BAB II PENYEBAB TERJADINYA TINDAK PIDANA PERBUATAN CABUL
TERHADAP ANAK DI KOTA MEDAN
A. Pengertian Tindak Pidana Perbuatan Cabul
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP Indonesia membuat pembedaan atas tindakan masyarakat yang digolongkan dan dibrumuskan dalam tiga
buku, yakni Buku Kesatu mengatur mengenai Aturan Umum, Buku Kedua mengatur Kejahatan, dan buku Ketiga mengatur tentang Pelanggaran. Setiap perbuatan yang
melanggar isi pasal-pasal dalam buku kedua disebut sebagai kejahatan, sedangkan setiap perbuatan yang melanggar buku ketiga disebut sebagai pelanggaran. Perbedaan
kejahatan dan pelanggaran sebagaimana ditegaskan dalam Memorie van Toelichting, kejahatan adalah “delik hukum”, yakni peristiwa yang berlawanan atau bertentangan
dengan asas-asas hukum yang hidup dalam keyakinan manusia dan terlepas dari undang-undang, sedangkan pelanggaran adalah “delik undang-undang”, yakni
peristiwa yang untuk kepentingan umum dinyatakan oleh undang-undang sebagai hal yang terlarang”.
44
Sebagai contoh, pembunuhan, pencurian, pemerkosaan, penganiayaan dan sebagainya, sebelum menjelma ke dalam KUHP telah lama ada,
yaitu sebagaimana tersebut dalam 10 perintah Tuhan yang diterima oleh Nabi Musa. Perbuatan-perbuatan tersebut selain dicap sebagai sebuah kejahatan juga
44
G.W. Bawengan. Pengantar Psikologi Kriminil. Jakarta: Pradnya Paramita, 1971, hlm. 9
Universitas Sumatera Utara
menimbulkan reaksi masyarakat terhadap pelakunya. Contoh tersebut sebenarnya hanya sebuah norma agama, namun keyakinan untuk jangan membunuh atau mencuri
bukan saja dimiliki oleh sebuah agama tertentu, tetapi hidup juga dalam keyakinan setiap orang.
45
Sedangkan, contoh lain, pengemisan sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 504 KUHP ditetapkan undang-undang sebagai sebuah pelanggaran,
padahal reaksi orang lain tidak selalu negatif terhadap orang yang mengemis, namun karena pengemisan dianggap dapat menggangu ketertiban umum, maka undang-
undang melarang tindakan pengemisan di muka umum dan menetapkannya sebagai pelanggaran. Hukuman yang diterima orang yang melakukan kejahatan dan
pelanggaran tentu saja berbeda, kejahatan diancam dengan ancaman hukuman yang jauh lebih berat daripada pelanggaran.
Semua tindak pidana yang bertentangan dengan kehormatan kesusilaan disebut dengan kejahatan. Salah satunya adalah perbuatan cabul yang diatur dalam
Buku Ketiga KUHP yang dirumuskan dari Pasal 289 sampai dengan Pasal 296, namun yang menjadi fokus di sini adalah Pasal 290 yakni perbuatan cabul yang
dilakukan terhadap anak, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, merupakan makhluk yang lemah dan sangat lugu dan perlu untuk dilindungi kepentingan dan
hak-haknya. Perbuatan cabul selalu terkait dengan perbuatan yang berhubungan dengan tubuh atau bagian tubuh, terutama bagian-bagian tubuh yang dapat
merangsang nafsu seksual, seperti alat kelamin, buah dada, mulut dan sebagainya
45
Ibid. hlm. 10
Universitas Sumatera Utara
yang dipandang melanggar rasa kesusilaan umum.
46
Banyak juga orang yang berpendapat bahwa perbuatan cabul sama dengan pemerkosaan. Pendapat tersebut
ada benarnya juga jika kita bertolak dari pendapat seorang ahli hukum bernama Made Darma Weda. Beliau berpendapat bahwa perbuatan cabul tersebut dapat dogolongkan
sebagai perkosaan karena perkosaan tidak selalu harus masuknya penis ke dalam vagina, bisa saja yang dimasukkan kedalam vagina bukan penis pelaku, tetapi jari,
kayu, botol atau apa saja baik ke dalam vagina maupun mulut atau anus.
47
Selanjutnya Made Darma Werda mengutip pendapat Steven Box yang mengklasifikasikan pemerkosaan ke dalam beberapa jenis, yaitu:
1. Sadist rape, yaitu pemerkosaan yang dilakukan secara sadistik. Si pelaku
mendapat kepuasan bukan karena bersetubuh tetapi karena perbuatan kekerasan terhadap “genitalia” dan tubuh si korban.
2. Anger rape, merupakan ungkapan pemerkosaan yang karena kemarahan
dilakukan dengan sifat brutal secara fisik. Seks menjadi senjatanya dan dalam hal ini tidak diperolehnya kenikmatan seksual, yang dituju acapkali
keinginan untuk mempermalukan si korban. 3.
Domination rape, pemerkosaan yang dilakukan oleh mereka yang ingin menunjukkan kekuasaannya, misalnya, majikan yang memperkosa
bawahannya. Tidak ada maksud untuk menyakitinya. Keinginannya yaitu bagaimana memilikinya secara seksual.
46
Adami Chazawi, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, hlm. 82
47
Made Darma Weda, Kriminologi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996, hlm.72
Universitas Sumatera Utara
4. Seduction-turned-into-rape, yaitu pemerkosaan yang ditandai dengan
adalanya relasi antara pelaku dengan si korban. Jarang digunakan kekerasan fisik dan tidak ada maksud mempermalukan. Yang dituju
adalah kepuasan si pelaku dan si korban menyesali dirinya, karena sikapnya yang kurang tegas.
5. Exploitation rape, merupakan jenis pemerkosaan dimana si wanita sangat
bergantung dari si pelaku, baik dari sosial maupun ekonomi. Acapkali terjadi dimana istri dipaksa oleh suami. Kalaupun ada persetujuan, itu
bukan karena ada keinginan seksual dari si istri, melainkan demi kedamaian tumah tangga.
48
Berbagai jenis perkosaan si atas menunjukkan bahwa perkosaan tersebut terjadi lebih dominan karena pelaku melakukan pemaksaan dengan kekerasan
terhadap korban atau korban merasa terspaksa untuk melakukan permintaan tersangka. Beranjak dari pernyataan di atas, jika dicermati modus operandi para
pelaku perbuatan cabul dalam Data Polresta Medan, memang sebagian besar pelaku memasukkan penis ke dalam vagina korban, ada juga yang memasukkan jari,
memegang dan mencium alat kelamin korban, namun pelaku tidak melakukannya dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, melainkan hanya dengan bujuk rayu saja.
Jika kita menerapkan pendapat Made Darma Werda yang menggolongkan perbuatan cabul ke dalam perkosaan, maka akan sulit untuk membuktikan unsur-unsur
perbuatan cabul tersebut. Pasal 285 yang mengatur tentang perkosaan, yang berbunyi
48
Made Darma Weda, Ibid., hlm. 72
Universitas Sumatera Utara
“barang siapa dengan kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling
lama dua belas tahun” jika diuraikan unsur-unsurnya adalah sebagai berikut: a.
Perbuatannya: memaksa; b.
Caranya: 1 Dengan kekerasan; 2 Ancaman kekerasan;
c. Objek: seorang perempuan bukan istrinya;
d. Bersetubuh dengan dia.
49
Mengenai perbuatan cabul diatur dalam Pasal 289 KUHP yang berbunyi “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang untuk
melakukan atau membiarkan melakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling
lama Sembilan tahun”, jika diuraikan unsur-unsurnya: a.
Perbuatannya: memaksa; b.
Caranya dengan: 1 kekerasan; 2 ancaman kekerasan;
c. Objeknya: seseorang untuk: 1 melakukan; atau
2 membiarkan melakukan d.
Perbuatan cabul.
50
49
Adami Chazawi, Ibid., Hlm. 63
50
Ibid., hlm. 78
Universitas Sumatera Utara
Unsur-unsur di atas menunjukkan bahwa perkosaan lebih sempit daripada perumusan perbuatan cabul yang cakupannya lebih luas menyentuh perbuatan yang
menyerang kehormatan kesusilaan, dimana perumusan pasalnya tidak menyebutkan pembedaan jenis kelamin, hanya disebut “seseorang” yang tentunya lebih luas
pengertiannya. Dapat disimpulkan bahwa dalam tindakan perkosaan, korban sudah pasti perempuan, sedangkan dalam perbuatan cabul korban bisa laki-laki atau pun
perempuan dan biasanya dalam kasus pemerkosaan, korban tidak mengenal pelaku
51
. Perbuatan Cabul yang dikaitkan dengan anak sebagai korban, Pasal 285 dan
289 di atas tampaknya belum cukup untuk dapat menjerat pelaku perbuatan cabul terhadap anak, karena si pelaku tidak selalu melakukan pemaksaan terhadap si anak,
tetapi lebih memanfaatkan ketidaktahuan dan kelemahan si anak untuk dapat melakukan perbuatannya terhadap si anak, karena itulah Pasal 290 KUHP tidak
menyebutkan kalimat “dengan kekerasan atau ancaman kekerasan” karena pelaku perbuatan cabul terhadap anak tidak selalu melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan terhadap anak, tetapi kondisi anak yang tidak berdaya dan tidak mengerti apa-apa akan sangat menguntungkan tersangka sehingga anak sebagai makhluk yang
lemah lebih banyak menjadi korban perbuatan ini. Hal ini disebabkan karena anak merupakan makhluk yang tidak berdaya dan tidak mengerti atau tidak mengetahui
mengenai segala perbuatan yang dilakukan terhadapnya. Keberadaan anak yang lemah dan belum mengerti atas apa yang sedang menimpa dirinya inilah yang harus
51
Wawancara dengan Bripka Betti Suriati Penyidik Pembantu pada Unit Perlindungan Perempuan
dan AnakUnit PPA Polresta Medan, tanggal 24 Juni 2011 di Unit PPA Polresta Medan.
Universitas Sumatera Utara
dilindungi dan perlu diperhatikan secara khusus kepentingannnya agar tidak lagi menjadi korban perbuatan yang dapat merusak kehormatan kesusilaannya.
B. Tindak Pidana Pebuatan Cabul sebagai Kejahatan