F. Kerangka Teori dan Kerangka Konsep
1. Kerangka Teori
Kebijakan Kriminal criminal policy
Kebijakan kriminal pada hakekatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat social defence dan upaya mencapai kesejahtreraan
masyarakat social welfare, oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari politik kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat.
17
Menurut Mahmud Mulyadi, istilah criminal policy agaknya kurang tepat jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai
“kebijakan kriminal”,
18
karena seolah-olah mencari suatu kebijakan untuk membuat kejahatan kriminal, karena itu beliau berpendapat lebih tepat untuk menggunakan
istilah kebijakan penanggulangan kejahatan.
19
Barda Nawawi Arief mengutip pendapat Sudarto yang mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan kriminal, yaitu:
a. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar
dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana; b.
Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi; dan
17
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Jakarta: Kencana, 2008, selanjutnya disebut Buku II, hlm. 2
18
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ke III Jakarta: Balai Pustaka, 2005, hlm. 149 600.
Criminal Policy yang berasal dari Bahasa Inggris yang sering diterjemahkan dengan Kebijakan Kriminal. Jika diterjemahkan secara harfiah, kebijakan merupakan rangkaian konsep dan asas yang
menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak; sedangkan kriminal adalah sesuatu yang berkaitan dng kejahatan pelanggaran hukum yang
dapat dihukum menurut undang-undang.
19
Mahmud Mulyadi, Criminal Policy: Pendekatan Integral Penal Policy dan Non Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008, hlm. 50
Universitas Sumatera Utara
c. Dalam arti paling luas yang beliau ambil dari Jorgen Jepsen, ialah
keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-bandan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma
sentral dari masyarakat.
20
Menurut G. Pieter Hoefnagels upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan beberapa cara, yaitu:
1. Penerapan hukum pidana criminal law application;
2. Pencegahan tanpa pidana prevention without punishment;
3. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan
pemidanaan lewat media massa influecing views of society on crime of punishment.
21
Kebijakan penanggulangan kejahatan ini secara garis besar dapat dibagi menjadi dua, yaitu
22
:
1 Kebijakan Non-Penal
Kebijakan penanggulangan kejahatan melalui jalur non-penal ini adalah penaggulangan kejahatan sebelum terjadinnya kejahatan yang lebih
bersifat tindakan preventif atau pencegahan terjadinya tindak pidana. Dalam hal ini yang harus ditangani adalah faktor-faktor apa saja yang menjadi
penyebab terjadinya kejahatan yang tentu saja berhubungan dengan memperbaiki moral bangsa yang dapat ditempuh dengan berbagai upaya
pencegahan, baik melalui peningkatan nilai-nilai keagamaan, penyuluhan
20
Barda Nawawi Arief, Buku II, Op. Cit., hlm. 1
21
Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia: Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice, Medan: PT. Refika Aditama, 2009, Hlm. 15
22
Mahmud Mulyadi, Op. Cit., hlm. 55-65
Universitas Sumatera Utara
melalui pemuka masyarakat, pendidikan moral di sekolah-sekolah, termasuk pembentukan moral dan karakter dalam keluarga.
Dilihat dari sudut politik kriminal, kebijakan paling strategis dalam penanggulangan kejahatan adalah melalui sarana non-penal ini karena lebih
bersifat preventif pencegahan dan karena kebijakan penal mempunyai keterbatasankelemahan, yaitu bersifat fragmentarissimplistiktidak
struktural-fungsional, dan harus didukung dengan biaya tinggi.
23
Upaya penanggulangan kejahatan dengan pendekatan non penal merupakan bentuk upaya pencegahan tanpa menggunakan hukum pidana
dengan mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap kejahatan dan pemidanaan melalui media massa.
24
Dengan demikian media massa harus menjalankan fungsinya dengan memberikan sajian-sajian positif kepada
masyarakat, jangan sampai media massa yang menginspirasi masyarakat untuk melakukan kejahatan.
2 Kebijakan Penal
Penanggulangan kejahatan melalui jalur penal ini adalah penanggulangan kejahatan setelah terjadinya kejahatan. Hal ini bersifat
represif menekan, mengekang, menahan, atau menindas
25
, artinya dalam hal ini setiap pelaku kejahatan diberikan hukuman sesuai dengan hukum
23
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001, selanjutnya disebut Buku III, hlm. 74
24
Marlina, Op. Cit., hlm. 17
25
Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, Op. Cit., hlm. 950
Universitas Sumatera Utara
positif. Penanggulangan kejahatan melalui jalur penal menyangkut bekerjanya fungsi aparatur penegak hukum sistem peradilan pidana yang
terdiri dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan.
26
Menurut Barda Nawawi Arief, pencegahan dan penanggulangan kejahatan melalui sarana penal merupakan penal policy atau penal law
enforcement policy yang fungsionalisasinyaoperasionalisasinya melalui beberapa tahap:
1 Formulasi kebijakan legislatif;
2 Aplikasi kebijakan yudikatifyudicial;
3 Eksekusi kebijakan eksekutifadministratif.
27
Tahap formulasi mengharapakan upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan bukan hanya tugas dari aparat penegak hukum,
tetapi juga tugas aparat pembuat hukum aparat legislatif; bahkan kebijakan legislatif merupakan tahap paling strategis dari upaya pencegahan dan
penanggulangan kejahatan melalui penal policy. Oleh karena itu, kesalahankelemahan kebijakan legislatif merupakan kesalahan strategis
yang dapat menjadi penghambat upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan pada tahap aplikasi dan eksekusi.
28
26
Marlina, Op. Cit., Hlm. 16
27
Barda Nawawi Arief, Buku III, Op. Cit., hlm. 75
28
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
2. Kerangka Konsep