2. Kerangka Konsep
Agar terdapat persamaan persepsi dalam membaca dan memahami penulisan dalam penelitian ini, maka dipandang perlu dijelaskan beberapa
kerangka konseptual yang terdapat dalam tulisan ini, antara lain: a.
Penanggulangan, upaya untuk mengatasi sesuatu.
29
b. Tindak Pidana, Tindak pidana dalam didalam WvS Wetboek Van
StrafrechtKUHP disebut dengan istilah Strafbaar feit atau Delict, sedangkan dalam merumuskan undang-undang atau peraturan digunakan
istilah peristiwa pidana, perbuatan pidana, atau tindak pidana
30
. Menurut R. Soesilo Tindak pidana merupakan suatu tindakan yang dilarang atau
diwajibkan oleh undang-undang yang apabila dilakukan atau diabaikan, maka orang yang melakukan atau mengabaikan itu diancam dengan
pidana
31
. c.
Penanggulangan Tindak Pidana, upaya untuk mengatasi suatu tindakan yang dilarang oleh undang-undang.
32
29
Kamus Besar Bahasa Indonesia
30
Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1992, hlm. 90
31
M. Rasyid Ariman, M. Fahmi Raghib, dan S. Pettanase, Sari Kuliah Hukum Pidana dalam Kodifikasi, Palembang: Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, 2007, hlm.4
32
Dalam penjelasan sebelumnya, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, penanggulangan berarti upaya untuk mengatasi sesuatu; sedangkan tindak pidana adalah merupakan suatu tindakan
yang dilarang atau diwajibkan oleh undang-undang yang apabila dilakukan atau diabaikan, maka orang yang melakukan atau mengabaikan itu diancam dengan pidana; dari pengertian tersebut ditarik
kesimpulan mengenai pengertian Penanggulangan Tindak Pidana.
Universitas Sumatera Utara
d. Perbuatan Cabul, perbuatan
33
yang menyerang kehormatan kesusilaan dan melanggar kesopanan.
34
Perbuatan cabul yang dimaksud dalam tulisan ini adalah perbuatan cabul yang berhubungan dengan tubuh atau bagian tubuh,
terutama bagian-bagian tubuh yang dapat merangsang nafsu seksual, seperti alat kelamin, buah dada, mulut dan sebagainya yang dipandang melanggar
rasa kesusilaan umum.
35
Artinya, pelaku telah melakukan perbuatan yang tidak senonoh dengan meremas payudara korban, memasukkan tangan
pelaku ke dalam kemaluan korban, menciumi korban, dan atau melakukan hubungan intim dengan korban. Perbuatan cabul merupakan pengertian yang
lebih sempit dari pelecehan seksual, dimana jika dikatakan pelecehan seksual jika seorang pria mencolek bagian tubuh wanita, seperti bokong,
paha, pinggang, dan bagian sensitif khusus lainnya dapat dianggap sebagai pelecehan seksual namun tidak dapat dibuktikan sebagai perbuatan cabul
seperti yang dirumuskan dalam KUHP dan UU No. 23 Tentang Perlindungan Anak.
e. Anak
1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
33
Secara harfiah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia “perbuatan” diartikan sebagai sesuatu yg diperbuat dilakukan; tindakan, dan “cabul” keji dan kotor; tidak senonoh melanggar kesopanan,
kesusilaan
34
Bandingkan dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia, Op.Cit. hlm. 168 184
35
Adami Chazawi, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, hlm. 82
Universitas Sumatera Utara
Dalam KUHP sendiri pengaturan tentang batasan usia anak diatur dalam pasal 45, yakni orang yang belum dewasa adalah orang yang
masih dibawah enam belas 16 tahun. 2
UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Menurut UU ini batasan usia anak adalah orang yang berusia 8 – 18
tahun, namun dalam hal ini adalah menyangkut anaka nakal yang dirumuskan dalam Pasal 1 butir 1, Anak adalah orang yang dalam
perkara anak nakal telah mencapai umur 8 delapan tahun tetapi belum mencapai umur 18 delapan belas tahun dan belum kawin.”
3 UU No. 39 Tahun 1999
Dalam Pasal 1 butir ke 5 UU ini dikatakan “Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 delapan belas tahun dan belum
menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya”
4 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Pasal 1 butir ke 1 UU ini dikatakan “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 delapan belas tahun, termasuk anak yang masih
dalam kandungan”
Universitas Sumatera Utara
f. Criminal Policy, yaitu kebijakan penanggulangan kejahatan yang dapat
dilalui dengan dua cara, yaitu kebijakan penal penal policy dan kebijakan non penal non penal policy.
36
g. Kebijakan Penal Penal Policy, adalah penanggulangan kejahatan
melalui tindakan represif menghukum pelaku.
37
h. Kebijakan Non Penal non penal policy, adalah penanggulangan
kejahatan melalui tindakan peventif mencegah terjadinya kejahatan.
38
G. Metode Penelitian