xxiii
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Infeksi saluran Pernapasan Akut 2.1.1. Pengertian ISPA
Istilah ISPA mengandung tiga unsur yaitu infeksi, saluran pernapasan dan akut. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia
dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit. Adapun saluran pernapasan adalah organ dimulai dari hidung sampai alveoli beserta organ adneksa
seperti sinus-sinus, rongga telinga dan pleura. Istilah ISPA secara anatomis mencakup saluran pernapasan bagian bawah termasuk jaringan paru-paru dan organ
adneksanya saluran pernapasan. Sedangkan infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses
akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan ISPA, proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari Depkes RI, 2002.
Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru alveoli biasanya disebabkan oleh invasi kuman bakteri, yang ditandai oleh gejala
klinis batuk, disertai adanya nafas cepat ataupun tarikan dinding dada bagian bawahkedalam Depkes RI, 2002.
Universitas Sumatera Utara
xxiv
2.2. Epidemiologi 2.2.1. Distribusi dan Frekwensi ISPA
Penyakit ISPA adalah penyakit yang dapat menyerang semua kelompok usia dari bayi, anak-anak dan sampai orang tua. Menurut WHO 1981, bahwa satu dari tiga
penyebab kematian anak dibawah lima tahun adalah ISPA dengan pneumonia sebesar 75 dari semua jumlah kematian. Data CBS-UNICEF juga mengungkapkan bahwa
pneumonia menyebabkan 28 kematian anak di dunia Zairil, 2000. Penelitian yang dilakukan di Klaten tahun 1996 menemukan bahwa sebagian
besar kasus ISPA terjadi pada kelompok umur 7 – 12 bulan 65,23 dan sebagian besar kasus terjadi pada bayi laki-laki 73, 45 . Dewi, 1996.
ISPA merupakan pembunuh utama bayi dan balita di Indonesia. Sebagian besar kematian tersebut diakibatkan oleh ISPA pneumonia, namun masyarakat masih
awam dengan gangguan ini. Penderita cepat meninggal akibat pneumonia berat dan sering tidak tertolong. Lambatnya pertolongan ini disebabkan oleh ketidaktahuan
masyarakat tentang gangguan ini DepKes RI., 2000.
2.2.2. Determinan ISPA
Terjadinya infeksi saluran pernapasan pada anak balita disamping adanya bibit penyakit, juga dipengaruhi oleh faktor anak itu sendiri, seperti anak yang belum
mendapat imunisasi campak dan kontak dengan asap dapur, serta kondisi perumahan yang ditempatinya. Secara umum faktor-faktor tersebut dikelompokkan menjadi 3
bagian yaitu :
Universitas Sumatera Utara
xxv
a. Bibit Penyakit Agent
ISPA disebabkan oleh berbagai infectious agent yang terdiri dari 300 lebih jenis virus, bakteri, ricketsia. Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah dari genus
Streptococcus, Stafilococcus, Pneumococcus, Haemofilus, Bordetella, dan Corynebacterium. Virus penyebab ISPA antara lain, golongan Paramyksovirus
termasuk didalamnya virus Influenza, Parainfluenza, dan virus campak, adenovirus, Coronavirus, Picornavirus, Herpesvirus dan lain-lain.
Pneumonia umumnya disebabkan oleh bakteri. Di negara berkembang yang tersering sebagai penyebab pneumonia pada anak ialah Streptococcus pneumonia dan
Haemofilus influenza. Sedangkan di negara maju, dewasa ini pneumonia pada anak umumnya disebabkan oleh virus.
b. Pejamu Host
Banyak faktor yang mempengaruhi seseorang terserang bibit penyakit, terutama faktor yang ada pada dirinya sendiri seperti :
1. Umur Terjadinya ISPA terutama pneumonia pada bayi dan pada anak balita
dipengaruhi oleh faktor usia anak. Bayi yang berumur kurang dari 2 bulan mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk terkena pneumonia dibandingkan dengan
anak umur 2 bulan sampai 5 tahun Depkes RI., 1996. Hasil analisis faktor resiko membuktikan bahwa umur merupakan salah satu
faktor resiko penyebab terjadinya kematian pada balita yang sedang menderita
Universitas Sumatera Utara
xxvi pneumonia. Semakin tua usia balita yang sedang menderita pneumonia, semakin kecil
resiko meninggal akibat pneumonia dibandingkan balita yang berusia muda Djaja S, 1999.
Insidens ISPA paling tinggi terdapat pada bayi dibawah satu tahun dan insidens menurun dengan bertambahnya umur Kartasamita, 2000.
Hasil penelitian Sukar dkk 1996 didapatkan bahwa anak yang berumur 1-2 tahun lebih peka 5 kali terkena ISPA dibandingkan dengan umur 5 tahun.
2. Jenis Kelamin
Menurut buku pedoman program pemberantasan penyakit ISPA untuk penanggulangan pneumonia pada balita 1996, anak jenis kelamin laki-laki
mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk terkena ISPA dibandingkan dengan anak perempuan Depkes RI., 1996.
Penelitian yang dilakukan oleh Dewi dkk 1996, didapatkan hasil bahwa proporsi kasus ISPA-pneumonia menurut jenis kelamin tidak sama, yaitu laki-laki
59 dan perempuan 41, terutama pada anak usia muda. Hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia SDKI tahun 1997,
menunjukkan adanya perbedaan prevalensi 2 minggu pada balita dengan batuk dan napas cepat yang merupakan ciri khas pneumonia antara anak laki-laki dengan anak
perempuan, dimana prevalensi untuk anak laki-laki adalah 9,4 sedangkan perempuan 8,5 Depkes RI., 1997.
Universitas Sumatera Utara
xxvii 3. Status Gizi
Keadaan gizi buruk muncul sebagai faktor resiko yang penting untuk ISPA menurut Martin yang dikutip oleh Djaja 1999, membuktikan adanya hubungan
antara gizi buruk dengan infeksi paru sehingga anak-anak yang bergizi buruk sering mendapat pneumonia. Beberapa penelitian terdahulu juga menunjukkan bahwa
malnutrisi merupakan faktor resiko penting untuk ISPA. Anak yang menderita malnutrisi berat dan kronis lebih sering terkena ISPA dibandingkan anak dengan
berat badan normal. Anak balita yang mengkonsumsi makanan yang tidak cukup baik dapat
mengakibatkan daya tahan tubuhnya melemah yang akan mudah diserang penyakit infeksi.
Penelitian yang dilakukan oleh Dewi dkk 1996, didapatkan hasil bahwa status gizi kurang pada anak balita mempunyai resiko untuk terkena ISPA 2,5 kali
lebih besar dibandingkan dengan anak yang bergizi baik. Dalam penelitian ini proporsi anak yang bergizi kurang lebih banyak pada kasus 41,03 dari pada
pembanding 25,64. 3. Berat Badan Lahir
Berat badan lahir ditetapkan sebagai suatu berat lahir kurang dari 2500 gram. Bayi dengan Berat Lahir Rendah BBLR akan meningkatkan resiko kesakitan dan
kematian karena bayi rentan terhadap kondisi-kondisi infeksi saluran pernapasan bagian bawah. Ibu yang sedang hamil harus mendapatkan asupan makanan yang
Universitas Sumatera Utara
xxviii cukup dengan gizi seimbang, kekurangan asupan gizi pada saat hamil dapat
menyebabkan bayi yang dilahirkan berat badannya rendah. Penyakit anemia defisiensi zat besi pada ibu yang tengah hamil juga dapat menyebabkan bayi lahir
dengan berat badan rendah atau bayi lahir prematur Sulistyowati 1999. Status gizi ibu pada waktu pembuahan dan selama hamil dapat mempengaruhi
pertumbuhan janin yang sedang dikandung. Menurut Thomson 1959 yang diikutip Pudjiadi 2000 membuktikan bahwa berat badan lahir bayi naik dan insiden BBLR
menurun bila kandungan energi diet ibu bertambah. Jika ibu hamil menderita anemia berat, resiko morbiditas maupun mortalitas
bagi ibu dan bayinya meninggi, kemungkinan melahirkan bayi BBLR dan prematur lebih besar Pudjiadi, 2000.
Bayi dengan berat lahir rendah mempunyai angka kematian lebih tinggi dari pada bayi dengan berat lebih dari 2500 gram saat lahir selama tahun pertama
kehidupannya. ISPA adalah penyebab terbesar kematian akibat infeksi pada bayi yang baru lahir dengan berat rendah, bila dibandingkan dengan bayi yang beratnya
diatas 2500 gram Tuminah, S., 1999.
4. Status ASI dan Makanan Tambahan ASI eksklusif adalah ASI yang diberikan pada bayi tanpa tambahan cairan
lain seperti susu formula, jeruk, madu, air teh, air putih, dan tanpa makanan tambahan seperti pisang, pepaya, bubur susu, biskuit, bubur nasi dan tim.
Pemberian ASI secara eksklusif ini dianjurkan untuk jangka waktu sampai 6 bulan.
Universitas Sumatera Utara
xxix Setelah bayi berumur 6 bulan, bayi mulai diberikan makanan pendamping secara
bertahap dan bervariasi, dari mulai bentuk bubur cair ke bentuk bubur kental, sari buah, buah segar, makanan lumat, makanan lembek, dan akhirnya makanan padat.
Menyusukan bayi harus selalu dianjurkan bila bayi dan ibunya ada dalam keadaan sehat dan tidak terdapat kelainan-kelainan yang tidak memungkinkan untuk
menyusukan, jika memungkinkan ASI diberi sampai 2 tahun Roesli, 2001. Dari penelitian-penelitian yang dilakukan sepuluh tahun terakhir ini
menunjukkan bahwa ASI kaya akan faktor antibodi untuk melawan infeksi-infeksi bakteri dan virus. Terutama selama minggu pertama 4 sampai 6 hari payudara akan
menghasilkan kolostrum, yaitu ASI awal yang mengandung zat kekebalan imunoglobin, komplemen, lisozim, laktoferin, dan sel-sel leukosit yang sangat
penting untuk melindungi bayi dari infeksi. Penelitian di beberapa negara sedang berkembang menunjukkan bahwa ASI melindungi bayi terhadap infeksi saluran
pernapasan berat. Angka kematian kasus secara berarti lebih tinggi pada anak yang telah disapih daripada anak yang masih diberi ASI Tuminah, S., 1999.
Menurut Roesli 2001 yang mengutip pendapat Cunningham dan Howwie 1990 bahwa kematian akibat penyakit saluran pernapasan 2 – 6 kali lebih banyak
pada bayi yang diberi susu formula daripada bayi yang mendapat ASI. Penelitian Gani 2004, menunjukkan bahwa anak balita yang menderita ISPA
5,3 kali tidak mendapatkan ASI eksklusif dibandingkan dengan anak balita yang tidak menderita ISPA.
Universitas Sumatera Utara
xxx Bila ASI cukup bayi tidak perlu diberikan makanan tambahan dengan
makanan lain sampai usia 4 bulan atau bahkan 6 bulan. Namun bila ternyata bayi menangis karena lapar, dapat diberikan makan tambahan sejak kira-kira umur 2
bulan. Sejak 2 bulan dapat diberikan buah-buahan pisang atau biskuit, sedangkan pemberian makanan lumat sampai lembek bubur susu pada usia 3-4 bulan sesuai
keperluan bayi masing-masing. Bayi akan lapar dan menangis terus bila ASI kurang memuaskan. Untuk mengawasi pertumbuhan, bayi perlu ditimbang secara berkala.
Pada bulan ke empat biasanya mulai pemberian makanan padat bayi yang pertama, yaitu makanan lumat misalnya; bubur susu yang dapat dibuat dari tepung, susu dan
gula Roesli, 2001.
5. Status Imunisasi Imunisasi berarti memberi kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu. Setiap
anak harus mendapatkan imunisasi dasar terhadap 7 penyakit utama sebelum usia 1 tahun yaitu imunisasi BCG, DPT, polio, campak dan hepatitis B. Roesli, 2001.
Imunisasi adalah cara untuk menimbulkan kekebalan terhadap berbagai penyakit. Anak yang belum pernah diimunisasi campak lebih berisiko terhadap
terjadinya kematian karena pneumonia, terutama pada balita yang sedang menderita pneumonia Djaja, S., 1999
Imunisasi yang tidak memadai merupakan faktor risiko yang dapat meningkatkan insidens ISPA, sehingga faktor anak yang diimunisasi sangat
menentukan dalam tingginya angka insidens ISPA Depkes RI., 1996.
Universitas Sumatera Utara
xxxi Menurut The World Health Report 2005, angka kematian balita di Indonesia
sebesar 46 per 1000 kelahiran hidup, penyebab utama kematian pada anak balita adalah penyakit infeksi saluran napasan akut, diare, penyakit yang ditularkan
binatang dan penyakit-penyakit yang bisa dicegah melalui vaksinasi . UNICEF menyebutkan bahwa 27 juta anak balita dan 40 juta ibu hamil di
seluruh dunia masih belum mendapatkan layanan imunisasi rutin. Akibat penyakit yang dapat dicegah oleh vaksin ini diperkirakan menyebabkan lebih dari dua juta
kematian tiap tahun, termasuk 1,4 juta anak balita yang meninggal karena tidak divaksin. Di Indonesia 2.400 anak meninggal setiap hari termasuk yang meninggal
karena sebab-sebab yang seharusnya dapat dicegah dengan vaksin. Misalnya tuberculosis, pertusis, difteri dan tetanus Francais, 2007.
Penelitian yang dilakukan Dewi dkk 1996, diketahui bahwa ketidakpatuhan imunisasi imunisasi tidak lengkap mempengaruhi berkembangnya ISPA pada anak
balita. Jumlah anak pada penelitian ini yang imunisasi tidak lengkap pada kasus 10,25 dan kontrol 5,13.
6. Vitamin A
Pada anak-anak yang kekurangan vitamin A sering ditemukan berbagai macam infeksi, namun asosiasi langsung antara kekurangan vitamin A dan infeksi
tidak begitu jelas Pudjiadi, 2000. Vitamin A mulai menarik perhatian para ilmuwan setelah beberapa laporan
penelitian oleh Somar dkk mengenai pentingnya vitamin A. Sejak itu beberapa
Universitas Sumatera Utara
xxxii penelitian dilakukan untuk mengetahui efek suplementasi vitamin A terhadap
morbiditas, mortalitas dan lamanya ISPA, akan tetapi hasilnya masih saling bertentangan Zairil, 2000.
Sampai saat ini satu hal mengenai suplementasi vitamin A yang diterima secara luas yang juga direkomendasikan oleh WHO adalah untuk memberikan
vitamin A pada penderita campak, didaerah dimana angka kematian akibat penyakit campak CFR lebih dari 1.
Hasil penelitian prospektif yang pernah dilakukan menunjukkan tidak adanya perbedaan bermakna pada insiden dan derajat ISPA diantara anak yang mendapat
vitamin A, juga tidak didapatkan perbedaan ISPA sebelum dan setelah pemberian vitamin A, hanya didapatkan lama ISPA agak lebih panjang pada anak yang tidak
mendapat vitamin A Kartasasmita, 2000.
c. Lingkungan environment