lxxxiii keluarga,dengan demikian kuman yang umumnya sebagai penyebab penyakit
menular saluran pernapasan terdapat makin banyak bila jumlah penghuni yang padat, serta jumlah kamar yang sedikit akan memperbesar kemungkinan penularan penyakit
melalui droplet dan kontak langsung. Hal yang sama dikemukakan oleh Ahmadi 1991 yang melaporkan bahwa
anak yang tinggal dirumah yang padat 10 m
2
orang akan mendapatkan risiko ISPA sebesar 1,75 kali dibanding anak yang tinggal dirumah tidak padat.
5.1.7. Status Imunisasi Dasar
Imunisasi yang tidak memadai merupakan faktor risiko yang dapat meningkatkan insidens ISPA, sehingga faktor anak yang diimunisasi sangat
menentukan tingginya insidens ISPA Depkes RI, 2002. Demikian halnya pada penelitian ini, dimana proporsi anak balita dengan
imunisasi dasar tidak lengkap pada kelompok kasus sebanyak 71,3 dan kontrol 28,7. Ini tentunya memberikan bukti bahwa kejadian ISPA berhubungan secara
bermakna dengan status imunisasi p= 0,002. OR= 6 menunjukkan bahwa anak balita yang menderita ISPA kemungkian besar 6 kali tidak mendapatkan imunisasi
yang lengkap dibandingkan dengn anak balita yang tidak menderita ISPA. Hasil analisis multivariat terhadap variabel independen nilai p=0,006 yang
berarti ada hubungan yang bermakna antara status imunisasi dengan kejadian ISPA dan OR berubah menjadi 4,398 OR Adjusted. Hasil akhir analisis multivariat
terhadap empat variabel independen didapatkan nilai p=0,001 dan OR berubah
Universitas Sumatera Utara
lxxxiv menjadi 4,620 OR Adjusted. Dengan demikian dalam penelitian ini status imunisasi
yang tidak lengkap mempengaruhi kejadian ISPA. Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan Dewi dkk 1996,
bahwa ketidakpatuhan imunisasi imunisasi tidak lengkap mempengaruhi berkembangnya ISPA pada anak balita. Jumlah anak yang imunisasi tidak lengkap
pada kasus 10,25 dan kontrol 5,13. Anak balita dikatakan mendapat imunisasi lengkap apabila telah mendapatkan
imunisasi yang seharusnya diperoleh sesuai dengan batas waktunya. Tidak mendapatkan imunisasi campak, berarti anak tersebut termasuk lebih berisiko
terjadinya ISPA dan bahkan kematian karena pneumonia Depkes RI, 2002.
5.1.8. Vitamin A
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengetahui efek suplemen vitamin A terhadap morbiditas, mortalitas maupun ISPA, akan tetapi hasilnya masih saling
bertentangan. Pada anak-anak yang kekurangan vitamin A sering ditemukan berbagai macam infeksi, namun asosiasi langsung antara kekurangan vitamin A dan infeksi
tidak begitu jelas Pudjiadi, 2000. Dari hasil penelitian yang dilakukan mengenai morbiditas tidak menunjukan adanya efek positif suplemen vitamin A terhadap
morbiditas ISPA. Pada penelitian ini diketahui bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna
antara kejadian ISPA dengan vitamin A p=0,559 dengan nilai OR = 1,1 artinya tidak mendapatkan suplemen vitamin A bukan merupakan faktor risiko kejadian
Universitas Sumatera Utara
lxxxv ISPA. Hal ini dapat lihat bahwa proporsi anak balita yang tidak mendapatkan vitamin
A pada kelompok kasus sebesar 54,3 dan kontrol sebesar 54,7. Hasil penelitian ini sama dengan pendapat Kartasasmita 2000 yang
menunjukkan tidak adanya perbedaan bermakna pada insidens dan derajat ISPA sebelum dan sesudah pemberian vitamin A. Tetapi didapatkan hanya lamanya
penyakit ISPA lebih lama pada anak balita yang tidak mendapatkan vitamin A. Dengan demikian dapat diambil suatu kesimpulan bahwa di Kabupaten Ogan Ilir
bukan suatu risiko terjadinya ISPA pada anak balita bila tidak mendapatkan suplemen vitamin A.
Sampai saat ini suplemen vitamin A yang diterima secara luas yang juga direkomendasikan oleh badan kesehatan dunia WHO untuk memberikan vitamin A
pada penderita campak didaerah di mana angka kematian akibat campak CFR lebih dari 1.
5.1.9. Makanan Tambahan Dini