bayi sekaligus meningkatkan kecerdasan otak. Selain itu ASI juga membuat anak potensial
memiliki emosi yang stabil, spiritual yang matang, serta memiliki perkembangan sosial yang baik. Pemberian ASI eksklusif adalah pemberian ASI kepada bayi hingga
usia 6 bulan, tanpa tambahan cairan lain seperti susu formula, jeruk, madu, air teh, air putih dan tanpa makanan tambahan seperti pisang, pepaya, bubur susu, biskuit,
bubur nasi dan tim. ASI tidak memberatkan fungsi saluran pencernaan dan ginjal yang belum
berfungsi baik pada bayi yang baru lahir, serta menghasilkan pertumbuhan fisik yang optimum. Lagipula ASI memiliki berbagai zat anti infeksi, mengurangi kejadian
eksim atopik, dan proses menyusui menguntungkan ibunya dengan terdapatnya lactacional infertility, hingga memperpanjang child spacing Pudjiadi, 2000.
Keuntungan lain dengan memberikan ASI Eksklusif pada bayi ialah: a. Murah harganya
b. Tersedia pada suhu yang ideal, tidak perlu dipanaskan terlebih dahulu c. Selalu segar dan bebas pencemaran kuman, sehingga mengurangi
kemungkinan timbulnya gangguan saluran pencernaan seperti berak-berak, muntah-muntah, sakit perut
d. Memperkuat ikatan batin dan jalinan kasih sayang ibu dan bayinya
Universitas Sumatera Utara
lxxxix e. Mengurangi perdarahan setelah melahirkan
Apabila bayi disusui segera setelah dilahirkan maka kemungkinan terjadi perdarahan setelah melahirkan akan berkurang karena pada ibu menyusui
terjadi peningkatan kadar oksitoksin yang berguna juga untuk konstriksipenutupan pembuluh darah sehingga perdarahan akan lebih cepat
berhenti. Hal ini juga akan menurunkan angka kematian ibu yang melahirkan. f. Mengecilkan rahim dan melangsingkan tubuh.
Karena kadar oksitosin ibu menyusui yang meningkat akan sangat membantu rahim kembali ke ukuran sebelum hamil. Proses pengecilan ini akan lebih
cepat dibandingkan pada ibu yang tidak menyusui. Selain itu menyusui memerlukan energi maka tubuh akan mengambilnya dari lemak yang
tertimbun selama hamil, sehingga berat badan ibu menyusui akan lebih cepat kembali ke berat badan sebelum hamil.
g. Mengurangi kemungkinan menderita kanker. Ibu yang memberikan ASI eksklusif kemungkinan menderita kanker payudara
dan indung telur berkurang. Umumnya bila seorang ibu melanjutkan menyusui sampai bayi berumur 2 tahun atau lebih, kemungkinan angka
kejadian kanker payudara berkurang sampai 25 . Begitu juga kemungkinan kanker indung telur akan berkurang sampai 10-25 .
Banyak faktor yang terkadang menyebabkan ibu gagal memberikan ASI Eksklusif, untuk itu ada beberapa cara yang harus dilakukan ibu agar berhasil
memberikan ASI Eksklusif yaitu :
Universitas Sumatera Utara
xc 1 Ibu harus diberikan kepercayaan dan dibuat merasa bahwa ia akan
menghasilkan ASI yang cukup. 2 Ibu harus diusahakan untuk beristirahat dan mencoba bersantai saat
menyusui bayinya. 3 Ibu harus makan makanan yang bergizi dan minum yang banyak. Secara
fisik diet yang baik dapat meningkatkan kekuatan dan energi ibu sehingga meningkatkan pasokan ASI. Tetapi secara psikis, makanan dan minuman
bisa membantu semua wanita. 4 Bayi harus dekat dengan ibu dan ditangani ibu sesering mungkin.
5 Bayi harus berada pada posisi yang benar pada payudara. 6 Dukungan dari keluarga terutama suami sangat membantu ibu dalam
memberikan ASI Eksklusif, suami dapat membantu dengan menjadi ayah ASI yaitu ayah turut berperan dalam aktifitas ibu dan bayi seperti ayah
turut membantu membersihkan bayi, mengganti popok, bermain-main dengan bayi.
Saat ini tengah digalakkannya Gerakan IMD Inisiasi Menyusui Dini yaitu pemberian ASI segera setelah bayi lahir. Bayi yang baru dilahirkan ibunya baik
secara normal atau operasi segera dikeringkan tanpa perlu dimandikan terlebih dahulu dan langsung ditelungkupkan di dada ibu, secara refleks bayi akan bergerak sendiri
dengan kekuatan instingnya untuk mencari payudara ibu dan berjuang belajar menghisap puting susu ibunya. Keberhasilan IMD ini akan sangat membantu dalam
proses pemberian ASI Eksklusif hingga usia 6 bulan Roesli, 2008.
Universitas Sumatera Utara
xci Apabila karena suatu sebab ASI tidak dapat diberikan, maka susu formula
dapat diberikan sebagai makanan pengganti bagi bayi lahir cukup bulan. Bagi bayi dari keluarga dengan keadaan sosial ekonomi yang rendah dan tidak mampu membeli
susu formula, maka orang tuanya dapat membuat pengganti air susu ibu dengan cara sederhana dari susu sapi atau susu bubuk full cream ditambah dengan air matang dan
gula pasir, sebagai tambahan disamping ASI atau makanan padat dapat dimulai pada umur yang lebih muda. Untuk golongan sosio-ekonomi ini para ibu harus dapat
pendidikan gizi, hingga dapat menyediakan makanan tambahan yangberkualitas baik
dan bersih Pudjiadi, 2000.
2. Imunisasi