PEMURNIAN MINYAK SAWIT TINJAUAN PUSTAKA A.

Sedangkan, bau yang menyimpang terjadi akibat kerusakan asam-asam lemak berantai pendek yang membentuk asam lemak bebas Ketaren, 2005.

C. PEMURNIAN MINYAK SAWIT

Pengolahan minyak sawit dari sabut mesokarp kelapa sawit menjadi minyak sawit komersial minyak goreng secara umum melalui beberapa tahap, yaitu ekstraksi, pemurnian, dan fraksinasi. Ekstraksi adalah suatu cara untuk mendapatkan minyak atau lemak dari bahan yang diduga mengandung minyak atau lemak. Adapun cara ekstraksi antara lain, rendering, mechanical expression, dan solvent extraction. Tahapan proses selanjutnya adalah pemurnian. Pemurnian minyak sawit secara konvensional meliputi, pemisahan gum degumming, pemisahan asam lemak bebas deasidifikasi, pemucatan bleaching, dan penghilanghan bau deodorisasi. Tahap terakhir yaitu fraksinasi yang merupakan bagian dari pemurnian sawit hasil ekstraksi. Fraksinasi merupakan proses pemisahan fraksi cair olein dan fraksi padat stearin dari minyak dengan winterisasi, proses pemisahan bagian gliserida jenuh atau bertitik cair tinggi dari trigliserida bertitik cair rendah dengan cara pendinginan chilling hingga suhu 5 -7ºC Ketaren, 2005. Pada proses pemurnian minyak sawit kadang-kadang satu atau lebih dari tahapan proses tersebut tidak perlu dilakukan, tergantung dari tujuan jenis minyak yang diinginkan. Untuk mendapatkan minyak sawit merah, proses bleaching tidak dilakukan karena proses ini bertujuan untuk menghilangkan zat merah karotenoid dari minyak sawit. Helena 2003 melaporkan bahwa sekitar 80 karotenoid hilang selama proses bleaching. Sedangkan menurut Ketaren 2005, arang aktif bleaching agent sebesar 0,1 - 0,2 dari berat minyak dapat menyerap zat warna sebanyak 95-97 dari total zat warna yang terdapat pada minyak sawit. Zat warna yang diserap oleh arang aktif ini dapat dikeluarkan kembali desorpsi dari arang aktif dengan cara mekanis dan kimia berupa pelarut yang dapat mengeluarkan kembali karotenoid yang terdapat pada arang aktif, yaitu etanol, heksana, metanol. Pengolahan minyak sawit diawali dengan perlakuan pendahuluan. Tujuan dari perlakuan pendahuluan ini adalah untuk menghilangkan kotoran dan memperbaiki stabilitas minyak dengan mengurangi jumlah ion logam terutama besi dan tembaga. Selanjutnya, proses pendahuluan ini ditujukan untuk memudahkan proses pemurnian selanjutnya, dan mengurangi minyak yang hilang pada proses pemurnian, terutama pada proses deasidifikasi Ketaren, 2005. Salah satu proses pendahuluan yang banyak digunakan adalah degumming , yaitu suatu proses pemisahan kotoran dari kulit dan getah atau lendir yang terdapat dalam minyak tanpa mereduksi asam lemak bebas yang ada. Namun, degumming bukan merupakan satu-satunya cara untuk menghilangkan kotoran dalam minyak. Menurut Ketaren 2005 untuk memisahkan kotoran-kotoran yang terdapat dalam minyak yang terdiri dari biji atau partikel jaringan, lendir, dan getah, serat yang berasal dari kulit, abu dan mineral yang terdiri dari Fe, Cu, Mg dan Ca serta air dalam jumlah kecil dapat dipisahkan dengan cara mekanis, yaitu pengendapan, penyaringan dan sentrifusi. Proses selanjutnya adalah proses pemisahan asam lemak bebas dalam minyak atau deasidifikasi. Deasidifikasi secara kimia dilakukan dengan cara deasidifikasi dengan mereaksikan asam lemak bebas dengan larutan basa atau alkali sehingga membentuk sabun soap stock. Sabun yang terbentuk dapat membantu pemisahan kotoran dengan cara membentuk emulsi. Sabun atau emulsi yang terbentuk dapat dipisahkan dari minyak dengan cara sentrifusi Ketaren, 2005. Alkali yang biasa digunakan adalah NaOH, yang dikenal sebagai caustic deasidification. NaOH banyak digunakan oleh industri karena lebih efisien dan murah. Beberapa bahan kimia dapat diaplikasikan pada proses tersebut, misalnya natrium karbonat, natrium hidroksida, kalium hidroksida, etanol amin serta amonia Hui, 1996. Efektivitas bahan kimia tersebut dalam proses deasidifikasi minyak sawit sangat dipengaruhi oleh konsentrasi bahan kimia dan suhu yang digunakan selama proses deasidifikasi Ketaren, 2005. Konsentrasi bahan kimia yang digunakan dalam deasidifikasi tergantung pada jumlah asam lemak bebas atau derajat keasaman minyak. Makin besar jumlah asam lemak bebas, makin besar pula konsentrasi bahan kimia yang digunakan. Tetapi, makin besar konsentrasi bahan kimia yang digunakan, maka kemungkinan jumlah trigliserida yang tersabunkan akan semakin besar. Sebaliknya, makin kecil konsentrasi bahan kimia maka makin besar kecenderungan larutan sabun untuk membentuk emulsi dengan trigliserida sehingga mempersulit pemisahan sabun soap stock yang juga akan menurunkan rendemen Hui, 1996. D. MINYAK SAWIT MERAH Minyak sawit merah merupakan hasil ekstraksi serabut daging mesokarp buah tanaman kelapa sawit Elaeis guienensis JACQ yang biasanya disebut minyak sawit mentah atau kasar Crude Palm Oil, CPO dan dalam pengolahan selanjutnya warna merah tetap dipertahankan. Secara umum, proses produksi minyak sawit merah prinsipnya sama dengan proses produksi minyak sawit komersial minyak goreng. Satu hal yang membedakan adalah pada proses produksi minyak sawit merah ini tidak ada tahapan bleaching pemucatan sehingga minyak masih tetap berwarna merah. Dibandingkan dengan minyak goreng biasa, minyak sawit merah memiliki aktivitas provitamin A dan vitamin E yang jauh lebih tinggi. Karakter ini membuat minyak sawit merah sangat baik dipandang dari segi nutrisi Jatmika dan Guritno, 1996. Gambar minyak sawit merah dapat dilihat pada Gambar 3. Proses pengolahan minyak sawit kaya karotenoid yaitu minyak sawit merah mulai dikembangkan sejak tahun 90-an, sejalan dengan semakin disadarinya peran penting karotenoid bagi kesehatan manusia. Sampai saat ini telah dikembangkan tiga macam proses pengolahan minyak sawit merah yaitu 1 proses menggunakan deasidifikasi kimiawi dipadukan dengan penggunaan deodorizer konvensional untuk menghilangkan bau, 2 proses menggunakan distilasi molekuler, dan 3 proses deasidifikasi kimiawi dengan rotary evaporator untuk menghilangkan bau. Proses nomor 1 dan 2 digunakan secara komersial untuk memproduksi minyak sawit merah, sedangkan proses ketiga telah dikembangkan oleh Pusat Penelitian Kelapa Sawit PPKS Medan Jatmika dan Guritno, 1997. Gambar 3 . Minyak Sawit Merah Anonim, 2008 b Beberapa penelitian tentang pembuatan minyak sawit merah telah banyak dilakukan di Indonesia. Jatmika dan Guritno 1997, peneliti dari PPKS Medan memproduksi MSM melalui proses degumming dengan asam fosfat 85 dan deasidifikasi dengan natrium karbonat 20 pada suhu ruang, kemudian sabun dipisahkan secara penyaringan vakum. Proses yang sama dilakukan oleh Sirajjudin 2003 tetapi pada proses deasidifikasi menggunakan larutan natrium karbonat 10 . Mas’ud 2007 melakukan penelitian optimasi proses deasidifikasi dan melaporkan bahwa proses deasidifikasi menggunakan NaOH 11,1, suhu proses 60ºC, dan lama proses selama 25 menit adalah kondisi deasidifikasi yang paling optimal. Puspitasari 2008 melaporkan bahwa proses deadifikasi menggunakan NaOH 11.1 dengan kombinasi lama proses pengadukan 20 menit dan kecepatan pengadukan 60 rpm dipilih sebagai kondisi optimum. Perbandingan karakteristik minyak sawit merah yang dihasilkan oleh Jatmika dan Guritno PPKS 1997, Sirajjudin 2003, Mas’ud 2007 dan Puspitasari 2008 dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Perbandingan karakteristik MSM PPKS 1997, Sirajjudin 2003, Mas’ud 2007 dan Puspitasari 2008 PPKS Sirajjudin Mas’ud Puspitasari Parameter -1997 -2003 -2007 -2008 Asam Lemak Bebas 0,11 0,02 0,17 0,16 Kadar Air , bb 0,02 0,01 0,07 0,002 Bil. Iod g I2100g MSM 56 55 45,8 45,6 Bil. Peroksida meqkg MSM 6,1 0,86 5,9 5,8 Bil.Penyabunan mgKOHgMSM 198 197 193,8 193,21 Total Karoten ppm 500 650 492 533 Pada umumnya, pemanfaatan minyak sawit masih didominasi untuk produk pangan. Menurut Muchtadi 1997 sektar 90 minyak sawit digunakan untuk produk-produk pangan seperti minyak goreng, minyak salad, margarin, shortening, vanaspati, dan sebagainya, sedangkan sisanya 10 digunakan untuk produk-produk nonpangan. Berbeda dengan minyak sawit, minyak sawit merah tidak dianjurkan untuk digunakan sebagai minyak goreng, karena karoten yang terkandung di dalamnya mudah rusak pada suhu tinggi. Minyak ini lebih dianjurkan untuk digunakan sebagai minyak makan dalam menumis sayur, minyak salad, dan bahan fortifikan. Kandungan karoten yang tinggi menyebabkan minyak sawit merah berwarna kemerahan. Olson 1991 menganjurkan diberikannya 7 ml minyak sawit merah setiap hari untuk nutrisi anak-anak prasekolah. Hasil penelitian tehadap anak-anak sekolah di India yang mengkonsumsi makanan kaya beta-karoten dari minyak sawit merah ternyata terjadi peningkatan retinol daam hati dan serum darah Rukmini, 1994. Tetapi masalahnya adalah rasa dan aroma minyak sawit merah yang kurang enak sehingga tidak disukai oleh balita. Di Indonesia, pada tahun 1996-1998, PPKS Medan secara intensif melakukan kajian terhadap pengembangan proses, penerimaan konsumen dan ketahanan simpan minyak sawit merah. Namun, sampai saat ini di Indonesia belum ada minyak sawit merah yang dijual secara komersial.

E. KAROTENOID 1. Struktur dan Sifat Fisika-Kimia Karotenoid