50
Penurunan vitamin A = 0.0092 – 0.0080 gram vitamin A 100 gram adonan krim = 0.0012 gram vitamin A 100 gram adonan krim
Penurunan vitamin A = 0.00120.0092100 = 13.04 Sehingga, vitamin A yang masih ada setelah pengolahan amount remaining
= 100 − 13. 04 = 86.96
Jumlah vitamin A yang ditambahkan seharusnya: = 100 amount remaining x jumlah target
= 10086.96 x 0,0092mg = 0.0106 g 100g bahan basah
Sehingga overage = 0.0106 – 0.0092g 100 g bahan basah
= 0.0014 g100 g bahan basah overage
= 0.00140.0092 x 100 =
15.22 Jadi persen overage vitamin A yang akan difortifikasi ke dalam wafer krim adalah
sebesar 15.22. Artinya, overage sebesar 15.22 dapat mengembalikan jumlah vitamin A yang hilang selama pengolahan krim untuk memperoleh jumlah vitamin A target.
Setelah perhitungan overage, seharusnya dilakukan verifikasi fortifikasi vitamin A untuk melihat kesesuaian jumlah overage yang ditambahkan dengan jumlah akhir kandungan
vitamin A pada wafer fortifikasi. Pada penelitian ini, verifikasi tidak dilakukan karena keterbatasan fortifikan dan bahan baku.
Pada produk akhir wafer krim fortifikasi terdapat vitamin A sejumlah 5.30 mg100 gram atau 5300 µg100 gram atau 0.0053 per sajian kemasan Lampiran 6. Artinya,
dalam setiap serving size wafer fortifikasi 25 gram yang dikonsumsi akan diperoleh vitamin A sebesar 1.325 mg. Jumlah ini memenuhi acuan label gizi harian remaja
sebesar 21.54 Tabel 19. Jika dibandingkan dengan data pada Tabel 7, kandungan vitamin A pada wafer fortifikasi ini setara dengan 40.24 kandungan vitamin A pada
hati sapi yang memiliki vitamin A sebesar 13,170 µg100 gram.
D. PENELITIAN TAHAP KETIGA
Setelah diperoleh wafer fortifikasi dari tahap kedua, dilakukan uji umur simpan metode ASLT Accelerated Shelf Life Test berdasarkan kadar vitamin C dengan perlakuan dua kemasan
berbeda yaitu kemasan dua layer dan kemasan tiga layer. Pemilihan vitamin C sebagai indikator umur simpan wafer krim disebabkan beberapa faktor. Vitamin C atau asam askorbat sangat
sensitif terhadap pengaruh-pengaruh luar yang menyebabkan kerusakan seperti suhu, konsentrasi gula dan garam, pH, oksigen, enzim, ekspos cahaya, dan katalisator logam. Harper et al., 1980
mengatakan bahwa asam dapat mempertahankan atau menghambat degradasi vitamin C selama pengolahan maupun penyimpanan, sedangkan logam tembaga mempercepat degradasi vitamin C
selama pemasakan. Menurut Eddy 1941, vitamin C mudah sekali teroksidasi terutama bila zat dipanaskan
dalam larutan alkali atau netral. Selain itu kehilangan vitamin C selama penyimpanan mungkin terjadi dalam jumlah besar dan sebaiknya penyimpanan dilakukan pada suhu 10
C atau kurang Priestley, 1979. Kondisi penyimpanan produk pun harus diperhatikan agar dapat mencegah
terjadinya susut vitamin C selama penyimpanan. Vitamin C yang bersifat sensitif terhadap panas dan oksigen, dengan mudah hilang dari produk yang disimpan pada kondisi aerob Salunkhe,
1976.
51
Studi penyimpanan wafer fortifikasi dengan vitamin C sebagai rejected point pada penelitian ini menggunakan penurunan mutu ordo nol zero order reaction. Hal ini dikarenakan dari data
perubahan atau penurunan mutu selama penyimpanan pada berbagai suhu yang disebut di atas, model reaksi ordo nol yang paling cocok untuk menginterpretasikan penurunan mutu vitamin C
terhadap waktu dimana laju reaksi tidak tergantung pada konsentrasi reaktan. Hal ini terlihat dari nilai R
2
yang baik yaitu rerata 0.99. Nilai ini dapat dilihat pada Gambar 8 dan 9. Berdasarkan Hariyadi 2006, penentuan ordo reaksi dilakukan dengan melihat persamaan
yang diperoleh, kemudian ditentukan nilai konstanta laju reaksi atau penurunan mutu untuk masing-masing suhu percobaan serta nilai R
2
-nya. Dengan demikian, bila digunakan tiga suhu percobaan, maka akan diperoleh nilai k pada tiga suhu yang berbeda. Nilai R
2
berguna untuk melihat kedekatan persamaan matematika dalam memprediksi nilai mutu pada waktu
penyimpanan tertentu. Semakin tinggi nilai R
2
, berarti model matematika yang digunakan dapat memprediksi data percobaan lebih baik. Dengan membandingkan nilai R
2
, orde reaksi yang paling cocok dengan data yang diperoleh dapat ditentukan. Model yang dipilih secara umum yang
memberikan R
2
tinggi. Jika nilai R
2
pada kedua ordo sama-sama tinggi, maka dapat dilakukan pertimbangan manajemen yaitu berdasarkan keyakinan perusahaan terhadap produk, misalnya
dengan mempertimbangkan waktu produk terjual habis dipasaran. Umumnya, bila dipilih ordo nol maka hasil perhitungan umur simpan yang diperoleh akan lebih pendek dari model ordo satu
Hariyadi, 2006. Pada reaksi ordo pertama 1
st
order reaction , laju reaksi hanya melibatkan satu komponen
monomolekuler dan berbanding lurus dengan konsentrasi. Umumnya banyak reaksi perubahan di alam yang menggunakan model reaksi ordo pertama, misalnya inaktivasi enzim, inaktivasi
mikroorganisme, dan degradasi zat gizi seperti vitamin Hariyadi, 2006. Namun karena pada penelitian ini nilai R
2
pada ordo satu lebih rendah dibanding ordo nol, maka perhitungan umur simpan dilakukan dengan ordo nol.
Perhitungan umur simpan didasarkan pada penurunan kandungan vitamin C selama penyimpanan. Vitamin C yang terdapat pada wafer krim fortifikasi yang baru dibuat adalah
0.12 per sajian kemasan Tabel 18. Jumlah ini memenuhi kebutuhan acuan label gizi untuk umum sebesar 33.33. Setelah itu dilakukan penyimpanan wafer fortifikasi dengan kemasan dua
layer dan tiga layer di dalam chamber suhu 35 C, 40
C, dan 45 C. Perlakuan suhu dilakukan
untuk melihat ketahanan vitamin C terhadap perubahan panas. Vitamin C pada wafer fortifikasi yang dikemas dalam kemasan dua layer pada suhu 35
C, 40
C, dan 45 C pada hari ke-7 mengalami penurunan berturut-turut menjadi 0.11534,
0.11113, dan 0.10943. Pada hari ke-14, vitamin C kembali mengalami penurunan pada suhu 35
C, 40 C, dan 45
C berturut-turut menjadi 0.11075, 0.10348, dan 0.09800. Pengamatan pada hari ke-21, vitamin C mengalami penurunan pada suhu 35
C, 40 C, dan 45
C berturut-turut menjadi 0.1047, 0.09523, dan 0.09065. Pengamatan terakhir pada hari ke-28, kadar vitamin
C pada wafer fortifikasi dengan kemasan dua layer ada suhu 35 C, 40
C, dan 45 C berturut-turut
menjadi 0.09886, 0.09072, dan 0.08137. Data keseluruhan dapat dilihat pada Lampiran 9. Plot hubungan nilai mutu wafer fortifikasi dalam hal ini rata-rata kadar vitamin C terhadap waktu
penyimpanan dalam kemasan dua layer ditunjukkan dengan Gambar 8. Penurunan kadar vitamin C yang terjadi selama penyimpanan wafer fortifikasi ini disebabkan
oleh suhu, oksigen, keberadaan zat besi, pH, dan kadar air. Hal ini sesuai dengan yang diutarakan Muchtadi 1991, vitamin C asam askorbat yang difortifikasi pada makanan kering, memiliki
stabilitas yang kurang baik pada daerah pH 6 hingga 8 dan tidak stabil terhadap proses pemanasan. Oksidasi vitamin ini pada pH asam maupun netral, dikatalisis oleh zat besi Fe dan
52
tembaga Cu. Vitamin C dapat bereaksi dengan zat wama azo maupun pigmen antosianin dan menyebabkan diskolorisasi. Kestabilan vitamin C pada makanan kering sangat dipengaruhi oleh
kadar air, yaitu lebih stabil pada kadar air yang rendah Muchtadi, 1991.
Gambar 8. Plot hubungan nilai mutu wafer fortifikasi dengan waktu penyimpanan dalam kemasan dua layer
Berdasarkan data pada Lampiran 10, vitamin C pada wafer fortifikasi dengan kemasan dua layer mengalami penurunan kadar yang bersifat linear. Penurunan kadar vitamin C yang di
simpan selama 28 hari dalam kemasan dua layer pada suhu 35 C, secara linier mewakili
persamaan y = -0.0007x + 0.1201 dengan regresi 99.17. Pada suhu 40 C, penurunan kadar
vitamin C secara linier dapat dibuat persamaan y = -0.0010x + 0.1185 dengan regresi 99.14. Pada suhu 45
C, penurunan kadar vitamin C dapat dibuat persamaan y = -0.0014x + 0.1186 dengan regresi 99.57. Persamaan ini dapat dilihat pada Lampiran 10. Plot hubungan nilai mutu
wafer fortifikasi dalam hal ini rata-rata kadar vitamin C terhadap waktu penyimpanan dalam kemasan tiga Layer ditunjukkan dengan Gambar 9.
Gambar 9. Plot hubungan nilai mutu wafer fortifikasi dengan waktu penyimpanan dalam kemasan tiga layer
Vitamin C pada wafer fortifikasi yang dikemas dalam kemasan tiga layer pada suhu 35 C,
40 C, dan 45
C pada hari ke-7 mengalami penurunan berturut-turut menjadi 0.11591,
53
0.11479, dan 0.11366. Pada hari ke-14, vitamin C kembali mengalami penurunan pada suhu 35
C, 40 C, dan 45
C berturut-turut menjadi 0.11335, 0.10947, dan 0.10738. Pengamatan pada hari ke-21, vitamin C mengalami penurunan pada suhu 35
C, 40 C, dan 45
C berturut-turut menjadi 0.11028, 0.10445, dan 0.10106. Pengamatan terakhir pada hari ke-28, kadar
vitamin C pada wafer fortifikasi dengan kemasan tiga layer ada suhu 35 C, 40
C, dan 45 C
berturut-turut menjadi 0.10679, 0.10170, dan 0.09662. Data keseluruhan dapat dilihat pada Lampiran 9.
Berdasarkan data pada Lampiran 11, vitamin C pada wafer fortifikasi dengan kemasan tiga layer mengalami penurunan kadar yang bersifat linear. Penurunan kadar vitamin C yang di
simpan selama 28 hari dalam kemasan tiga layer pada suhu 35 C, secara linier mewakili
persamaan y = -0.0004x + 0.1192 dengan regresi 99.77. Pada suhu 40 C, penurunan kadar
vitamin C secara linier dapat dibuat persamaan y = -0.0006x + 0.1190 dengan regresi 99.05. Pada suhu 45
C, penurunan kadar vitamin C dapat dibuat persamaan y = -0.0008x + 0.1192 dengan regresi 99.69. Persamaan ini dapat dilihat pada Lampiran 11.
Retensi zat-zat gizi selama proses pengeringan bahan pangan cukup tinggi, kecuali vitamin C sangat sensitif terhadap adanya logam berat Cu, Fe, cahaya, dan oksigen. Kehilangan vitamin C
ini berkisar antara 10-50. Jenis kemasan pun dapat mempengaruhi derajat kerusakan vitamin C. Berdasarkan kadar rejection point vitamin C yaitu 10 nilai acuan label gizi 9 mg, diperoleh
bahwa pada suhu ruang 30 C, wafer krim fortifikasi dalam kemasan dua layer memiliki perkiraan
umur simpan 5.69 bulan, sedangkan wafer krim fortifikasi dalam kemasan tiga layer memiliki perkiraan umur simpan 9.83 bulan. Hasil pengamatan terhadap umur simpan wafer krim
fortifikasi dengan perlakuan dua kemasan berbeda dapat dilihat pada Tabel 20.
Tabel 20. Data perkiraan umur simpan wafer krim fortifikasi
Berdasarkan data umur simpan yang diperoleh, kemasan yang direkomendasikan untuk wafer krim fortifikasi adalah kemasan tiga layer. Kemasan tersebut dapat menunda kerusakan kadar
vitamin C lebih lama dibanding kemasan dua layer. Hal ini dikarenakan kemasan tiga layer terdiri atas kemasan CPP Cast Polypropilene yang dimetalisasi kemudian dilaminasi dengan PET
polietilen dan pada bagian terluar OPP untuk kebutuhan pelabelan. Sedangkan kemasan dua layer hanya terdiri atas CPP Cast Polypropilene yang disemprot aluminium sehingga terlapisi
lalu dilaminasi dengan OPP Oriented polypropilene untuk kebutuhan pelabelan. Pada kemasan pertama ini, film plastik yang dimetalisasi adalah CPP. Penggunaan CPP sebagai bahan kemasan
terbatas karena daya tahan sobek CPP rendah. CPP tidak disarankan untuk mengemas produk yang berat dan tajam kecuali dilapisi oleh bahan yang lebih kuat dan lebih tahan sobek
Robertson, 1993.
Suhu C
Umur Simpan Bulan Kemasan 2 layer
Kemasan 3 layer
20 12.22 21.13
25 8.29 14.32
27 7.12 12.30
30 5.69
9.83 40 2.78
4.80
54
Poli etilen tereftalat PET yang terdapat pada kemasan tiga layer ternyata lebih melindungi vitamin C dari kerusakan dibanding pada kemasan yang tidak dilapis oleh PET. Hal ini karena
PET meningkatkan daya tahan kemasan terhadap kikisan dan sobekan sehingga banyak digunakan sebagai kemasan pangan yang memerlukan perlindungan Syarief et al., 1989. Salah
satu sifat yang paling penting dari polietilen adalah permeabilitasnya yang rendah terhadap uap air.
V. KESIMPULAN DAN SARAN