Perubahan Dan Kelanjutan Musik Dalam Perkawinan Adat Simalungun Di Desa Sondi Raya Kecamatan Raya Kabupaten Simalungun

(1)

PERUBAHAN DAN KELANJUTAN MUSIK DALAM PERKAWINAN ADAT SIMALUNGUN DI DESA SONDI RAYA KECAMATAN RAYA KABUPATEN

SIMALUNGUN

Skripsi Sarjana Dikerjakan

o l e h

DIATEITUPA SIPAYUNG NIM : 040707002

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA

DEPARTEMEN ENOMUSIKOLOGI MEDAN


(2)

PERUBAHAN DAN KELANJUTAN MUSIK DALAM PERKAWINAN ADAT SIMALUNGUN DI DESA SONDI RAYA KECAMATAN RAYA KABUPATEN SIMALUNGUN

Skripsi Sarjana Dikerjakan o

l e h

DIATEITUPA SIPAYUNG NIM : 040707002

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Setia Dermawan Purba, M.Si Dra. Heristina Dewi, M.Pd NIP: 1956 082 8198 601 2001 NIP: 1966 052 7199 403 2010

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana seni dalam

bidang Etnomusikologi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN


(3)

Disetujui oleh:

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI Ketua,

Dra. Frida Deliana, M.Si. NIP 1960 333 8198 803 2001


(4)

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur, hormat, kemuliaan hanya kepada Tri Tunggal Allah Bapa, Yesus Kristus dan Roh Kudus atas setiap penyertaan yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Sepanjang perjalanan skripsi ini ada begitu banyak hal yang telah dilewati, baik itu tantangan, keputusasaan dan semangat yang terkadang berkurang. Namun penulis bersyukur karena Tuhan mengingatkan penulis untuk tidak berlama-lama dalam masalah yang dihadapi.

Skripsi yang berjudul “Kelanjutan dan Perubahan Musik dalam Perkawinan Adat Simalungun di Desa Sondi Raya Kecamatan Raya Kabupaten Simalungun” ini menuliskan tentang bagaimana musik dalam perkawinan adat simalungun khususnya di Desa Sondi Raya. Ditinjau dari segi ensambel sampai kepada musik yang dilahirkan dari ensambel tersebut. Apa-apa saja yang berubah dari segi ensambel bahkan musiknya itu sendiri. Dan bukan hanya mengenai musiknya saja tapi penulis juga memaparkan bagaimana ditinjau dari segi budayanya.

Pada kesempatanm ini, dengan segala kerendahan hati saya ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar besarnya kepada semua pihak yang telah mendukung dan membantu penulis sampai skripsi ini selesai. Beberapa diantaranya adalah :

1. Yang terkasih ayahanda St. R. Sipayung dan Ibunda E. Sinaga atas cinta dan terlebih doa-doanya selama penulis kuliah bahkan sampai dalam penyelesaian skripsi ini. Buat ayah, terimakasih atas kesabaran yang kau berikan kepada saya. Ditengah-tengah kesibukanmu kau tetap memberikan perhatian dan dukungan penuh melalui telfon dan juga sms yang selalu kau berikan sehingga saya tetap bisa optimis dan terus berjuang. Terimakasih juga karena terus mengingatkan saya berdoa dan selalu berserah dan berpengharapan kepada Tuhan. Saya bangga kepadamu karena kau adalah ayah yang sangat bertanggung jawab


(5)

kepada kami semua anak-anakmu. Buat ibu, terimakasih atas perhatian yang tulus dan motivasi yang ibu berikan. Kesempatan-kesempatan yang ibu berikan kepada penulis untuk melihat akan banyak hal bahkan juga penulis sangat merasakan kasih seorang ibu yang sangat tulus dan selalu mendengarkan semua keluh kesah penulis bahkan juga selalu menghibur penulis melalui telfon. Sikap ibu yang selalu ceria membuat penulis selalu tertawa dan semangat. Terimakasih sedalam-dalamnya buat kedua orangtua penulis. 2. Buat ketiga kakak, abang dan kaha juga si kecil grace. Saya sangat bersyukur mempunyai

saudara seperti kalian. Dari kalian saya belajar banyak hal. Doa, motivasi, teguran, dan semua nasehat yang kalian berikan kepada saya. Kepada kakak Riris Mutiara Parsadaan, SE yang telah banyak memberikan dukungan dan juga penguatan dari kakak. Kepada kakak Titir Sipayung, Spd yang juga selalu mengingatkan penulis untuk tetap semangat. Kepada abang Raja Umbang, SP yang selalu memberikan motivasi, dorongan bahkan juga setiap nasehat yang selalu diberikan. Penulis sangat bangga mempunyai abang sepertimu. Buat kakak Dasma Arihan Nauli, Ssn yang selalu memberikan nasehat dan teguran bahkan semangat disaat penulis merasakan kejenuhan. Buat si kecil Gracelia Vanesia Sidauruk yang menghibur penulis dengan ocehannya dan suaranya yang membuat penulis selalu tertawa. Tidak ada kata-kata yang bisa saya nyatakan selain syukur saya kepada Tuhan yang telah memberikan keluarga besar seperti kalian.

3. Kepada yang terhormat Bapak Drs. Dermawan Purba, Msi yang merupakan pembimbing skripsi I yang terus membimbing dan bukan hanya membantu penulis dari segi penulisan skripsi saja tapi juga banyak membukakan fikiran penulis bagaimana sikap dan tindakan penulis sebagai generasi bangsa Simalungun dalam melestarikan budaya Simalungun.


(6)

4. Kepada yang terhormat Ibu Dra. Heristina Dewi, Mpd selaku pembimbing skripsi II yang selalu berusaha menolong penulis dalam melengkapi penulisan skripsi ini. Bahkan juga buat kebaikan ibu yang mau selalu membalas setiap sms saya. Saya sangat menghargai kebaikan dan ketulusan yang ibu berikan.

5. Kepada yang terhormat Ibu Dra. Frida Deliana, M.Si selaku Ketua Departemen Etnomusikologi.

6. Kepada yang terhormat seluruh staf pengajar Departemen Etnomusikologi USU yang telah banyak memberikan pemahama-pemahaman baru dan wawasan kepada penulis selama penulis menjalani perkuliahan.

7. Yang terhormat Bapak Pdt. Jumahar Harianja S.Th selaku informan pangkal penulis yang sudah memberikan arahan dalam memilih informan kunci dalam mengerjakan penelitian skripsi ini. Buat kebaikan Bapak Pendeta yang mau menawarkan buku-bukunya untuk penulis pakai dalam melengkapi skripsi ini. Buat Informasi kunci penulis yaitu Tulang St. Kapimanson Saragih yang sudah banyak sekali membantu penulis dalam mencari tahu semua permasalahan skripsi penulis dan selalu menyediakan waktu untuk mebantu penulis dan beberapa buku yang diberikan kepada penulis secara cuma-cuma.

8. Kepada Ma’Tua Saragih yang sudah memberikan tempat untuk penulis selama penulis tinggal di Sondi Raya sepanjang melakukan penelitian. Teimakasih ma’tu, Tuhanlah yang melihat dan membalaskan semuanya kepada ma’tua.

9. Kepada sahabat baikku Fera Mariani Sitompul yang sudah banyak sekali memberikan dukungan kepada penulis. buat doa-doanya, motivasi dan teguran yang kauberikan sangat membuatku mampu untuk tetap dan terus berjuang. Terima kasih sobat. Saya sangat bersyukur kepada Tuhan karena Dia memberikan sahabat kepada saya seperti dirimu.


(7)

10.Buat teman-teman rohani dan kakak rohani saya kakak Mariance Damanik S.Sn, kakak Friska Sihombing S.S dan kakak Sri Ulina Roni Sipayung S.S yang sudah banyak membantu saya dalam doa. Kalian adalah oprang-orang yang selalu membuat saya tetap kuat karena doa-doa kalian kepada saya.

11.Buat adik-adik rohani saya yaitu Destri Purba, Inta Junia Hasugian, Rina Gustriani Simanjuntak, Asni Sitohang, Veronica Simbolon, Florence Tarigan. Kalianlah salah satu alasan kakak bisa selalu semangat dan terus bangkit melawan segala hal. Motivasi dan dorongan semangat kalian buat kakak sangat kakak rasakan. Terimakasih adik-adikku. 12.Buat teman-teman mahasiswa dan alumni angkatan 2004: Feri Johannes Panggabean,

Markus Bona Tangkas Sirait, Tri Syahputra Sitepu, Jupalman Welly Simbolon, Amran Situmorang, Brata Andreas Simamora, Briando Silitonga, Franseda Sitepu, Saidul Irfan Hutabarat, Jeremy Ginting Suka, S.Sn, Masrina Purnama Sari, Rovina Fitrian Lubis, Nancylia Wulandari Tobing, Fera Mariani Sitompul, Rebekka Nababan, S.Sn.

13.Kepada yang terkasih Adi Sanro Purba Amd sebagai teman yang sangat dekat dengan penulis. Terimakasih untuk doa-doamu dan bantuan yang selalu kau berikan. Saya sangat bersyukur karena Tuhan Sudah Memberikan seseorang yang sangat baik dan peduli kepada saya dan selalu menguatkan saya disaat saya lemah.


(8)

Terimakasih juga kepada siapa saja yang telah membantu penulis secara langsung ataupun tidak langsung terlibat selama penelitian dan penulisan skripsi ini. Terimakasih atas semuanya.

Medan, Juni 2010 Penulis,

Diateitupa Sipayung


(9)

DAFTAR ISI Halaman

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI...vi

DAFTAR TABEL...ix

BAB I : PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah... 1

1.2. Pokok Permasalahan ... 5

1.3. Tujuan dan Manfaat ... 6

1.4. Konsep dan Teori ... 6

1.4.1. Konsep ... 6

1.4.2. Teori ... 7

1.5. Metode Penelitian ... 10

1.5.1. Pemilihan Lokasi Penelitian ... 11

1.5.2. Studi Kepustakaan... 11

1.5.3. Penelitian Lapangan ... 11

1.5.4. Kerja Laboratorium ... 12

BAB II : GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN KEHIDUPAN PENDUDUK DESA SONDI RAYA 2.1. Gambaran Umum orang Simalungun ... 13

2.2. Deskripsi Desa Sondi Raya... 15

2.2.1. Letak dan wilayah Sondi Raya... 15

2.2.2. Sejarah dan asal usul Sondi Raya... 17

2.3. Komposisi Penduduk Desa Sondi Saya ... 18

2.3.1. Menurut Umur dan Jenia Kelamin Tiap Dusun ... 18

2.3.2. Komposisi Penduduk Desa Sondi Raya menurut Agama ... 19

2.3.3. Peta Pemukiman ... 20

2.3.4. Menurut Pendidikan ... 22


(10)

2.4. Sarana dan Prasarana Sosial... 24

2.5. Sarana dan Prasarana Ekonomi... 26

2.6. Transportasi... 27

2.7. Sistem Kekerabatan... 28

2.8. Bahasa ... 31

2.9. Sistem Religi ... 33

2.10. Kesenian Tradisional Masyarakat Simalungun... 34

2.10.1. Seni Musik... 35

2.10.2. Seni Tari ... 36

2.10.3. Seni Rupa dan Sastra... 37

BAB III : UPACARA PERKAWINAN ADAT SIMALUNGUN 3.1. Upacara Perkawinan ... 39

3.2. Tahapan Perkenalan Sampai Upacara Perkawinan Adat Simalungun ... 40

3.2.1. Martondur... 40

3.2.1.1. Manririt... 41

3.2.1.2. Mambere Goloman (Memberi Pegangan) ... 42

3.2.1.3. Marlasa-Lasa ... 43

3.2.1.4. Pajabu Parsahapan ... 43

3.2.1.5. Manggong... 44

3.2.2. Marhajabuan... 44

3.2.2.1. Maralop Boru... 45

3.2.2.2. Pemberkatan Nikah ... 46

3.2.2.3. Mangusei ... 49

3.2.2.4. Mangaloalo ... 53

3.2.2.5. Surduk Surduk (Perjamuan Adat) ... 57

3.2.2.6. Acara Huria (Kebaktian Singkat) ... 60

3.2.2.7. Penyeraham Demban Partadingan/ Manurdukkan Demban (Uang Mahar)... 60

3.2.2.8. Penyerahan Kain Adat... 62


(11)

3.3.3. Manjae... 66

BAB IV : KELANJUTAN DAN PERUBAHAN MUSIK DALAM UPACARA PERKAWINAN ADAT SIMALUNGUN DI DESA SONDI RAYA KECAMATAN RAYA KABUPATEN SIMALUNGUN 4.1. Musik dalam Upacara Perkawinan Adat Simalungun ... 68

4.1.1. Gual Pembuka ... 70

4.1.2. Gual Permintaan ... 71

4.1.3. Gual Penutup ... 71

4.2. Fungsi Musik Dalam Upacara Perkawinan Simalungun ... 72

4.2.1. Fungsi Sebagai Pengungkapan Suasana Hati... 72

4.2.2. Fungsi Kenikmatan Estetis... 73

4.2.3. Fungsi Sebagai Sarana Hiburan ... 74

4.2.4. Fungsi Sebagai Sarana Komunikasi... 74

4.2.5. Fungsi Sebagai Pengungkapan Emosional... 74

4.2.6. Fungsi Sebagai Reaksi Jasmani... 75

4.2.7. Fungsi Sebagai Kesinambungan Budaya ... 75

4.3. Kelanjutan dan Perubahan ... 76

4.4. Pandangan Masyarakat Simalungun di Desa Sondi Raya ... 82

4.5. Sikap Masyarakat ... 82

4.6. Dampak Perubahan dan Kelanjutan dari Musik Perkawinan Simalungun .. 83

4.6.1. Dampak Positif... 83

4.6.2. Dampak Negatif ... 83

BAB V : PENUTUP 5.1. Kesimpulan ... 84


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel I : Komposisi Jumlah Penduduk Menurut Umur dan Jenis Kelamin...18

Tabel II : Komposisi Penduduk Desa Sondi Raya Menurut Agama...20

Tabel III : Komposisi Penduduk Desa Sondi Raya Menurut Jumlah Dusun...21

Tabel IV : Komposisi Penduduk Desa Sondi Raya Menurut Pendidikan...22

Tabel V : Komposisi Penduduk Desa Sondi Raya Menurut Mata Pencaharian...23

Tabel VI : Sarana dan Prasarana Sosial Desa Sondi Raya...25

Tabel VII: Sarana dan Prasarana Perekonomian Desa Sondi Raya...26

Tabel VIII : Perbandingan Upacara Adat Perkawinan...79


(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Pemberkatan Nikah di Gereja……… 49

Gambar 2. Pemakaian Gotong Kepada Pengantin Pria………... 50

Gambar 3. Pemakaian Bulang Kepada Pengantin Perempuan……… 50

Gambar 4. Bersiap-siap Memasuki Rumah………. 51

Gambar 5. Marboras Tenger Kepada Kedua Pengantin……….. 52

Gambar 6. Memberikan Demban kepada Ibu Pengantin Pria……….. 52

Gambar 7. Pihak Sanina, Boru, Pengantin menyembah Tondong……….. 55

Gambar 8. Rombongan Tondong Na Bayu ………... 56

Gambar 9. Tapongan dan Buah Tangan……….. 57

Gambar 10. Penyerahan Gori Sipanganon……….. 58

Gambar 11. Penyerahan Dayok Na Binatur………... ... 59

Gambar 12. Makanan Adat yang Terdiri dari Dayok Na Binatur dan ayam …………..59

Gambar 13. Kain Adat (hiou)………. 64

Gambar 14. Pemberian Kain Adat……….. 64


(14)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

Simalungun adalah salah satu suku batak yang ada di Sumatera Utara. Sama seperti suku batak yang lainnya, Simalungun mempunyai adat dalam setiap upacara salah satunya adalah dalam upacara perkawinan.

Perkawinan yang sempurna menurut budaya Simalungun ialah dengan cara “dijemput dengan baik (ialop dear)”. Maka sesuai hasil permufakatan sewaktu acara persiapan telah ditentukan kapan waktunya pelaksanaan adat. Dimulai dari acara menjemput mempelai wanita (maralob). Sepanjang acara maralob hal – hal yang dilakukan adalah menyerahkan sirih adat kepada semua keluarga yang hadir, dimulai dari orangtua pengantin suami istri dan kemudian diteruskan kepada sanak saudara yang lain. Makna dari sirih adat tersebut adalah menyatakan kehadiran dari rombongan pihak laki – laki dan kesiapan mereka untuk memulai acara. Sebagai balasan pihak dari pengantin perempuan juga memberikan sirih adat kepada rombongan yang datang. Setelah acara yang pertama tadi selesai dilanjutkan dengan indahan paralop (penyerahan makanan) yaitu ayam yang dimasak “dayok binatur” kepada orangtua pengantin wanita. Acara berikutnya adalah makan bersama dan pembagian makanan (gori) kepada sanak saudara yang berhak menerima ataupun juga kepada kerabat dekat. Sesudah acara makan selesai, dilanjutkan dengan acara pembayaran mahar dan kesepakatan – kesepakatan sepanjang pesta adat yang akan dilaksanakan. Kalau upacara adat maralob sudah selesai, maka sesuai hasil kesepakatan akan berlanjut kepada pesta adat perkawinan sesuai dengan tanggal dan hari yang sudah ditentukan.

Sebelum pesta adat, terlebih dahulu dilaksanakan pemberkatan pernikahan secara agama. Setelah itu barulah pelaksanaan adat dimulai dengan pertama sekali pihak dari laki – laki


(15)

memberikan makanan kepada pengantin kemudian dilanjutkan kepada saudara dari pihak pengantin wanita dan kepada pamannya. Selanjutnya pihak dari pengantin wanita menyerahkan makanan adat kepada pengantin begitu juga kepada saudara dari pihak pengantin laki – laki dan pamannya. Setelah itu dilanjutkan dengan acara penyambutan dan penghormatan kepada pihak dari laki – laki maupun perempuan yang derajatnya tinggi dalam keluarga dengan cara menari bersama (manortor). Hal ini dilakukan secara bergantian antara pihak pengantin laki – laki dilanjutkan dengan pihak pengantin perempuan dan juga kepada kerabat pengantin. Sesudah acara ini terlaksana barulah dilanjutkan dengan acara makan bersama. Sembari acara makan berjalan, makanan penghormatan (pinggan panganan) berupa “panganan banggal” dan “panganan pinatunggung” dibagikan kepada masing – masing yang berhak menerima makanan tersebut. Setelah acara makan bersama selesai, yang pertama sekali dilakukan pihak pengantin laki – laki adalah menyerahkan sebuah demban yang biasa disebut dengan “demban salpu mangan” (tanda acara makan selesai) kepada pihak pengantin perempuan. Acara selanjutnya ialah penyerahan kain adat (hiou adat) dari pihak pengantin perempuan kepada mempelai dan kaum kerabat pengantin laki – laki yang berhak menerimanya. Selain dalam bentuk kain adat, ada juga pemberian dalam bentuk uang. Sebagai balasan, pihak dari pengantin laki – laki juga memberikan kain adat dan juga sejumlah uang tanda terima kasih. Acara adat ini adalah akhir dari acara adat perkawinan. Tapi sebelumnya pihak dari pengantin laki – laki dan perempuan memberikan sejumlah uang kepada teman sekampung ataupun kepada orang yang hadir di acara adat tersebut.

Dalam pelaksanaan acara adat, terdapat musik untuk mengiringi perjalanan adat tersebut. Dan ensambel yang dipakai disini adalah Gonrang Bolon yang terdiri dari satu buah sarunei bolon, tujuh buah gonrang, dua buah gong yang digantung, dan sepasang sitalasayak. Ataupun


(16)

juga ensambel gonrang sidua-dua yang terdiri dari satu buah sarunei bolon, dua buah gonrang, dua buah gong yang digantung, dan dua buah mongmongan.

Arlin dalam bukunya Gonrang Simalungun menyatakan bahwa upacara ataupun perayaan ini dapat dikatakan tidak sah atau bahkan tidak mungkin dilakukan tanpa diiringi oleh ensambel musik tersebut. Karena perannya sebagai musik pengiring perayaan pada berbagai upacara salah satunya upacara perkawinan. Maka ensambel Gonrang Bolon dahulunya menduduki posisi penting dan sentral. Oleh karena itu, sebelum digunakan biasanya ensambel ini dibuat tata cara adat tertentu yaitu dengan cara pembersihan dari ensambel dan juga para pemain ensambel (2003 : 133)

Pemakaian ensambel tidak dipakai secara terus – menerus. Penggunaan Ensambel pertama sekali dipakai pada saat acara menari bersama (manortor) dan dalam hal ini pemakaian ensambel sah dipakai.

Perkembangan tekhnologi pada saat ini banyak memasuki berbagai aspek kehidupan manusia. Tekhnologi menjadi salah satu unsur yang berkembang dan bertahan sampai sekarang ini, karena perkembangan tekhnologi ini bisa dimanfaatkan oleh manusia. Dan hal ini juga mampu merubah pola kehidupan masyarakat tertentu dan juga mampu mempengaruhi perkembangan unsur kebudayaan yang lain.Dan hal yang berkaitan dengan tulisan ini adalah dalam bidang instrumen musik.

Sekitar tahun 1998 mulai terjadi penambahan pada ensambel dalam mengiringi acara adat perkawinan yang mengakibatkan terjadinya perubahan pada ensambel tersebut. Perubahan ensambel tersebut muncul dikarenakan bertambah dan berkurangnya alat musik lain. Pertambahan alat musik lain seperti dua buah gendang kecil (remo), simbal, hotung bahkan alat musik keyboard. Instrumen tambahan ini digunakan sebagai pengiring dari instrumen yang sudah


(17)

ada sebelumnya Dengan terjadinya perubahan ini, pemakaian Gonrang Bolon sudah jarang ditemukan. Melalui pengamatan dan hasil wawancara dengan beberapa pengiring musik yang terlibat dalam upacara pernikahan tersebut, menyatakan bahwa pemakaian sudah jarang dikarenakan oleh biaya yang jauh lebih mahal kalau menggunakan instrumen tradisi dan juga bahwa sudah kuno memakai ensambel yang lama karena ketika dimainkan bentuk dari musiknya biasa – biasa saja tidak ada modifikasi yang membuat musik itu menjadi lebih kaya dalam hal permainannya. Selain itu juga dengan penambahan alat musik seperti keyboard yang selain mampu menambah variasi dalam permainan musiknya, tapi juga sudah umum dikenal orang banyak dan penggunaannya yang relatif lebih mudah karena sudah diatur oleh program yang ada didalam keyboard tersebut.

Dari perubahan ensambel ini juga akhirnya banyak terjadi perubahan dalam musiknya. Salah satunya seperti dalam lagu-lagunya, misalnya lagu – lagu yang dinyanyikan sering diambil dari daerah lain ataupun juga lagu – lagu pop yang sedang populer seperti lagu selayang pandang, anak medan. Dalam hal tempo juga seringkali berubah bahkan juga dari segi ritmenya. Misalnya dalam hal reportoar yang seharusnya mempunyai tempo lambat terkadang berubah menjadi tempo cepat atau sebaliknya. Hal ini juga terjadi karena faktor permintaan dari yang mempunyai acara. Mereka terkadang meminta lagu – lagu dari luar ataupun juga sering meminta lagu – lagu yang seharusnya mempunyai tempo yang lamban tapi mereka minta tempo yang lebih riang lagi karena menginginkan suasana yang lebih ”hidup”.

Dari hal ini juga mempengaruhi dalam hal manortor (menari). Dalam hal manortor ada saat – saat tertentu tidak memiliki gerakan yang membuat badan terlalu lincah dalam manortorkannya tapi seharusnya dengan gerakan tubuh yang tunduk dan hormat yang memperlihatkan kehikmatan dan keagungan dari tor – tor tersebut.


(18)

Dari perubahan yang terjadi, ada juga hal – hal yang masih berlanjut atau dipertahankan. Misalnya saja seperti adat yang dijalankan masih banyak dipertahankan kemurniannya dan tata cara pemakaiannya, lagu-lagunya masih tetap ada memakai lagu Simalungun.

Masyarakat disekitar menyadari akan perubahan yang terjadi. Hanya saja mereka mengganggap sudah tidak mungkin lagi mengembalikan musik asli yang terdahulu karena musik yang sekarang ini sudah sangat akrab ditelinga mereka dan mereka merasa nyaman dengan musik itu1.

Melihat keadaan tersebut penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai perubahan yang terjadi khususnya dalam musiknya serta bermaksud untuk mengangkat topik ini menjadi sebuah tulisan. Dengan demikian penulis memberi judul “KELANJUTAN DAN PERUBAHAN MUSIK DALAM UPACARA PERKAWINAN ADAT SIMALUNGUN DI DESA SONDI RAYA KECAMATAN RAYA KABUPATEN SIMALUNGUN”

1.2. Pokok Permasalahan

Berdasarkan pada latarbelakang masalah di atas, adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam tulisan ini adalah :

1. Apa fungsi dan penggunaan musik dalam adat perkawinan Simalungun di Desa Sondi Raya.

2. Bagaimana kelanjutan dan perubahan musik dalam adat perkawinan Simalungun ke depannya.

3. Bagaimana perubahan alat musik pada ensambel Gonrang Bolon dan penyajiannya dalam upacara adat perkawinan Simalungun di Desa Sondi Raya.


(19)

1.3. Tujuan dan Manfaat

Tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui fungsi dan penggunaan musik dalam adat perkawinan Simalungun di Desa Sondi Raya.

2. Untuk mengetahui kelanjutan dan perubahan musik dalam adat perkawinan Simalungun ke depannya.

3. Untuk mengetahui perubahan alat musik pada ensambel Gonrang Bolon dan penyajiannya dalam upacara adat perkawinan Simalungun di Desa Sondi Raya

Adapun manfaat dari penulisan ini adalah :

1. Mengenal secara jelas sudah sejauh mana pemakaian musik dalam adat perkawinan Simalungun.

2. Dapat mengetahui kelanjutan dan perubahan musik Simalungun dalam adat perkawinan Simalungun.

1.4. Konsep dan Teori 1.4.1. Konsep

Konsep ialah pengertian abstrak didasarkan atas pandangan yang berbeda – beda atas satu hal tetapi memiliki persamaan dalam istilah. Konsep membatasi dan mengarahkan perhatian seorang penulis pada satu topik.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga Kelanjutan adalah sesuatu yang berlangsung secara berkesinambungan dalam jangka waktu tertentu yang memiliki


(20)

perkembangan (2005 : 2100). Perubahan ialah suatu proses dimana sesuatu keadaan yang berubah dan bisa juga dikatakan dengan peralihan dari suatu masa (ibid : 305).

Upacara yaitu rangkaian tindakan/perbuatan yang terikat dengan aturan adat ataupun perayaan yang dilakukan sehubungan dengan peristiwa penting.

Kenan Purba dalam bukunya yang berjudul Adat Istiadat Simalungun menyatakan bahwa Perkawinan menurut budaya Simalungun adalah bukan hanya menyangkut ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan maksud membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan sejahtera, tetapi menyangkut hubungan antara keluarga dari keduabelah pihak, serta membawa dampak yang luas dalam tata pergaulan dan adat istiadat ditengah – tengah keluarga dan masyarakat (1997 : 54)

Penulis memakai konsep – konsep pendukung upacara seperti yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat. Koenjaraningrat mengatakan bahwa upacara keagamaan terbagi atas empat komponen yaitu :

1. Tempat 2. Saat upacara

3. Benda – benda dan alat upacara 4. Pemimpin dan peserta upacara

Adapun konsep penulis terhadap judul skripsi ini adalah berkembangnya zaman yang semakin modern telah menjadikan adanya perubahan pada komunitas masyarakat, tidak terkecuali pada masyarakat Simalungun. Perubahan yang terjadi di sekitar telah membuat perubahan musik asli Simalungun. Salah satu perubahan yang terjadi disekitar adalah pada musik yang mengiringi perjalanan pesta adat perkawinan. Baik perubahan pada ensambel bahkan juga akhirnya pada musik yang mengiringi perjalanan upacara adat tersebut.


(21)

1.4.2. Teori

Sebagai landasan cara berfikir dalam membahas permasalahan penelitian ini, diperlukan teori – teori yang relevan dengan disiplin ilmu Etnomusikologi. Teori yang digunakan bermanfaat bagi penelitian untuk menunjang data – data atau informasi yang diharapkan. Disamping itu teori merupakan suatu hal yang penting dalam mengkaji permasalahan penulisan yang ada sehingga hasil penelitian memperoleh suatu solusi.

Berkaitan dengan perubahannya, teori yang digunakan adalah menurut dari teori yang dikemukakan oleh Bruno Nettl, yakni 4(four) kinds of history. Nettl menyatakan ada empat tipe yang berlangsung :

1. Menyatakan bahwa musik/nyanyian yang diwariskan, tidak mengalami perubahan sama sekali. Dengan kata lain, lagu tersebut dinyanyikan sama persis, baik sebelum ataupun sesudah diwariskan.

2. Menyatakan bahwa musik/nyanyian yang diwariskan, mengalami perubahan, tetapi hanya dalam versi yang tunggal atau satu petunjuk, sehingga hasil dari warisan itu berbeda dari aslinya tetapi tanpa proliferasi dari elemen – elemennya.

3. Menyatakan bahwa musik yang diwariskan menghasilkan banyak variasi atau perubahan, bahkan beberapa dari musik itu ditinggalkan dan dilupakan; dengan kata lain sebagian ide tetap stabil, sedangkan selebihnya mengalami perubahan.

4. Menyatakan perubahan yang benar – benar total dari musik yang asli, sebagian besar ide musik/lagu itu dirubah sama sekali, bahkan ada yang cenderung menyimpang dari pengembangan ide aslinya.

Teori yang lain yang berhubungan dengan perubahan ini di lihat juga dari pernyataan yang dikemukakan Bruno Nettl dalam tulisannya mengenai musik dan dinamika budaya. Dalam


(22)

tulisan ini dia mengemukakan bahwa terjadinya perubahan budaya tanpa disadari diikuti oleh perubahan musik yang terkandung didalamnya. Perubahan ini dapat terjadi oleh karena dua faktor yaitu perubahan yang terjadi oleh karena pemikiran dari orang – orang yang memiliki budaya dan musik tersebut dan juga faktor dari luar yang membawa pengaruh kedalam budaya tersebut.

Merriam (1964 : 172) mengemukakan bahwa perubahan bisa berasal dari dalam lingkungan kebudayaan atau internal, dan perubahan juga bisa berasal dari luar kebudayaan atau secara eksternal. Perubahan secara internal merupakan perubahan yang timbul dari dalam dan dilakukan oleh pelaku – pelaku kebudayaan itu sendiri, dan disebut juga inovasi. Sedangkan perubahan eksternal merupakan perubahan yang timbul akibat pengaruh yang dilakukan oleh orang – orang yang diluar lingkup kebudyaan tersebut.

Merriam menambahkan bahwa kelanjutan dan perubahan merupakan suatu tema yang digunakan untuk memahami sifat stabil dan dinamis yang melekat dalam setiap kebudayaan. Berkaitan dengan fenomena ini, teori kebudayaan secara umum mengasumsikan bahwa setiap kebudayaan beroperasi dalam kerangka waktu yang terus mengalami kelajutan, dimana variasi – variasi dan perubahan yang terjadi adalah hal yang tidak dapat dielakkan (1964 : 305).

Menurut Shin Nakagawa dalam bukunya yang berjudul musik dan kosmos menyatakan bahwa musik seringkali tidak lagi sesuai dengan konsep dasarnya karena sudah terpengaruhi oleh masuknya musik dari budaya luar dan biasanya pengaruh dari luar sangat luas sehingga model musiknya bisa berubah.

Teori lain yang digunakan adalah teori yang mendukung tradisi oral yaitu teori yang dikemukakan oleh Curt Sachs (Sachs 1948 : 378) dan Bruno Nettl (Nettl 1973 : 3). Inti dari


(23)

tradisi oral ini menyatakan bahwa kebudayaan yang merupakan tradisi lisan, diwariskan dengan cara lisan dari mulut ke mulut. Misalnya : nyanyian atau kebudayaan musik dipelajari

dengan cara mendengarkan lalu meniru apa yang didengar. Demikian seterusnya dari satu orang ke orang lain atau sekelompok orang dari satu generasi ke generasi lain.

Berkaitan dengan penggunaan dan fungsinya, Merriam mengemukakan bahwa penggunaan suatu musik tergantung pada kebiasaan sekelompok masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya. Fungsi musik tersebut ada sepuluh, namun yang akan dibahas hanyalah sebagian saja yaitu :

1. The Function of Communication (fungsi komunikasi)

2. The Function of Emotional (fungsi emosional)

3. The function of physical response (fungsi reaksi jasmani)

4. The function of contribution to the continuity and stability of culture (fungsi

kesinambungan kebudayaan).

1.5. Metode penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif yang bersifat kualitatif, yaitu suatu penelitian yang memaparkan atau menggambarkan dengan kata – kata secara detail, dan perolehan kata yang bersumber dari ungkapan, catatan, atau tingkah laku masyarakat yang diteliti. Didalam juga akan membahas beberapa pendukung dari jalannya upacara tersebut yang mendukung penulisan skripsi ini, antara lain pemimpin yang memimpin selama upacara berlangsung, para pemain yang memainkan ensambel, dan setiap orang yang datang dalam upacara tersebut.


(24)

Untuk mendukung kepada pengumpulan data dalam menjawab segala permasalahan yang ada serta untuk mengaplikasikan metode penelitian yang bersifat kualitatif, penulis akan berpedoman pada disiplin Etnomusikologi seperti yang dikemukakan oleh Nettl, bahwa ada dua kerangka kerja Etnomusikologi yaitu kerja lapangan dan kerja laboratorium. Dan data yang diperoleh berdasarkan dari sumber data yang tepat melalui kata – kata dan selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen ataupun bahan yang lainnya, sumber data tertulis, foto, dan rekaman.

1.5.1. Pemilihan Lokasi Penelitian

Sebagai lokasi penelitian, penulis memilih di Desa Sondi Raya, karena berdasarkan dari segi wilayah, pada saat ini merupakan wilayah yang mayoritas penduduknya adalah suku Simalungun yang selalu menggunakan adat perkawinan Simalungun secara baik.

Alasan lain juga adalah dari segi tempat, Desa Sondi Raya terlalu jauh dan tidak sulit untuk dijangkau. Untuk sampai ke lokasi penelitian, dibutuhkan waktu 3-4 jam perjalanan melalui kendaraan umum.

1.5.2. Studi Kepustakaan

Untuk mendukung tentang penulisan mengenai perubahan penggunaan pada musik pernikahan, penulis juga mencari buku – buku yang relevan terhadap masalah yang dibahas. Walaupun juga sepanjang yang penulis ketahui, buku – buku yang menjelaskan secara terperinci mengenai musik pernikahan Simalungun belum dapat ditemukan. Buku yang mendukung hanyalah memberikan gambaran secara umum tentang kesenian,musik, dan juga adatnya saja.


(25)

Penulis melakukan penelitian mulai bulan Maret 2009, di Desa Sondi Raya Kecamatan Raya Kabupaten Simalungun. Yang menjadi informan pangkal adalah Pdt. Jumahar Harianja, S.th dan yang menjadi informan pokok adalah Bpk Kapimanson Saragih.

Untuk memperoleh data penulis melakukan observasi (pengamatan) secara langsung beberapa upacara perkawinan. Penulis mengumpulkan keterangan – keterangan misalnya jalannya upacara, pelaku, dan masalah – masalah yang relevan dengan pokok permasalahan. Dan data – data yang dibutuhkan dicatat penulis sewktu penulis berada dalam lapangan. Setelah dari pengamatan, penulis melakukan wawancara dengan sebagian orang yang terlibat dalam upacara, pemusik yang mengiringi perjalanan upacara, dan juga kepada informan penulis sendiri

Ada tiga cara yang diungkapkan oleh Koentjaraningrat tapi hanya dua yang diterapkan oleh penulis, yaitu :

1. wawancara berfokus (focus interview) 2. wawancara bebas (free interview)

Dalam wawancara berfokus, pertanyaan selalu berpusat pada pokok permasalahan. Dan untuk menghindari informan jenuh dalam wawancara tersebut maka penulis juga melakukan wawancara bebas yaitu tidak berpusat pada suatu pokok permasalahan saja tetapi pertanyaan dapat beralih ke suatu hal lain.

Untuk merekam permainan musik dalam mengiringi salah satu pernikahan, penulis menggunakan kamera digital dan disamping itu penulis juga menggunakan catatan untuk mencatat hal – hal yang bersangkutan dengan musik dan juga adatnya.


(26)

1.5.4. Kerja Laboratorium

Semua data yang diperoleh dilapangan diolah dalam kerja laboratorium, dengan pendekatan Etnomusikologi. Dan jika data yang dirasa masih kurang lengkap maka penulis melengkapinya dengan menjumpai informan kunci atau informan lain dan hal ini dilakukan berulang – ulang. Dan dalam pengolahan datanya penulis melakukan proses menjaring data, menyeleksi data, menambah data yang kurang.


(27)

BAB II

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN KEHIDUPAN PENDUDUK DESA SONDI RAYA

2.1. Gambaran Umum Orang Simalungun

Simalungun adalah salah satu suku Batak yang sekaligus menjadi nama sebuah kabupaten di Sumatera Utara. Suku Simalungun merupakan bagian dari suku batak diantara lima sub lainnya yakni : Toba, Karo, Pakpak, Angkola, Mandailing. Kabupaten Simalungun terletak antara 02°36’-03°1’ Lintang Utara, dan berbatasan dengan lima kabupaten tetangga yaitu : Kabupaten Serdang Bedagai, Kabupaten Karo, Kabupaten Toba, Kabupaten Samosir, dan Kabupaten Asahan. Wilayah Kabupaten Simalungun mempunyai luas 4.386.6 km² atau 6,12 % dari luas wilayah propinsi Sumatera Utara. Jumlah penduduknya 841.189 jiwa ( Sortaman Saragih, 2008 : 20,21).

Masyarakat Simalungun memandang diri mereka sebagai suatu kelompok etnis yang kuat yang dipersatukan oleh bahasa, musik tradisional, serta adat-istiadat dan kekhasan yang unik yang ada pada budaya masyarakat Simalungun (A.D.Jansen, 2003: 10).

Awal adanya suku ini adalah pada waktu perpindahan gelombang “protomelayu”, ada sekelompok penduduk yang hijrah (pindah) dari India Selatan secara estafet. Awalnya kelompok ini berangkat dari India Selatan menuju Champa (=Thailand sekarang). Setelah beberapa puluh tahun tinggal di Champa, komunitas ini diserang oleh suku Mongolia dari Utara. Kaum pria banyak dibunuh dan wanitanya dikawini para pria Mongolia. Dari hasil perkawinan campuran ini terlahirlah suatu turunan ras baru berkulit sawo matang. Setelah peristiwa serangan tersebut sebagian dari kelompok ini berpindah lagi dan berpencar menuju pulau-pulau di sekitarnya


(28)

(yakni Indonesia dan Philipina). Di Nusantara ada kelompok yang menuju Sulawesi dan ada yang menuju Sumatera. Mereka yang mendarat di Sulawesi tersebut, beranak pinak menjadi suku Toraja. Sementara kelompok yang pindah menuju Sumatera mendarat di Batubahra (sekarang: Batubara dan dari sana mulai menyebar keseluruh pelosok Sumatera bagian Utara. Kelompok inilah yang akhirnya menjadi leluhur orang Simalungun). Di sekitar pantai Batubahra mereka mulai menciptakan perkampungan dan tercatat pada tahun 500-an (Sesudah Masehi) mereka sudah membentuk tatanan masyarakat beserta sistem pemerintahannya. Pemerintahannya berbentuk Kerajaan, yang diberi nama Kerajaan Nagur. Sebagai bukti bahwa Simalungun dulunya adalah peninggalan Kerajaan Nagur, kata Nagur banyak dipakai sebagai nama daerah atau kampung di daerah Simalungun misalnya Nagur usang, Nagur Panei, Mariah Nagur, dan lain-lain ( Sortaman Saragih, 2008 :23-26).

Melihat perjalanan adanya daerah dan suku Simalungun ini dapat dilihat beberapa pendapat mengenai makna nama tersebut yaitu sebagai berikut: Kata “Simalungun” menggambarkan karakter masyarakat Simalungun itu sendiri, namun arti sebenarnya secara tepat sukar untuk dipahami. Kata “Simalungun” dapat di bagi ke dalam tiga suku kata yaitu: Si berarti “Orang”, ma sebagai kata sambung berarti “yang” dan lungun berarti “sunyi, sepi, jarang dikunjungi”. Dengan demikian, Simalungun berarti “ia yang sedih hati, sunyi atau kesepian” (A.D.Jansen, 2003: 10).

D. Kenan Purba dan M. D. Purba memberikan pengertian yang sama mengenai asal nama simalungun.mereka menyebutkan bahwa istilah Simalungun berasal dari kata sima dan lungun. Sima atau sima-sima artinya "peninggalan” atau sisa. Lungun artinya sepi atau sedih. Sehingga dengan penggabungan dua kata tersebut menjadikan simalungun yang artinya peninggalan orang yang sepi atau sedih ( Setia Dermawan Purba, 1994 : 31). Pengertian lain adalah berawal dari


(29)

“si” dan “malungun”. Si artinya yang dan malungun artinya rindu. Jadi Simalungun artinya yang dirindukan.

Berdasarkan pendapat di atas terdapat tiga jenis yang mempunyai pendapat yang berbeda-beda. Pertama yaitu si, ma, dan lungun. Kedua yaitu sima dan lungun. Ketiga yaitu si dan malungun. Dan dari ketiga pendapat tersebut maka dapat diambil kesimpulan bahwa Simalungun itu menggambarkan karakter dari masyarakat itu sendiri dan mengungkapkan kesepian dan kesedihan.

2.2. Deskripsi Desa Sondi Raya

2.2.1. Letak dan Wilayah Desa Sondi Raya

Desa/Nagori Sondi Raya merupakan salah satu desa yang ada di kecamatan Pematang Raya sekaligus menjadi ibu kota Kabupaten Simalungun. Desa ini terletak di atas permukaan laut 900 meter dengan luas wilayah 328,5 Km². Jumlah penduduk Kecamatan Sondi Raya 31,241 Jiwa. Batas-batas wilayah Kecamatan Sondi Raya yaitu: sebelah Utara berbatasan dengan Raya Kahean dan Silou Kahean; sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Dolok Pardamean; sebelah Barat berbatasan dengan Purba dan Dolok Siku; sebelah Timur berbatasan dengan Panombean Panei. Kecamatan Pematang Raya terdiri dari 1 Kelurahan dan 17 Nagori, yaitu: Pematang Raya, Dolok Huluan, Raya Usang, Raya Bayu, Dalig Raya, Merek Raya, Bahapal Raya, Sondi Raya, Bah Bolon, Raya Huluan, Siporkas, Silou Huluan, Silou Buttu, Bongguron Kariahan, Sihubu Raya, Raya Bosi, Simbo Baru, Bintang Maria (Sumber : Kantor Kelurahan Kecamatan Pematang Raya).

Batas – batas Desa/Nagori Sondi Raya adalah sebagai berikut : 1. Sebelah Timur berbatasan dengan desa/Nagori Bahapal Raya.


(30)

2. Sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Pematang raya. 3. Sebelah Selatan berbatsan dengan Kelurahan Pematang Raya. 4. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa/Nagori Sporkas/Bulu Raya.

Desa Sondi Raya masih terbagi lagi atas 5 dusun yaitu : (a) Dusun I, letaknya yaitu: sebelah Timur berbatasan dengan Dusun II; sebelah Selatan berbatasan dengan Dusun III; sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Pematang Raya; sebelah Utara berbatasan dengan Dusun V (Tondang). (b) Dusun II, letaknya yaitu: sebelah Timur berbatasan dengan Persawahan Sondi Raya; sebelah Selatan berbatasan dengan Dusun III (Hapoltakan); sebelah Barat berbatasan dengan Dusun I; sebelah Utara berbatasan dengan Dusun V (Tondang). (c) Dusun III, letaknya yaitu: sebelah Timur berbatasan dengan Nagori Bahapal Raya; sebelah Selatan berbatasan dengan Persawahan Hapoltakan; Sebelah Barat berbatasan dengan Dusun I; sebelah Utara berbatasan dengan Dusun II. (d) Dusun IV, letaknya yaitu: sebelah Timur berbatasan dengan Dusun II; sebelah Selatan berbatasan dengan Dusun I; sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Pematang Raya; sebelah Utara berbatasan dengan Nagori Siporkas. (e) Dusun V, letaknya yaitu: sebelah Timur berbatasan dengan Nagori Bahapal Raya; sebelah Selatan berbatasan dengan Dusun II; sebelah Barat berbatasan dengan Dusun IV; sebelah Utara berbatasan dengan Nagori Siparkas (Sumber: Kantor Kepala Desa Sondi Raya, 2009).

2.2.2. Sejarah dan Asal-usul Sondi Raya

Sondi artinya wilayah yang letaknya di atas atau lebih tinggi. Arti lainnya adalah dikatakan tempat perhentian/peristirahatan kuda, dahulu tempat ini sering jadi tempat persinggahan orang-orang yang mau bepergian kesegala tempat dan selalu melewati daerah ini. Sehingga dikatakan daerah ini merupakan jalan lintas.


(31)

Kata “Raya” berarti Besar atau luas. Kata ini selalu dipakai disetiap nama Desa. Baik di depan atau di belakang nama Desa. Misalnya Bulu Raya, Pematang Raya, Pahapal Raya, Raya Bayu, dan beberapa desa lainnya.

Terbentuknya desa ini adalah saat dipanggilnya kembali dari Raya yaitu Puang Lima yang namanya Juram Saragih Sumbayak yang disuruh untuk membuat tempat di Simarimbun yang juga tujuan lainnya untuk mempersiapkan kekuatan melawan Belanda yang posisinya di Sordang Ampadang/Tebingtinggi. Karena pada waktu itu Puanglima berada di Pematang Raya yang ditangani Jamaitan Saragih dengan Rahajam Saragih (dua orang bersaudara). Akhirnya dibuatlah satu kampung baru untuk tempat tinggal mereka yang letaknya atau posisinya pada waktu itu di sekitar Sinumbah Sondi (tempat pemberian sesajen kepada dewa) dan kemudian nama itu disebut Sondi Raya. Terbentuknya daerah ini sekitar tahun 1800. Daerah ini adalah daerah yang paling tua dari daerah yang lain.

Orang yang pertama kali ditetapkan sebagai teman dari keluarga Juram Saragih untuk menempai desa ini adalah keturunan Tuan Bolon yaitu Bapa Rawa, keturunan Raja Usang yaitu Tarama Sumbayak, Jogim Damanik, Fattas Siboro, turunan Hubual Purba Tambak.

Keberadaan tempat tinggal saat itu masih jarang-jarang sekali dan mayoritas masih memiliki pekarangan yang luas. Semakin lama desa ini berkembang dan akhirnya semakin banyak juga yang mengenal desa ini. Banyak orang berdatangan dan memutuskan untuk tinggal di desa ini. Para pendatang ini kebanyakan bukanlah orang Simalungun melainkan orang jawa, toba bahkan orang cina yang mencoba membuka usaha di desa ini. Seperti itulah Sondi Raya, semakin bertambah tahun semakin luas dan semakin banyak jumlah penduduknya.


(32)

2.3. Komposisi Penduduk Desa Sondi Raya

2.3.1. Menurut Umur dan Jenis Kelamin Tiap Dusun

Desa Sondi Raya memiliki penduduk dengan jumlah 4210 jiwa yang terdiri dari 1052 kepala keluarga. Mayoritas penduduk Desa Sondi Raya adalah suku Batak Simalungun, namun terdapat juga suku bangsa lain yaitu pendatang di Desa ini seperti Batak Toba dan Jawa, Cina.

Tabel berikut akan memaparkan secara terperinci tentang jumlah dan komposisi penduduk yang terdapat di Desa Sondi Raya berdasarkan umur dan jenis kelamin :

Tabel I. Komposisi Jumlah Penduduk Menurut Umur dan Jenis Kelamin Menurut Jenis

Kelamin

Umur/Tahun N

o

Nama Dusun

Laki-laki Perempuan 0-6 7-10 11-16 17-55 55 keatas 1 Sondi Barat 553 542 83 139 291 611 89 2 Sondi Timur 538 543 97 161 239 551 97 3 Hapoltakan 429 401 163 122 184 491 58 4 Bah Biru 208 209 21 70 94 151 43

5 Tondang 402 385 37 101 137 224 56

Jumlah 2130 2080 401 593 945 2028 343

Sumber: Kantor Kepala Desa Sondi Raya, 2009

Desa Sondi Raya yang paling banyak adalah berusia 17-55 tahun sebanyak 2028 Jiwa atau 48,17 %. Sedangkan jumlah terkecil pada usia 55 ke atas tahun berjumlah 343 Jiwa atau sekitar 8,14 %. Mayoritas penduduknya adalah laki-laki berjumlah 2130 jiwa atau 50,59%.


(33)

Sedangkan perbedaan antara jumlah penduduk laki-laki dan perempuan secara keseluruhan adalah 50 Jiwa atau 1,18 %.

2.3.2.Komposisi Penduduk Desa Sondi Raya Menurut Agama

Desa Sondi Raya mayoritas memeluk agama Kristen Protestan sebanyak 3550 jiwa atau 84,92 %. Penduduk Desa yang beragama Kristen selalu pergi ke Gereja setiap hari minggu dan mereka juga mempunyai kegiatan yang lain seperti latihan koor ataupun pertemuan-pertemuan yang biasa disebut dengan partonggoan ataupun pertemuan antar serikat (STM). Penganut agama yang lain yaitu Muslim juga mempunyai kegiatan keagamaan sekali seminggu yaitu setiap hari Jumat mereka selalu pergi sembahyang dan juga kegiatan lain seperti pengajian para ibu. Dalam kegiatan – kegiatan keagamaan yang lain, masyarakat di Desa ini saling tolong – menolong. Salah satunya terlihat dari pada saat persiapan upacara pernikahan. Mereka sama-sama saling membantu mengerjakannya, misalnya seperti mempersiapkan makanannya. Dan juga untuk menghormati tamu-tamu yang beragama Muslim, maka sebagai makanannya biasanya mereka memotong kerbau atau menyediakan nasi kotak/ bungkus dan biasanya dipesan atau dimasak oleh orang muslim juga.

Tabel berikut akan memaparkan secara terperinci tentang komposisi penduduk Desa Sondi Raya menurut agama.

Tabel II. Komposisi Penduduk Desa Sondi Raya Menurut Agama

No Agama Jumlah

1 Islam 406 Jiwa


(34)

3 Kristen Katolik 224 Jiwa

Jumlah 4180 iwa

Sumber: Kantor Kepala Desa Sondi Raya, 2009

2.3.3. Pola Pemukiman

Seperti dijelaskan di atas Desa Sondi Raya terdiri dari lima dusun, Berdasarkan tabel di bawah ini dapat kita ketahui bahwa penduduk Desa Sondi Raya jumlah penduduk yang paling banyak adalah di Dusun I dengan jumlah penduduk 312 KK dan 1096 Jiwa atau 25,70 %, sedangkan jumlah penduduk yang terkecil adalah Dusun IV dengan jumlah penduduk 102 KK dan 417 Jiwa atau 9,90 %.

Tabel berikut ini akan memaparkan secara terperinci tentang kelima dusun tersebut. Tabel III. Komposisi Penduduk Desa Sondi Raya Menurut Jumlah Dusun

No. Nama Dusun Jumlah KK Jumlah Penduduk

1 Sondi Barat 312 KK 1096 Jiwa

2. Sondi Timur 294 KK 1081 Jiwa

3. Hapoltakan 212 KK 830 Jiwa

4. Pah Biru 102 KK 417 Jiwa

5. Tondang 132 KK 787 Jiwa

Sumber: Kantor Kepala Desa Sondi Raya, 2009

Secara umum, letak jalan daerah Sondi Raya sudah tertata rapi. Ini dapat dilihat dari jalan besar sepanjang Kecamatan Pematang Raya. Namun, masih ada beberapa wilayah yang belum tertata rapi. Dikarenakan oleh letak tanah yang dipergunakan untuk persawahan ataupun


(35)

juga ladang sehingga sebagian rumah-rumah penduduk ada yang secara mengelompok dan ada juga yang berada di persawahan atau ladang pribadi.

Bentuk-bentuk rumah penduduk sudah hampir sama dengan rumah-rumah di perkotaan. Kebanyakan rumah di desa ini sudah termasuk golongan semi permanen dan biasa (papan). Jarak rumah yang satu dengan yang lain tidaklah sama. Ada yang yang hanya berbatasan dengan dinding, ada yang berjarak 5 atau 10 meter. Bahkan ada juga yang lebih dari 10 meter. Pada umumnya rumah yang berjarak mempunyai halaman. Dan biasanya halaman ini dapat menjadi sarana jika ada acara-acara misalnya acara pernikahan.

Rumah-rumah di Desa ondi Raya sudah mendapat aliran listrik dari PLN dan aliran air minum (PAM). Selain itu sebagian rumah penduduk sudah menggunakan jaringan telepon dan masyarakatnya mayoritas juga sudah memiliki alat komunikasi genggam yaitu handphone.

2.3.4. Menurut Pendidikan

Komposis penduduk Desa Sondi Raya menurut pendidikan dapat kita lihat pada tabel berikut ini:

Tabel IV. Komposisi Penduduk Desa Sondi Raya Menurut Pendidikan

No Tingkat Pendidikan Jumlah

1. Tidak Pernah Sekolah 95 Jiwa

2. Tamat SD 297 Jiwa

3. Tamat SMP 159 Jiwa

4. Tamat SMA 2642 Jiwa

5. Perguruan Tinggi 701 Jiwa


(36)

Sumber: Kantor Kepala Desa Sondi Raya, 2009

Dari tabel di atas dapat kita lihat bahwa penduduk desa Sondi Raya sudah mendapat pendidikan sekitar 3894 Jiwa atau 95,15 %. Menurut tingkat pendidikan mayoritas tamatan SMA sebanyak 2642 Jiwa atau 62,75 %. Sedangkan penduduk yang sampai ke tingkat perguruan tinggi sekitar 701 Jiwa atau 16,65 %. Diantara mereka yang mengikuti perguruan tinggi ada yang di Pematang Siantar, Medan, bahkan di luar Sumatera, seperti di Pulau Jawa.

Dengan melihat tingkat pendidikan tersebut, maka secara umum tingkat pendidikan di desa ini sudah tergolong menengah.

2.3.5. Sistem Mata Pencaharian

Sebagian besar penduduk desa ini memiliki mata pencaharian sebagai petani, namun ada juga sebagai pedagang, pegawai, kuli bangunan dan lain sebagainya. Secara terperinci tentang mata pencarian penduduk desa ini akan dijelaskan pada tabel berikut ini:

Tabel V. Komposisi Penduduk Desa Sondi Raya Menurut Mata Pencaharian

No Mata Pencaharian Jumlah

1. Karyawan ABRI 23 KK

2. Pedagang / Pengusaha 168 KK

3. Karyawan swasta diluar petani 69 KK

4. Pensiunan 112 KK

5. Pengangguran 315 KK

6. Fakir miskin 246 KK


(37)

Jumlah 1316 KK Sumber: Kantor Kepala Desa Sondi Raya, 2009

Tabel di atas menunjukkan bahwa mata pencaharian penduduk Desa Sondi Raya yang terbesar adalah petani sebanyak 383 jiwa atau 29,10 %. Desa ini merupakan daerah pertanian. Beberapa jenis tanaman pertanian yang terdapat di desa ini antara lain: kopi, padi, jagung, pisang, sayur-sayuran, dan tanaman lainnya. Hasil dari pertanian ini sebagian dijual kepada konsumen dan sebagian lagi dipergunakan untuk keperluan sendiri. Setiap satu kali dalam seminggu mereka menjual hasil pertanian mereka ke pekan yang selalu ada setiap hari sabtu ataupun ke daerah lain yang juga sedang mengadakan pekan tapi yang bukan hari sabtu dan juga terkadang mereka membawanya ke daerah terdekat yaitu Siantar untuk di jual ke pajak.

2.4. Sarana dan Prasarana Sosial

Sarana dan prasarana sosial yang cukup memadai dapat meningkatkan kehidupan sosial masyarakat dalam segala bidang. Demikian juga halnya dengan Desa Sondi Raya yang sudah memiliki berbagai sarana dan prasarana sosial yang cukup memadai. Berikut ini tabel yang menjelaskan tentang prasarana dan sosial yang dimiliki oleh Desa Sondi Raya.

Tabel VI. Sarana dan Prasarana Sosial Desa Sondi Raya

No Sarana Prasarana Jumlah

TK 2 SD 4 SMP 3 1. Sarana Sekolah/Pendidikan


(38)

Mesjid 2 2. Sarana Agama/Tempat Ibadah

Gereja 5 3. Sarana Sosial Balai Pertemuan 1

Posyandu 1 Polindes 1 4. Sarana Kesehatan

Puskesmas 0

Jumlah 37

Sumber: Kantor Kepala Desa Sondi Raya, 2009

Sarana pendidikan sudah ada dari tingkat TK sampai tingkat SMA dengan jumlah 11 unit atau sekitar 47,36 %; sarana agama/tempat ibadah berjumlah 7 unit atau sekitar 36,84 %; sarana sosial berjumlah 1 unit atau sekitar 5,26 %, dan sarana kesehatan berjumlah 2 unit atau sekitar 10,52 %.

Dengan demikian sarana yang paling banyak di desa ini adalah sarana pendidikan, sehingga sebagai hasilnya dapat kita lihat bahwa penduduk desa ini secara umum sudah mengecap pendidikan hingga ke tingkat SMA. Sarana sosial biasanya digunakan untuk acara-acara pertemuan untuk membahas beberapa masalah dan perkembangan-perkembangan yang ada, selain itu juga untuk kegiatan-kegiatan keagamaan seperti perayaan Natal, Isra Mizrad dan parayaan-perayaan lainnya.


(39)

2.5. Sarana Dan Prasarana Perekonomian

Untuk menunjang perekonomian penduduk Desa Sondi Raya terdapat sarana dan prasarana perekonomian. Tabel di bawah ini akan memaparkan tentang sarana dan prasarana perekonomian yang dimiliki Desa Sondi Raya yaitu sebagai berikut:

Tabel VII. Sarana dan Prasarana Perekonomian Desa Sondi Raya

No Jenis Sarana/Prasarana Jumlah

1. Pasar Tradisional 0

2. Kantor Swasta 1

3. Servis Kendaraan 6

4. Kedai Kopi/Makanan 10

5. Kedai Sampah/Kelontong 11

6. Tukang Jahit 4

7. Tukang Pangkas/Salon 5

8. Panglong 2

9. Warung Telepon (Wartel) 0

10. Percetakan/Foto copy 1

Jumlah 40

Sumber: Kantor Kepala Desa Sondi Raya, 2009

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa sarana dan prasarana perekonomian di Desa Sondi Raya cukup memadai. Pasar tradisional tidak terdapat di Sondi Raya namun terdapat di Pematang Raya. Penduduk desa biasanya pergi ke Pasar tradisional Pematang Raya untuk


(40)

memenuhi kebutuhan pokok yang selalu berjalan setiap satu kali dalam seminggu yaitu pada hari sabtu.

2.6. Transportasi

Sarana transportasi yang terdapat di Desa Sondi Raya sudah cukup memadai. Seperti sepeda motor atau ojek, becak mesin, bus umum ataupun juga angkutan umum. Jalan yang dilewati masyarakat untuk menuju kota maupun ke desa yang lain terdiri dari jalanan aspal dan juga tanah.

Jika penduduk desa ingin bepergian atau menghadiri suatu pesta atau upacara-upacara adat seperti upacara perkawinan, maka mereka datang dengan berjalan kaki atau ada juga yang menggunakan sarana transportasi yang ada di Desa tersebut.

2.7. Sistem Kekerabatan

Kenan Purba dalam bukunya “Adat Istiadat Simalungun” menyatakan bahwa Kekerabatan timbul akibat 2 hal, yaitu disebabkan adanya hubungan darah dan akibat adanya perkawinan. Oleh karena kekerabatan menyangkut jauh dekatnya hubungan seseorang (individu) dan antara seseorang dengan sekelompk orang (keluarga) demikian pula sebaliknya.

Golongan marga induk yang ada di Simalungun adalah Purba, Saragih, Sinaga, dan Damanik. Masing-masing marga masih mempunyai cabang sendiri. Dari setiap marga nantinya juga mempunyai peran masing-masing dalam setiap pelaksanaan upacara adat misalnya upacara perkawinan. Adapun marga – marga di Simalungun beserta cabang-cabangnya adalah sebagai berikut :


(41)

1. Purba, cabang-cabangnya adalah Purba Tambak, Purba Sidasuha, Purba Sidagambir, Purba Sidadolog, Purba Pakpak, Purba Tondang, Purba Siboro, Purba Raya, Purba Girsang, Purba Tanung, Purba Tambunsari, Purba Sigumonrong dan Purba Silangit. 2. Saragih, cabang-cabangnya adalah Saragih Sumbayak, Saragih Garingging, Saragih

Sidauruk, Saragih Turnip, Saragih Simarmata, Saragih Munthe, Saragih Simanihuruk, Saragih Sitio, Saragih Daawak, dan Saragih Sitanggang.

3. Damanik, cabang-cabangnya adalah Damanik Malau, Damanik Bariba, Damanik Limbong, Damanik Tomok, Damanik Ambarita, Damanik Rampogos, Damanik Gurning, Damanik Soula, Damanik Sarasan, Damanik Usang, Damanik bayu.

4. Sinaga, cabang-cabangnya adalah Sinaga Sidahapitu, Sinaga Sidahalongan, Sinaga Simaibun, Sinaga Sidasuhut, Sinaga Simanorang, Sinaga Simandalahi, Sinaga Dadihoyong Hataran, dan Sinaga Dadihoyong Bodat.

Menentukan bagaimana jauh dekatnya seseorang di dalam kekerabatan menurut adat istiadat Simalungun, kriteria yang digunakan ialah menurut garis keturunan pihak laki-laki (ayah) dan pertalian darah akibat perkawinan (dari pihak perempuan). Namun yang menentukan ialah menurut garis keturunan ayah karena etnik Simalungun menganut faham patrilineal discent bahwa garis keturunan laki-laki yang membawa marga. Dari pihak ibu juga menduduki posisi yang penting yaitu sebagai tempat meminta berkat (pasu-pasu). Dilihat dari sini, maka terdapat hubungan kekerabatan yang erat antara pihak laki-laki dengan kelompok keluarga dari pihak perempuan.

Dengan sistem kekerabatan yang demikian, maka kelompok kekerabatan menurut budaya Simalungun terdiri dari 3 jenis yaitu kelompok keluarga inti; kelopompok di luar keluarga inti (keluarga besar); dan kelompok keluarga luas.


(42)

Keluarga inti adalah ayah/suami, ibu/istri, dan anak-anak(laki-laki dan perempuan). Anak- anak yang sudah menikah (berumah tangga) tidak lagi termasuk dalam kelompok inti sebab sudah mempunyai keluarga inti sendiri. Keluarga diluar inti (keluarga besar) adalah kerabat ayah/suami dan kerabat ibu/istri. Kelompok keluarga ini uga keluarga dekat atau sering disebut namatondong maranak boru atau uga sering disebut tol sahundulan.

Kelompok keluarga luas adalah suatu hubungan kekerabatan akibat adanya perkawinan dari kerabat suami dan adanya perkawinan dari kerabat istri yang akhirnya menadi kelompok keluarga yang lebih besar. Dalam hal ini sering disebut lima saodoran.

Sistem kekerabatan yang dimiliki oleh masyarakat Simalungun adalah berdasarkan pada prinsip tolu sahundulan dan lima saodoran. Tolu sahundulan terdiri dari tondong (kelompok kerabat istri), sanina (sanak saudara satu keturunan/marga), anak boru (pihak ipar). Dalam pengaturan tempat duduk (parhundulan) pihak dari sanina di “jabu bona” (sebelah kanan rumah), pihak kelompok tondong disebelah kanan pihak sanina, dan pihak anak boru disebelah kanan pihak tondong. Itulah sebabnya dikatakan tolu sahundulan (pengaturan tempat duduk dalam tiga kelompok).

Lima saodoran ialah kerabat keluarga luas yang merupakan gabungan dari seluruh lembaga adat. Hal ini terjadi pada upacara besar dan luas. Jadi pengertian lima disini ialah yang dihadiri oleh lima kelompok kerabat yang terdiri dari tondong (kelompok istri), sanina (sanak saudara satu keturunan/marga), anak boru (pihak ipar), tondong ni tondong (kelompok pemberi istri kepada tondong), anak boru mintori (kelompok boru dari ipar). Dalam setiap upacara adat, kaum kerabat tersebut membawa rombongan masing-masing dengan bawaannya (buah tangan) masing-masing. Tetapi karena mereka terdiri dari satu kaum kerabat, maka buah tangannya


(43)

dibuat menadi satu. Sebagai contoh misalnya pada saat upacara perkawinan, rombongan dari tiap kaum kerabat membuat acaranya secara bergiliran.

Adanya sistem kekerabatan tersebut maka semua orang baik individu maupun kelompok di luar keluarga inti dan kelompok keluarga luas masing-masing memiliki posisi atau kedudukan dan hak serta kewajiban dalam pelaksanaan setiap upacara adat serta sebagai dasar musyawarah dalam pembicaraan untuk pelaksanaan upacara adat. Susunan kekerabatan tolu sahundulan, lima saodoran juga kita diumpai di Desa Sondi Raya. Hal ini dapat dilihat dalam setiap acara, baik yang bersifat sukacita seperti upacara perkawinan Maupun yang bersifat dukacita seperti upacara kematian. Pada setiap pelaksanaan upacara, semua akan saling bekerja sama.

2.8. Bahasa

Bahasa adalah alat komunikasi yang dipakai oleh manusia untuk mengungkapkan dan mengemukakan apa yang dipikirannya terhadap orang lain. Bahasa Simalungun adalah bahasa yang dipakai oleh masyarakat Simalungun dalam kehidupannya sehari-hari. Bahasa Simalungun mempunyai beberapa etnis dalam pemakainnya dan biasa juga disebut dengan tingkatan-tingkatan bahasa. Tingkatan ini ada berdasarkan status keraaan sebelum kemerdekaan. Etnis tingkatan tersebut yaitu bahasa tingkatan, bahasa ratap tangis, bahasa guru-guru atau datu-datu, bahasa simbol, bahasa biasa dan memperluas, bahasa upacara.

Bahasa tingkatan adalah bahasa yang dipakai untuk berbicara kepada orang lain berdasarkan status social ataupun juga umur. Bahasa tingkatan ini dibagi atas dua bagian yaitu : bahasa yang dipakai terhadap raja-raja. Pemakaian bahasa ini harus dengan sopan dan ramah. Dan bahasa tingkatan yang kedua adalah berdasarkan tingkatan usia. Yang muda harus lebih sopan dalam bertutur kepada yang lebih tua.


(44)

Bahasa ratap tangis adalah bahasa yang digunakan dalam kata-kata sehari-hari dan juga ditujukan dalam mengekpresikan kesedihan akibat kemalangan. Bahasa guru-guru atau datu adalah bahasa yang dipakai seolah-olah bahasa itu rahasia. Dan hanya orang tertentu yang mengetahui bahasa tersebut.

Bahasa simbol adalah bahasa yang dipakai dalam mengungkapkan sesuatu dengan cara memakai perantaraan. Misalnya benang, daun-daunan atau benda lain. Contoh pemakaiannya adalah misalnya seoarng pria hendak menyatakan cinta kepada seorang wanita dengan cara memberikan benang 3 warna yang masing-masing warna mempunyai arti. Seperti warna hitam artinya menolak pria tersebut, benang merah yang diberikan pria menandakan bahwa dia akan tetap mencintai perempuan tersebut sampai mati. Benang putih menyatakan bahwa wanita menerima cinta pria tersebut.

Bahasa biasa dan memperluas adalah bahasa yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa ini terdiri atas tiga bagian yaitu : bahasa halus, kasar dan biasa. Bahasa halus biasa dipakai dengan sangat sopan dan hormat. Biasanya dipakai kepada orang yang lebih tua atau yang disegani. Bahasa kasar biasanya dipakai kepada hewan/binatang. Bahasa biasa dipakai dalam kehidupan sehari-hari/interaksi dengan sesama. Bahasa upacara adalah bahasa yang dipakai dalam upacara-upacara adat, misalnya upacara perkawinan. Pemakaian bahasa disini haruslah dengan sopan dan saling menghormati.

Tingkatan-tingkatan bahasa diatas sudah jarang dipakai karena sudah tidak ada lagi perbedaan status sosial dalam masyarakat Simalungun. Hanya saja pemakaian bahasa Simalungun masih tetap digunakan dengan baik dan sopan.

Desa Sondi Raya dalam kesehariannya masih menggunakan bahasa Simalungun. Walupun juga terkadang memakai bahasa Indonesia. Dalam pelaksanaan upacara perkawinan


(45)

umumnya memakai bahasa Simalungun tapi karena yang menghadiri upacara tersebut bukan hanya masyarakat Simalungun, jadi bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia ataupun bahasa dari suku lainnya.

2.9. Sistem Religi

Manusia memecahkan persoalan hidupnya dengan akal dan sistem pengetahuannya. Tetapi akal dan sistem pengetahuannya itu ada batasnya. Makin terbelakang kebudayaan manusia maka makin sempit lingkaran batasnya. Persoalan yang tidak dapat dipecahkan dengan akal dipecahkan dengan ilimu gaib (magic). Pada waktu itu religi belum ada dalam kebudayaan manusia. Lambat laun terbukti bahwa tidak ada hasil dari kekuatan magic itu. Maka mulailah manusia mencari kekuatan lain yaitu dengan melihat bahwa roh pemilik alamlah yang lebih berkuasa. Maka beralihlah pandangan manusia dengan mencoba menjalin hubungan dengan roh pemilik alam itu. Dengan demikian timbullah religi. Religi adalah segala system tingkah laku manusia untuk mencapai suatu maksud dengan cara menyandarkan diri kepada kemauan dan kekuasaan mahluk-mahluk halus seperti roh halus, dewa-dewa, kekuatan alam semesta dan sebagainya (Koenjaraningrat, 1980 : 54).

Kekuatan yang ada dalam alam semesta terdiri dari tonduy, begu, simagot, dan sahala. Tonduy adalah jiwa ataw roh seseorang sekaligus merupakan kekuatan bagi diri sendiri. Begu adalah roh dari orang yang telah meninggal dan mengembara di alam semesta dan mu mengganggu manusia. Simagot adalah roh nenek moyang yang telah meninggal yang hidup di alam semesta dan dapat membantu keturunannya jika di puja dengan baik. Sahala adalah semangat atau roh yang dimiliki oleh manusia selama masih hidup (Tesis Dermawan Purba, 1994 : 63).


(46)

Dalam rangka menjaga hubungan dengan roh nenek moyang dan roh halus lainnya maka diadakan ritus-ritus seperti : (1)manumbah yaitu mengadakan penyembahan kepada dewanya dengan membawa benda-benda sesembahan. Tempat yang biasa dibuat adalah tempat yang khusus karena sifatnya yang sacral ; (2)maranggir yaitu mengadakan suatu ritus membersihkan diri/badan dengan cara membersihkan rambut dan badan dengan jeruk purut. Hal ini biasanya dilakukan sebelum mengadakan acara-acara seperti perkawinan. Maksudnya ini adalah supaya tidak ada penghalang ataupun gangguan dari roh yang jahat ; (3) manabari/manulak bala yaitu suatu acara mengusir roh jahat yang mengganggu kesehatan penduduk desa. Hal ini dilakukan dengan cara memukul atau melempari rumah dengan pasir dengan dipimpin oleh seorang guru/datu ; (4) marbahbah yaitu suatu acara ritual yang dilakukan pada seoarang bayi yang baru lahir dengan tujuan agar si anak sehat dan tidak sakit-sakitan.

Kepercayaan/ritual yang terdapat di atas dahulunya juga ada di Desa Sondi Raya. Namun dengan majunya zaman yang semakin modern dan datangnya para missionaris dari luar maka semuanya itu mulai berkurang. Agama yang masuk dan akhirnya tetap diyakini mereka sampai saat ini adalah Kristen dan Muslim. Hal ini terlihat dari penduduknya yang selalu beribadah dan melakukan kegiatan keagamaan.

2.10. Kesenian Tradisional Masyarakat Simalungun

Kesenian adalah suatu hasil ciptaan manusia yang menunjukkan rasa keindahan. Setiap etnis pasti mempunyai kesenian yang mempunyai karakteristik masing-masing. Demikian juga halnya dengan masyarakat Simalungun. Kesenian tersebut yaitu : seni musik, seni tari, seni rupa.

Sama halnya dengan Desa Sondi Raya. Desa ini juga mempunyai kesenian-kesenian yang sudah ada sejak dahulu hanya saja sudah sangat jarang dipergunakan saat ini. Dalam hal


(47)

mengadakan acara kesenian tradisional juga. Mereka biasanya mengadakan acara kesenian sekali dalam setahun yaitu setiap akhir bulan Desember. Acara ini mereka sebut dengan acara marsombuh sihol. Kegiatan yang dilakukan hanyalah sesuatu yang berbentuk hiburan saja yaitu bernyanyi dan menari yang diiringi oleh keyboard. Lagu-lagu yang biasa dinyanyikan adalah lagu-lagu daerah baik lagu lama dan juga lagu baru yang pada saat itu sedang musimnya. Mereka mengadakan ini untuk menyambut tahun baru sekalian menyambut warga yang sudah lama merantau karena biasanya setiap tahun selalu ada saja warga yang pulang untuk berlibur. Pelaksana dari acara kesenian ini adalah para pemuda yang tinggal di daerah setempat.

2.10.1. Seni Musik

Masyarakat Simalungun memiliki dua jenis musik yaitu musik vokal/seni suara (inggou) dan musik instrumental (gual). Musik vokal (inggou) ada dua jenis yaitu, musik vokal solo dan musik vokal berkelompok (nyanyian kelompok). Musik vokal solo disebut Doding sedangkan musik vokal kelompok (nyanyian kelompok) yang dibawakan secara berkelompok atau bersama disebut Ilah. Seperti yang diungkapkan dalam tesis Setia Dermawan Purba bahwa ada berbagai jenis nyanyian Simalungun diantaranya taur-taur dan simanggei, ilah, doding-doding, urdo-urdo dan tihta, tangis dan tangis-tangis, manalunda, orlei dan mandogei. Musik instumental (gual) yang terdapat di Simalungun juga terbagi atas dua yaitu bentuk yang ensambel (gonrang) dan bentuk tunggal atau solo instrumental.

Gonrang Simalungun terbagi dua yaitu gonrang bolon atau gonrang sipitu-pitu dan gonrang sidua-dua. Gonrang bolon (bolon=besar) atau gonrang sipitu-pitu (pitu=tujuh) adalah ensambel yang menggunakan alat musik dalam jumlah yang besar yaitu sebanyak tujuh buah. Ensambel yang terdapat dalam gonrang bolon adalah tujuh buah gendang masing-masing


(48)

memiliki ukuran yang berbeda, satu buah sarune sebagai pembawa melodi gual (lagu), dua buah ogung yang terdiri dari ogung sibanggalan (besar) dan ogung sietekan (kecil), dan dua buah mongmongan yang terdiri dari mongmongan sibanggalan (besar) dan momgmongan sietekan (kecil). Sedangkan gonrang sidua-dua adalah sebuah ensambel yang terdiri dari dua alat tabuh. Sidua-dua berarti sepasang alat tabuh. Secara umum gonrang sidua-dua dipakai untuk acara-acara seperti pernikahan, selamatan memasuki rumah baru dan perayaan-perayaan sejenis lainnya (A. D. Jansen, 2003: 38).

Alat musik berbentuk tunggal seperti sordam, saligung, sulim, tulila, sarunei buluh, sarunei bolon, arbab, hodong-hodong, garantung, sitalasayak. Alat musik ini ada yang digunakan untuk upacara-upacara adat ataupun juga sebagai sarana hiburan.

Pada masa sekarang ini pelaksanaan upacara perkawinan musik gonrang sudah sangat jarang dipergunakan malah hampir tidak pernah ada. Saat ini yang selalu dipergunakan adalah musik keyboard dan musik terompet. Ini terbukti dari setiap upacara pernikahan yang penulis lihat. Semua upacara sudah tidak lagi memakai musik gonrang tapi sudah menggunakan musik keyboard. Mereka memakai musik keyboard ini karena sudah kebanyakan orang ketika mengadakan upacara pernikahan selalu memakai musik keyboard. Malahan di Desa ini sudah ada tiga group musik keyboard karena melihat banyaknya peminat yang menyukai musik keyboard ini.

2.10.2.Seni Tari

Seni Tari yaitu segala gerakan yang berirama yang bertujuan untuk menyatakan keindahan, dan untuk mencurahkan rasa suka dan duka. Demikian halnya dengan masyarakat Simalungun yang juga memiliki seni tari mereka menyebutnya dengan Tor-tor. Tor-tor


(49)

Simalungun mempunyai gaya dasar tari ondok-ondok dan ser-ser (Skripsi Rosevlin, 2005 : 42). Sebagian nama-nama tarian Simalungun yang sudah ada dari dahulu sampai sekarang yaitu tortor sombah, tortor dihar, tortor mardogei.

Tortor sombah yaitu torotor untuk menyambut tamu ataupun penghormatan kepada tamu atau rombongan yang baru datang. Bila tortor ini selesai diperlihatkan kepada para tamu barulah yang lain dapat menarikan sesuatu tarian yang diingini dengan gual yang diminta. Gual untuk mengiringi tortor ini disebut gual rambing-rambing.

Torotor dihar yaitu lanjutan dari tortor sombah tapi dengan cara yang berbeda. Para panortor (penari) manortor dengan cara memegang sebilah pedang yang terhunus yang diayunkan kekanan dan kekiri. Maksudnya ini adalah untuk menghalau hal-hal yang tidak baik terhadap apa yang akan dikerjakan ataupun menghalau yang akan mengganggu para tamu. Gual untuk mengiringi tortor ini disebut dengan gual porang.

Tortor mardogei yaitu tortor yang berbentuk hiburan. Tortor ini biasa dipakai saat panen bersama ataupun juga biasa dipakai oleh muda-mudi yang dilakukan sekali dalam setahun saat bulan purnama. Acara ini biasa disebut dengan rondang bittang.

2.10.3.Seni Rupa dan Sastra

Seni rupa (Gorga), yaitu lukisan, ukiran, ragam hias yang dibuat untuk menunjukan keindahan atau menyatakan maksud-maksud tertentu. Ragam-ragam hias Simalungun ini dibagi berdasarkan tempatnya, misalnya ragam hias yang terdapat pada jenis hiou (kain adat), ragam hias yang terdapat pada rumah adat, ragam hias yang terdapat pada peralatan-peralatan dan ragam hias yang terdapat pada mistik (Skripsi Rosevlin, 2005 : 43). Dalam upacara perkawinan bisa dilihat di kain adat yang mempunyai ukiran-ukiran seni Simalungun.


(50)

Sastra, yaitu kata-kata yang diutarakan dalam nasehat-nasehat yang berbentuk umpama (perumpamaan), limbaga (pepatah), hata bura-bura (kata cacian), dan hata sindiran (kata sindiran). Dalam upara perkawinan perumpamaan biasa digunakan pada saat pembuka upacara ataupun juga pada saat memberikan nasehat-nasehat kepada yang memiliki upacara.


(51)

BAB III

UPACARA PERKAWINAN ADAT SIMALUNGUN

3.1. Upacara Perkawinan

Nani Suwondo dalam bukunya “Kedudukan Wanita dalam Masyarakat” mengatakan bahwa perkawinan adalah sumber dari segala perhubungan keluarga dan menimbulkan segala perhubungan di dalam keluarga itu. Perkawinan hendaknya merupakan hal yang terang karena menyimpang dari itu adalah perbuatan pelanggaran terhadap adat dan tidak dikehendaki masyarakat, karena itu menimbulkan ketidakseimbangan hukum-hukum ataupun aturan di dalam masyarakat (Hotradaja, 1974 :55). Pengertian perkawinan dalam hukum adat Simalungun bertitik tolak dari pemikiran atau cita-cita yaitu melanjutkan atau meneruskan keturunan dalam rangka pertalian darah dan sebagai pertautan tali perhubungan perfamilian dalam rangka keluarga baik antar suku Simalungun maupun antar suku-suku lain (Jahutar Damanik, 1974 :185).

Dalam pelaksanaan upacara tersebut melibatkan semua kerabat atau fungsionaris tolu sahundulan, lima saodoran (tondong, sanina, boru, boru mintori, dan tondong ni tondong). Adapun tahapan pelaksanaan ataupun tata cara khusus seperti : (1) persiapan sebelum upacara adat perkawinan, (2) makan bersama, (3) pembagian gori, (4) penyerahan uang mahar (batu ni demban), (5) penyerahan kain adat (hiou adat), (6) acara setelah upacara adat perkawinan. Koentjaraningrat mengatakan bahwa tiap upacara adat dapat dibagi ke dalam empat komponen yaitu:

 Tempat upacara, yaitu tempat yang dikhususkan dan tidak boleh didatangi orang yang tidak berkepentingan.


(52)

 Saat upacara, biasanya dirasakan sebagai saat-saat yang genting dan gawat, dan penuh dengan bahaya gaib. Saat itu biasanya saat-saat yang berulang, tetap, sejajar dengan gerak alam semesta.

 Benda-benda upacara, merupakan alat-alat yang dipakai dalam menjalankan upacara adat.

 Orang-orang yang melakukan upacara, biasanya dapat kita golongkan ke dalam tiga bagian ialah: pendeta, dukun, dan syaman.

Demikian halnya dalam pelaksanaan upacara adat perkawinan pada masyarakat Simalungun juga memiliki keempat komponen tersebut yaitu:

 Tempat upacara, adapun yang menjadi tempat pelaksanaan upacara adalah di rumah atau di halaman rumah pihak mempelai pria.

 Saat upacara, pelaksanaan upacara perkawinan biasanya dimulai pagi hari hingga pada sore hari.

Benda-benda upacara, yaitu (1) Musik, yaitu gonrang bolon atau musik keyboard. (2) hiou, seperti hiou Ragi Pane, Ragi Hidup, Hatirongga, Suri-suri, dan lain sebagainya. (3) Demban (sirih), (4) Uang, (5) Beras, dan lain-lain.

Orang-orang yang melaksanakan upacara, yaitu pihak suhut, tondong, sanina, boru, dan kerabat lainnya.

3.2. Tahapan Perkenalan Sampai Upacara Perkawinan Adat Simalungun 3.2.1. Martondur

Martondur maksudnya adalah menyelidiki seseorang atau masa-masa pendekatan dengan seseorang dalam menentukan siapa saja yang cocok menjadi temannya bergaul. Bila mengarah


(53)

pada kehendak ingin berumah tangga mulailah menggunakan segala kesempatan untuk bergaul sembari mencari tahu kelakuan dari orang yang didekati. Hal inilah yang di sebut dengan martondur. Kesempatan yang di ambil dalam mendekati seseorang adalah dengan cara mencari-cari waktu dimana ada kesempatan. Misalnya di pekan (pasar), di sawah pada saat bekerja atau pada saat si anak gadis sedang bertenun, menumbuk padi, di tenganh perjalanan munuju tempat bekerja atau tempat pemandian,dan lain sebagainya. Yang pastinya dimana ada kesempatan selalu dipergunakan dengan baik.

Dalam pertemuan berduaan dengan situasi yang tepat saling tukar-menukar bahasa pendirian. Berbicara dengan kata-kata kiasan, tidak terus terang, sindir menyindir berupa sanjak dengan syair ataupun berpantun. Selama masa pendekatan, sikap pemuda bernada merendahkan diri dengan pantun-pantun ingin dikasihani bagaikan ibu mengasihani anaknya. Si gadispun juga selalu membalas dengan cara jual mahal walaupun dalam hatinya sudah bersedia menerima namun masih ingin melihat seperti apa si pemuda dan juga latar belakang keluarganya.

3.2.1.1.Manririt

Dalam hal ini cenderung pemuda yang berusaha mendekati perempuan dengan berbagai cara yang harapannya adalah mendapatkan si perempuan. Dahulu cara yang biasa digunakan adalah dengan cara meminjam selendang yang biasanya digunakan perempuan. Hal ini dilakukan hanyalah sebagai sarana atau perantara jika nantinya si pemuda hendak memberikan surat cintanya kepada si perempuan. dan biasanya perempuan akan menolak untuk memberikan selendang miliknya. Biasanya si pemuda akan berusaha sampai si perempuan memberikan selendang miliknya. Jika selendang milik si perempuan berhasil di pinjamnya, maka tidak selang berapa lama si pemuda akan memberikan surat cintanya kepada si perempuan dengan alasan


(54)

mengembalikan selendang yang beberapa hari ia pinjam. Walaupun sebenarnya tujuan utamanya adalah sebenarnya hendak memberikan surat cintanya kepada si perempuan. Ketika si pemuda memberikan surat cintanya, ia juga akan menyisipkan daun sirih sebagai pertanda yang akan dibuat si perempuan. Jika si perempuan memakan daun sirih maka cintanya diterima tetapi jika si perempuan mengembalikan sirih tersebut maka artinya adalah penolakan bagi si pemuda. Dalam hal ini mungkin saja si pemuda tidak akan mendekati si perempuan tapi mungkin juga si pemuda akan terus berusaha sampai si perempuan menerima cintanya. Hal ini bisa saja terjadi berkali-kali. Manririt dapat dilakukan sendiri atau juga bisa melalui perantara teman ataupun juga orangtua. Kalau sekarang mungkin sudah sangat jarang hal seperti itu dilakukan. Pendekatan yang biasanya dilakukan dengan cara menjumpai langsung si perempuan atau juga melalui alat komunikasi. Dan respon dari perempuan tidaklah dengan memberi tanda-tanda tapi lebih kepada ucapan dari si perempuan langsung.

3.2.1.2Mambere Goloman (Memberi Pegangan)

Jika proses pendekatan serta berkenalan sudah di lewati, maka langkah selanjutnya adalah masa pertunangan. Pekerjaan ini bukan lagi antara si pemuda dan perempuan. Tapi sudah menjadi bagian keluarga besar mereka. Dan hal ini dilakukan dengan resmi yaitu dengan cara memberikan barang sebagai bukti keseriusan si pemuda. Yang wajib diberikan adalah berupa barang-barang milik orangtuanya seperti bajut (tapak sirih) dan suting (kerabu/anting-antiung) milik ibunya. Pemberian barang-barang tersebut dibarengi dengan memberikan sejumlah duit yang gunanya untuk keprluan persiapan pernikahan bagi si perempuan. Dahulu hal ini dilakukan supaya saat-saat berpacaran dan pengenalan lebih jauh lagi tidak ada sindiran atau perkataan yang tidak baik dari masyarakat setempat.


(55)

3.2.1.3Marlasa-lasa

Salah satu realisasi dari acara pertunangan adalah dilakukannya acara marlasa-lasa atau pembicaraan mengenai ketentuan-ketentuan yang harus ditempuh kedua belah pihak dalam hal mewujudkan acara pernikahan nantinya. Dalam hal ini, kedua muda-mudi tidak lagi dilibatkan tapi ini lebih cenderung pembicaraan dari orang tua mereka beserta kerabat yang berhak ikut campur dalam persiapan acara pernikahan. Dalam ketentuannya adalah pihak dari pemuda yang datang ke rumah perempuan dengan membawa benda adat atau sirih sembari menerangkan maksud dan tujuan utama mereka. Acara marlasa-lasa dalam adat Simalungun harus dilakukan. Istilahnya acara ini adalah sebagai jembatan menuju acara yang lain. Kalau hal ini tidak dilakukan dapat diganjar dengan hukum adat secara materi.

3.2.1.4Pajabu Parsahapan

Pada waktu yang sudah ditentukan pada saat acara marlasa-lasa, tibalah masanya acara pajabu parsahapan. Dalam hal ini yang dilakukan adalah penyampaian secara resmi mengenai lamaran kepada perempuan dari pihak si pemuda. Hal yang lain juga adalah mengenai penetapan besarnya boli atau uang mahar serta pembagiannya terhadap keluarga dan juga perundingan mengenai apa-apa saja yang akan dilakukan pada saat acara pernikahan. Pada saat ini juga akan di bicarakan di mana tempat yang baik sebagai tempat di dalam melaksanakan upacara adat. Lazimnya pelaksanaan upacara adat dilakukan ditempat calon pengantin perempuan tetapi saat sekarang ini sudah sering dilakukan di tempat calon pengantin pria dengan mempertimbangkan berbagai alasan. Hal ini tergantung kesepakatan kedua belah pihak dimana baiknya dilakukan.

Pada acara pajabu parsahapan segala sesuatu dirundingkan dengan baik dan tidak boleh ada yang tidak ketinggalan karena bisa saja menimbulkan ketidaklancaran pada saat upacara adat


(56)

nantinya. Setelah jelas segala sesuatu maka masing-masing pihak mengadakan persiapan acara pernikahan. Pada hari berikutnya pihak dari pria datang kembali ke rumah orangtua perempuan untuk mencocokkan segala persiapan. Dalam kesempatan ini dirundingkan mengenai undangan atau istilah lainnya manggong.

3.2.1.5.Manggong

Masing-masing pihak menjalankan undangan sering dikatakan manggong. Manggong artinya mengundang. Menurut sejarahnya berasal dari kata gong. Pengumuman yang didahului dengan membunyikan gong. Dalam kata lain berarti adanya suatu berita yang harus didengarkan oleh semua masyarakat setempat. Kalau sekarang hal yang dilakukan adalah dengan cara mengundang langsung orang-orang yang diharapkan akan menghadiri acara pernikahan tersebut. Atau bagi yang beragama Kristen yang sampai sekarang salah satu yang masih dilakukan selain mengundang dengan mendatangi langsung adalah memberikan pengumuman di Gereja atau disebut dengan ting-ting. Ting-ting gereja dilakukan sebanyak 2 kali berturut-turut dalam minggu itu dan biasa disebut tingting marhajabuan I dan tingting marhajabuan II.

3.2.2. Marhajabuan

Menurut ketentuan Hukum Adat Simalungun, rombongan dari pihak laki-laki datang pada waktu petang hari menjelang malam sebelum pesta pernikahan.


(57)

3.2.2.1.Maralob Boru

Tibanya rombongan paralob (pihak yang akan mengambil boru/perempuan) di rumah tondong (rumah orang tua pihak perempuan) biasanya pada waktu menjelang sore hari. Pengantin laki-laki bersama orangtua kandung dalam pakaian adat berada di barisan depan. Kaum kerabat, sanina – tondong dan anak boru berada dalam iringan kaum wanita mengiring di belakang pengantin pria. Kaum wanita sembari membawa junjungan berupa beras di dalam sebuah wadah yang di namai tandok. Sedangkan anak boru jabu menjunjung sebuah wadah yang di namai tapongan di tutup dengan kulit kambing lalu di ikat dengan kain selendang. Tapongan berisikan makanan adat (tumbuan), beras, sirih, dan lain sebagainya.

Rombongan paralob disambut dan diterima baik oleh tondong. Anak boru jabu dari pengantin perempuan membimbing dan menerima rombongan paralob dan memasuki tempat sementara upacara dimulai. Jika semua kaum kerabat terdekat dari kedua belah pihak sudah terkumpul maka acara dimulai.

Pada sekarang ini, acara maralob boru sudah sangat jarang dilakukan pada waktu malam sebelum upacara pernikahan adat. Acara maralob sering disatukan acaranya pada saat acara pajabu parsahapan. Bapak Kapimanson menyatakan bahwa hal ini sering tidak dilakukan lagi karena berbagai alasan seperti misalnya kedua calon pengantin adalah orang yang sudah merantau pastinya mereka tidak mempunyai waktu banyak karena tuntutan pekerjaan dan tidak mempunyai cuti yang banyak dari pekerjaan mereka. Hal lain juga misalnya salah satu calon pengantin bukanlah berasal dari daerah ini. Maka dengan kesepakatan bersama agar tidak bolak-balik ke desa ini maka mereka menyatukan acara maralob boru di acara pajabu parsahapan tetapi setelah acara pajabu parsahapan selesai dilaksanakan. Bahkan ada juga yang membuat acara maralob boru ini setelah acara marpadan di Gereja yaitu seminggu atau dua minggu


(1)

hilang karena pengaruh musik keyboard tadi. Selain itu juga sebagian kurang menerima gerakan-gerakan yang dilakukan ketika menarikannya. Mereka menganggap hal tersebut kurang sopan dan tidak menunjukkan etika yang baik.

4.6. Dampak Perubahan dan Kelanjutan dari Musik Perkawinan Simalungun 4.6.1. Dampak Positif

1. Sebagai sarana hiburan bagi masyarakat untuk menghilangkan kejenuhan sesaat dari pekerjaan yang biasa dilakukan.

2. Masyarakat tidak memandang perubahan itu menjadi suatu gangguan bagi mereka dan mereka bisa menerima perubahan itu.

3. Pihak yang mempunyai acara terbantu dalam hal dana karena dana yang dibutuhkan tidak memakan dana yang besar.

4.6.2. Dampak Negatif

1. Semakin lama akan mempengaruhi keberadaan musik gonrang karena pemakaiannya sudah sangat jarang bahkan hampir tidak pernah ada lagi. Kepunahan akan terjadi jika musik gonrang tidak lagi dimainkan.

2. Mempengaruhi cara manortor atau menarikannya karena musik yang menetukan akhirnya.

3. Kalau tidak pernah dimainkan maka lama kelamaan akan punah dan dikhawatirkan musik gonrang diambil oleh pihak lain yang tidak bertanggung jawab karena tidak adanya hak atau perundang-undangan yang melindungi musik ini.


(2)

BAB V PENUTUP

5.1. KESIMPULAN

Berdasarkan beberapa pemaparan dari bab sebelumnya, akhirnya dapat diambil kesimpulan yang mengarahkan kepada kelanjutan dan perubahan musik didalam upacara perkawinan adat Simalungun yaitu dari segi reaksi dan tanggapan dari masyarakat yang cenderung menerima tanpa mau lebih tahu banyak mana sebenarnya dan seharusnya dilaksanakan dengan baik dan benar. Masyarakat hanya cenderung menikmati musik yang sekarang sudah akrab di telingan mereka. Dari segi kelanjutan dan perubahan musik bahkan adat didalamnya antara lain :

1. Dari segi upacara adat hal-hal yang masih berlanjut adalah Masyarakat di Desa Sondi Raya masih memakai budaya terdahulu yang diwariskan dari generasi ke generasi.

2. Reportoar yang dipakai masih banyak dari daerah Simalungun sendiri sekalipun ada sedikitnya dari daerah lain.

3. Dari segi alat musik yang dipakai masih ada yang dipertahankan yaitu 2 buah gong yang digantung dan sarunei bolon walaupun terkadang juga alat musik ini tidak dipakai.

4. Hal-hal yang sudah berubah adalah waktu dari pelaksanaan adat sudah sangat jauh bergeser. Misalnya dari lamanya upacara adat sudah tidak lagi berhari-hari seperti dahulu. Bahkan beberapa acara yang seharusnya dipisahkan kini sudah disatukan dengan alasan waktu yang tidak banyak dan seolah-olah membuang waktu saja seperti acara maralob boru sebenarnya dilaksanakan malam sebelum upacara adat kini sudah sering


(3)

disatukan pada saat acara setelah pajabu parsahapan ataupun pada saat setelah acara marpadan seminggu sebelum upacara adat.

5. Cara manortor yang seharusnya dengan tempo yang lambat dan penuh keagungan kini sudah tidak terlihat lagi. Yang ada yaitu gerakan yang riang dan bebas dan tidak lagi menunjukkan kehikmatan dari musik yang dimainkan.

6. dari segi musik yang berubah adalah ritme dari musik tersebut yang sudah jauh berbeda. Seharusnya dimainkan dengan lambat tetapi lebih sering dengan tempo yang cepat., jadi seolah-olah musik disini hanya sekedar untuk menghibur saja tanpa menunjukkan makna dari lagu dan musik tersebut.

7. Dari segi alat musiknya. Dahulu memakai ensambel gonrang bolon atau sidua-dua. Tetapi sekarang sudah memakai alat musik keyboard serta tambahannya terkadang memakai cymbal dan terompet.

8. Dahulu pemusik sangat dihormati dan dihargai. Terbukti dari pemberian berupa demban yang betmakna agar pemusikpun turut berpartisipasi dengan baik sepanjang upacara adat. Pemberian demban ini dilakukan ketika hendak memainkan dan ketika upacara adat selesai dilaksanakan. Pada pemusik juga diberikan tempat yang khusus dan tidak sembarang ditempatkan.

5.2. Saran-saran

Dilihat dari pemaparan dan penjelasan yang telah diurai di atas, penulis mengharapkan agar ada lagi selanjutnya penelitian mengenai hal ini karena penulis menyadari skripsi ini belumlah sempurna sehingga diharapkan ada generasi berikutnya yang tertarik untuk menuliskan


(4)

mengenai musik Simalungun khususnya mengenai musik perkawinan Simalungun, mungkin saja di daerah lain yang mempunyai kasus yang sama ataupun kasus yang lain memgenai musiknya.

Diharapkan juga agar pemusik Simalungun kembali dipandang dan dihargai sehingga para pemusik dapat memainkan musiknya lebih baik lagi dan agar musik Simalungun terus diangkat karyanya dan dikenal oleh seluruh budaya di Indonesia bahkan juga dunia. Diharapkan juga agar masyarakat Simalungun dan khususnya masyarakat di Desa Sondi Raya mencintai budaya dan musiknya sendiri dan tidak mau dengan mudah mengikuti budaya dan muaik lain agar budaya dan musik Simalungun dapat lestari.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Chulsum, Umi Kamus Besar Bahasa Indonesia, Novia, Windy Surabaya: Kashiko, Edisi Pertama 2006

Damanik, Jahutar Jalannya Hukum Adat Simalungun,

1974 Pematang Siantar:

Depdiknas Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005 Jakarta: Balai Pustaka, Edisi Ketiga

Jansen, Dietrich Arlin Gonrang Simalungun: Sturktur dan Fungsinya Dalam Masyarakat Simalungun,

2003 Medan: Bina Media

Koentjaraningrat Metode – metode Penelitian Masyarakat,

1973 Jakarta : Gramedia

Manurung, Rosevlin Pengaruh Musik Keyboard Terhadap Gonrang Sipitu-

2005 pitu dalam Upacara Kematian Sayur Matua di Desa

Sarimatondang Kecamatan Sidamanik Kabupaten Medan: Skripsi Sarjana USU


(6)

Merriam, Allan P. The Antropology Of Music,

1964 Chicago: Northwestern University Press

Nakagawa, shin Music dan Cosmos : Sebuah Pengantar Etnomusikologi, 2000 Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Purba, Kenan Adat Istiadat Simalungun: pelaksanaan dan perkembangannya, 1997 Pematang Siantar: Bina Budaya Simalungun

Purba, hotradja dkk Seminar Kebudayaan Simalungun Se-Indonesia (Pertama), 1974 Pematang Siantar : Yayasan Museum Simalungun

Purba, Dermawan Penggunaan, Fungsi Dan Perkembangan Nyanyian

1994 Rakyat Simalungun Bagi Masyarakat Pendukungnya: Studi Kasus di Desa Dolok Mariah Kecamatan Dolok Silau Kabupaten Simalungun Sumatera Utara.

Jakarta: Tesis Pasca Sarjana UI

Saputra, Irman Musik Dalam Upacara Mapag Penganten Pada

2008  Masyarakat Sunda di Kota Medan: Keberlanjutan Dan

Perubahan.