2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Karakteristik Masyarakat Pesisir
Masyarakat pesisir adalah masyarakat yang hidup, tumbuh, dan
berkembang di kawasan pesisir, yakni suatu kawasan transisi antara wilayah darat
dan wilayah laut. Sebagai suatu sistem, masyarakat nelayan terdiri atas kategori- kategori sosial yang membentuk kekuatan sosial. Mereka juga memiliki sistem
nilai dan simbol-simbol kebudayaan sebagai referensi perilaku mereka sehari-hari. Faktor budaya ini menjadi pembeda masyarakat nelayan dari kelompok
masyarakat lainnya. Sebagian besar masyarakat pesisir, baik langsung maupun tidak langsung, menggantungkan kelangsungan hidupnya dari mengelola potensi
sumberdaya perikanan. Mereka menjadi komponen utama konstruksi masyarakat maritim Indonesia Mulekom. 1999;
Kusnadi, 2009. Sebagai suatu masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir, masyarakat
pesisir mempunyai karakteristik sosial tersendiri yang berbeda dengan masyarakat yang tinggal di daratan. Di beberapa kawasan pesisir yang relatif berkembang
pesat, struktur masyarakatnya bersifat heterogen, memiliki etos kerja tinggi, solidaritas sosial yang kuat, serta terbuka terhadap perubahan dan interaksi sosial
White, 1997. Sebagai dampak dari keterbukaan tersebut, masyarakat pesisir rentan terhadap berbagai permasalahan politik, sosial dan ekonomi yang
kompleks. Masalah-masalah tersebut diantaranya adalah sebagai berikut: 1 kemiskinan, kesenjangan sosial, dan tekanan-tekanan ekonomi yang datang setiap
saat, 2 keterbatasan akses modal, teknologi dan pasar, sehingga mempengaruhi dinamika usaha, 3 kelemahan fungsi kelembagaan sosial ekonomi yang ada, 4
kualitas SDM yang rendah sebagai akibat keterbatasan akses pendidikan, kesehatan,dan pelayanan publik, 5 degradasi sumberdaya lingkungan, baik di
kawasan pesisir, laut maupun pulau-pulau kecil, dan 6 belum kuatnya kebijakan yang berorientasi pada kemaritiman sebagai pilar utama pembangunan nasional
Kusnadi, 2009; Pomeroy dan Carlos, 1997. Permasalahan yang dihadapi nelayan sangat beragam, dan permasalahan
tersebut umumnya tidak berdiri sendiri, tetapi saling terkait satu sama lain.
Sebagai contoh, masalah kemiskinan. Masalah ini disebabkan oleh hubungan- hubungan korelatif antara keterbatasan akses, lembaga ekonomi belum berfungsi,
kualitas SDM rendah, degradasi sumber daya lingkungan. Oleh karena itu, persoalan penyelesaian kemiskinan dalam masyarakat pesisir harus bersifat
integralistik. Kalaupun harus memilih salah satu faktor sebagai basis penyelesaian persoalan kemiskinan, pilihan ini benar-benar menjangkau faktor-
faktor yang lain atau menjadi motor untuk mengatasi masalah-masalah yang lain. Pilihan demikian memang sulit dilakukan, tetapi harus ditempuh untuk
mengefisienkan dan mengoptimalkan sumberdaya yang tersedia yang memang terbatas.
Populasi masyarakat pesisir diperkirakan mencapai 16,42 juta jiwa dan mendiami 8.090 desa DKP, 2003. Menurut hasil analisis SMERU diacu dalam
DKP 2003, Poverty Headcount Index PHI rata-rata 0,3241, yang berarti sekitar 32 dari populasi berada pada level di bawah garis kemiskinan berdasarkan kriteria
Prof. Sajogyo. Menurut Prof. Sajogyo 1977 pendapatan per kapita dalam setahun setara beras dapat dikategorikan:
1. Paling miskin : kurang dari 270 kg 2. Miskin sekali : 270
– 360 kg 3. Miskin
: 360 – 480 kg
4. Di atas miskin : lebih dari 480 kg
Kawasan Indonesia Timur KTI pada umumnya mempunyai tingkat PHI atau indeks kemiskinan cukup tinggi dengan kisaran antara 0,4382-0,6284 disusul
Pulau Jawa, sebagian Sulawesi dan sebagian Kalimantan sebesar 0,2809-0,4382. Wilayah yang mempunyai tingkat kemiskinan cukup rendah ada pada sebagian
wilayah Kalimantan dan Sumatera, sedangkan yang mempunyai tingkat kemiskinan paling rendah adalah Riau dan Kalimantan Tengah Gambar 2.
Gambar 2 Peta kemiskinan masyarakat pesisir
2.2 Kelembagaan dan Pembangunan Ekonomi Masyarakat