G. THIN LAYER DRYING
Proses mikroenkapsulasi terdiri dari 2 tahap yaitu pencampuran bahan inti dengan larutan membentuk materi pembentuk dinding dan pendinginan
atau pengeringan emulsi yang terbentuk. Pengeringan merupakan proses pengeluaran air dari bahan hasil pertanian atau bahan pangan Andarwulan et
al ., 1989. Tujuan pengeringan adalah untuk mempertahankan mutu produk
selama penyimpanan karena dengan berkurangnya kadar air maka pertumbuhan mikroba dapat ditekan sehingga kerusakan produk dapat dihindari.
Teknik pengeringan yang digunakan adalah thin layer drying yang didahului dengan pembuatan lapisan tipis emulsi karoten pada permukaan dan
dikeringkan secara cepat secara konduksi dan konveksi melalui permukaan plat Anonim, 2007. Prinsip pengeringan lapis tipis yaitu proses pengeringan
dimana bahan yang akan dikeringkan dibuat dalam bentuk lapisan atau irisan yang tipis dengan menggunakan medium udara panas sehingga efisiensi
pengeringan menjadi semakin meningkat karena semakin besar luas permukaan maka kecepatan pengeringan semakin tinggi sehingga dihasilkan produk kering
dengan lapisan atau irisan yang tipis. Teknik pengeringan lapis tipis bertujuan untuk menghasilkan bahan pangan cair atau semi cair, sehingga atribut mutu
seperti aroma, warna dan gizi dapat dipertahankan. Thin layer drying
merupakan alat pengering yang digunakan untuk bahan pangan cair atau semisolid misalnya telur dan puree buah atau sayuran.
Kelebihan metode thin layer drying berdasarkan penelitian oleh Nurhasanah 2005 yaitu : konsumsi energi yang rendah, efisiensi pengeringan yang tinggi,
tidak merusak komponen dari bahan yang sensitif terhadap panas karena menggunakan suhu yang rendah 60
o
C.
H. UMUR SIMPAN
Umur simpan adalah lamanya masa penyimpanan pada kondisi penyimpanan yang normalsesuai dimana produk masih memilikiatau
memberikan daya guna seperti yang diharapkan dijanjikan Hariyadi, 2004. Umur simpan menurut Institut of Food Technologist 1993 adalah selang
waktu antara produksi hingga saat konsumsi dimana produk berada dalam kondisi yang memuaskan pada sifat-sifat penampakan, rasa, aroma, tekstur,
dan nilai gizi. Sedangkan Floros 1993 mendefinisikan umur simpan sebagai waktu yang diperlukan oleh produk pangan dalam suatu kondisi penyimpanan
untuk sampai pada suatu level atau tingkatan degradasi mutu tertentu Umur simpan suatu produk ditentukan oleh tiga faktor yaitu karakteristik
produk, lingkungan dimana produk berada selama penyimpanan dan karakteristik kemasan yang digunakan ivory. Menurut Desrosier 1970,
faktor yang mempengaruhi stabilitas penyimpanan bahan pangan meliputi jenis, dan kualitas bahan baku yang digunakan. Metode, dan keefektifan
pengolahan, jenis dan keadaan kemasan, perlakuan mekanis yang dilakukan terhadap produk yang dikemas selama distribusi dan penyimpanan, dan
pengaruh yang ditimbulkan oleh suhu dan kelembapan penyimpanan. Menurut Syarief dan Halid 1993, faktor-faktor yang mempengaruhi
umur simpan bahan pangan yang dikemas adalah sebagai berikut: 1.
Keadaan alamiah atau sifat makanan dan mekanisme berlangsungnya perubahan, misalnya kepekaan terhadap air, cahaya, dan oksigen, serta
kemungkinan terjadinya perubahan kimia internal dan fisik. 2.
Ukuran kemasan dalam hubungan dengan volume 3.
Kondisi atsmosfer terutama suhu dan kelembapan dimana 4.
Kemasan dapat bertahan selama transit dan sebelum digunakan 5.
Kekuatan keseluruhan dari kemasan terhadap keluar masuknya air, gas, dan bau, termasuk perekatan, penutupan dan bagian-bagian yang terlipat.
Syarief dan Halid 1993 menyatakan bahwa penurunan mutu makanan sangat menentukan umur simpannya. Untuk menganalisis penurunan mutu
diperlukan beberapa pengamatan terhadap parameter-parameter yang dapat diukur secara kuantitatif dalam bentuk pengukuran kimiawi, organoleptik, uji
kadar vitamin C, dan total mikroba. Menurut Desrosier 1970, untuk menetapkan daya simpan suatu bahan pangan diperlukan data yang berkenaan
dengan perubahan warna, bau, cita rasa, tekstur zat gizi, kadar air, keapekan
ketengkan dan seluruh perubahan yang mempengaruhi tingkat penerimaan produk oleh konsumen.
Umur simpan dapat diduga kemudian ditetapkan waktu kadaluarsanya dengan menggunakan dua konsep studi penyimpanan produk pangan yaitu
dengan Extended Storage Studies ESS dan Accelarated Storage Studies ASS Floros 1993.
Menurut Hariyadi 2004 umur simpan ditentukan oleh faktor kritis atau parameter mutu yang paling cepat rusak. Penentuan kerusakan factor
kritis tersebut dapat dilakukan dengan 1 studi pustaka; 2 penelitian laboratorium; 3 konsultasi atau diskusi dengan ahli; 4 verifikasi dengan uji
inkubasi. ESS atau yang lebih dikenal dengan metode konvensional adalah
penentuan tanggal kadaluarsa dengan jalan menyimpan suatu seri produk pada kondisi normal sehari-hari sambil dilakukan pengamatan terhadap penurunan
mutunya hingga mencapai tingkat mutu kadaluarsanya. Metode ini akurat tetapi membutuhkan waktu yang sangat lama dan analisa parameter mutu yang
relativ banyak. Dewasa ini, metode ESS sering digunakan untuk produk yang mempunyai waktu kadaluarsa kurang dari tiga bulan Arpah, 2001.
Berbeda halnya dengan metode AAS yang membutuhkan waktu pengujian yang lebih singkat, tetapi tetap memiliki ketetapan dan akurasi yang
tinggi. Hal ini disebabkan, metode ASS menggunakan suatu kondisi lingkungan yang dapat mempercepat accelerated reaksi deteriorasi
penurunan mutu produk pangan sehingga kerusakan yang berlangsung dapat diamati dengan cermat dan terukur. Hal ini dapat dilakukan dengan
mengontrol semua lingkungan produk dan mengamati parameter perubahan yang berlangsung Arpah, 2001.
Metode akselerasi pada dasarnya adalah metode kinetik yang disesuaikan untuk produk-produk tertentu. Model-model yang diterapkan pada
penelitian akselerasi ini menggunakan dua cara pendekatan yaitu : 1 Pendekatan kadar air kritis dengan bantuan teori difusi, yaitu suatu cara
pendekatan yang diterapkan untuk produk kering dengan menggunakan kadar air atau aktifitas air sebagai kriteria kadaluarsa dan 2 Pendekatan semi
empiris dengan bantuan persamaan Arrhenius, yaitu suatu cara pendekatan yang menggunakan teori kinetika yang ada pada umumnya mempunyai ordo
reaksi nol atau satu untuk produk pangan Arpah, 2001.
III. METODOLOGI PENELITIAN A.
BAHAN DAN ALAT 1.
Bahan
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah minyak sawit kasar yang diperoleh dari PT. Sinar Meadow International Jakarta. Bahan-
bahan penyalut yang digunakan adalah Carboxy Methyl Cellulose CMC AKULCELL AF, AK 20-2785 Netherland, gelatin dan maltodekstrin
dengan DE 10 merk Hi-Cap 100 yang diperoleh dari National Park. Garam jenuh yang dibutuhkan untuk proses penyimpanan adalah KNO
3.
Bahan-bahan kimia untuk analisis yang digunakan adalah heksana, KOH, kloroform, asam asetat glasial, kertas Whatman 42, standar beta karoten,
NaOH, kalium Iodida, natrium thiosulfat,1-butanol, pereaksi TBA, dan pereaksi Wijs.
2. Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian adalah plat kaca dalam ukuran 20 cm x 20 cm x 2 mm, lampu UV, tray dryer, thin layer drying, spray
dryer , termometer, homogeniser Ultra Turaks, inkubator, pemanas,
chromameter Minolta CR-200, timbangan analitik, sentrifuse, desikator, spektrofotometer, lovibond tintometer, vorteks, alat-alat gelas dan sudip.
B. METODE PENELITIAN
1.
Persiapan Bahan Baku
Persiapan bahan baku meliputi karakterisasi minyak sawit kasar, dan pembuatan minyak sawit merah dengan metode fraksinasi suhu rendah secara
bertingkat pada suhu 30
o
C dan 20
o
C. Selanjutnya dilakukan analisis mutu dari minyak sawit merah. Analisis yang dilakukan meliputi analisis kadar
air, penentuan asam lemak bebas, total karoten, dan warna. Tujuan dari tahap ini adalah untuk mengetahui karakteristik minyak sawit kasar yang
selanjutnya akan dibuat minyak sawit merah.