BAB III UPAYA PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PERBUATAN CABUL
TERHADAP ANAK DI KOTA MEDAN
A. Kebijakan Penal Penal Policy
1. Penegakan Hukum Pidana
Kerangka teori sebelumnya menegaskan upaya yang dapat ditempuh dalam penanggulangan tindak pidana perbuatan cabul adalah dengan Kebijakan Kriminal
atau kebijakan penanggulangan kejahatan, yang salah satunya dapat ditempuh melalui Kebijakan Penal Penal Policy, yaitu penegakan hukum dengan menghukum si
pelaku kejahatan. Penanggulangan tindak pidana perbuatan cabul dalam kebijakan penal ini yaitu melalui sistem peradilan pidana, dimana aparat penegak hukum
memegang peranan penting di dalamnya. Berbicara tentang penanggulangan tindak pidana, kita tidak dapat terlepas dari
penegakan hukum karena dalam penanggulangan tindak pidana sangat dituntut kewibawaan para penegak hukum dalam menegakkan hukum bagi para pelaku
kejahatan supaya memberikan efek jera agar pelaku tidak mengulangi perbuatan serupa. Penegakan hukum yang berwibawa dan tegas tentunya sangat mendukung
penanggulangan tindak pidana, khususnya tindak pidana perbuatan cabul.
Penanggulangan tindak pidana perbuatan cabul terhadap anak harus digarap dengan serius oleh aparat penegak hukum untuk menyelamatkan masa depan anak-anak
Universitas Sumatera Utara
sebagai generasi yang diharapkan akan menjadi pemimpin baru di masa yang akan datang. Penegakan hukum yang dilakukan haruslah sesuai dengan konsep negara
hukum Indonesia. Sebagai negara hukum, Indonesia memiliki berbagai peraturan perundang-undangan yang berisi aturan, larangan, dan kewajiban bagi bagi setiap
masyarakat Indonesia sebagai subjek hukum serta sanksi hukum bagi setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap aturan-aturan tersebut sebagai konsekuensi
yang harus ditanggung akibat tidak mentaati aturan-aturan yang diberlakukan. Berdasarkan peraturan perundang-undangan tersebutlah para penegak hukum
melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, sehingga penegak hukum tidak dapat sembarangan menindak orang yang disangka melakukan kejahatan, tetapi penegak
hukum harus memahami asas-asas yang berlaku dalam penegakan hukum di Indonesia sebagai landasan bagi mereka dalam melaksanakan tugasnya, salah satunya
sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 1 KUHP, yang berbunyi: 1
Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya.
2 Jika ada perubahan dalam perundang-undangan dengan sesudah perubahan
dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya.
89
Rumusan pasal di atas menegaskan keberlakuan asas legalitas ayat 1 yang
tertuang dalam adagium “nullum delictum nulla puena sine praevia lege poenali” yang mengandung arti bahwa tidak ada suatu perbuatan yang dapat dipidana apabila
perbuatan tersebut belum diatur di dalam peraturan perundang-undangan, artinya penegak hukum bekerja berdasarkan perundang-undangan yang ada, sebelum
89
Andi Hamzah, KUHP KUHAP, Jakarta: Asdi Mahasatya, 2005, Hlm. 3
Universitas Sumatera Utara
undang-undang menetapkan perbuatan tersebut sebagai kejahatan, maka pelaku tidak dapat dihukum. KUHP sebagai sumber hukum pidana Indonesia telah lama mengatur
mengenai tindak pidana perbuatan cabul terhadap anak, yaitu dalam Pasal 290 KUHP yang berbunyi:
Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun: 2
barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umurnya belum
lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin;
3 Barang siapa membujuk seseorang yang diketahuinya atau sepatutnya
harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin,
untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, atau bersetubuh di luar perkawinan dengan orang lain.
Polresta Medan dalam menangani kasus perbuatan cabul terhadap anak lebih banyak
menggunakan Pasal 293 KUHP dalam menjerat pelaku, yang berbunyi: 1
Barang siapa dengan meberi atau menjanjikan uang atau barang, menyalahgunakan wibawa yang timbul dari hubungan keadaan, atau
dengan penyesatan sengaja menggerakkan seseorang belum dewasa dan baik tingkah lakunya untuk melakukan atau membiarkan dilakukannya
perbuatan cabul dengan dia, padahal tentang belum kedewasaannya, diketahui atau selayaknya harus diduganya, diancam dengan pidana
penjara paling lam lima tahun.
Mengenai hal yang sama secara khusus diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang menunjukkan keberlakukan asas lex
specialis derogate lex generalis
90
, sebagaimana diatur dalam Pasal 63 ayat 2 KUHP yang berbunyi “jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana umum, diatur
pula dalam atura pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang
90
J.C.T. Simorangkir et. al., Loc. Cit. Hlm. 92
Universitas Sumatera Utara
diterapkan”. Undang-Undang Khusus yang mengatur mengenai perlindungan anak merupakan aturan khusus dari pasal 290 KUHP, yang dituangkan dalam pasal 82
yang berbunyi: “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan
perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 lima belas tahun dan paling singkat 3 tiga tahun dan denda paling banyak Rp
300.000.000,00 tiga ratus juta rupiah dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 enam puluh juta rupiah.”
Penanggulangan tindak pidana melalui upaya penal ini dilakukan dengan cara menerapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang dilaksanakan
oleh aparat penegak hukum melalui sistem peradilan pidana yang menyangkut berfungsinya aparatur penegak hukum yang terdiri dari kepolisian, kejaksaan,
pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan.
91
Penegakan hukum di sini berarti aparat penegak hukum menjalankan perintah undang-undang bagi setiap orang yang
melanggar hukum yang bertujuan untuk perlindungan masyarakat. Perbuatan cabul terhadap anak yang terjadi di Kota Medan tentunya akan diproses di kepolisian
setelah adanya pengaduan oleh masyarakat. Kepolisian akan mengadakan penyidikan lebih lanjut terhadap kasus yang telah terjadi serta mengumpulkan bukti-bukti dan
saksi-saksi dalam perbuatan tersebut. Pembuktiannya tidak terlepas pula dengan adanya visum yang dilakukan oleh dokter ahli dari rumah sakit yang ditunjuk oleh
Polri untuk mengetahui apakah benar telah terjadi perbuatan cabul terhadap korban,
91
Marlina, Loc. Cit., hlm. 16
Universitas Sumatera Utara
sehingga jelas apakah kasus tersebut akan dilanjutkan pemeriksaannya atau tidak. Proses penyidikan ini merupakan langkah awal dalam proses penegakan hukum.
Penyidikan inilah yang akan menentukan apakah sebuah perbuatan cabul tersebut memenuhi unsur-unsur yang ada dalam ketentuan pidana yang diatur oleh undang-
undang. Pelaku dewasa akan diproses sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP yang merumuskan pengertian penyidikan sebagai
“serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu
membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.” Pelaku anak akan diproses sesuai dengan ketentuan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. Setelah melalui proses penyidikan, maka polisi akan melimpahkan berkas
perkara kepada kejaksaan dan selanjutnya akan dilakukan penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum, jika berkas perkara dinyatakan lengkap atau P21, maka akan
dilimpahkan di pengadilan untuk di sidang yang dipimpin oleh Hakim, sedangkan jika berkas perkara dinyatakan kurang lengkap P19 oleh jaksa, maka berkas tersebut
akan dikembalikan kepada penyidik untuk dilengkapi. Proses penuntutan ini sangat membutuhkan kejelian Jaksa Penuntut Umum dalam menjerat pelaku, jangan sampai
Jaksa Penuntut Umum mendakwa dengan dakwaan yang lemah dan tidak menguntungkan korban. Selanjutnya dalam pelimpahan perkaran di pengadilan,
hakim berperan penting dalam menganalisis, mempertimbangkan dan memutus perkara atau dalam menjatuhkan vonis. Dibutuhkan ketegasan, objektivitas dan hati
Universitas Sumatera Utara
nurani hakim dalam memandang pelaku dan korban, apalagi korbannya di sini adalah anak, sehingga benar-benar memutus sesuai dengan yang semestinya agar para
pencari keadilan merasa dilindungi dan diayomi oleh para penegak hukum dan asas persamaan di depan hukum equality before the law, sebagaimana yang tertuang
dalam Pasal 27 ayat 1 UUD 1945 “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan
itu dengan tidak ada kecualinya” benar-benar dapat diaplikasikan di dalam sistem peradilan pidana. Setelah hakim memutus perkara dan terdakwa dinyatakan bersalah,
maka terdakwa akan diserahkan ke Lembaga Pemasyarakatan untuk dibina agar tidak melakukan perbuatan yang sama.
Khusus pelaku anak
92
, Penyidik Pembantu Unit Perlindungan Perempuan dan Anak selanjutnya disebut Unit PPA Polresta Medan menerangkan bahwa Unit
PPA Polresta Medan tidak melakukan penahanan dalam pemeriksaan untuk kepentingan si anak, anak dikembalikan kepada orang tua namun anak diharuskan
wajib lapor dua kali dalam seminggu ke Polresta Medan untuk memberikan efek jera terhadap anak dan untuk hukuman yang akan diterima anak nakal, tergantung kepada
hakim yang akan memimpin persidangan atas pelaku.
93
Persidangan pelaku anak juga dilakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan
92
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Pasal 1 butir 1 menyebutnya sebagai Anak Nakal yang telah mencapai umur 8 delapan tahun tapi belum mencapai umur 18 delapan belas tahun dan
belum pernah kawin. Selanjutnya dalam butir 2 anak nakal dimaksud sebagai: a. anak yang melakukan tindak pidana, b. anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan
terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
93
Wawancara dengan Betti Suriati, Penyidik Pembantu Unit PPA Polresta Medan,
Universitas Sumatera Utara
Anak, dimana yang menjadi Jaksa dan Hakim Sidang Anak adalah Jaksa dan Hakim Anak. Sejauh ini ditambahkan oleh Penyidik Pembantu Unit PPA Polresta Medan,
bahwa pelaku anak sebaiknya tidak divonis hukuman penjara oleh hakim, hanya dikembalikan kepada pengawasan orang tua
94
, salah satu pidana pokok yang dirumuskan dalam Pasal 23 ayat 2 UU No. 3 Tahun 1997, antara lain a. Pidana
penjara; b. Pidana kurungan; c. Pidana denda; dan d. Pidana pengawasan. Hal ini memungkinkan bagi anak untuk tetap dapat melanjutkan pendidikan, namun harus
benar-benar dilakukan pengawasan oleh orang tua agar si anak tidak mengulangi perbuatannya. Sejauh ini, pelaku anak dalam tindak pidana perbuatan cabul terhadap
anak tidak akan mengulangi perbuatannya residivis karena berproses di kantor polisi cukup membuat si anak merasa malu dan jera, namun yang selalu muncul
adalah pelaku-pelaku baru.
95
Perbuatan cabul terhadap anak yang banyak terjadi adalah di warung internet warnet, penginapan-penginapan kecil, panti pijat dan tempat hiburan lainnya yang
memiliki sekat-sekat tertutup sehingga memungkinkan bagi pelaku untuk mencabuli anak, namun terhadap pengusaha tempat-tempat tersebut tidak dikenakan sanksi
hukuman karena telah menyediakan tempat akan terlaksananya perbuatan cabul terhadap anak, padahal pengusaha tersebut dapat dijerat dengan Pasal 295 ayat 2
KUHP yang berbunyi: “dengan pidana penjara paling lama empat tahun barang siapa dengan
sengaja menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul, kecuali yang
94
Ibid.
95
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
tersebut dalam butir 1 di atas, yang dilakukan oleh orang yang diketahuinya belum dewasa atau yang sepatutnya diduganya demikian dengan orang lain.”
Rumusan pasal di atas menegaskan bahwa orang yang memudahkan perbuatan cabul terhadap anak terjadi diancam pidana penjara selama empat tahun. Termasuklah di
dalamnya para pengusaha yang dengan sengaja menyediakan tempat untuk terjadinya perbuatan cabul terhadap anak tersebut, namun pengusaha tersebut belum pernah
dihukum sama sekali sampai pada saat ini. Pemidanaan tidak dapat terlepas dari pertanggungjawaban pidana.
Pertanggungjawaban pidana membicarakan tentang kemampuan seseorang dalam mempertanggungjawabkan perbuatannya. Untuk adanya pertanggungjawaban pidana
harus jelas terlebih dahulu siapa yang dapat dipertanggungjawab karena salah satu syarat dapat dipidananya seseorang adalah kemampuan dalam bertanggung jawab.
Pertanggungjawaban pidana menunjuk kepada dipidananya orang karena melakukan larangan yang didasarkan atas beberapa unsur, yaitu:
a. Tindak Pidana
Adanya tindak pidana tindak pidana yang dilakukan, artinya tindakan yang dilakukan bertentangan dengan hukum.
b. Kesalahan
Universitas Sumatera Utara
Pemidanaan di Indonesia, kesalahan merupakan suatu unsur yang harus dipnuhi sesuai dengan asas “Tiada Pemidanaan tanpa kesalahan”. Ada
beberapa pendapat mengenai pengertian kesalahan
96
, antara lain: 1
Mezger Kesalahan adalah keseluruhan syarat yang memberi dasar untuk adanya
pencelaan pribadi terhadap si pembuat pidana.
2 Simons
Kesalahan sebagai dasar untuk bertanggung jawab dalam hukum pidana ia berupa keadaan psychish jiwa itu dicelakan kepada pembuat
3 Van Hammel
Kesalahan dalam suatu delik merupakan pengertian psichologis, berhubungan dengan keadaan jiwa si pembuat dan terwujudnya unsur-
unsur delik karena perbuatannya. Kesalahan adalah pertanggungjawaban dalam hukum pidana schuld is de verartwoordelijkheirechttens;
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa kesalahan merupakan dasar pertanggunggungjawaban pidana. Kesalahan
dapat diartikan sebagai sikap batin sipembuat dengan perbuatan yang dilakukannya. Kesalahan terdiri dari dua macam
97
, yaitu: 1
Kesengajaan Opzet, kesengajaan di sini maksudnya harus mengenai tiga unsur yindak pidana. Pertama, perbuatan yang dilarang; Kedua, akibat
yang menjadi pokok alasan diadakan larangan itu; dan ketiga, bahwa perbuatan itu melanggar hukum. Kesengajaan ini terdiri dari tiga jenis,
antara lain
98
:
96
M. Rasyid Ariman, et.al., Op Cit, hlm 20
97
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2003, hlm. 66
98
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2004, hlm. 116
Universitas Sumatera Utara
a Sengaja sebagai maksud opzet als oogmerk, maksudnya pembuat
menghendaki akibat dari perbuatannya. Misalnya, apabila hasil visum menunjukkan bahwa korban ditusuk tepat di jantung, maka hakim
dapat menyimpulkan bahwa pelaku sengaja ingin menghilangkan nyawa korban.
b Sengaja dengan kesadaran tentang kepastian opzet met bewustheid
van zekerheid of noodzakelijkheid, terjadi karena pembuat yakin bahwa akibat yang dimaksudkannya tidak akan terjadi tanpa
terjadinya akibat yang tidak dimaksud. c
Sengaja dengan kesadaran kemungkinan sekali terjadi opzet met waarschinlijkkheidsbewustzijn atau sengaja bersyarat, yaitu sengaja
yang terjadi jika si pembuat tetap melakukan hal yang dikehendakinya walaupun ada kemungkinan akibat lain yang sama
sekali tidak diinginkannya terjadi. 2
Kelalaian culpa, yaitu delik terjadi karena kekurang hati-hatian pelaku. Van Hammel membedakan culpa ke dalam dua jenis. Pertama, kurang
melihat ke depan yang perlu, dalam hal ini pelaku tidak membayangkan
Universitas Sumatera Utara
secara tepat atau sama sekali tidak membayangkan akibat yang akan terjadi. Kedua, kurang hati-hati yang perlu.
99
c. Mampu Bertanggung Jawab
Mampu bertanggung jawab artinya perbuatan pelaku dapat dipertanggungjawabkan. Simons berpendapat bahwa seseorang mampu
bertanggungjawab jika jiwanya sehat, apabila
100
: 1
Ia mampu untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum;
2 Ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran tersebut.
KUHP merumuskan kemampuan bertanggung jawab seseorang, antara lain dalam Pasal 44, yang berbunyi:
1 Barang siapa yang melakukan perbuatan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.
2 Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada
pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan
ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.
Ketentuan pasal tersebut merumuskan bahwa penderita sakit jiwa tidak dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya. Perbuatannya itu masih tetap disebut
sebagai perbuatan yang melawan hukum namun berhubung keadaan si pembuat, kesalahannya dihapuskan dan tidak dipidana. Karena orang yang
99
Ibid., hlm. 125
100
M. Rasyid Ariman, Op Cit, hlm. 24
Universitas Sumatera Utara
sakit secara psikis tidak mungkin dapat memikirkan untuk sengaja atau lalai melakukan suatu perbuatan yang melawan hukum. Selanjutnya dalam 45
KUHP dirumuskan: Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena
melakukan sesuatu perbuatan sebelum umur enam belas tahun, hakim dapat menentukan:
Memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya, atau pemeliharanya, tanpa pidana apapun;
Atau memrintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apapun’
Pasal tersebut menegaskan mengenai pertanggungjawaban pidana anak, artinya anak sebagai pelaku tindak pidana dilindungi kepentingannya oleh
undang-undang. Secara khusus mengenai anak nakal diatur dalam Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak. Defenisi anak dalam
Pasal 1 ayat 1 undang-undang ini adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 delapan tahun tetapi belum mencapai umur 18
delapan belas tahun dan belum pernah kawin. Sedangkan yang disebut sebagai Anak Nakal dalam Pasal 2 adalah:
a. Anak yang melakukan tindak pidana; atau
b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak,
baik menurut perturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang
bersangkutan
101
.
Seterusnya dalam Pasal 22 UU No. 3 Tahun 1997 disebutkan terhadap Anak Nakal hanya dapat dijatuhkan pidana atau tindakan yang ditentukan dalam
101
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak. Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 2-3.
Universitas Sumatera Utara
undang-undang ini. Pemberian pertanggungjawaban terhadap anak harus mempertimbangkan perkembangan dan kepentingan terbaik anak di masa
yang akan datang karena penanganan yang salah terhadap anak dapat menyebabkan rusak bahkan musnahnya bangsa di masa yang akan datang.
102
d. Tidak Ada Alasan Penghapusan Pidana.
Alasan-alasan yang menghapuskan pidana dibedakan menjadi: 1
Alasan pembenar, yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya, hal ini dapat dibedakan menjadi daya paksa Overmacht
103
, pembelaan terpaksa noodweer
104
, Menjalankan ketentuan undang- undang
105
, menjalankan perintah jabatan
106
. Misalnya seorang polisi dengan perintah jabatan menangkap tersangka pengedar narkoba. Ketika
polisi berusaha menangkap tersangka, tersangka tersebut melarikan diri sehingga polisi berinisiatif menembak tersangka yang tidak diduga
menyebabkan matinya si tersangka. Polisi yang menembak itu memang telah melakukan kesalahan, namun sifat melawan hukumnya dihapuskan
atas dasar karena perintah jabatan. Jadi polisi tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan.
2 Tidak Ada Alasan pemaaf, yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan si
pembuat. Misalnya seorang yang sakit jiwa menganiaya seorang anak
102
Marlina, Op. Cit., hlm. 73.
103
Pasal 48 KUHP, misalnya seseorang diancam dengan pistol untuk membunuh orang lain.
104
Pasal 49 ayat 1 KUHP
105
Pasal 50 KUHP
106
Pasal 51 ayat 1 KUHP
Universitas Sumatera Utara
kecil yang tengah lewat di pinggir jalan sehingga menyebabkan luka-luka yang serius pada tubuh anak itu. Pelaku yang mengalami gangguan secara
psikisini tidak dapat dipertanggungjawabkan dengan menghilangkan unsur kesalahan pada si pembuat.
Pertanggungjawaban pidana ini harus dipenuhi unsur-unsurnya untuk dapat menjatuhkan pemidanaan terhadap seseorang dengan demikian penegakan hukum di
Indonesia diharapkan dapat memberikan rasa keadilan bagi masyarakat yang mencari keadilan.
1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum