Formulasi wafer krim yang difortifikasi zat gizi mikro untuk remaja dan perkiraan umur simpannya

(1)

FORMUL

MIK

LASI WAF

KRO UNT

FAKU

IN

FER KRI

TUK REM

SI

CANY IM

ULTAS TE

NSTITUT P

IM YANG

MAJA DAN

IMPANNY

SKRIPSI

MANIA C

F2405209

EKNOLO

PERTANI

BOGOR

2011

G DIFORT

N PERKIR

YA

I

AVANDIS

96

GI PERTA

IAN BOG

R

TIFIKASI

RAAN UM

S

ANIAN

GOR

ZAT GIZ

MUR


(2)

ii

Formulation and Shelf Life Estimation of Micronutrients Fortified

Cream Wafer for Adolescent

Cany Imania Cavandis and Endang Prangdimurti

Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO.Box 220, Bogor, West Java, Indonesia.

Phone: +62 21 2723771, email: cavandis.cany@gmail.com

ABSTRACT

Human resource quality is one of important factor to determine the success of nation development. Adolescent as one of the nation human resource component, endured a period of rapid growth that require a relatively large nutrient amounts. Adolescent need minerals Calcium, Iron, and Zinc to support physical growth, as well as vitamins A and C to prevent new cell and tissue damaged. Micronutrient fortification is necessary for growth and development of adolescent intelligence. Wafer cream as one of the adolescents favorite food is a selected product carrier in this study. This study aims to determine the types of calcium compound and flavor in fortified cream wafer with organoleptic test, then analyze the sensory properties, the content of micronutrients (calcium, iron, zinc, vitamin A, and vitamin C), and the effect of packaging on shelf life fortified cream wafer with accelerated shelf life test (ASLT). The study was divided into three stages. The first stage, wafer cream formulation with three kinds of calcium compounds (calcium lactate, dicalcium phosphate, and calcium carbonate). Second, fortified wafer cream formulation with two kinds of flavors (lemon flavor and melon flavor) then analysis the sensory properties (hedonic rating test) and chemical properties (content of calcium, iron, zinc, vitamin A, and vitamin C) compared with controls. The third stage, the shelf life estimation (Accelerated Shelf Life Test) based on level of vitamin C with two different packaging (two layers packaging and three layers packaging). The observation of cream wafer formula tested out in the first stage showed that the calcium compound with the highest Level of Acceptance is dicalcium phosphate (3.32) compared with calcium lactate (2.85) and calcium carbonate (3.08). In the second stage, lemon flavor in cream wafer have a higher Level of Acceptance (3.65) than melon flavor (3.61). Observations indicate the sensory properties of fortified cream wafer have a higher Level of Acceptance (3.65) compared to controls (3.51) with the panelist hedonic level was not significantly different for all attributes that are tested at significance level 0.05. Observations indicate the chemical properties in one serving (25 grams) fortified cream wafer contained 1.20 mg/g zinc, 3.82 mg/g iron, 146.25 mg/g calcium, 1.32 mg/g vitamin A, and 12.30 mg/g of vitamin C. In the third stage, based on the rejection point of Vitamin C which is 10% nutrition intake labels (Acuan Label Gizi), found that at temperature 300C, fortified cream wafer in two layer packaging has a 5.69 month shelf life, while fortified cream wafer in three layer packaging has a 9.83 month shelf life. Based on the shelf life observation, recommended packaging for fortified cream wafer is three layer packaging.


(3)

iii

Cany Imania Cavandis. F24052096. Formulasi Wafer Krim yang Difortifikasi Zat Gizi Mikro untuk Remaja dan Perkiraan Umur Simpannya. Di bawah bimbingan Endang Prangdimurti. 2011

RINGKASAN

Sumber daya manusia (SDM) berkualitas adalah salah satu faktor penting dalam menentukan keberhasilan pembangunan suatu bangsa. Remaja sebagai salah satu komponen SDM penerus bangsa, mengalami masa pertumbuhan cepat dan sangat aktif sehingga memerlukan zat gizi yang relatif besar jumlahnya. Remaja membutuhkan mineral kalsium, besi, dan seng untuk pendukung pertumbuhan fisik, juga vitamin A dan C untuk menjaga agar sel serta jaringan baru tidak cepat rusak. Fortifikasi zat gizi mikro tersebut perlu dilakukan untuk pertumbuhan dan perkembangan kecerdasan remaja. Wafer krim sebagai salah satu produk yang digemari remaja merupakan produk pembawa fortifikan yang dipilih dalam penelitian ini.

Tujuan penelitian ini antara lain menentukan jenis senyawa kalsium pada wafer krim yang paling disukai secara organoleptik, menentukan flavor untuk wafer krim fortifikasi, menganalisis sifat organoleptik wafer krim fortifikasi, menganalisis sifat kimia wafer krim fortifikasi berupa kandungan gizi mikro (kalsium, zat besi, seng, vitamin A, dan vitamin C), serta melihat pengaruh kemasan terhadap umur simpan wafer krim fortifikasi dengan Accelerated Shelf Life Test. Penelitian dibagi

menjadi tiga tahap. Tahap pertama, formulasi wafer krim dengan tiga macam senyawa kalsium (kalsium laktat, dikalsium fosfat, dan kalsium karbonat). Kedua, formulasi wafer fortifikasi dengan dua macam flavor (flavor lemon dan flavor melon) kemudian wafer terpilih dianalisis sifat organoleptik (uji rating hedonik) dan sifat kimianya (kadar kalsium, zat besi, seng, vitamin A, dan vitamin C) dibandingkan dengan kontrol. Tahap ketiga adalah pengujian umur simpan (Accelerated Shelf Life Test) berdasarkan kadar vitamin C dengan dua kemasan berbeda (kemasan dua layer dan

kemasan tiga layer).

Hasil pengamatan terhadap formula krim yang dicobakan di tahap pertama menunjukkan bahwa bentuk senyawa kalsium dengan Level of Acceptance paling tinggi adalah dikalsium fosfat (3.32)

dibandingkan dengan kalsium laktat (2.85) dan kalsium karbonat (3.08). Pada tahap kedua, wafer krim lemon memiliki Level of Acceptance lebih tinggi (3.65) dibanding krim melon (3.61). Hasil

pengamatan sifat organoleptik menunjukkan wafer krim fortifikasi memiliki Level of Acceptance lebih

tinggi (3.65) dibanding wafer krim nonfortifikasi (3.51) dengan tingkat kesukaan panelis terhadap kedua wafer tidak berbeda nyata untuk semua atribut yang diujikan pada taraf signifikansi 0.05. Hasil pengamatan sifat kimia menunjukkan dalam satu sajian (25 gram) wafer krim fortifikasi terdapat 1.20 mg/g seng, 3.82 mg/g zat besi, 146.5 mg/g kalsium, 1.32 mg/g vitamin A, dan 0.30 mg/g vitamin C. Pada tahap ketiga, berdasarkan kadar rejection point vitamin C yaitu sebesar 10% ALG, diperoleh

bahwa pada suhu ruang 300C, wafer krim fortifikasi dalam kemasan dua layer memiliki perkiraan

umur simpan 5.69 bulan, sedangkan wafer krim fortifikasi dalam kemasan tiga layer 9.83 bulan. Berdasarkan data umur simpan, kemasan yang direkomendasikan untuk wafer krim fortifikasi adalah kemasan tiga layer.


(4)

iv

FORMULASI WAFER KRIM YANG DIFORTIFIKASI ZAT GIZI

MIKRO UNTUK REMAJA DAN PERKIRAAN UMUR SIMPANNYA

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk meperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,

Fakultas Teknologi Pertanian,

Institut Pertanian Bogor

Oleh

CANY IMANIA CAVANDIS

F24052096

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(5)

v

Judul Skripsi : Formulasi Wafer Krim yang Difortifikasi Zat Gizi Mikro untuk Remaja dan

Perkiraan Umur Simpannya Nama : Cany Imania Cavandis

NIM : F24052096

Menyetujui, Pembimbing,

(Dr. Ir. Endang Prangdimurti, M.Si.) NIP 19680723 199203.2.001

Mengetahui : Ketua Departemen,

(Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.) NIP 19650814 199002.1.001


(6)

vi

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Formulasi Wafer Krim yang Difortifikasi Zat Gizi Mikro untuk Remaja dan Perkiraan Umur Simpannya adalah hasil

karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Maret 2011

Yang membuat pernyataan

Cany Imania Cavandis


(7)

vii

© Hak cipta milik Cany Imania Cavandis, tahun 2011

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari

Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya


(8)

viii

BIODATA PENULIS

Penulis bernama lengkap Cany Imania Cavandis. Lahir di Bogor pada tanggal 1 Desember 1987 dari ayah Marsun Huzaimi dan ibu Tuti Eryani, sebagai putri kedua dari empat bersaudara. Penulis dibesarkan dan menempuh kehidupan sekolahnya di kota kelahirannya, Bogor. Kesenangan belajar dan bermain, penulis lalui di taman kanak-kanak Negeri Mexindo Bogor dari tahun 1992 hingga 1993. Kemampuan membaca, menulis, menggambar, dan mengenal lingkungan, penulis peroleh dari bangku sekolah dasarnya di SD Negeri Polisi IV Bogor dari tahun 1993 hingga 1999. Setelah tamat SD, penulis mulai aktif bersosialisasi pada ekstrakurikuler Drum Band di SLTP Negeri 1 Bogor hingga tahun 2002. Penulis menghabiskan masa sekolah menengah umum di SMU Negeri 1 Bogor hingga tahun kelulusannya, 2005. Pada tahun yang sama, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) pada Fakultas Teknologi Pertanian Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. Selama kuliah, penulis aktif di organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM KM) IPB menjadi staff departemen komunikasi dan informasi pada tahun 2006 hingga 2007. Pada tahun yang sama, penulis juga menjadi anggota divisi kaderisasi Himpunan Profesi Ilmu dan Teknologi Pangan (HIMITEPA). Pada tahun 2007-2008, penulis mengikuti kegiatan Food Processing Club pada divisi Vegetarian Food. Sejak dekade 2008 dan 2009, penulis ikut serta dan menjadi salah satu proposal yang didanai DIKTI pada Program Kreativitas Mahasiswa bidang Kewirausahaan (PKMK), Penelitian (PKMP), dan Pengabdian Masyarakat (PKMM). Atas keberhasilan program kreativitas mahasiswa di bidang pengabdian masyarakat yang dilakukan di Desa Purwasari Bogor, penulis dan tim pernah meraih juara III terbaik tingkat nasional pada PIMNAS XXI yang dilaksanakan di Semarang pada tahun 2008. Penulis merampungkan tugas akhir yang berjudul Formulasi Wafer Krim yang Difortifikasi Zat Gizi Mikro untuk Remaja dan Perkiraan Umur Simpannya di PT. Tudung Putra Putri Jaya.


(9)

ix

KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah penulis panjatkan ke hadapan Allah SWT dan shalawat semoga tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW karena atas limpahan rahmat dan karuniaNya, skripsi ini dapat penulis selesaikan. Penelitian dengan judul Formulasi Wafer Krim yang Difortifikasi Zat Gizi Mikro untuk Remaja dan Perkiraan Umur Simpannya dilakukan di PT. Tudung Putra Putri

Jaya. Dengan telah selesainya penelitian hingga tersusunnya skripi ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Keluarga tercinta: Papa, Mama, Anes, Andre dan Vira yang selalu memberikan doa, kasih sayang, nasihat, bimbingan, dan motivasi tiada henti kepada penulis.

2. Ibu Dr. Ir. Endang Prangdimurti, M.Si selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan, dukungan, serta nasihat membangun kepada penulis selama perkuliahan, penelitian, dan penyelesaian tugas akhir.

3. Bapak Dr. Fahim Muchamad Taqi, STP, DEA atas saran dan kesediannya menjadi dosen penguji. 4. Ibu Antung Sima Firlieyanti, STP, M.Sc atas saran dan kesediannya menjadi dosen penguji. 5. Ibu Rosita H. Imam, STP, M.Sc selaku pembimbing lapang yang selalu memberikan bimbingan,

saran, bantuan, dan semangat selama penulis melakukan penelitian. 6. Bapak Iwan Surjawan, Phd selaku pejabat pembimbing lapang. 7. Keluarga besar dari mama dan papa untuk dukungannya.

8. Sahabat yang telah mendampingi penulis selama 9 tahun terakhir, Cicit, Fitri, Mba Eka, Gita, dan Erni.

9. Sahabat yang telah menceriakan dunia penulis, Ceuceu dan Wita. 10. Sahabat-sahabat di kosan centil, Mike, Anjun, Ceuceu, Wita, dan Tami.

11. Sahabat-sahabat sepermainan, Yuni, Yelita, Marina, Venty, Nina, Tiyu, Fera, Veny, Atus, dan Harist Gustiar yang selalu mengindahkan dunia penulis.

12. Teman-teman Asrama: Heni, Tri, Rini, Endah, Windy, Dina, Caca, dan Aan.

13. Sahabat-sahabat seperjuangan di tempat magang, Wita, Resna, Reriel, Mellisa, Juanda, dan Glenn yang selalu berbagi dalam perjuangan tugas akhir ini.

14. Teman-teman seperguruan, Rika N. dan Galih N.

15. Rekan-rekan NPD dan ITD di Lab. Tech., QC di Lab. Sentral, dan Lab. Sensori PT. Tudung Putra Putri Jaya. Terimakasih telah banyak membantu, mengajarkan pengalaman, dan mendukung penulis selama melakukan penelitian.

16. Seluruh Staf pengajar di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB. 17. Rekan-rekan BEM KM 2007.

18. Rekan-rekan HIMITEPA 2007.

19. Keluarga besar ITP angkatan 39, 40, 41, 42, 43, 44.

20. Tak terlupakan sahabat yang telah banyak menolong, Aji Bahtiar. 21. Serta semua pihak yang tidak bisa penulis tuliskan satu per satu.

Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan memberikan kontribusi yang nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahun di bidang teknologi pangan.

Bogor, Maret 2011


(10)

x

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR………..…….. ix

DAFTAR ISI ………...……. x

DAFTAR GAMBAR ...……... xii

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv I. PENDAHULUAN ... ...

A. LATAR BELAKANG ... ... B. TUJUAN PENELITIAN... ... C. MANFAAT PENELITIAN ... ...

1 1 3 3 II. TINJAUAN PUSTAKA ... ...

A. WAFER KRIM ... ... B. FORTIFIKASI ... ... C. ACUAN LABEL GIZI... ... D. ZAT GIZI MIKRO ... ... 1. Kalsium ... 2. Zat Besi ...….. 3. Seng ... ... 4. Vitamin C... ... 5. Vitamin A ... ... E. REMAJA ... ... F. KEMASAN ... ... G. UMUR SIMPAN ... ... H. UJI ORGANOLEPTIK...

4 4 4 6 6 6 9 11 12 14 17 18 19 20 III. METODOLOGI PENELITIAN ...

A. BAHAN DAN ALAT ... ... B. METODE PENELITIAN ... 1. Penelitian Pendahuluan... 2. Tahap Pertama ... 3. Tahap Kedua ... 4. Tahap Ketiga... ... C. METODE ANALISIS ... ... 1. Analisis Kadar Logam Metode AAS ... ... a. Kalibrasi Alat dan Penetapan Sampel ... ... b. Perhitungan ...

22 22 22 22 27 27 28 29 29 29 30


(11)

xi

2. Analisis Kadar Vitamin A Metode HPLC ... ...

a. Prinsip Kerja ... b. Prosedur ... ... 1) Penyiapan Larutan Standar ... a). Larutan stok standar vitamin A 250 iu/ml ... b). Larutan deret standar vitamin A ... 2) Penyiapan Larutan Contoh ... 3) Ekstraksi dan Penyabunan ... 4) Penetapan ... c. Perhitungan ... 3. Analisis Kadar Vitamin C Metode Titrasi Iodometri ... a. Standarisasi Iodin ... b. Standarisasi Na2S2O3... ...

c. Penetapan Kadar Vitamin C ... d. Perhitungan ... ... 4. Uji Organoleptik ... D. RANCANGAN DAN PERLAKUAN PERCOBAAN... E. PENGOLAHAN DATA ...

30 30 30 30 30 31 31 31 31 32 32 32 32 32 33 33 33 34 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ...

A. PENELITIAN PENDAHULUAN ... B. PENELITIAN TAHAP PERTAMA ... C. PENELITIAN TAHAP KEDUA... 1. Hasil Uji Organoleptik... 2. Hasil Pengamatan Sifat Kimia ... a. Kadar Kalsium ... b. Kadar Zat Besi ... c. Kadar Seng ... ... d. Kadar Vitamin C ... e. Kadar Vitamin A ... D. PENELITIAN TAHAP KETIGA ...

35 35 37 39 41 41 42 43 45 47 49 50 V. KESIMPULAN DAN SARAN ... ...

A. KESIMPULAN ... ... B. SARAN ... ...

55 55 55 DAFTAR PUSTAKA ... ... 56 LAMPIRAN ... ... 61


(12)

xii

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Grafik studi rata-rata absorpsi kalsium secara in vivo oleh Purac ...

Gambar 2. Struktur kimia asam askorbat ...

Gambar 3. Struktur kimia retinol ...

Gambar 4. Kerangka penelitian ...

Gambar 5. Diagram alir pembuatan lembaran wafer ...

Gambar 6. Diagram alir pembuatan krim wafer ...

Gambar 7. Diagram alir pembuatan wafer krim ...

Gambar 8. Plot hubungan nilai mutu wafer fortifikasi dengan waktu penyimpanan dalam

kemasan dua layer ...

Gambar 9. Plot hubungan nilai mutu wafer fortifikasi dengan waktu penyimpanan dalam

kemasan tiga layer ...

9 13 15 23 25 26 27 52 52


(13)

xiii

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Perbandingan kebutuhan beberapa zat gizi mikro pada remaja antara Angka Kecukupan

Gizi (AKG) dengan Acuan Label Gizi (ALG)... Tabel 2. Kandungan kalsium berbagai bahan makanan………...

Tabel 3. Karakteristik penting sumber kalsium untuk fortifikasi...

Tabel 4. Kandungan besi berbagai bahan makanan……….…………

Tabel 5. Kandungan seng berbagai bahan makanan………..………..

Tabel 6. Kandungan vitamin C berbagai bahan makanan... Tabel 7. Kandungan vitamin A berbagai bahan makanan...

Tabel 8. Kondisi yang direkomendasikan untuk analisis logam...

Tabel 9. Hasil uji organoleptik formulasi wafer krim dengan penghilangan satu fortifikan

mineral... Tabel 10. Hasil organoleptik formulasi wafer yang ditambahkan fortifikan mineral pada lembaran

wafer... Tabel 11. Formulasi kombinasi penempatan fortifikan pada lembaran dan krim wafer...

Tabel 12. Hasil pengamatan subyektif karakteristik produk wafer fortifikasi dengan tiga jenis

sumber kalsium………... Tabel 13. Hasil uji kesukaan perlakuan sumber kalsium pada wafer fortifikasi...

Tabel 14. Pemilihan flavor untuk wafer krim fortifikasi………

Tabel 15. Hasil uji kesukaan flavor pada wafer fortifikasi...

Tabel 16. Fortifikan terpilih dari penelitian tahap ketiga...

Tabel 17. Hasiluji kesukaan wafer non fortifikasi dan wafer fortifikasi………...

Tabel 18. Data pengamatan sifat kimia wafer krim………...

Tabel 19. Data pemenuhan nilai Acuan Label Gizi per sajian kemasan wafer krim fortifikasi……. Tabel 20. Data perkiraan umur simpan wafer krim fortifikasi………...

6 7 8 11 12 14 16 30 35 36 37 38 38 40 40 40 41 41 42 53


(14)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Cara perhitungan kadar fortifikan ... ...

Lampiran 2. Kadar mineral kalsium pada wafer kontrol dan fortifikasi ... ...

Lampiran 3. Kadar mineral zat besi wafer kontrol dan fortifikasi ... ...

Lampiran 4. Kadar mineral seng wafer kontrol dan fortifikasi ... ...

Lampiran 5. Data konsentrasi vitamin A pada wafer tanpa fortifikasi (kontrol) ... ...

Lampiran 6. Data konsentrasi vitamin A pada wafer fortifikasi ... ...

Lampiran 7. Data standarisasi Na2S2O3 dan I2 pada uji vitamin C... ...

Lampiran 8. Data kadar vitamin C pada uji penyimpanan wafer fortifikasi hari ke-0 ... ...

Lampiran 9. Data kadar vitamin C pada uji penyimpanan wafer fortifikasi selama 28 hari ... ...

Lampiran 10. Data umur simpan pada wafer fortifikasi dalam kemasan 2 layer ... ...

Lampiran 11. Data umur simpan pada wafer fortifikasi dalam kemasan 3 layer ... ...

62 66 68 70 72 72 74 74 75 79 81


(15)

I.

PENDAHULUAN

A.

LATAR BELAKANG

Gizi merupakan salah satu komponen penting dalam pembangunan yang dapat memberikan konstribusi dalam mewujudkan sumberdaya manusia yang berkualitas sehingga mampu berperan secara optimal dalam pembangunan (Yayuk Farida, dkk, 2004). Sebagai salah satu SDM, kualitas remaja harus diperhatikan karena remaja berperan penting dalam pembangunan nasional pada masa yang akan datang. Remaja mengalami masa pertumbuhan cepat dan sangat aktif yang disebut “adolescence growth spurt” sehingga memerlukan zat gizi yang relatif besar jumlahnya

(Sediaoetama, 1996). Selama periode remaja, massa tulang meningkat dan terjadi pembentukan tulang, jaringan lunak, organ-organ, dan bahkan massa sel darah merah meningkat dalam hal ukuran (DiMeglio, 2000).

Remaja membutuhkan mineral kalsium, besi, dan seng untuk pendukung pertumbuhan fisik juga vitamin A dan C untuk menjaga agar sel serta jaringan baru tidak cepat rusak (Khomsan, 2004). Defisiensi mineral seperti zat besi, seng, dan kalsium merupakan masalah gizi kurang yang banyak diderita oleh remaja (Ruel, 2001). Menurut Soekatri (2004), zat gizi yang diperlukan bagi pertumbuhan dan perkembangan kecerdasan anak remaja yaitu zat besi, kalsium, seng, vitamin A, dan vitamin C. Namun, masalah gizi kurang dalam bentuk defisiensi vitamin dan mineral seperti vitamin A, kalsium, yodium, zat besi, dan seng masih menimpa dua milyar manusia termasuk remaja (Arisman, 2004).

Konsumsi zat besi pada sebagian remaja Indonesia masih berada di bawah standar konsumsi seharusnya. Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001, ditemukan ada sebanyak 26.5% remaja Indonesia yang berusia 15-19 tahun mengalami anemia atau kekurangan zat besi (Subeno, 2007). Penelitian yang dilakukan pada 106 mahasiswa Universitas Andalas Padang berusia 17-22 tahun menunjukkan rata-rata asupan zat besi remaja tersebut adalah 6.56 mg/hari (Purnakarya, dkk, 2009), sedangkan berdasarkan ALG (Acuan Label Gizi) remaja seharusnya mendapat asupan zat besi sebanyak 26 mg/hari (BPOM, 2007). Menurut Soekirman (2000) dan Dillon (2005), anemia gizi besi pada kelompok remaja dapat menimbulkan berbagai dampak negatif pada daya tahan tubuh, kemampuan fisik, prestasi belajar, prestasi olahraga, produktivitas, proses pertumbuhan, serta kematangan organ-organ reproduksi.

Kalsium merupakan salah satu zat gizi yang kurang diperhatikan remaja Indonesia dalam pemenuhan kebutuhan hariannya. Asupan kalsium untuk masyarakat Indonesia masih rendah. Setiap orang diperkirakan hanya mengkonsumsi susu sekitar 0.5 gelas dalam satu minggu (Khomsan, 2004). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Purnakarya pada mahasiswa Andalas di Padang menunjukkan bahwa rata-rata asupan kalsium adalah 278.59 mg/hari (Purnakarya, dkk, 2009). Data lainnya yang berasal dari Departemen Kesehatan RI tahun 2002 menunjukkan bahwa asupan rata-rata kalsium orang Indonesia hanya 254 mg/hari (Sulaiman, 2009 dan Syamsir, 2008), sedangkan berdasarkan ALG (Acuan Label Gizi), asupan harian kalsium untuk kelompok konsumen umum termasuk remaja seharusnya adalah 800 mg/hari (BPOM, 2007). Massa tulang yang dibentuk secara optimal di usia anak-anak dan remaja akan menjadi senjata ampuh untuk mencegah osteoporosis (Syamsir, 2008). Menurut Sulaiman (2009), defisiensi kalsium menyebabkan prevalensi osteopenia (osteoporosis dini) di Indonesia mencapai 41.7%.


(16)

2

Berikutnya, zat gizi lainnya yang belum diperhatikan sebagai asupan harian yang penting bagi remaja di Indonesia adalah seng. Asupan harian seng pada remaja di Indonesia masih kurang karena menu konsumsi remaja yang mengandung seng masih di bawah konsumsi seharusnya yaitu sebanyak 12 mg/hari (BPOM, 2007). Berdasarkan penelitian Aryani, dkk (2010) pada 21 anak usia sekolah dasar di Bandung dapat dilihat bahwa asupan harian seng pada anak cukup rendah. Sebesar 85.71% data berada di bawah nilai Estimated Average Recommended (EAR) dan

menunjukkan bahwa setengah dari populasi ini yaitu 42.85% mengalami gejala defisiensi. Nilai asupan harian seng yang tertinggi adalah 8.74 mg/hari dan terendah adalah 2.04 mg/hari (Aryani dkk, 2010). Defisiensi seng dapat menyebabkan penundaan kedewasaan, perkembangan reproduktif, pelemahan perkembangan dan fungsi otak, kerdil pada anak-anak, serta melemahkan sistem imun terhadap berbagai penyakit patogenik (Grusak, 1999 dan Cakmak, 1999). Penelitian yang dilakukan oleh Riyadi di pedesaan Bogor menunjukkan bahwa prevalensi defisiensi seng pada remaja sebesar 44.3% (Riyadi, 1995).

Zat gizi mikro lainnya yang masih kurang dikonsumsi remaja Indonesia adalah vitamin A. Defisiensi vitamin seperti masalah kurang vitamin A (KVA) dialami lebih dari 40% anak-anak di dunia (World Bank, 2006). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Purnakarya pada mahasiswa Andalas di Padang menunjukkan bahwa terdapat 94.3% remaja yang belum memenuhi kebutuhan asupan vitamin A hariannya (Purnakarya, dkk, 2009). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Elnovriza, dkk (2008) menunjukkan bahwa asupan rata-rata vitamin A pada 107 mahasiswa asrama dengan rata-rata umur 19.1 tahun di Andalas padang adalah 513.50 IU, sedangkan kebutuhan vitamin A konsumen umum termasuk remaja tercantum pada Acuan Label Gizi sebesar 600 RE atau 2000 IU (BPOM, 2007). Defisiensi vitamin A dapat menyebabkan buta senja (niktalopia), perubahan pada mata (xerosis konjungtiva, bercak bitot, dan keratomalasia), perubahan pada kulit (kering dan kasar), keratinisasi sel-sel rasa pada lidah, keterlambatan pertumbuhan, mempertinggi resiko anak terhadap penyakit infeksi seperti penyakit saluran pencernaan dan diare, meningkatnya angka kematian karena campak (Almatsier, 2006).

Vitamin C yang merupakan zat gizi penting untuk kekebalan tubuh ternyata masih kurang dikonsumsi oleh remaja Indonesia. Penelitian yang dilakukan oleh Purnakarya pada mahasiswa di Padang ini juga menunjukkan bahwa rata-rata asupan vitamin C adalah 25.58 mg per hari (Purnakarya, dkk, 2009), sedangkan asupan vitamin C yang memenuhi kebutuhan remaja berdasarkan Acuan Label Gizi adalah 90 mg/hari (BPOM, 2007). Defisiensi vitamin C tampak pada kadarnya dalam serum remaja yang cukup rendah terutama remaja dengan asupan buah dan sayur yang rendah (Arisman, 2004). Selain itu, vitamin C juga dibutuhkan untuk meningkatkan penyerapan zat besi. Suplementasi zat besi dan vitamin C pada anak usia 17-19 tahun dapat meningkatkan kecepatan pertambahan berat badan. Vitamin C dengan perbandingan minimal dua bagian vitamin C dan satu bagian senyawa besi ditambahkan untuk meningkatkan penyerapan zat besi di dalam usus (Soekatri, 2004).

Kekurangan asupan harian beberapa zat gizi mikro pada remaja Indonesia perlu diatasi dengan memperkaya zat gizi pada makanan yang dikonsumsi. Hal ini penting karena remaja Indonesia mengalami gangguan tumbuh kembang dan penurunan tingkat kecerdasan (Untoro, 2004). Salah satu teknologi yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah tersebut adalah fortifikasi. Fortifikasi dipilih untuk meningkatkan status gizi remaja Indonesia karena jumlah asupan makanan remaja tidak sesuai dengan jumlah yang diperlukan sehingga terjadi defisiensi zat gizi (Soekatri, 2004). Teknologi fortifikasi telah berkembang pesat, tidak hanya digunakan untuk keperluan menanggulangi masalah kekurangan gizi (Wirakartakusumah dan Hariyadi,


(17)

3

1998), tetapi juga untuk pengembangan formula makanan fungsional untuk tujuan pemeliharaan dan peningkatan status kesehatan (Elliot, 1999 dan Anonim1, 2000).

Formulasi pada proses fortifikasi zat besi, kalsium, seng, vitamin A, dan vitamin C dilakukan pada wafer krim karena remaja menyukai produk yang mudah dibawa dan dapat dikonsumsi kapan saja. Wafer yang digolongkan sebagai biskuit dalam kategori pangan, dikonsumsi di Indonesia sebanyak 695 gram per kapita selama kurun waktu tertentu yang tidak disebutkan spesifik dalam literatur (Murdono, 2003). Meski hanya makanan camilan, market size wafer

secara total diperkirakan senilai Rp 3 triliun untuk tahun 2009 dengan proporsi wafer cream

masih mendominasi 55%, dan wafer stick sebesar 45% (Mubarak, 2010).

Selain dari target konsumen, produk wafer krim juga dipilih karena dapat menjadi pembawa fortifikan yang tahan terhadap suhu tinggi (pada wafer) dan yang rusak karena suhu tinggi (pada krim). Proses pembuatan krim dan pembuatan wafer merupakan proses terpisah yang dapat menjadi pertimbangan dalam penentuan tahap penambahanfortifikan sesuai karakteristik masing-masing vitamin dan mineral.

Penetapan umur simpan wafer krim fortifikasi dipilih untuk mengetahui waktu penyimpanan produk hingga kadar fortifikan yang paling cepat rusak tidak dapat diterima lagi. Vitamin C dipilih sebagai rejection point dalam uji umur simpankarena vitamin ini paling tidak stabil dan

mudah mengalami kerusakan dibanding fortifikan lain dalam wafer krim. Rejection point yang

ditetapkan untuk penelitian ini sebesar 10% Acuan Label Gizi yaitu 9 mg vitamin C per sajian kemasan 25 gram. Hal ini berkaitan dengan target pembuatan wafer krim fortifikasi untuk memenuhi kebutuhan asupan vitamin C remaja sebesar 10% Angka Label Gizi.

B.

TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menentukan jenis senyawa kalsium pada wafer krim yang paling disukai secara organoleptik 2. Menentukan flavor yang paling disukai secara organoleptik untuk wafer krim fortifikasi 3. Menganalisis sifat organoleptik dan beberapa kandungan gizi mikro (kalsium, zat besi, seng,

vitamin A, dan vitamin C) pada wafer krim fortifikasi dibandingkan dengan kontrol

4. Melihat pengaruh kemasan terhadap umur simpan wafer krim dengan Accelerated Shelf Life Test

C.

MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini bermanfaat untuk menghasilkan produk wafer krim fortifikasi yang memenuhi kebutuhan zat gizi mikro (kalsium, zat besi, seng, vitamin A, dan vitamin C) untuk remaja yang diterima dengan tingkat penerimaan organoleptik yang baik dan zat gizi mikro sesuai dengan jumlah klaim selama umur simpan dengan dua jenis kemasan.


(18)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A.

WAFER KRIM

Menurut Dogan (2006), biskuit merupakan produk bakeri yang lebih sering dikonsumsi dibandingkan dengan produk bakeri lainnya. Menurut SNI 01-2973-1992, biskuit adalah sejenis makanan yang terbuat dari tepung terigu dan bahan makanan lain yang diproses dengan pemanasan dan pencetakan (BSN, 1992). Kelebihan biskuit adalah mempunyai umur simpan yang relatif lama dan disukai karena enak, manis, dan renyah. Menurut SNI tahun 1990, biskuit dapat diklasifikasikan menjadi biskuit keras, kraker, kukis, dan wafer.

Wafer merupakan produk makanan kering yang terbuat dari adonan cair berbasis tepung terigu, berpori-pori besar, renyah, dan penampangnya berongga bila dipatahkan (SNI 01-2973-1992). Wafer tergolong biskuit yang sangat tipis dengan ketebalan lebih kecil dari 1 mm hingga 4 mm, mempunyai tekstur lembut dan renyah, serta mempunyai permukaan halus yang ukuran dan detailnya dibentuk sesuai cetakan (Macrae et al.,1993). Bahan adonan wafer terdiri atas gula,

tepung, air, garam, lemak, dan bahan lainnya.

Ada dua jenis wafer yaitu wafer flat dan wafer stick. Wafer stick mempunyai bentuk bulat panjang seperti stick. Bentuk tersebut dicetak setelah proses pemanggangan dengan cara melilitkan lembaran wafer pada sebuah nozzle lalu diisi dengan krim kedalamnya. Wafer flat

adalah jenis creamed sandwich wafer yang terdiri dari empat wafer dan tiga lapis krim di antara sheet (Oktania, 2004). Wafer flat dibentuk dari adonan yang dipanggang di antara sepasang plat

metal yang panas. Wafer hasil pemanggangan berbentuk sheet atau lembaran yang datar, besar,

dan tipis dengan pola permukaan sesuai dengan bentuk plat yang digunakan. Sheet kemudian

dioles krim pada tiap lembaran sehingga membentuk sandwich wafer. Wafer yang dihasilkan ini

masih dalam ukuran besar yang utuh dan disebut dengan book wafer. Book wafer didinginkan

kemudian dipotong sesuai ukuran yang ditetapkan (Oktania, 2004).

B.

FORTIFIKASI

Borenstein (1979) membagi istilah penambahan zat gizi pada makanan meliputi restorasi, pengkayaan (enrichment), standarisasi, suplementasi, dan fortifikasi. Restorasi adalah

penambahan zat gizi dengan tujuan untuk mengembalikan jumlah zat gizi tertentu ke jumlah atau konsentrasi semula, yaitu konsentrasi sebelum terjadi perubahan atau penurunan karena pengaruh perlakuan pengolahan tertentu. Pengertian pengkayaan yaitu penambahan zat gizi tertentu dengan tujuan untuk memenuhi standar identitas produk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Standarisasi adalah suatu penambahan zat gizi tertentu sebagai usaha untuk mengurangi variasi komposisi gizi bahan baku, dalam rangka memenuhi standar atau spesifikasi yang sudah ditentukan. Suplementasi memiliki pengertian penambahan zat gizi dalam jumlah yang cukup sampai sangat tinggi sehingga dapat digunakan sebagai tambahan zat gizi bagi yang memerlukan. Produk pangan yang disuplementasi hanya digunakan sebagai penambah (suplemen) bagi usaha memenuhi zat gizi, bukan sebagai sumber utama zat gizi tersebut. Selain dalam bentuk produk pangan, suplementasi juga dijumpai dalam bentuk pil, kapsul, megadose,

dan lain‐lain (Hariyadi, 2006). Berbeda dengan pengertian proses penambahan zat gizi lainnya,

fortifikasi memiliki arti yang khusus yaitu penambahan zat gizi dalam jumlah yang cukup besar pada suatu produk pangan sedemikian rupa sehingga produk tersebut dapat berfungsi sebagai


(19)

5

sumber utama yang baik bagi zat gizi yang ditambah terutama bagi masyarakat target yang telah ditentukan. Dalam fortifikasi, zat gizi yang ditambahkan dapat berupa zat gizi yang sudah secara alami ada pada produk pangan yang bersangkutan, ataupun zat gizi baru yang secara alami tidak ada pada produk pangan tersebut. Jadi fortifikasi memiliki tujuan yang jelas yaitu memberikan atau menyediakan produk pangan yang dapat dijadikan sumber zat gizi tertentu yang diperlukan oleh masyarakat target sehingga bisa meningkatkan status atau mutu gizi (Hariyadi, 2006).

Teknologi fortifikasi telah berkembang pesat, tidak hanya digunakan untuk keperluan menanggulangi masalah kekurangan gizi, misalnya fortifikasi iodium pada garam dan zat besi pada tepung terigu, tetapi juga untuk perkembangan formula makanan fungsional untuk tujuan pemeliharaan dan peningkatan status kesehatan. Dari segi bisnis, fortifikasi tentunya dapat dijadikan nilai tambah suatu produk pangan sebagai strategi penjualan dan pemasaran. Fortifikasi vitamin tertentu, misalnya vitamin C, vitamin E, dan ß-karoten, dapat digunakan untuk membangun citra produk yang positif karena diyakini manfaatnya oleh masyarakat luas dalam segi kesehatan (Hariyadi, 2006).

Fortifikasi perlu dilakukan secara cermat untuk mencegah ketidakseimbangan zat-zat gizi esensial, baik yang ditambahkan maupun yang telah ada di dalam produk pembawa (carrier).

Untuk itu perlu diperoleh data-data tentang angka ketersediaan (bioavailability) zat gizi yang

bersangkutan. Pengertian bioavailability mencakup bagaimana interaksi antara zat gizi yang

ditambahkan dengan zat-zat gizi ataupun unsur lain yang telah ada di dalam bahan pangan tersebut mempengaruhi daya cerna dan daya guna zat gizi yang ditambahkan di dalam tubuh. Pengaruh interaksi ini terutama jika dilakukan di dalam tubuh (double, triple, atau muliple fortification). Di samping itu, zat gizi yang ditambahkan harus stabil pada kondisi-kondisi

pengolahan, distribusi, penjajaan, dan penanganan untuk konsumsi. Diketahui bahwa selama proses penanganan, pengolahan, dan distribusi, zat-zat gizi akan selalu berinteraksi dengan berbagai faktor baik dari lingkungan eksternal maupun internal. Faktor-faktor yang mempengaruhi stabilitas zat gizi antara lain pH, oksigen, cahaya, waktu, suhu, air (Aw, RH, kadar air), benturan fisik, tekanan, inhibitor, katalis, dan gesekan. Data tentang interaksi tersebut diketahui untuk perhitungan umur simpan, kebutuhan konsumsi, kebutuhan pelabelan, serta usaha untuk meminimalkan kerusakan dalam rangka meminimalkan biaya dan memaksimalkan efektivitas fortifikasi. Intensitas masing-masing interaksi tersebut akan dipengaruhi oleh jenis teknologi baik teknologi formulasi, bahan baku, ataupun teknologi proses yang digunakannya (Hariyadi, 2006).

Informasi mengenai stabilitas zat gizi erat kaitannya dengan pelabelan dan diperlukan untuk jaminan bahwa jumlah konsumsi zat gizi tersebut tidak berlebihan sehingga ada kepastian tidak akan terjadi gangguan kesehatan. Ada dua hal yang perlu diperhatikan untuk pelabelan produk pangan yang difortifikasi yaitu overage dan klaim. Overage didefinisikan sebagai perbedaan

antara jumlah yang dinyatakan dalam label (declared level) dan dalam formula (formulated level). Overage merupakan rasio antara selisih jumlah zat gizi pada formula dan label dengan jumlah zat

gizi yang dinyatakan dalam label. Konsep overage ini penting terutama untuk

komponen-komponen zat gizi yang labil terhadap pengolahan dan penyimpanan. Jumlah aktual pada akhir masa simpan ini dapat ditentukan atau diduga dengan menggunakan data-data tentang stabilitas. Klaim yang akan dibuat dalam label tentang zat gizi sebaiknya dibandingkan dengan nilai RDA (Recommended Dietary Allowances) zat gizi yang bersangkutan. Klaim produk pangan

berupa ¨kaya akan zat gizi tertentu¨ untuk produk pangan yang difortifikasi, harus disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal ini, Badan Pengawas Obat dan


(20)

6

Makanan (BPOM) telah mengeluarkan Pedoman Pelabelan Produk Pangan yang bisa dijadikan acuan.

C.

ACUAN LABEL GIZI

Setiap bahan pangan yang disertai pernyataan mengandung vitamin, mineral dan atau zat gizi lainnya yang ditambahkan pada pangan wajib mencantumkan keterangan tentang kandungan gizi (BPOM, 2003). Ketentuan ini lebih umum dinamakan Angka Kecukupan Gizi (AKG). Menurut daftar istilah pada Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2006), Angka Kecukupan Gizi (AKG) adalah sejumlah zat gizi atau energi yang diperlukan oleh seseorang dalam suatu populasi untuk hidup sehat. AKG umumnya digunakan oleh pihak medis terutama rumah sakit sebagai acuan penentuan takaran kandungan zat gizi pada makanan yang diberikan kepada individu dengan kebutuhan gizi tertentu. Namun, melalui keputusan kepala BPOM tahun 2003 tentang acuan pencantuman persentase angka kecukupan gizi pada label produk pangan, AKG ditetapkan sebagai dasar untuk pencantuman keterangan kandungan gizi pada label pangan.

Pada tahun 2007, istilah baru diperkenalkan untuk acuan penentuan kandungan gizi secara umum yaitu Acuan Label Gizi (ALG). Ketentuan ini berlaku per tanggal 9 Agustus 2007 melalui Keputusan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan Nomor HK.00.05.52.6291 tentang Acuan Label Gizi Produk Pangan. Keputusan ini juga menyatakan tidak berlakunya Keputusan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan Nomor HK.00.05.5.1142 tahun 2003 tentang acuan pencantuman persentase Angka Kecukupan Gizi (AKG) pada label produk pangan (BPOM, 2007).

Penelitian ini menggunakan Acuan Label Gizi (ALG) sebagai dasar perhitungan kandungan nilai gizi pada produk karena ALG merupakan acuan yang lebih umum digunakan sebagai penentuan komposisi gizi pada pangan olahan dan telah diberlakukan oleh BPOM menggantikan AKG sejak tahun 2007. Perbandingan kebutuhan beberapa zat gizi mikro pada remaja antara Angka Kecukupan Gizi dengan Acuan Label Gizi dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Perbandingan kebutuhan beberapa zat gizi mikro pada remaja antara Angka Kecukupan Gizi (AKG) dengan Acuan Label Gizi (ALG)

No Zat Gizi Kebutuhan pada remaja

menurut AKG (2003)

Kebutuhan pada remaja menurut ALG (2007)

1 Kalsium 700 mg 800 mg

2 Zat Besi 29 mg 26 mg

3 Seng 10.5 mg 12 mg

4 Vitamin C 60 mg 90 mg

5 Vitamin A 600 RE 600 RE

Sumber: BPOM (2003 dan 2007)

D.

ZAT GIZI MIKRO

1.

Kalsium

Kalsium merupakan mineral yang paling banyak terdapat di dalam tubuh, yaitu antara 1.5-2% dari berat badan orang dewasa. Sebanyak 99% dari jumlah tersebut, kalsium berada di dalam jaringan keras tubuh manusia yaitu tulang dan gigi. Oleh karena itu, kalsium sangat berperan penting dalam pembentukan tulang dan gigi. Selain itu, di dalam cairan


(21)

7

ekstraseluler dan intraseluler kalsium memegang peranan penting dalam mengkatalis reaksi-reaksi biologis dan mengatur fungsi sel, seperti transmisi saraf, kontraksi otot, penggumpalan darah, dan menjaga permeabilitas membran sel. Kalsium juga mengatur pekerjaan hormon-hormon dan faktor pertumbuhan (Almatsier, 2006).

Sumber kalsium utama adalah susu dan produk turunannya. Susu tanpa lemak merupakan sumber terbaik kalsium karena ketersediaan biologisnya yang tinggi. Ikan merupakan sumber kalsium yang baik. Sayuran hijau, serealia, kacang-kacangan dan hasil olahannya merupakan sumber kalsium yang baik, namun mengandung zat penghambat penyerapan kalsium seperti serat, fitat, dan oksalat (Almatsier, 2006). Kandungan kalsium beberapa bahan makanan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kandungan kalsium berbagai bahan makanan (mg/100 gram)

Bahan makanan Kandungan Kalsium (mg)

Tepung susu 904

Keju 777

Susu sapi segar 143

Yoghurt 120

Udang kering 1209

Teri kering 1200

Sardines (kaleng) 354

Telur bebek 56

Telur ayam 54

Ayam 14

Daging sapi 11

Susu kental manis 275

Kacang kedelai, kering 227

Tempe kacang kedelai murni 129

Tahu 124

Kacang merah 80

Sumber: Daftar Komposisi Bahan Makanan, Depkes (1979)

Kalsium yang telah digunakan untuk fortifikasi sangat banyak ragamnya yang terdiri dari garam kalsium organik maupun anorganik. Menurut Muchtadi (2008), pemilihan jenis garam kalsium yang digunakan tergantung pada beberapa macam faktor seperti kelarutan dalam air, kadar kalsium, rasa, tingkat absorpsi (seberapa banyak kalsium dapat diserap oleh

Kacang tanah 58

Oncom 96

Tepung kacang kedelai 195

Bayam 265 Sawi 220

Daun melinjo 219

Katuk 204

Selada air 182

Daun singkong 165

Ketela pohon 33

Kentang 11


(22)

8

usus), dan harga. Setidaknya terdapat tiga karakteristik penting bagi garam kalsium yang digunakan untuk fortifikasi yang dapat dilihat pada Tabel 3.

Beberapa garam kalsium memiliki sifat kelarutan yang baik tetapi kadar kalsiumnya rendah seperti Ca-laktat, Ca-laktat-glukonat, dan Ca-glukonat. Sebaliknya, garam kalsium yang memiliki kadar kalsium tinggi kelarutannya dalam air rendah atau tidak larut sama sekali seperti pada Ca-karbonat, dan Ca-fosfat. Oleh karena itu, pemilihan jenis garam kalsium harus disesuaikan dengan jenis dan karakteristik produk pangan yang akan difortifikasi dengan kalsium.

Tabel 3. Karakteristik penting sumber kalsium untuk fortifikasi

Garam kalsium

Kelarutan kalsium dalam air pada

25oC (g/L)

Rasa Kadar kalsium (%)

Ca-karbonat tidak larut sabun, lemon 40

Ca-fosfat tidak larut berpasir, tidak terasa 17-38

Tri-Ca-sitrat (4H2O) 0.9 netral 21

Ca-laktat (5 H2O) 9.3 tidak terasa 13

Ca-laktat-glukonat 45.0-50.0 netral 10-13

Ca-glukonat 3.5 ringan, netral 9

Sumber: Ladenburg (2002)

Beberapa senyawa kalsium diketahui tingkat absorpsinya berdasarkan studi invivo yang

dilakukan oleh Purac (2003) seperti terlihat pada Gambar 1. Berdasarkan informasi yang terlihat pada Gambar 1, terdapat beberapa pilihan sumber kalsium yang memiliki tingkat absorpsi yang baik. Susu dapat dipertimbangkan sebagai sumber kalsium yang memiliki tingkat absorpsi yang baik, tetapi pemilihan susu juga harus dipertimbangkan dari segi harga dan kecocokan dengan produk yang akan difortifikasi. Kalsium asetat walaupun tinggi tingkat absorpsinya tetapi tidak bisa digunakan karena off flavour (memiliki karakter rasa

yang tidak baik untuk makanan). Hal serupa juga terjadi pada kalsium klorida yang hanya bisa digunakan dalam konsentrasi sangat rendah. Kalsium laktat, kalsium glukonat, kalsium sitrat, dan kalsium malat merupakan pilihan yang baik untuk penggunaan umum karena dapat diabsorpsi lebih dari 30% di dalam tubuh. Kalsium fosfat dan karbonat bisa digunakan sebagai pilihan berikutnya dipertimbangkan dari segi harga dan dapat diabsorpsi lebih dari 20% di dalam tubuh.

Tingkat kemanfaatan atau efisiensi absorpsi kalsium dipengaruhi kebutuhan dan persediaan kalsium oleh tubuh. Semakin tinggi kebutuhan kalsium semakin efisien kalsium yang diabsorpsi. Peningkatan kebutuhan terjadi pada pertumbuhan, kehamilan, menyusui, defisiensi kalsium, dan aktivitas fisik yang meningkatkan densitas kalsium. Semakin rendah persediaan kalsium dalam tubuh, kalsium yang diabsorpsi semakin efisien.

Kondisi keasaman saluran cerna dan vitamin D juga ikut merangsang absorpsi kalsium. Absorpsi kalsium paling baik terjadi dalam keadaan asam. Keadaan asam pada pencernaan bisa terjadi karena asam klorida yang dikeluarkan lambung dan beberapa asam amino tertentu yang meningkatkan keasaman saluran cerna. Vitamin D dalam bentuk aktifnya meningkatkan absorpsi pada mukosa usus dengan cara merangsang produksi protein-pengikat kalsium. Lemak dan laktase ikut membantu absorpsi kalsium pada saluran cerna. Laktosa meningkatkan absorpsi kalsium jika tersedia cukup enzim laktase di dalam


(23)

9

pencernaan. Lemak meningkatkan waktu transit sehingga memberi waktu lebih banyak untuk absorpsi kalsium (Almatsier, 2006).

Gambar 1. Grafik studi rata-rata absorpsi kalsium secara invivo oleh Purac (2003)

Terdapat beberapa penyebab berkurangnya tingkat absorpsi kalsium di dalam tubuh. Kekurangan vitamin D dalam bentuk aktif menghambat absorpsi kalsium. Asam oksalat dan asam fitat yang memiliki ikatan fosfor, masing-masing membentuk kalsium oksalat dan kalsium fosfat yang tidak larut sehingga menghambat absorpsi kalsium. Oksalat biasa terdapat dalam tumbuhan seperti bayam dan kakao, sedangkan fitat biasa terdapat dalam sekam serealia. Serat menurunkan absorpsi kalsium, diduga karena menurunkan waktu transit makanan di saluran cerna sehingga mengurangi kesempatan absorpsi kalsium (Almatsier, 2006).

Kekurangan kalsium pada masa pertumbuhan dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan. Tulang kurang kuat, mudah bengkok, dan rapuh. Saat manusia dewasa, terutama saat usia 50 tahun, kalsium pada tulang umumnya hilang untuk memenuhi kebutuhan harian kalsium. Akibatnya, tulang menjadi rapuh dan mudah patah yang sering dinamakan osteoporosis. Selain itu, kekurangan kalsium dapat menyebabkan osteomalasia. Osteomalasia adalah kondisi riketsia pada orang dewasa yang terjadi karena kekurangan vitamin D dan ketidakseimbangan konsumsi kalsium terhadap fosfor. Mineralisasi matriks tulang terganggu, sehingga kandungan kalsium di dalam tulang menurun (Almatsier, 2006).

Kelebihan kalsium dapat menimbulkan batu ginjal atau gangguan ginjal. Selain itu, kalsium berlebih dapat menyebabkan konstipasi. Kelebihan kalsium bisa terjadi karena berlebih menggunakan suplemen kalsium. Oleh karena itu, konsumsi kalsium hendaknya tidak melebihi 2500 mg per hari (Almatsier, 2006).

2.

Zat Besi

Zat besi merupakan mineral mikro yang paling banyak terdapat di dalam tubuh manusia, yaitu sebesar 3-5 gram di dalam tubuh manusia dewasa. Senyawa besi di dalam tubuh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu yang berfungsi untuk keperluan metabolik dan yang berbentuk simpanan. Kelompok pertama adalah hemoglobin (Hb), mioglobin, sitokrom, dan beberapa zat besi lainnya yang berikatan dengan protein. Sedangkan senyawa zat besi dalam bentuk cadangan terdapat sebagai ferritin dan hemosiderin. (Almatsier, 2006)

Jenis

Kalsium


(24)

10

Kandungan zat besi pada orang dewasa berkisar antara 2.5-4 gram, dimana 2.0-2.5 gram berada dalam sirkulasi sel darah merah, sebagai komponen hemoglobin (Hb). Sedangkan dalam jumlah kecilnya (kira-kira 300 mg) erat hubungannya dengan beberapa enzim yang mengandung besi (Linder, 1992). Dengan demikian, besi memegang peranan penting pada beragam reaksi biokimia. Dalam kaitannya dengan Hb, besi berperan dalam pembentukan sel darah merah serta pengangkutan O2 dan CO2. Sedangkan sebagian kecil besi yang terdapat

dalam enzim jaringan (sekitar 7%), bertanggung jawab dalam pengangkutan elektron pada proses transpor elektron dan fosforilasi oksidatif (sitokrom, kompleks Fe-S protein), serta bertanggung jawab dalam proses pengaktifan oksigen(oksidase dan oksigenase) (Brody, 1994).

Besi memiliki beberapa fungsi esensial di dalam tubuh: sebagai alat angkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh, alat angkut elektron di dalam sel, dan sebagai bagian terpadu berbagai reaksi enzim di dalam tubuh. Besi banyak tersebar luas di dalam makanan. Walaupun demikian, beberapa negara termasuk Indonesia, masih memiliki kasus kekurangan gizi besi di dalam masyarakatnya. Padahal, kekurangan besi berpengaruh terhadap produktivitas kerja, kemampuan kognitif, dan sistem kekebalan tubuh (Almatsier, 2006). Zat besi penting untuk produksi antibodi dan sintesis purin (sebagai bagian integral asam nukleat dalam RNA dan DNA), reaksi sintesis kolagen, penghilangan lipida dari darah, serta detoksifikasi zat racun dalam hati (Muchtadi, 1993).

Sumber zat besi yang baik adalah bahan pangan hewani seperti daging, ayam, dan ikan. Sumber lainnya adalah telur, serealia tumbuk, kacang-kacangan, sayuran hijau, dan beberapa jenis buah. Bahan pangan dikatakan sebagai sumber zat besi yang baik ditentukan oleh jumlah dan ketersediaan biologisnya (bioavailability). Umumnya, zat besi pada produk

pangan hewani memiliki ketersediaan biologis lebih tinggi dibanding produk pangan nabati. Kandungan besi beberapa bahan makanan dapat dilihat pada Tabel 4.

Defisiensi besi merupakan defisiensi gizi yang paling umum terdapat di negara maju maupun berkembang. Defisiensi besi umumnya terjadi pada golongan rentan seperti anak-anak, remaja, ibu hamil dan menyusui serta pekerja berpenghasilan rendah. Kekurangan besi dapat menyebabkan anemia gizi besi, gangguan penyembuhan luka, terganggunya kekebalan tubuh, menurunnya kemampuan belajar, dan berkurangnya produktivitas kerja. Kehilangan besi dapat terjadi karena konsumsi makanan yang kurang seimbang atau gangguan absorpsi besi. Perdarahan akibat infeksi parasit cacing, luka, atau penyakit gastrointestinal juga mengakibatkan kehilangan besi pada tubuh manusia secara signifikan.

Kelebihan besi juga tidak baik bagi kesehatan manusia. Umumnya, kelebihan besi diakibatkan pengonsumsian suplemen makanan yang mengandung besi secara berlebih. Gejala yang diakibatkan adalah mual, muntah, diare, denyut jantung meningkat, sakit kepala, mengigau, dan pingsan (Almatsier, 2006).

Salah satu cara untuk meningkatkan konsumsi zat besi adalah dengan fortifikasi. Salah satu aspek terpenting dalam fortifikasi zat besi adalah memilih senyawa sumber zat besi yang paing cocok. Zat besi yang ditambahkan harus cukup dapat diserap dan tidak mengubah rasa, warna, bau, dan penampakan bahan pangan. Fortifikasi zat besi dalam makanan lebih sulit dilakukan dibandingkan fortifikasi zat gizi lainnya. Hal ini disebabkan karena senyawa zat besi yang paling mudah diabsorpsi adalah yang paling reaktif sehingga sering menghasilkan efek yang tidak dikehendaki apabila dimasak dengan bahan-bahan lainnya.


(25)

11

Tabel4. Kandungan besi berbagai bahan makanan (mg/100 gram)

Sumber: Daftar Komposisi Bahan Makanan, Depkes (1979)

3.

Seng

Tubuh mengandung 2-2.5 gram seng yang tersebar di hampir semua sel. Sebagian besar berada di dalam hati, pankreas, ginjal, otot, dan tulang. Jaringan yang banyak mengandung seng adalah bagian mata, kelenjar prostat, spermatozoa, kulit, rambut, dan kuku. Di dalam cairan tubuh, seng merupakan ion intraselular (Almatsier, 2006).

Seng memegang peranan esensial dalam banyak fungsi tubuh. Sebagai bagian dari enzim atau kofaktor pada kegiatan lebih dari dua ratus enzim, seng berperan dalam berbagai aspek metabolisme. Metabolisme yang terkait misalnya sintesis dan degradasi karbohidrat, protein, lipida, dan asam nukleat. Peranan penting lainnya adalah sebagai bagian integral enzim DNA polimerase dan RNA polimerase yang diperlukan dalam sintesis DNA dan RNA. Seng juga menjadi bagian dari enzim kolagenase yang berperan dalam sintesis dan degradasi kolagen. Dengan demikian, seng berperan dalam pembentukan kulit, metabolisme jaringan ikat, dan penyembuhan luka (Almatsier, 2006).

Menurut Almatsier (2006), kandungan seng paling baik ditemukan pada pangan sumber protein hewani. Daging, hati, kerang, dan telur adalah sumber-sumber seng alami yang baik dari segi jumlah dan ketersediaan biologisnya. Selain itu, pangan nabati seperti serealia tumbuk dan kacang-kacangan merupakan sumber seng yang baik juga. Namun, ketersediaan biologik seng pada pangan nabati tersebut lebih rendah dibandingkan pangan hewani. Beberapa bahan makanan yang mengandung seng dapat dilihat pada Tabel 5.

Bahan makanan Kandungan besi (mg)

Tempe kacang kedelai murni 10.0

Kacang kedelai, kering 8.0

Kacang hijau 6.7

Kacang merah 5.0

Udang segar 8.0

Hati sapi 6.6

Daging sapi 2.8

Telur bebek 2.8

Telur ayam 2.7

Ikan segar 2.0

Ayam 1.5

Gula kelapa 2.8

Biskuit 2.7

Jagung kuning, pipil lama 2.4

Roti putih 1.5

Bayam 3.9 Sawi 2.9 Kentang 0.7

Daun katuk 2.7

Keju 1.5 Kangkung 2.5


(26)

12

Tabel 5. Kandungan seng berbagai bahan makanan (mg/100g)

Sumber: Anonim2 (2010)

Absorpsi seng dipengaruhi beberapa faktor. Ditinjau dari status seng tubuh, jika tubuh membutuhkan banyak seng, maka semakin banyak seng yang diabsorpsi. Jenis makanan juga mempengaruhi absorpsi seng. Serat dan fitat menghambat ketersediaan biologis seng saat dicerna. Tembaga dalam jumlah berlebih akan menghambat absorpsi seng. Sebaliknya, protein histidin meningkatkan absorpsi seng oleh tubuh. Alat transport utama seng adalah albumin. Jika albumin darah menurun, misalnya saat keadaan gizi kurang atau kehamilan, absorpsi seng juga menurun. Umumnya, absorpsi seng pada tubuh berkisar 15-40% (Almatsier, 2006).

Defisiensi seng dapat terjadi pada golongan rentan, yaitu anak-anak, ibu hamil dan menyusui, serta orang lanjut usia. Kekurangan seng dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan dan keterlambatan pematangan seksual. Selain itu, pencernaan akan terganggu karena fungsi pankreas tidak berjalan dengan baik, pembentukan kilomikron terganggu, dan kerusakan permukaan saluran cerna (Almatsier, 2006). Diare dan gangguan fungsi kekebalan tubuh juga bisa terjadi akibat kekurangan seng. Kurangnya seng juga mengganggu metabolisme vitamin A, fungsi kelenjar tiroid dan laju metabolisme, gangguan nafsu makan, penurunan ketajaman indera perasa serta memperlambat penyembuhan luka.

Kelebihan seng hingga dua sampai tiga kali AKG menurunkan absorpsi tembaga. Hal ini menyebabkan degenerasi otot jantung pada hewan. Kelebihan sampai sepuluh kali AKG mempengaruhi metabolisme kolesterol, mengubah nilai lipoprotein, dan mempercepat timbulnya aterosklerosis. Suplemen seng yang berlebihan dikonsumsi bisa menyebabkan keracunan, demikian pula makanan asam yang disimpan dalam kaleng yang dilapisi seng. Dosis sebanyak dua gram atau lebih menyebabkan muntah, diare, demam, kelelahan, anemia, dan gangguan reproduksi (Almatsier, 2006).

4.

Vitamin C

Vitamin C dengan rumus empiris C6H8O6 adalah sebuah zat kimia yang memiliki sifat

umum, memiliki bentuk murni berupa kristal putih, tidak berwarna, tidak berbau, mencair pada kisaran suhu 190-1920C, mudah larut dalam air, mempunyai sifat asam, dan sifat

pereduksi yang kuat (Almatsier, 2006). Sifat-sifat vitamin C terutama dipengaruhi oleh adanya struktur enadiol yang berkonjugasi dengan gugus karbonil dalam cincin lakton. Vitamin C terutama berada dalam bentuk L-asam askorbat, sedangkan D-asam askorbat hanya memiliki 10% aktivitas vitamin C dan biasanya ditambahkan ke dalam bahan pangan

Bahan makanan mg

Wild eastern oyster (kerang laut) 182

Biji gandum 17

Hati anak sapi 12

Tepung wijen 10

Daging sapi rendah lemak 10

Biji labu air 10

Biji semangka kering 10

Cokelat masak 9.6

Daging kambing 8.7


(27)

13

sebagai antioksidan (Andarwulan dan Koswara, 1992). Struktur asam askorbat dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar2. Struktur kimia asam askorbat

Vitamin C bersifat mudah rusak jika berada dalam bentuk larutan, terutama jika terdapat udara, logam-logam seperti tembaga (Cu) dan besi (Fe), serta cahaya. Sifat vitamin C yang paling utama adalah kemampuan mereduksinya yang kuat dan kemudahannya teroksidasi yang dikatalisis oleh beberapa logam, terutama Cu dan Ag. Asam askorbat bersifat sangat sensitif terhadap pengaruh-pengaruh luar yang menyebabkan kerusakan seperti suhu, konsentrasi gula dan garam, pH, oksigen, enzim, katalisator, dan logam.

Mekanisme penyerapan vitamin C membutuhkan suatu sistem transpor aktif (Muchtadi

et al., 1993). Faktor-faktor yang mempengaruhi penyerapan vitamin C adalah jumlah vitamin

C yang dikonsumsi, kandungan pektin dalam bahan pangan (Muchtadi et al., 1993), natrium,

dan aspirin (Combs, 1992). Apabila konsumsi vitamin C berlebih, maka akan mendorong terjadinya pengeluaran vitamin C secara difusi pasif. Natrium dapat memicu sistem transpor aktif dalam penyerapan vitamin C, sedangkan aspirin dapat menghambat kerja sistem transpor aktif dalam penyerapan vitamin C.

Asam askorbat dapat dioksidasi secara in vivo oleh dua elektron bebas dan menghasilkan L-askorbil radikal. L-askorbil radikal ini dapat kembali menjadi asam askorbat bila mengalami reduksi, tetapi bila teroksidasi lagi akan membentuk asam L-dehidroaskorbat yang tidak dapat kembali ke bentuk awal. Selanjutnya hidrolisis dehisroaskorbat menghasilkan asam 2,3-diketo-L-gulonat. Asam gulonat ini dapat mengalami dekarboksilasi menghasilkan CO2 dan fragmen 5C (seperti xilosa dan asam xilonat) dan mengalami

menghasilkan asam oksalat dan fragmen 4C (asam threonat). Asam askorbat dapat dihasilkan kembali dari bentuk dehidroaskorbat dengan bantuan enzim dehidroaskorbat reduktase. Enzim ini menggunakan glutation tereduksi sebagai sumber reducing equivalent. Kerja

enzim ini juga menggunakan NADPH sebagai donor hidrogen (Combs, 1992).

Asam askorbat dan dehidroaskorbat mempunyai sifat pereduksi pada level molekuler. Vitamin tersebut mempunyai sifat umum yang penting yaitu sebagai antioksidan yang mempengaruhi redoks potensial tubuh. Akan tetapi, hanya beberapa reaksi enzim yang sudah memperlihatkan secara khusus membutuhkan vitamin C, seperti proses hidroksilasi yang menggunakan molekul oksigen dan sering mempunyai kofaktor Fe2+ dan Cu2+ (Linder,

1992).

Pangan yang menjadi sumber vitamin C kebanyakan berasal dari nabati. Faktor yang mempengaruhi besarnya kandungan vitamin C adalah jenis bahan makanan, bagian tanaman, kematangan, keadaan penyimpanan, musim, dan cara pengolahan. Sumber terbaik vitamin C antara lain jeruk, jambu biji, strawberi yang mengandung sekitar 50-59 mg dan brokoli yang


(28)

14

mengandung sekitar 100-180 mg (Lestiani, 2009). Beberapa bahan makanan yang mengandung vitamin C dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Kandungan vitamin C berbagai bahan makanan (mg/100g)

Sumber: Anonim3 (2010)

Kekurangan vitamin C dapat menyebabkan berbagai gangguan kesehatan bagi tubuh. Menurut Berdanier et al., (2008), gejala klinis akibat kekurangan vitamin C muncul perlahan

dan sering tersamar. Gejala awal yang ditimbulkan biasanya berupa tubuh yang sering merasa lelah dan mudah merasa sakit. Jika gejala berkembang lebih lanjut maka akan menimbulkan penyakit yang lebih parah seperti scurvy (kudisan) dan juga scorbutism

(sariawan). Gejala scurvy biasanya muncul setelah tiga bulan kekurangan asupan vitamin C.

Konsumsi vitamin C yang berlebih juga berpotensi mengganggu kesehatan tubuh. Ada resiko dari kajian toksisitas bila asupan melebihi satu sampai dua gram per hari (Berdanier et al., 2008). Gangguan terhadap sistem pencernaan terutama pada lambung akan muncul

sebagai reaksi konsumsi vitamin C berlebihan. Selain itu, kemungkinan terjadinya peningkatan asam oksalat yang merupakan hasil metabolit dari asam askorbat bisa mengganggu kerja ginjal.

5.

Vitamin A

Vitamin A merupakan zat gizi esensial, aktivitas biologi senyawa ini diperoleh dari struktur senyawa retinol. Vitamin A adalah vitamin larut lemak yang merupakan nama generik dari semua retinoid dan prekursor/provitamin A/karotenoid yang memiliki aktivitas biologis sebagai retinol. Vitamin A adalah suatu kristal alkohol berwarna kuning dan larut dalam lemak atau pelarut lemak. Vitamin A di dalam tubuh dapat ditemukan dalam tiga bentuknya, yaitu retinol (alkohol), retinal (aldehid), dan retinoat (asam). Retinol dapat diubah menjadi retinal atau sebaliknya, akan tetapi asam retinoat tidak dapat dibentuk kembali menjadi retinol atau retinal (Olson, 1991). Biasanya vitamin A di dalam makanan terdapat dalam bentuk ester retinil, yaitu terikat dalam asam lemak rantai panjang (Almatsier, 2006). Struktur retinol dapat dilihat pada Gambar 3.

Vitamin A tahan terhadap panas cahaya dan alkali, tetapi tidak tahan terhadap asam dan oksidasi. Pada cara memasak biasa tidak banyak vitamin A yang hilang. Suhu tinggi untuk menggoreng dapat merusak vitamin A. Demikian pula oksidasi yang terjadi pada minyak

Bahan makanan mg

Cabai hijau 242.5

Cabai merah 144

Jambu biji 228

Paprika kuning 184

Thyme 160 Peterseli 133 Sawi 70 Brokoli 89 Kiwi 93 Pepaya 62 Jeruk 59 Strawberi 59


(29)

15

yang tengik. Ketersediaan biologis vitamin A meningkat dengan kehadiran vitamin E dan antioksidan lain (Almatsier, 2006).

Gambar 3. Struktur kimia retinol

Vitamin A esensial untuk pemeliharaan kesehatan dan kelangsungan hidup. Dengan demikian, pemenuhan kebutuhan vitamin A sangat penting untuk pemeliharaan keberlangsungan hidup secara normal. Vitamin A memiliki empat fungsi utama, yaitu penglihatan, diferensiasi sel, pertumbuhan, dan reproduksi (Linder, 1992). Sedangkan Broody (1994), membagi fungsi vitamin A ke dalam tiga kelas, yaitu mendorong diferensiasi sel epitel, mendorong kelangsungan hidup dari sistem reproduktif (pertumbuhan fetal dan vitalitas testis), dan utilisasi siklus penglihatan.

Vitamin A dapat diperoleh dari bahan pangan nabati maupun hewani, sebagian besar dalam bentuk ß-karoten dan retinil ester dari hewan. Bentuk aktif vitamin A hanya terdapat dalam pangan hewani. Di sisi lain, pangan nabati mengandung karotenoid yang merupakan prekursor vitamin A. Hanya karotenoid bentuk alfa, beta, gama, dan kriptosantin yang berperan sebagai provitamin A. Bentuk beta-karoten adalah yang paling aktif, terdiri atas dua molekul retinol yang saling. Bagi ß-karoten harus mengalami pemecahan dalam tubuh menjadi dua molekul retinal. Selanjutnya senyawa tersebut dimetabolisme dalam tubuh mengikuti jalur metabolisme asam lemak, ditransportasikan, dan disimpan dalam hati. Konsentrasi retinol dalam tubuh ditentukan oleh tingkat sekresi hati dan levelnya dipertahankan sangat konstan kecuali dalam keadaan defisiensi atau keracunan (Linder, 1992).

Beberapa sumber vitamin A antara lain hati, kuning telur, susu, minyak ikan dan mentega. Sumber karoten antara lain sayuran hijau tua serta sayuran dan buah-buahan berwarna kuning-jingga, seperti daun singkong, kangkung, bayam, buncis, wortel, tomat, pepaya, mangga dan jeruk. Minyak sawit merah juga kaya akan karoten. Beberapa bahan makanan yang mengandung vitamin A terdapat di Tabel 7.

Defisiensi terhadap vitamin A dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Konsumsi vitamin A (provitamin A) rendah, gangguan dalam proses penyerapan di dalam usus halus, gangguan dalam proses penyimpanan di hati, dan gangguan dalam proses konversi provitamin A menjadi vitamin A merupakan faktor yang harus diperhatikan untuk mencegah defisiensi vitamin A. Gejala maupun akibat defisiensi yang muncul adalah refleksi dari berbagai peranan vitamin A (Muchtadi, 1993).

Gejala defisiensi vitamin A pada mata yaitu rabun senja, keratinisasi kornea, opacity

(kornea keruh), bitot’s spot, xerosis conjunctival, dan xerophtalmia. Gejala defisiensi vitamin

A pada kulit yaitu kulit kasar, kering, dan folliculasis (benjolan kecil di dasar kantung rambut

yang mengeras). Gejala defisiensi vitamin A lainnya yaitu infeksi saluran pernafasan, pertumbuhan tulang terlambat, gangguan kesuburan/ fertilitas pada pria, gangguan siklus estrus, perkembangan plasenta, gangguan reproduksi wanita, gangguan resorpsi fetus,


(30)

16

hilangnya enamel gigi, penurunan selera makan, penurunan kemampuan indera pencium, dan perasa (Muchtadi, 1993).

Kekurangan vitamin A biasanya terjadi pada anak-anak balita. Tanda-tanda kekurangan terlihat bila simpanan tubuh habis terpakai. Kekurangan vitamin A merupakan kekurangan primer akibat kurang konsumsi, atau kekurangan sekunder karena gangguan penyerapan dan penggunaannya dalam tubuh, kebutuhan yang meningkat, atau gangguan konversi karoten menjadi vitamin A. Kekurangan vitamin A sekunder dapat terjadi pada penderita Kurang Energi Protein (KEP), penyakit hati, alfa, beta-lipoproteinemia, atau gangguan absorpsi karena kurang asam empedu (Almatsier, 2006).

Tabel 7. Kandungan vitamin A berbagai bahan makanan (Retinol Ekivalen (RE) µg/100g)

Sumber: Daftar Analisis Bahan Makanan, FKUI (1992)

Beberapa jenis penyakit yang membahayakan manusia terjadi karena defisiensi vitamin A. Buta senja adalah salah satu tanda awal kekurangan vitamin A, yaitu ketidakmampuan menyesuaikan penglihatan dari cahaya terang ke cahaya samar-samar. Perubahan pada mata dapat terjadi jika kekurangan vitamin A lebih lanjut berupa kelenjar air mata tidak mampu

Bahan makanan RE

Hati sapi 13,170

Kuning telur bebek 861

Daging Ayam 600

Ginjal 243 Ikan sardin (kaleng) 250

Minyak ikan 24,000

Minyak kelapa sawit 18,000 Minyak hati ikan hiu 2,100

Wortel 3,600

Daun singkong 3,300

Daun pepaya 5,475

Daun lamtoro 5,340

Daun talas 3,118

Daun melinjo 3,000

Daun katuk 3,111

Sawi 1,940 Kangkung 1,890 Bayam 1,827

Ubi jalar merah 2,310

Mentega 1,287 Margarin 600 Susu bubuk full cream 471

Keju 225

Susu kental manis 153

Susu segar 39

Mangga masak pohon 1,900

Pisang raja 285

Tomat masak 450


(31)

17

mengeluarkan air mata sehingga terjadi pengeringan pada selaput yang menutupi kornea. Jika kondisi tersebut terus berlanjut penyakit yang terjadi adalah xeroftalmia, dimana kornea menjadi lunak dan pecah. Fungsi kekebalan tubuh menurun pada orang yang kekurangan vitamin A, sehingga mudah terserang infeksi. Selain itu, kulit juga menjadi kering dan kasar, folikel rambut menjadi kasar, mengeras dan mengalami keratinisasi. Kekurangan vitamin A juga menghambat pertumbuhan sel-sel, termasuk sel tulang (Almatsier, 2006).

Di sisi lain, kelebihan vitamin A juga bisa mengakibatkan gangguan kesehatan. Kelebihan vitamin A bisa terjadi bila memakan vitamin A sebagai suplemen dalam takaran tinggi secara berlebih, misalnya takaran 16,000 RE untuk jangka waktu lama atau 40,000-55,000 RE/hari. Gejala yang ditimbulkan pada orang dewasa antara lain kepala pusing, mual, rambut rontok, kulit mengering, anoreksia, dan sakit pada tulang. Gejala pada wanita adalah terganggunya siklus menstruasi sehingga berhenti. Pada bayi, terjadi pembesaran kepala, hidrosefalus, dan mudah tersinggung (Almatsier, 2006).

E.

REMAJA

Masa remaja merupakan saat terjadinya perubahan-perubahan cepat dalam proses pertumbuhan fisik, kognitif dan psikososial. Pada masa ini terjadi kematangan seksual dan tercapainya bentuk dewasa karena pematangan fungsi endokrin. Pada saat proses pematangan fisik, juga terjadi perubahan komposisi tubuh. Periode adolesensia ditandai dengan pertumbuhan yang cepat (growth spurt) baik tinggi maupun berat badannya. Pada periode growth spurt,

kebutuhan zat gizi tinggi karena berhubungan dengan besarnya tubuh. Growth spurt pada anak

perempuan antara umur 10 dan 12 tahun, sedangkan pada anak laki-laki antara umur 12 sampai 14 tahun (Almatsier, 2006).

Permulaan growth spurt pada anak tidak selalu pada umur yang sama melainkan tergantung

individualnya. Pertumbuhan yang cepat biasanya diiringi oleh pertumbuhan aktivitas fisik sehingga kebutuhan zat gizi akan naik pula. Kenaikan ini diperlukan selain untuk pemeliharaan fungsi fisiologis juga untuk menunjang pertumbuhan yang optimal (Muhilal et al., 1998).

Gizi kaum remaja yang dicerminkan oleh pola makannya akan sangat menentukan dalam mencapai pertumbuhan fisik optimal sesuai dengan potensi genetik yang dimilikinya. Beberapa mineral yang penting untuk diperhatikan adalah kalsium, zat besi, dan seng (Khomsan, 2004). Zat gizi dibutuhkan oleh remaja selain untuk pertumbuhan fisiknya juga untuk perkembangannya atau kemampuan intelegensi antara lain energi, protein, vitamin B6, vitamin C, seng, zat besi, dan kalsium (Wirakusumah, 1993).

Survei yang dilakukan Hurlock (1997) menunjukkan bahwa remaja menyukai makanan jajanan (snack). Jenis makanan ringan yang dikonsumsi adalah kue-kue yang rasanya manis,

biskuit, wafer, pastry, dan permen. Sebaliknya sayur serta buah yang banyak mengandung

vitamin C tidak populer untuk dikonsumsi. Hal ini mengakibatkan diet mereka rendah akan zat besi, vitamin C, dan lain-lain. Disamping itu hasil survei juga menunjukkan bahwa remaja menyukai minum-minuman ringan (soft drink), teh, dan kopi yang frekuensinya lebih sering dibandingkan dengan minum susu.

Kekurangan asupan harian beberapa zat gizi mikro pada remaja Indonesia perlu diatasi dengan memperkaya zat gizi pada makanan yang dikonsumsi. Hal ini penting karena remaja Indonesia mengalami gangguan tumbuh kembang dan penurunan tingkat kecerdasan (Untoro, 2004). Formulasi pada proses fortifikasi zat besi, kalsium, seng, vitamin A, dan vitamin C dilakukan pada wafer krim karena remaja menyukai produk yang mudah dibawa dan dapat dikonsumsi kapan saja


(32)

18

Laporan United State Department of Agriculture (USDA) menyebutkan pascakrisis ekonomi

di Indonesia, industri makanan olahan mendapat kenyataan adanya perubahan profil konsumen (Maryoto, 2003). Mereka adalah masyarakat yang menginginkan kepuasan yang lebih, kritis, dan berpendidikan. Konsumen ini mulai mengenal produk-produk fortifikasi, seperti susu, biskuit, es krim yang ditambahkan vitamin dan mineral. Mereka memiliki pengetahuan yang baru berkat media yang diakui berperan penting dalam "mengedukasi" konsumen. Akibatnya saat ini banyak dilakukan riset-riset yang mengarah pada inovasi produk dengan segmentasi dan target konsumen yang sangat tajam seperti segmentasi berdasar umur dan juga targetted product (Maryoto, 2003).

Salah satu segmentasi yang banyak diburu produsen saat ini adalah konsumen remaja.

Bagi produsen, kelompok usia remaja adalah salah satu pasar yang potensial. Alasannya antara lain karena pola konsumsi seseorang terbentuk pada usia remaja dan pola tersebut akan mempengaruhi pola konsumsinya di masa mendatang. Selain itu, remaja biasanya mudah terbujuk rayuan iklan, suka mengikuti trend, tidak realistis, dan cenderung boros dalam menggunakan uangnya. Sifat-sifat remaja inilah yang dimanfaatkan oleh sebagian produsen untuk memasuki pasar remaja. Berdasarkan data Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2006, remaja Indonesia (usia 10-19 tahun) berjumlah sekitar 43 juta jiwa atau 19.61% dari jumlah penduduk (Dhamayanti, 2009). Jumlah ini merupakan sasaran dari pemasaran berbagai barang dan jasa, tidak terkecuali industri makanan olahan seperti wafer (Maryoto, 2003).

Meski hanya makanan camilan, market size wafer secara total diperkirakan senilai Rp 3

triliun untuk tahun 2009 dengan proporsi wafer cream masih mendominasi 55%, dan wafer stick sebesar 45% (Mubarak, 2010). Menurut Murdono (2003), wafer yang digolongkan sebagai biskuit dalam kategori pangan, dikonsumsi di Indonesia sebanyak 695 gram per kapita per tahun, namun sumber tidak menyebutkan jangka waktunya.

F.

KEMASAN

Kemasan disebut juga bungkus atau wadah memegang peranan penting dalam pengawetan bahan pangan. Menurut Syarief dan Irawati (1988), kemasan berfungsi sebagai: 1) wadah untuk menempatkan produk dan memberi bentuk sehingga memudahkan dalam penyimpanan, pengangkutan, dan distribusi; 2) memberi perlindungan terhadap mutu produk dari kontaminasi luar dan kerusakan; dan 3) menambah daya tarik produk.

Kemasan plastik banyak digunakan oleh industri pangan karena harganya yang relatif murah, lebih ringan daripada kemasan metal atau gelas, serta memerlukan energi yang lebih kecil dalam pembuatan, konversi, dan pendistribusiannya (Hernandez dan Giazin, 1998). Sebagai bahan pembungkus, plastik dapat digunakan dalam bentuk tunggal, komposit, atau berupa lapisan-lapisan dengan bahan lain misalnya kertas atau aluminium foil.

Kombinasi antara berbagai macam kemasan plastik berbeda atau plastik dengan kemasan non plastik (kertas, aluminium foil, dan selulosa) dimana ketebalan setiap lapisan utamanya lebih dari 6 mikron dan diproses dengan cara laminasi ekstrusi atau laminasi adhesif disebut sebagai kemasan laminasi (Robertson, 1993). Minimal ada dua jenis kemasan yang dikombinasikan dalam kemasan laminasi dimana salah satunya harus bersifat thermoplastic.

Kemasan laminasi yang dibuat dari kombinasi antara berbagai plastik dengan aluminium disebut metallized plastic. Walaupun lapisan pelogaman ini sangatlah tipis sekitar 300-1000 Å

(0.03-0.1µm) tetapi dapat meningkatkan perlindungan, menahan bau, memberikan efek kilap, dan menahan gas (Matsumoto, 1999). Kemasan ini memiliki ketahanan terhadap uap air dan gas yang lebih baik dari plastik tunggal, tidak meneruskan cahaya, dan menghambat masuknya oksigen.


(33)

19

Penggunaan ini sangat sesuai untuk mengemas kopi, makanan kering, keju, dan roti panggang (Brown, 1992).

Jenis kemasan yang digunakan pada penentuan umur simpan produk wafer krim adalah kemasan dua layer dan kemasan tiga layer. Kemasan dua layer yang dimaksud adalah CPP (Cast Polypropilene) yang disemprot aluminium sehingga terlapisi lalu dilaminasi dengan OPP

(Oriented polypropilene) untuk kebutuhan pelabelan. Pada kemasan pertama ini, film plastik yang

dimetalisasi adalah CPP. Penggunaan CPP sebagai bahan kemasan terbatas karena daya tahan sobek CPP rendah. CPP tidak disarankan untuk mengemas produk yang berat dan tajam kecuali dilapisi oleh bahan yang lebih kuat dan lebih tahan sobek (Robertson, 1993).

Plastik OPP (Oriented polypropilene) merupakan polypropilene yang telah mengalami proses

peregangan secara silang dan digunakan untuk kebutuhan pelabelan. Menurut Syarief et al.

(1989), untuk memperbaiki sifat-sifat polipropilen, dalam proses pembuatannya digunakan modifikasi penarikan satu arah menjadi OPP atau jika penarikan dua arah menjadi BOPP (Biaxially Oriented Polypropilene). Sifat polipropilen yaitu lebih jernih dari LDPE dan HDPE,

lebih kaku, lebih kasar dari LDPE, daya kedap air sempurna, dan densitas lebih rendah. OPP bersifat tahan terhadap suhu tinggi, tahan terhadap asam kuat, basa, dan minyak, serta rapuh terhadap suhu rendah.

Jenis kemasan kedua yaitu kemasan tiga layer. Kemasan ini merupakan kemasan CPP (Cast Polypropilene) yang dimetalisasi kemudian dilaminasi dengan PET (polietilen tereftalat) dan

pada bagian terluar OPP untuk kebutuhan pelabelan. PET banyak digunakan dalam laminasi terutama untuk bagian luar karena dapat meningkatkan daya tahan kemasan terhadap kikisan dan sobekan sehingga banyak digunakan sebagai kemasan pangan yang memerlukan perlindungan (Syarief et al., 1989). Salah satu sifat yang paling penting dari polietilen adalah permeabilitasnya yang rendah terhadap uap air. PET juga bersifat thermoplastik sehingga mudah dibuat kantung dengan derajat kerapatan yang baik.

G.

UMUR SIMPAN

Menurut Institute of Food Technology seperti yang dikutip oleh Arpah (2001), umur simpan

produk pangan adalah selang waktu antara saat produksi hingga saat konsumsi dimana produk berada dalam kondisi yang memuaskan pada sifat penampakan, rasa, aroma, tekstur, dan nilai gizi. Penentuan umur simpan produk pangan merupakan suatu jaminan mutu industri pangan yang bermutu baik saja yang didistribusikan ke konsumen (Hariyadi, 2006).

Menurut Ellis (1994), penentuan umur simpan suatu produk dilakukan dengan mengamati produk selama penyimpanan sampai terjadi perubahan yang tidak dapat diterima lagi oleh konsumen. Syarief dan Halid (1993) menyatakan bahwa penurunan mutu makanan terutama dapat diketahui dari perubahan faktor tersebut. Oleh karena itu, dalam menentukan daya simpan suatu produk perlu dilakukan pengukuran terhadap atribut mutu produk tersebut. Jenis parameter atau atribut mutu yang diuji tergantung pada jenis produknya. Untuk satu produk, yang diuji tidak semua parameter, melainkan salah satu saja yaitu yang paling cepat mempengaruhi penerimaan konsumen.

Menurut Floros (1993), umur simpan produk pangan dapat diduga dan kemudian ditetapkan waktu kadaluarsanya dengan menggunakan dua konsep studi penyimpanan produk pangan yaitu dengan Extended Storage Studies (ESS)/ metode konvensional dan Accelerated Storage Studies

(ASS)/ metode akselerasi. Penentuan umur simpan secara konvensional memerlukan waktu yang lama karena dilakukan dengan cara menyimpan suatu seri produk pada kondisi normal sehari-hari sambil dilakukan pengamatan penurunan mutunya. Metode akselerasi diterapkan pada produk


(34)

20

pangan dengan memvariasikan kondisi kelembaban relatif (RH), suhu, atau intensitas cahaya, baik secara sendiri-sendiri maupun gabungannya (Floros, 1993). Pada metode ini kondisi penyimpanan diatur di luar kondisi normal sehingga produk dapat lebih cepat rusak dan penentuan umur simpan dapat ditentukan (Arpah dan Syarief, 2000). Keuntungan metode ini adalah memerlukan waktu yang relatif singkat, tetapi tetap memiliki ketepatan dan akurasi yang tinggi.

Penentuan umur simpan untuk wafer krim dapat dilakukan dengan beberapa cara seperti uji kadar air kritis, uji ketengikan, uji arhenius, dan lain sebagainya. Dalam penelitian ini diukur perubahan kandungan vitamin C pada wafer krim menggunakan metode arhenius. Berubahnya kandungan vitamin C pada wafer menandakan perubahan zat gizi yang paling sensitif. Hal ini disebabkan vitamin C mudah terdegradasi oleh oksigen, adanya pengkelat seperti besi dan tembaga, pH dan suhu. Penentuan umur simpan pada penelitian ini menggunakan perubahan vitamin C sebagai rejection point karena fokus penelitian ini mencakup fortifikasi zat gizi

termasuk perubahannya. Rejection point adalah batas di mana produk sudah dikategorikan ditolak

karena terjadi perubahan mutu pada kriteria yang telah ditentukan. Contohnya, rejection point

vitamin C 10% artinya produk sudah ditolak mutunya jika kadar vitamin C yang tersisa pada produk tinggal 10%.

H.

UJI ORGANOLEPTIK

Uji organoleptik adalah disiplin ilmu yang menganalisa dan mengukur respon indera manusia terhadap komposisi produk yang dapat digunakan sebagai alat pengukuran daya terima terhadap produk (Susiwi, 2009). Penilaian organoleptik sangat banyak digunakan untuk menilai mutu dalam industri pangan dan industri hasil pertanian lainnya. Dalam beberapa hal penilaian dengan indera bahkan melebihi ketelitian alat yang paling sensitif.

Cara-cara pengujian organoleptik dapat digolongkan dalam beberapa kelompok. Pertama adalah kelompok pengujian pembedaan (different test). digunakan untuk menetapkan apakah ada

perbedaan sifat sensorik atau organoleptik antara dua sampel. digunakan untuk menetapkan apakah ada perbedaan sifat sensorik atau organoleptik antara dua sampel. Kelompok kedua adalah pengujian pemilihan atau penerimaan. Uji penerimaan menyangkut penilaian seseorang akan suatu sifat atau kualitas suatu bahan yang menyebabkan orang menyenenangi produk tersebut. Tujuan uji penerimaan ini untuk mengetahui apakah suatu komoditi atau sifat sensorik tertentu dapat diterima oleh masyarakat. Kelompok ketiga adalah pengujian skalar. Pada uji skalar penelis diminta menyatakan besaran kesan yang diperolehnya. Besaran ini dapat dinyatakan dalam bentuk besaran skalar atau dalam bentuk skala numerik. Kelompok keempat adalah pengujian deskriptif. Pengujian ini merupakan penilaian sensorik yang didasarkan pada sifat-sifat sensorik yang lebih kompleks atau yang meliputi banyak sifat-sifat sensorik, karena mutu suatu komoditi umumnya ditentukan oleh beberapa sifat sensorik. Pada uji ini banyak sifat sensorik dinilai dan dianalisa sebagai keseluruhan sehingga dapat menyusun mutu sensorik secara keseluruhan (Susiwi, 2009).

Pada penelitian ini uji organoleptik lebih difokuskan kepada penerimaan suatu produk. Uji penerimaan meliputi dua jenis uji. Uji penerimaan pertama adalah uji kesukaan atau hedonik. pada uji ini panelis mengemukakan tanggapan pribadi suka atau tidak suka, disamping itu juga mengemukakan tingkat kesukaannya. Tingkat kesukaan disebut juga skala hedonik. Skala hedonik ditransformasi ke dalam skala numerik dengan angka menaik menurut tingkat kesukaan. Dengan data numerik tersebut dapat dilakukan analisa statistik. Uji penerimaan kedua adalah uji


(35)

21

mutu hedonik. pada uji ini panelis menyatakan kesan pribadi tentang baik atau buruk (kesan mutu hedonik). Kesan mutu hedonik lebih spesifik dari kesan suka atau tidak suka, dan dapat bersifat lebih umum (Susiwi, 2009).

Uji organoleptik mencakup beberapa atribut mutu yang dinilai. Beberapa di antaranya adalah penampilan, aroma, tekstur, suara, rasa, dan penilaian keseluruhan (Anonim4, 2010). Penampilan

meliputi kesan visual yang ditampilkan oleh produk, bisa berupa warna maupun bentuk. Aroma meliputi kesan olfaktori yang ditangkap oleh indera penciuman berupa bau dari sampel yang diuji. Tekstur meliputi kesan permukaan pada produk yang diperoleh dari sentuhan, bisa berupa sentuhan saat dipegang oleh tangan maupun tekstur saat produk dirasakan oleh lidah di dalam mulut. Suara meliputi kesan auditori yang ditangkap indera pendengaran baik saat sampel diberi perlakuan oleh tangan atau saat sampel dikunyah di dalam mulut. Rasa meliputi kesan yang muncul saat sampel dirasakan oleh papil-papil pengecap lidah, yang secara umum terdiri dari asam, manis, asin, pahit, dan umami. Penilaian keseluruhan (overall) meliputi penilaian

menyeluruh terhadap sampel yang diuji tanpa memilah-memilah kesukaan terhadap kesan tertentu (Susiwi, 2009).


(1)

78

Data Kadar Vitamin C pada Uji Penyimpanan Wafer Fortifikasi Hari ke-28

Suhu Chamber

(0C)

Kemasan/

Suhu Batch U Bobot Sampel (g) Vol. titrasi I2 pada blanko (ml) Vol. titrasi I2 pada sampel (ml) [ ] Kadar Vit. C (%) Rata-rata Kadar Vit. C (%)

SD RSD

analisis RSD horwitz I2(N) 35 2 layer

1 1 10.0001 0.5 6.50 0.00924 0.09845

0.09886 0.00047 0.47202 5.66665 2 10.0003 0.5 6.55 0.00924 0.09927

2 1 10.0011 0.5 6.55 0.00924 0.09926 2 10.0002 0.5 6.50 0.00924 0.09845

3 layer

1 1 10.0005 0.5 7.00 0.00924 0.10659

0.10679 0.00041 0.37979 5.60119 2 10.0005 0.5 7.05 0.00924 0.10740

2 1 10.0001 0.5 7.00 0.00924 0.10659 2 10.0002 0.5 7.00 0.00924 0.10659

40

2 layer

1 1 10.0000 0.5 6.00 0.00924 0.09032

0.09072 0.00047 0.51549 5.74037 2 10.0001 0.5 6.00 0.00924 0.09032

2 1 10.0005 0.5 6.05 0.00924 0.09113 2 10.0004 0.5 6.05 0.00924 0.09113

3 layer

1 1 10.0016 0.5 6.70 0.00924 0.10169

0.10170 0.00001 0.00713 5.64250 2 10.0007 0.5 6.70 0.00924 0.10170

2 1 10.0000 0.5 6.70 0.00924 0.10171 2 10.0002 0.5 6.70 0.00924 0.10171

45

2 layer

1 1 10.0000 0.5 5.45 0.00924 0.08137

0.08137 0.00000 0.00058 5.83517 2 10.0001 0.5 5.45 0.00924 0.08137

2 1 10.0000 0.5 5.45 0.00924 0.08137 2 10.0001 0.5 5.45 0.00924 0.08137

3 layer

1 1 10.0003 0.5 6.35 0.00924 0.09601

0.09662 0.00041 0.42023 5.68621 2 10.0002 0.5 6.40 0.00924 0.09683

2 1 10.0005 0.5 6.40 0.00924 0.09682 2 10.0007 0.5 6.40 0.00924 0.09682


(2)

79

Lampiran 10. Data umur simpan pada wafer fortifikasi dalam kemasan 2 layer

Data Ln Rata-rata Kadar Vitamin C, Slope, Intercept, dan Suhu pada Uji Penyimpanan Wafer Fortifikasi dalam Kemasan 2 Layer

Suhu t (hari)

Rata-rata Kadar Vitamin

C (%)

Ln Rata-rata Kadar Vitamin

C (%)

Ordo O Slope

(K) Intercept Korelasi

Ln Slope T

(Kelvin) 1/T (Ln K)

35

0 0.11924 -2.12662

0.00070 0.12010 0.99170 -7.26443 308 0.00325 7 0.11534 -2.15987

14 0.11075 -2.20048 21 0.10470 -2.25666 28 0.09886 -2.31405

40

0 0.11924 -2.12662

0.00100 0.11850 0.99140 -6.90776 313 0.00319 7 0.11113 -2.19705

14 0.10348 -2.26838 21 0.09523 -2.35146 28 0.09072 -2.39998

45

0 0.00000 -2.12662

0.00140 0.11860 0.99570 -6.57128 318 0.00314 7 0.10943 -2.21247

14 0.09800 -2.32279 21 0.09065 -2.40075 28 0.08137 -2.50875


(3)

80

Data Slope, Ea, Intercept, dan Korelasi pada Uji Penyimpanan Wafer Fortifikasi dalam Kemasan 2 Layer

Suhu Penyimpanan

(Celsius)

Nilai Slope (K)

Ln Slope (Ln K)

T (Kelvin)

1/T (1/Kelvin)

Slope (Ea/R)

Ea

(KJ/mol) Intercept Korelasi

35 0.0007 -7.26443 308 0.00325

5204 43.266056 10 0.979

40 0.0010 -6.90776 313 0.00319

45 0.0014 -6.57128 318 0.00314

Plot Hubungan 1/T dengan slope (K) pada Uji Penyimpanan Wafer Fortifikasi dalam Kemasan 2 Layer

Data perkiraan umur simpan pada uji penyimpanan wafer fortifikasi dalam kemasan 2 layer

Suhu (C) Suhu (K) Ln K K Umur Simpan

(Hari)

Umur Simpan (Bulan)

20 293 -8.39065 0.00023 366.728 12.224

25 298 -8.00188 0.00033 248.602 8.287

27 300 -7.85000 0.00039 213.572 7.119

30 303 -7.62594 0.00049 170.701 5.690


(4)

81

Lampiran 11. Data umur simpan pada wafer fortifikasi dalam kemasan 3 Layer

Data Ln Rata-rata Kadar Vitamin C, Slope, Intercept, dan Suhu pada Uji Penyimpanan Wafer Fortifikasi dalam Kemasan 3 Layer Suhu t (hari) Rata-rata Kadar

Vitamin C (%)

Ln Rata-rata Kadar Vitamin C (%)

Ordo O

Slope (K) Intercept Korelasi

35

0 0.11924 -2.12662

0.002 0.12 0.997

7 0.11591 -2.15494

14 0.11335 -2.17727

21 0.11028 -2.20473

28 0.10679 -2.23689

40

0 0.11924 -2.12662

0.003 0.119 0.997

7 0.11479 -2.16465

14 0.10947 -2.21210

21 0.10445 -2.25905

28 0.10170 -2.28573

45

0 0.11924 -2.12662

0.002 0.12 0.998

7 0.11366 -2.17454

14 0.10738 -2.23138

21 0.10106 -2.29204

28 0.09662 -2.33697


(5)

82

Data Ln Rata-rata Kadar Vitamin C, Slope, Intercept, dan Suhu pada Uji Penyimpanan Wafer Fortifikasi dalam Kemasan 3 Layer

Suhu t (hari)

Rata-rata Kadar Vitamin

C (%)

Ln Rata-rata Kadar

Vitamin C (%)

Ordo O Slope

(K) Intercept Korelasi Ln Slope (Ln K)

T

(Kelvin) 1/T

35

0 0.11924 -2.12662

0.0004 0.1192 0.9977 -7.824 308 0.00325

7 0.11591 -2.15494

14 0.11335 -2.17727 21 0.11028 -2.20473 28 0.10679 -2.23689

40

0 0.11924 -2.12662

0.0006 0.119 0.9905 -7.4186 313 0.00319

7 0.11479 -2.16465

14 0.10947 -2.21210 21 0.10445 -2.25905 28 0.10170 -2.28573

45

0 0.11924 -2.12662

0.0008 0.0092 0.9969 -7.1309 318 0.00314

7 0.11366 -2.17454

14 0.10738 -2.23138 21 0.10106 -2.29204 28 0.09662 -2.33697


(6)

83

Data Slope, Ea, Intercept, dan Korelasi pada Uji Penyimpanan Wafer Fortifikasi dalam Kemasan 3 Layer

Suhu Penyimpanan

(Celsius)

Nilai Slope (K)

Ln Slope (Ln K)

T (Kelvin)

1/T (1/Kelvin)

Slope (Ea/R)

Ea

(KJ/mol) Intercept Korelasi

35 0.0004 -7.824 308 0.00325

5204 43.2661 10 0.979

40 0.0006 -7.4186 313 0.00319

45 0.0008 -7.1309 318 0.00314

Plot Hubungan 1/T dengan slope (K) pada Uji Penyimpanan Wafer Fortifikasi dalam Kemasan 3 Layer

Data perkiraan umur simpan pada uji penyimpanan wafer fortifikasi dalam kemasan 3 layer

Suhu (C) Suhu (K) Ln K K Umur Simpan

(Hari)

Umur Simpan (Bulan)

20 293 -8.93771 0.00013 633.770 21.126

25 298 -8.54866 0.00019 429.504 14.317

27 300 -8.39667 0.00023 368.942 12.298

30 303 -8.17244 0.00028 294.835 9.828