FORTIFIKASI Formulasi wafer krim yang difortifikasi zat gizi mikro untuk remaja dan perkiraan umur simpannya

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. WAFER KRIM

Menurut Dogan 2006, biskuit merupakan produk bakeri yang lebih sering dikonsumsi dibandingkan dengan produk bakeri lainnya. Menurut SNI 01-2973-1992, biskuit adalah sejenis makanan yang terbuat dari tepung terigu dan bahan makanan lain yang diproses dengan pemanasan dan pencetakan BSN, 1992. Kelebihan biskuit adalah mempunyai umur simpan yang relatif lama dan disukai karena enak, manis, dan renyah. Menurut SNI tahun 1990, biskuit dapat diklasifikasikan menjadi biskuit keras, kraker, kukis, dan wafer. Wafer merupakan produk makanan kering yang terbuat dari adonan cair berbasis tepung terigu, berpori-pori besar, renyah, dan penampangnya berongga bila dipatahkan SNI 01-2973- 1992. Wafer tergolong biskuit yang sangat tipis dengan ketebalan lebih kecil dari 1 mm hingga 4 mm, mempunyai tekstur lembut dan renyah, serta mempunyai permukaan halus yang ukuran dan detailnya dibentuk sesuai cetakan Macrae et al.,1993. Bahan adonan wafer terdiri atas gula, tepung, air, garam, lemak, dan bahan lainnya. Ada dua jenis wafer yaitu wafer flat dan wafer stick. Wafer stick mempunyai bentuk bulat panjang seperti stick. Bentuk tersebut dicetak setelah proses pemanggangan dengan cara melilitkan lembaran wafer pada sebuah nozzle lalu diisi dengan krim kedalamnya. Wafer flat adalah jenis creamed sandwich wafer yang terdiri dari empat wafer dan tiga lapis krim di antara sheet Oktania, 2004. Wafer flat dibentuk dari adonan yang dipanggang di antara sepasang plat metal yang panas. Wafer hasil pemanggangan berbentuk sheet atau lembaran yang datar, besar, dan tipis dengan pola permukaan sesuai dengan bentuk plat yang digunakan. Sheet kemudian dioles krim pada tiap lembaran sehingga membentuk sandwich wafer. Wafer yang dihasilkan ini masih dalam ukuran besar yang utuh dan disebut dengan book wafer. Book wafer didinginkan kemudian dipotong sesuai ukuran yang ditetapkan Oktania, 2004.

B. FORTIFIKASI

Borenstein 1979 membagi istilah penambahan zat gizi pada makanan meliputi restorasi, pengkayaan enrichment, standarisasi, suplementasi, dan fortifikasi. Restorasi adalah penambahan zat gizi dengan tujuan untuk mengembalikan jumlah zat gizi tertentu ke jumlah atau konsentrasi semula, yaitu konsentrasi sebelum terjadi perubahan atau penurunan karena pengaruh perlakuan pengolahan tertentu. Pengertian pengkayaan yaitu penambahan zat gizi tertentu dengan tujuan untuk memenuhi standar identitas produk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Standarisasi adalah suatu penambahan zat gizi tertentu sebagai usaha untuk mengurangi variasi komposisi gizi bahan baku, dalam rangka memenuhi standar atau spesifikasi yang sudah ditentukan. Suplementasi memiliki pengertian penambahan zat gizi dalam jumlah yang cukup sampai sangat tinggi sehingga dapat digunakan sebagai tambahan zat gizi bagi yang memerlukan. Produk pangan yang disuplementasi hanya digunakan sebagai penambah suplemen bagi usaha memenuhi zat gizi, bukan sebagai sumber utama zat gizi tersebut. Selain dalam bentuk produk pangan, suplementasi juga dijumpai dalam bentuk pil, kapsul, megadose, dan lain‐lain Hariyadi, 2006. Berbeda dengan pengertian proses penambahan zat gizi lainnya, fortifikasi memiliki arti yang khusus yaitu penambahan zat gizi dalam jumlah yang cukup besar pada suatu produk pangan sedemikian rupa sehingga produk tersebut dapat berfungsi sebagai 5 sumber utama yang baik bagi zat gizi yang ditambah terutama bagi masyarakat target yang telah ditentukan. Dalam fortifikasi, zat gizi yang ditambahkan dapat berupa zat gizi yang sudah secara alami ada pada produk pangan yang bersangkutan, ataupun zat gizi baru yang secara alami tidak ada pada produk pangan tersebut. Jadi fortifikasi memiliki tujuan yang jelas yaitu memberikan atau menyediakan produk pangan yang dapat dijadikan sumber zat gizi tertentu yang diperlukan oleh masyarakat target sehingga bisa meningkatkan status atau mutu gizi Hariyadi, 2006. Teknologi fortifikasi telah berkembang pesat, tidak hanya digunakan untuk keperluan menanggulangi masalah kekurangan gizi, misalnya fortifikasi iodium pada garam dan zat besi pada tepung terigu, tetapi juga untuk perkembangan formula makanan fungsional untuk tujuan pemeliharaan dan peningkatan status kesehatan. Dari segi bisnis, fortifikasi tentunya dapat dijadikan nilai tambah suatu produk pangan sebagai strategi penjualan dan pemasaran. Fortifikasi vitamin tertentu, misalnya vitamin C, vitamin E, dan ß-karoten, dapat digunakan untuk membangun citra produk yang positif karena diyakini manfaatnya oleh masyarakat luas dalam segi kesehatan Hariyadi, 2006. Fortifikasi perlu dilakukan secara cermat untuk mencegah ketidakseimbangan zat-zat gizi esensial, baik yang ditambahkan maupun yang telah ada di dalam produk pembawa carrier. Untuk itu perlu diperoleh data-data tentang angka ketersediaan bioavailability zat gizi yang bersangkutan. Pengertian bioavailability mencakup bagaimana interaksi antara zat gizi yang ditambahkan dengan zat-zat gizi ataupun unsur lain yang telah ada di dalam bahan pangan tersebut mempengaruhi daya cerna dan daya guna zat gizi yang ditambahkan di dalam tubuh. Pengaruh interaksi ini terutama jika dilakukan di dalam tubuh double, triple, atau muliple fortification . Di samping itu, zat gizi yang ditambahkan harus stabil pada kondisi-kondisi pengolahan, distribusi, penjajaan, dan penanganan untuk konsumsi. Diketahui bahwa selama proses penanganan, pengolahan, dan distribusi, zat-zat gizi akan selalu berinteraksi dengan berbagai faktor baik dari lingkungan eksternal maupun internal. Faktor-faktor yang mempengaruhi stabilitas zat gizi antara lain pH, oksigen, cahaya, waktu, suhu, air Aw, RH, kadar air, benturan fisik, tekanan, inhibitor, katalis, dan gesekan. Data tentang interaksi tersebut diketahui untuk perhitungan umur simpan, kebutuhan konsumsi, kebutuhan pelabelan, serta usaha untuk meminimalkan kerusakan dalam rangka meminimalkan biaya dan memaksimalkan efektivitas fortifikasi. Intensitas masing-masing interaksi tersebut akan dipengaruhi oleh jenis teknologi baik teknologi formulasi, bahan baku, ataupun teknologi proses yang digunakannya Hariyadi, 2006. Informasi mengenai stabilitas zat gizi erat kaitannya dengan pelabelan dan diperlukan untuk jaminan bahwa jumlah konsumsi zat gizi tersebut tidak berlebihan sehingga ada kepastian tidak akan terjadi gangguan kesehatan. Ada dua hal yang perlu diperhatikan untuk pelabelan produk pangan yang difortifikasi yaitu overage dan klaim. Overage didefinisikan sebagai perbedaan antara jumlah yang dinyatakan dalam label declared level dan dalam formula formulated level. Overage merupakan rasio antara selisih jumlah zat gizi pada formula dan label dengan jumlah zat gizi yang dinyatakan dalam label. Konsep overage ini penting terutama untuk komponen-komponen zat gizi yang labil terhadap pengolahan dan penyimpanan. Jumlah aktual pada akhir masa simpan ini dapat ditentukan atau diduga dengan menggunakan data-data tentang stabilitas. Klaim yang akan dibuat dalam label tentang zat gizi sebaiknya dibandingkan dengan nilai RDA Recommended Dietary Allowances zat gizi yang bersangkutan. Klaim produk pangan berupa ¨kaya akan zat gizi tertentu¨ untuk produk pangan yang difortifikasi, harus disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal ini, Badan Pengawas Obat dan 6 Makanan BPOM telah mengeluarkan Pedoman Pelabelan Produk Pangan yang bisa dijadikan acuan.

C. ACUAN LABEL GIZI