64 Universitas Sumatera Utara
c. Informan 3
Nama : Mameng Bongky Iskandar
Usia : 37 Tahun
Nama Komunitas : Mata Sapi Films
Alamat Komunitas : Jalan Tangguk Bongkar X Gg. Maryono No. 70 b.
Status Keanggotaan : Finishing Mastering Posisi Di Komunitas : Editor
d. Informan 4
Nama : Ridho Golap
Usia : 34 Tahun
Nama Komunitas : Mataniari Project
Alamat Komunitas : Jalan HM Joni Komp. Puri Teladan No.4 Medan.
Status Keanggotaan : Event Organizer Posisi Di Komunitas : Koordinator
e. Informan 5
Nama : Winda Mitari Utami, S.Pd
Usia : 23 Tahun
Nama Komunitas : Opique Pictures
Alamat Komunitas : Jalan Adam Malik Gg. Slamat No. 21 Medan.
Status Keanggotaan : Anggota Posisi Di Komunitas : Koordinator Peran
4.1.4 Penyajian Data Para Informan
Hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti kepada masing-masing informan ialah sebagai berikut:
1. Andi Hutagalung, S.T. Wawancara dilakukan pada tanggal 5 Desember
2014
Menurut Andi Hutagalung sebenarnya tim film “Omnibus Bohong” ini yang mempengaruhi lahirnya Kofi Sumut, karena interaksi komunitas itu di dalam
“Omnibus Bohong” yang sangat sering untuk berkomunikasi. Ada lima komunitas dan ada tawaran yang dibawa oleh Muhammad Hidayat dengan TVRI untuk
65 Universitas Sumatera Utara
membuat program di tengah-tengah produksi “Omnibus Bohong” dan hal itu penting karena menambah kekuatan lagi. Dari beberapa komunitas yang
bergabung dalam tim “Omnibus Bohong” dikumpulkan dan dimulai diskusi untuk pembentukan organisasi yang lebih kuat lagi dengan skala yang lebih besar.
Dengan semangat berdiskusi beberapa komunitas lainnya dan menyetujui karena alasan kebersamaan ini menurut pria berusia 36 tahun ini sangat tepat. Seperti
ungkapan Andi berikut ini: “Di sela-sela kesibukan premier dan mencari lokasi screening sebenarnya
terjadinya tawaran baru dan ide gagasan dari Muhammad Hidayat, itu juga kebutuhan “Omnibus Bohong”. kenapa? Karena kita masih repot untuk
mencari tempat screening. Tawaran yang menurut kita baik untuk mempromosikan “Omnibus Bohong”. Kerjasama TVRI untuk mengisi
programnya itu salah satunya yang membuat kesibukan semakin bertambah, tapi memang itu menjadi kendala di kita. Bukan akhirnya
menjadi point yang kita harapkan tapi menambah PR yang baru. PR-nya berbentuk masalah. Kita harus mengumpulkan lagi komunitas-komunitas
film karena sementarakan di “Omnibus Bohong” hanya enam. Di situ memang tahap perjalanan kita jadi sibuk dan jadinya screeningnya agak
mandek karena kita masih bingung mencari lokasi. Kita terus berdiskusi bagaimana mengumpulkan kawan-kawan komunitas dan terkumpul
dengan semangat. Di awal sih bagus, respect tapi taulah berorganisasi ini apalagi komunitas yang masing-masing punya ego dan visi misinya
berbeda. Tidak gampang untuk bisa mengumpulkan menjadi satu yah pasti seleksi alam akan terjadi, tapi pelan-pelan terus terbangun, terbangun, dan
terbangun. Walaupun di tengah jalan tawaran program itu mentah karena TVRI merasa kita hanya komunitas kecil yang tidak mampu untuk
menjalankan program tersebut walaupun kita sudah membuat beberapa konsep yang sederhanalah yang biasa kita lihat di TV-TV lain. Kendala itu
terjadi dan di situ menjadi kekuatan baru lagi untuk membangun Kofi Sumut. Dijalin terus komitmennya dan terus kita padatin akhirnya
tercetuslah organisasi ini. Walaupun sebenarnya belum baku menjadi organisasi.”
Organisasi yang dibangun dari sebuah komunitas biasanya memiliki cara tersendiri dalam pembagian tim kerja atau pembagian jabatan tugas. Keunikan ini
akan tampak lebih komplek dengan penempatan kerja sesuai dengan bidang keahliannya. Sangat tampak berbeda dengan struktur perusahaan yang sangat jelas
perbedaan gaji atau upah dalam sebuah proses menuju visi misi. Arus komunikasi yang digunakan dalam organisasi ini tidak menggunakan arus komunikasi vertikal
baik arus dari atasan ke bawahan maupun sebaliknya bawahan ke atasan
66 Universitas Sumatera Utara
melainkan menggunakan arus horizontal. Hal ini yang mempengaruhi pembentukan struktur.
“Struktural yah pembagian kesepakatan, namanya juga kerja tim ya, kerja tim itu tidak ada namanya atasan bawahan sama-sama untuk saling
mengingatkan tapi berbagi peran. Mataniari kemarin sebagai organizer bagaimana mengemas sebuah tontonan, mungkin yang lain mencari lokasi,
karenakan yang lain itu sudah memproduksi film gak mungkin juga mengeluarin bebankan kepada kawan-kawan yang sudah memproduksi
film untuk mengorganize lagi. Karena komunitas film ada lima kemarin yang satu mataniari telah menyepakati tidak memproduksi film tapi
mereka mengambil sebagai pengorganisir untuk screening “Omnibus Bohong”.
Dalam sebuah proses menuju sebuah misi maka organisasi tidak luput dari sebuah hambatan, hambatan yang berimbas pada laju proses menjadi tugas utama
dalam menuju sebuah tujuan. Hal ini juga terjadi pada organisasi yang masih dapat dikatakan berumur jagung. Organisasi yang terbentuk dari kumpulan-
kumpulan komunitas film ini juga harus memikirkan jadwal pertemuan untuk menyesuaikan waktu agar agenda masing-masing komunitas tidak terganggu.
Hambatan lain terjadi pada program pertama yaitu mewujudkan pemutaran perdana dan ini adalah halangan yang sangat fatal dalam tubuh Kofi Sumut.
“Masalah yang timbul untuk pengembangan Kofi Sumut pasti bicara waktu kita ngumpul. Belum bicara program, ngumpulnya ini memang
agak repot. Walaupun tidak semuanya komunitas film yang ada di Sumatera Utara yang mengenal baik tentang berorganisasi. Artinya ini
yang sebenarnya harus diselesaikan sama kawan-kawan Kofi Sumut membangun organisasi seperti apa gituloh. Kalo kita ingin membuat film
bukan hanya untuk kita, pastikan film kita pengen ditonton orang dan direspon seperti apa, untuk menjadi tolak ukur perkembangan karya kita
seperti apa. Visi dan misi itu setiap komunitas tidak sama mungkin ada yang satu komunitas punya visi misi yang membuat film selama sebulan
sepuluh, mungkin komunitas lain enggak satu gitu misalnya. Kalo aku liat sih kendalanya adalah bicara komunikasi juga, komunikasi yang kurang
baik sampai ke tujuan kendalanya sebenarnya ya di sela-sela kesibukan screening omnibus itu muncul tawaran ide dan gagasan baru itu dari pihak
TVRI, itu sebenarnya yang muncul problem untuk bicara omnibus dan akhirnya harus ada Komunitas Film X itu keluar. Kenapa? karena dia
merasa wah, apa ya gak tau juga dia punya pikiran seperti apa. Ya kita tidak melarang dia punya pikiran beda dengan kita, karena di situ muncul
Kofi Sumut. Akhirnya Kofi Sumut yang muncul di atas, tapi kan akhirnya Komunitas Film X menganggap Kofi Sumut adalah ancaman bagi dia,
yang aku liat seperti itu. Kenapa? karena Komunitas Film X punya misi sendiri untuk membangun organisasinya, tiba-tiba muncul Kofi Sumut
67 Universitas Sumatera Utara
yang akhirnya menaungin omnibus untuk bergerak menuju screening dimana-mana. Itu mungkin komunikasi yang tidak sampai tepat kepada
orang Komunitas Film X ya, akhirnya Komunitas Film X mengundurkan diri. Sebenarnyakan Kofi Sumut adalah sebuah wadah bersama tapi diakan
berpandangan berbeda dengan kita semua. Kek yang lain-lain dia pengen besar tanpa ada embel-embel yang disamping. Kalo aku punya prinsip
pribadi, aku sendiri aku enggak akan bisa besar sendiri tanpa bantuan kawan-kawan. Tanpa bantuan di sekitar, nggak mungkin aku bisa bergerak
sendiri, apa lagi bicara karya untuk membuat film. Karena bicara membuat film adalah tim, dalam tim itu ada beberapa banyak orang gitu loh. Kalo
misalnya Director Of Photograhpynya tidak bisa ikut itu masalah besar dalam film, misal Art Of Directornya apa lagi yang namanya sutradaranya.
Artinya memang kerja tim kalo satu yang tumbang pasti akan tumbang semua”.
Masalah sebuah organisasi bukan lagi hal baru, melainkan sebuah dinamika yang mendewasakan sebuah organisasi. Sama dengan sebuah pepatah
yang berbunyi “Semakin tinggi pohon menjulang maka semakin kencang angin menerpa”. Hal ini menunjukan proses kedewasaan dalam sebuah organisasi. Dan
dalam masalah yang menghambat proses tercapainya sebuah misi maka sangat dibutuhkannya kiat menyelesaikan masalah guna membangun iklim positif dalam
sebuah organisasi.
“Setelah satu komunitas mengundurkan diri dari dalam omnibus memang kekecewaan kita pasti ada. Bicara soal promosi sendiri kita sudah
membuat media promosi kita dan kita sudah publish dan dia harus mengatakan mengundurkan diri dari “Omnibus Bohong”. Itukan yang
masalah besar karena kenapa kita sudah publish gitu. Kenapa? Karena terus akan terbawa dan itu menjadi pertanyaan baru bagi kawan-kawan
yang masih ada di omnibus kenapa ini promonya kemaren 5 film sekarang jadi 4 film. Hah itukan jadi kendala baru dan orang lain pasti akan
menganggap wadah kalian untuk bicara yang kecil aja masih repot gimana bicara yang besar itu kendala bagi kita dan akhirnya kita harus merubah
semuanya. Pastikan bicara waktu lagi itu menjadi kesalahan kita. Kita sudah punya komitmen dan dia melepaskan diri, sayang waktu yang sudah
bersama-sama di awal gitu mengerjain ini sampai bicarakan screening dan promosi tiba-tiba dia keluar sayang aja kita sudah konferensi pers yaitu
sedikit kegagalan sebenarnya. Mediasi tetap dilakukan agar Komunitas Film X itu tetap masuk ke dalam omnibus, yah tapi memang mereka punya
prinsip kuat akhirnya ya mau nggak mau dan kita juga nggak mungkin memaksa dan nggak baik juga kita harus paksa. Dia punya visi misinya
sendiri gitu ya akhirnya mau gak mau kita harus tetap jalan. Kenapa? Karena sayang aja pekerjaan itu cuma setengah-setengah walaupun
mungkin ada kendala itu yang jadi pelajaran untuk kita gituloh biarlah ini berproses tapi ke depannya kita pikir dan akhirnya kita bisa tahu jangan
sampai gagal lagi seperti ini. Tapi mungkin ya itulah kita bicara takdir
68 Universitas Sumatera Utara
mereka memang belum siap untuk bicara yang besar untuk tahapan yang lebih besar yah pasti mental, SDM dan bisa juga wawasan bagaimana
membangun bersama gituloh. Mungkin sekarang ini mereka masih bisa berfikir euphoria mereka, bahwasanya mereka bisa dan mampu untuk
berdiri sendiri. Sementara mereka harus berfikir kembali kalo misalnya mereka keluar, keluar juga butuh orang lain. Kalo dia tidak selesaikan di
lokal dia, dia nggak akan bisa dihargai di luar. Efeknya ada tapi memang mereka masih muda-muda dengan emosinya, masih bersemangat tinggi
dan egonya juga masih kuat. Tapi lihat bukan saat ini di kemudian harinya mereka pasti akan menuai masalah. Mereka akan bertahan lama, tapi
mereka akan seperti itu aja. Kenapa? karena orang luar juga akan memandang bahwasanya kalo kita nggak mau mengambil posisi seperti
itu, di situ terlalu egois nggak bisa kita hidup sendiri tanpa bantuan yang lain. Bicara pola pikir yang mungkin karena bicara masih muda ya jadi apa
gitu ya semangatnya masih berapi-api. Ya bisa dibilang pengalamannya masih mudalah”.
Analisis Informan 1
Sebagai Ketua Kofi Sumut, Andi telah memiliki pengalaman dengan dunia organisasi sehingga melihat masalah yang timbul dalam organisasi ini bukan lagi
hal baru. Organisasi dari kumpulan komunitas ini memang memiliki visi mis yang berbeda, ditambah lagi masing-masing yang memiliki ego. Hal ini menjadi tugas
pertama agar visi misi dalam Kofi Sumut dapat berjalan sesuai dengan apa yang direncanakan. Membangun sebuah organisasi non profit tetap membutuhkannya
sebuah struktur kerja agar proses tujuan dapat dicapai sesuai dengan harapan, namun dalam organisasi Kofi Sumut ini tidak menggunakan arus struktur vertikal
melainkan struktur horizontal, yaitu berbagi peran kerja sesuai dengan kapasitas masing-masing.
Perbedaan pandangan sangat menghambat tercapainya sebuah tujuan. Dalam kasus ini berdampak sangat buruk sehingga salah satu komunitas
menyatakan diri keluar dari lingkaran film “Omnibus Bohong”. Kekecewaan dari Andi sangat tampak, namun organisasi yang dibangun atas kebersamaan ini tidak
mungkin membawa hal ini ke dalam jalur hukum. Di satu sisi membuat citra buruk sebuah organisasi, di sisi lain organisasi ini berdasarkan persamaan visi.
Visi yang berbeda dengan komunitas lain dengan cara apapun dilakukan untuk menguatkan barisan akan tetap mempengaruhi sistem yang akan dibangun.
Peranan komunikasi yang kurang berkualitas ini menghalangi sinergi organisasi ini. Beberapa kali rapat dilaksanakan guna menyatukan persepsi, perwakilan
69 Universitas Sumatera Utara
Komunitas Film X dalam rapat yang selalu bergantian mengakibatkan pesan yang disampaikan mengurangi komposisi. Agar tetap menjaga iklim positif maka
beberapa komunitas yang tersisa ini harus berfikir kembali ke cita-cita awal, supaya kekecewaan ini tidak menular ke komunitas lain.
2. Immanuel Prasetya Gintings, S.S, M.Hum Wawancara dilakukan pada
tanggal 3 Desember 2014
Immanuel yang sudah hampir sepuluh tahun produksi film dengan Manuprojectpronya ini berkeinginan membuat film dengan cara baru dan dengan
pengalaman baru. Awal berkumpul pada sebuah acara pemutaran film di kawasan Dr. Mansur, Dosen Unimed yang akrab dipanggil Manu ini menyadari ternyata
komunitas film di Medan sangat banyak dan ini menjadi peluang mewujudkan impiannya. D isela gagasan produksi film bersama dari beberapa komunitas ini
Manu yang pada saat itu ditemani oleh Hendry Norman memberikan masukan untuk memproduksi film Omnibus. Alhasil Omnibus ini merupakan Omnibus
pertama produksi warga Sumatera Utara. Berikut penuturan pria berusia 31 tahun ini:
“Jujur aja kalo untuk produksi sendiri udah pernah. Kalo aku secara pribadi beda dengan bang Hendri, kalo bang Hendri kerinduan untuk
membentuk sesuatu komunitas yang lebih besar. Bang Hendri ini ituloh dari aku kenal di Delitv dulukan, sama dia tim produksi dia yang
ngawanin aku kemana-mana dia kawannya bang Andre Gimbal tvOne jadi kalau dia memang semangatnya lain. Manuprojectpro itu kayak katak
dalam tempurung, menang di Unimed, menang di SMA Negeri 5 Pesaingnya bukan komunitas, menang-menang terus menghadapi acara-
acara terus tapi kek nggak ada saingan bosan, jadi aku bilang sih nggak ada naik level. Kalo aku sih memang dari jiwanya orang yang suka olah
raga. Aku bilang sih sama masa kita mainnya di seri B terus naiklah ke seri A itu angin lebih kencang”.
Beberapa komunitas yang mengikuti pertemuan awal dalam pembentukan gagasan omnibus ini membuahkan hasil yang positif. Jalinan komunikasi dalam
silaturahmi ini yang sangat mempermudah menyatukan persepsi awal yang akan dituju, tidak terbatas dari pengalaman dan prestasi dalam produksi film. Bahkan
gagasan ini menjadi wadah berbagi untuk bersama. Semua mencair tanpa membeda-bedakan dan kenyamanan ini yang menghangatkan suasana
70 Universitas Sumatera Utara
kekeluargaan tanpa melihat latar belakang komunitas masing-masing. Dalam pembentukan tim kerjapun dilakukan dengan cara diskusi dan penempatan sesuai
dengan kompetensi komunitasnya masing-masing. “Sebenernya kita enggak mikirin struktur, kita memikirkan job
description, akhirnya kerjaan ini secara tidak sengaja dan tidak sadar menjadi struktur begitu dia, jadi awalnya itu sama kayak teoristik jadi
fungsionalnya ini bicara fungsinya, jadi kalo kita ingat kita nunjuk enggak ada ketua, kenapa enggak ada ketua? Ha beda, kalo kita mengkonsepnya
berdasarkan struktur kita akan urus dulu strukturnya baru membuat jobdescnya. Tapi kita terbalik, kita kebutuhnya apa kita bagi jobdescnya
tak sengaja kita terstruktur. Makanya struktur organisasi kita enggak ada melainkan karena kita berdasarkan kebutuhan. Sama kayak sistem kerja
perang dulu gerilya. Mana ada kita bagi tugas kau jendral kau ini, makanya aku bilang ini tim omnibus bicara struktur organisasi berangkat
dari kebutuhan ini bottom up, top down dibikin struktur bagi kerja enggak apa yang di butuhkan kita bentuk kerjanya apa, itukan yang kemarin mana
ada kita bikin ketua”.
Dalam pendangan Manu, Kofi Sumut ini sebaiknya bersifat komunitas agar ikatan ini lebih mencair. Manu melihat perkembangan Kofi Sumut yang
hampir berusia dua tahun ini belum mencapai tujuan yang direncanakan sebagai wadah komunitas film. Pria Karo ini menyatakan lahirnya Kofi Sumut bukan dari
sebuah masalah melainkan lahir dari apa yang ingin dicapai. Melihat terjadinya gagasan “Omnibus Bohong” karena ada yang dituju, setelah tujuan ini tercapai
maka “Omnibus Bohong” dianggap menyelesaikan visi. Jika hal ini terjadi pada Kofi Sumut maka yang ada di dalamnya merasa tidak dibutuhkan lagi karena
tujuan awal untuk kerjasama dengan TVRI gagal diwujudkan. “Aku kalo bilang organisasi itu dibentuk karena punya tujuan, makanya
beda organisasi sama komunitas. Komunitas akan tetap hidup selama orang punya selera yang sama begitu komunitas dibawa menjadi
organisasi rusuh nanti yang jadi karena ini bukan masalah suka. Kesukaan sama lagi kita enggak enjoy lagi kita udah wajib jadinya karena udah
struktur organisasinya kalo komunitas aku punya sepeda aku mau naik sepeda aku cuma mau main-main sepeda sama dia, tiba-tiba aku disuruh
jadi sekretaris nambah kerjaanku apa aku masih senang bersepeda?. Makannya beda kalo organisasi kubilang tujuan kalo komunitas sama-
sama menikmati. Tapi kalo organisasi harus punya tujuan makanya organisasi apapun kalo nggak punya tujuan lucu. Dia organisasi berbau
komunitas, makannya organisasi itu harus ada pembubaran kalo tujuannya sudah tercapai. Kecuali dia punya tujuan jangka panjang. Makanya
kubilangkan kita berangkat dari komunitas karena punya tujuan, mau tak mau komunitas ini harus jadi organisasi sementara, karena kalo tidak kita
71 Universitas Sumatera Utara
paksakan sebagai organisasi rusuh kita nanti karena cuma tau senangnya ajakan? Enggak tercapai tujuan”.
Manu menambahkan hambatan yang terjadi pada Kofi Sumut kali ini bukan hanya terletak perbedaan tujuan melainkan juga terjadi karena perbedaan
minat. Manu salah seorang yang menjadi penengah dan bersifat merangkul mencoba mempertahankan Komunitas Film X tetap berada dalam “Omnibus
Bohong”, bahkan sebelum terlaksananya konferensi pers di Mataniari Project. “Kenapa semua masing-masing komunitas itu masih bertahan, ya
dinamanya Kofi Sumut yang kita kenal, karena budaya kongkow-kongkow orang Medan. Budaya kede kopi yang datang itu semuanya yang sempat
ngomong-ngomong ada juga komunitas yang enggak sempat ngomong- ngomong mana masuk sama kita. Jadi masalah apa yang muncul bukan
masalah, orang dia enggak punya tujuan yang sama dan enggak punya selera yang sama. Kita timpang karena job description yang kita bagi ke
Komunitas Film X nggak dijalankan. Alasan kenapa dia keluar? Simple dia nggak merasakan punya tujuan yang sama. Komunitas Film X nggak
mau diatur, makanya dia bilang ini sudah tidak seperti semangat awal lagi. Kenapa ada Kofi Sumut? Dia nggak mau dikumpulin, yang satu namanya
Kofi Sumut. Komunitas Film X ini punya masalah yang sama dengan TVRI. Harusnya sebelum dikasih ke Kofi Sumut ke Komunitas Film X
dulu. Ingat enggak? Ya udah, makanya dia tetap benci sama Kofi Sumut, disangkanya pesaing dia masalah nama. Sebenarnya aku udah mulai
nangkap kenapa dia begitu, dan aku sebenarnya pada saat itu mau klarifikasi sama dia. Aku ingatkan kembali inikan semangat. Tapi dia
enggak mau di bawah Kofi Sumut. Jadikan udah susahkan? Enggak bisa lagi kupersatukan persepsiku dengan dia. Karena udah lain, dia udah
nggak mau di bawah organisasi”.
Selama proses terealisasinya pemutaran perdana “Omnibus Bohong” begitu banyak masalah timbul ke permukaan. Manu sebagai salah satu penggagas
awal omnibus ini harus menyadarkan kembali semangat awal kepada seluruh anggota yang tersisa. Manu melihat peluang untuk menyegerakan pemutaran ini
dengan cara memaksakan pertemuan sampai seluruh anggota bisa berkumpul. Posisi awal “Omnibus Bohong” dan organisasi Kofi Sumut memang sangat
berbeda yang dirasakan oleh Manu. “Itulah komunitas, kalo organisasi enggak boleh. Ketua lagi ngomong, kau
kok ngomong. Kalo komunitas? Siapa kali kau, aku juga mempunyai hak ngomong di sini kok, komunitas kan komunis. Kalo memang kita punya
tujuan, fokus ke organisasi tapi kalo kita mau membuatnya itu nyaman bagi semua orang tetap kita komunitas. Walaupun dicoba menyatukan
antara komunitas dan organisasi emang bisa berhasil, tapi jangan tanyak
72 Universitas Sumatera Utara
kelanjutan. Kita sama-sama senang itu solusi aku, yang penting kita sama- sama menyenangin itu. Kita semuakan selevel, karena kita film maker
apapun hasil filmnya, apapun alatnya karena senang bikin filmnya. Dan paling mempengaruhi adalah latar belakang yang berbeda. Minder,
ketidaksepahaman dengan konsep, ngerasa superior, agak melecehkan orang lain. Ada muncul seperti itu tapi dengan adanya silahturahmikan ada
rem-remnya, ada toleransinya”.
Analisis Informan 2
Manu yang dewasa secara pengalaman berkomunitas pada awalnya menginginkan produksi film yang berbeda dan keluar dari zona aman mereka.
Pria yang memiliki hobi bermain basket ini melihat kebutuhan kerja tim yang mewajibkan adanya struktur walau awalnya bukan keharusan adanya struktur,
perbedaan yang sangat tampak antara komunitas dan organisasi walaupun masing- masing sama-sama memiliki sebuah tujuan. Manu menambahkan jika organisasi
ini berbau komunitas, maka organisasi itu harus ada pembubaran kalo tujuannya sudah tercapai. Kecuali dia punya tujuan jangka panjang. Anggota dari latar
belakang yang berbeda dalam tim omnibus ini secara tidak sadar melahirkan torelansi dan batasan dari seringnya pertemuan dilakukan. Hambatan yang terjadi
dalam proses produksi dan pemutaran perdana “Omnibus Bohong” lebih banyak dari luar yang mempengaruhi hasil. Dari pertengahan jalan “Omnibus Bohong”
yang mempengaruhi lahirnya Kofi Sumut, transisi menjadi organisasi menjadi tugas baru yang menjadi faktor penghambat karena harus meluangkan waktu lagi
untuk menyamakan visi misi dan tujuan apa yang sebenarnya akan dituju melihat tawaran TVRI sebenarnya tidak berjalan dengan baik. Manu juga menyarankan
Kofi Sumut tetap jadi komunitas, umur organisasi ini bisa panjang. Namun jika memang serius Kofi Sumut menjadi sebuah organisasi yang baku maka Kofi
Sumut harus memiliki tujuan jangka panjang. Ditinjau dari program yang sudah dikerjakan, Kofi Sumut lebih matang persiapan membangun kapasitas organisasi
dari pada sampai akhir ini Kofi Sumut seperti hilang arah dan adanya pemanfaatan kepentingan oleh beberapa oknum yang melabelkan Kofi Sumut
untuk proyek-proyek pribadi.
73 Universitas Sumatera Utara
3. Mameng Bongky Iskandar Wawancara dilakukan pada tanggal 10
Desember 2014
Mameng yang lama tinggal di Bandung merasakan perbedaan berkomunitas yang sangat jauh yang terjadi di Medan ini. Bahkan Mameng
sendiri merasakan Medan banyak ketinggalan jauh daripada karya di Jawa. Pria berusia 37 tahun ini beranggapan soal film Medan bukan hal baru melainkan
tenggelam padahal jika kita kaji dari media sosial karya pemuda Medan memiliki potensi. Bermula mengikuti undangan nonton dan diskusi film yang
diselenggarakan Komunitas Film Medan KFM dan bertemu beberapa teman pembuat film, Mameng merasa komunitas ini lebih fresh namun karena Mameng
yang sudah berkeluarga agak sulit buat dirinya untuk nongkrong terlalu larut di KFM ini. Berawal dari KFM ini Mameng terus menjalin pertemanan dengan para
membuat film di Medan hingga akhirnya Mameng ikut dalam produksi film “Omnibus Bohong” bersama Hendry Norman.
“Gagasan di Matasapi sendiri, itu yang intinya itu sebenarnya berempatlah cuma, yang lebih aktif aku dan hendri yang lainnya kalo ada Willy
“Kiwil” dan Ican mereka punya fokus yang nggak bisa terganggu, bisa fokus di Matasapi juga tapi nggak terlalu bisa sering. Nah yang lebih
sering aku sama hendri itu di Matasapi nah untuk awal ide pembuatan film itu aja konsepnya itu udah ngedelumet kacau gitu ya. Yah artinya sampai
konsepnya itu udah berubah sampai beberapa kali kita memvisualisasikan kata bohong itu untuk film yang digabungkan dengan “Omnibus Bohong”
itu sampai berganti skrip, beberapa kali ganti cerita, bahkan berubah total. Biasalah kalo kita punya konsep harus kita uji matang atau nggak kita
harus membaginya ke orang untuk dibahas gitu gimana yah, itu aja udah sulit tapi kita ya harus tetap buat. Deadline kita itu sebenarnya itu
November dan di Desember 2012 udah screening kita itukan. Eh akhirnya molor-molor ya itu tadi masalah jaman sekarang ada handphone, ada bbm,
ada whatsapp, ada facebook, kenapa nggak berkomunikasi di situ gitu loh atau aku juga nggak ngerti kawan-kawan yang lain kadang ada yang lebih
sibuk dengan yang lain gitu kan atau memang kalo aku pribadi ini adalah fokus ke dua bukan fokus yang paling belakang. Satu fokus kerja karena
aku sendiri udah kerja, yang omnibus bohong ini adalah setelah kerja jadi aku sama hendri ini cukup ngejar juga sih sebenarnya. Cuma itu tadi
berdebat-berdebat tadi gimana-gimananya karena buat filmnya inikan pasti butuh biaya untuk buat karya tapi gini gimana cara ngakalinya,
meminimalisi biaya itu seminim mungkin, terus terang budget kita nol waktu itu membuat film. Yah modal awal ada kamera dan konsep ide
itulah modal awalnya. Sisanya ke belakang yang pengalamanlah artinya basic kami berempat juga dari broadcast TV pernah membuat beberapa
produk visual”
74 Universitas Sumatera Utara
Ayah dari dua anak ini menyatakan dengan adanya isu produksi “Omnibus Bohong” yang disebarkan melalui jejaring sosial menimbulkan minat Kepala
Stasiun TVRI untuk mengisi program mereka. Hanya saja syarat dari mereka harus memiliki ikatan skala daerah khususnya Sumut. Bermodalkan pertemanan
mempermudah mengumpulkan karya untuk ditayangkan di TVRI. Walau pada akhirnya kerjasama ini gagal terlaksana karena ada perbedaan pemikiran antar
internal Kofi Sumut dan juga internal TVRI sendiri. TVRI yang bersifat media pemerintahan membuat mereka tidak kreatif, seharusnya wacana yang
direncanakan jika melebur antara Kofi Sumut dan Staff Produksi TVRI maka tidak akan terhambat yang mengakibatkan kegagalan ini. Karena jika ditinjau dari
aspek kebutuhan, maka dua instansi ini seharusnya saling membutuhkan. “Tujuan membentuk Kofi Sumut adalah satu, dilandasi oleh rasa
kebersamaan tadi untuk saling maju sama-sama maju di Sumatera Utara di bidang film. Maka kita buatlah suatu wadah itu tadi tujuannya untuk
sama-sama maju. Kenapa mottonya Kofi Sumut itu “berbagi untuk bersama”, karena nggak ada kalimat lain yang cocok menggelut kita
bersama, yaitu kita di sini bersama-sama untuk saling berbagi bukan untuk saling menonjol, bukan saling menunjukkan siapa aku, tapi saling berbagi
apa yang kau punya kau bagi sama aku tapi masih dalam ranah komunitas itu aja. Jujur Kofi Sumut itu kalo aku visualisasikan itu macam lagunya
Utopia, antara ada dan tiada. Jadi Kofi Sumut itu seperti itu artinya kalo secara visualnya itu hantu. Kenapa aku bilang hantu?. Di satu sisi orang-
orang menakutkan hantu itu, oh ada hantu orang takut hantu tapi di satu sisi bisa dipegang nggak? Bisa, bisa Nampak enggak? Oh enggak bisa.
Tapi orang takut, Nah Kofi Sumut itu kek gitu kenapa yang setahu aku komunitas itu atau organisasi yang paling kuat itu ada namanya wajib
ADART aturan main sejauh seserius apa orang-orang yang di dalam komunitas itu memajukan komunitas ini. Paling tidak kita punya satu
ikatan tanggungjawab untuk membesarkan komunitas ini itu aja”.
Menurut Mameng, latar belakang yang berbeda menyebabkan keterbatasan dalam membentuk organisasi yang lebih serius lagi. Walau visi misi sudah
diluruskan secara persepsi namun rasa memiliki bersama organisasi ini harus juga diwujudkan agar organisasi ini bisa maju. Bahkan Mameng merasakan atmosfer
yang berbeda saat pembuat film generasi tua dan generasi muda membuka satu forum, hal ini yang dirasa sangat berbeda dengan komunitas di Jawa menurut
pengalamannya. Di Jawa komunitas antara orang muda dan orang tua cenderung lebih mencair dan bersatu, sedangkan di Medan ini dominannya sangat jauh
75 Universitas Sumatera Utara
berbeda. Bahkan yang sangat mendasar soal definisi film sendiri sering mencuat ke permukaan karena generasi film orang tua saat mereka berkarya dulu melalui
proses yang sangat panjang bahkan sangat mahal, dikarenakan pada saat itu belum dimudahkan dunia digital seperti saat ini. Seharusnya para pembuat film yang
serusia tua ini juga harus mengikuti perkembangan zaman dan merangkul generasi muda agar hasil lebih maksimal dengan memberikan ilmu pengetahuan kepada
generasi yang muda. “Terasa sekali itu, artinya masih ada beberapa kawan-kawan yang
mementingkan hal lain ketimbang yang kebutuhan Kofi Sumut. Mungkin ya ada orang yang menganggap Kofi Sumut ini dimanfaatkan juga sebagai
wadah. Artinya gini, silahkan berkenalan sesama anggota, silahkan berinteraksi, silahkan membuat suatu kerjaan, silahkan membuat satu
kesepakatan kerja sesama anggota tapi di luar Kofi Sumut. Artinya Kofi Sumut tidak mendukung komersialisasi, karena bukan badan profit. Kofi
Sumut adalah wadah untuk kita berkumpul berbagi ilmu sering berbagi untuk bersama gitu, ya kalo ada job ya silahkan tapi jangan bawa-bawa
Kofi Sumut gitu, ya kalo mau di luar ngbrolnya di sampinglah. Kalaupun memang mau bawa Kofi Sumut ke ranah komersil itu paling tidak balik
lagi karena kita belum ada rules tetap untuk Kofi Sumut ini. Jadinya segala sesuatunya masih ngambang ketika ngeliat satu event atau bilanglah
ada hajatan atau acara dengan bawa label Kofi Sumut memang nggak ada komersialisasinya tapi jangan sampailah Kofi Sumut ini dijadikan bendera
untuk supaya mendapatkan satu hal yang berbau komersil, kan kasian memanfaatkan kawan-kawan. Artinya kawan-kawan dimanfaatkan secara
komunitas tapi yang dikerjakan adalah kerjaan komersil. Kecuali kawan- kawan kalo memang dibayar artinya dibalas dengan sepadan nggak ada
masalah dengan deal-deal di awal gitu silahkan. Tapi janganlah sampai. Karena ada gini, mungkin bicara kayak event nasional mungkin bawalah
ke pusat, orang pusat berkewajiban untuk mengadakannya di daerah menggunakan orang-orang komunitas itu yang aku takutkan jangan sampai
pemanfaatan kawan-kawan di komunitas untuk hal-hal yang sementara itu ada budgetnya gitu. Keluarkan untuk kawan-kawan, transparanlah”.
“Omnibus Bohong” program kerja awal Kofi Sumut ini mengalami dampak yang sangat buruk akibat dari kurangnya peranan komunikasi yang baik. Mameng
bersama Matasapinya merasa sangat kecewa ketika Komunitas Film X menyatakan diri harus keluar. Bahkan dalam kasus ini Mameng menilai
Komunitas Film X sangat tidak beretika saat menarik filmnya dari “Omnibus Bohong”. Kekecewaan yang begitu mendalam mengakibatkan Mameng yang
bertugas sebagai finishing mastering merasa jenuh, karena harus membongkar
76 Universitas Sumatera Utara
ulang hasil editannyaa yang sudah diputar pada pemutaran perdana di Unimed lalu.
“Omnibus bohong itu sebetulnya ada enam, sebelum deadline itu ada yang menarik yaitu Mataniari karena mereka belum ready, mereka menarik diri
tapi akhirnya mereka di bagian untuk mengorganisir “Omnibus Bohong” ini seperti apa nantinya bakal ditonton. Oke, mereka setuju nah okelah di
premierkanlah dan aku rasa itu juga belum maksimal karena mungkin Mataniari lagi banyak PR yakan?. Ketika yang lebih fatalnya lagi, aku
sangat merasa kecewa sekali dengan Komunitas Film X, kenapa?. Karena dia orang yang membentuk sebuah komunitas, organisasi, tapi tidak tau
bagaimana caranya beretika di komunitas. Yang lebih fatal lagi cara dia menarik film itu dia ngomong langsung lewat facebook. Itu kayaknya apa
ya okelah facebook jugakan bisa berkomunikasi juga kan? Ya tapi paling tidak, etis enggak etisnya namanya dulu kita sama-sama ngumpul, yang
aku lihat enggak ada sih kepentingan kita di Kofi Sumut ini untuk apa, untuk apa enggak ada artinya selama kita terbuka transparan dan selama
kita saling mau berbagi itukan enggak ada masalah aku rasa. Kalo misalnya sebelum premier mereka menarik film its’ok gitu. Menurut aku
pribadi sih kalo setengah-setengah hati untuk di Kofi Sumut mendingan nggak usahlah. Ya kalo masih ragu-ragu untuk berbagi ilmu nggak usahlah
di Kofi Sumut. Di Kofi Sumut ini hanya orang-orang yang mau total berbagi ilmu, berbagi wawasan yang bisa bekerja sama Kofi Sumutlah.
Karena memang banyak orang yang bakalan kecewa kalo gitu di paksakan juga. Yah, itu udah maunya dia mau gimana lagi kita nggak ada
keterikatan secara tertulis, enggak ada keterikatan di “Omnibus Bohong”, nggak ada kekuatan hukum juga untuk apa juga, toh ini kita bentuk secara
kesadaran kreatifitas masing-masing gitu. Artinya nggak adalah berbau menyangkut-menyangkut nantinya akan seperti ini, yah sudah apa boleh
buat artinya yang pasti editornyalah yang bekerja lagi untuk men-cut film itu untuk memisahkan film yang ada jadinya nggak ada”.
Dari kejadian di atas, beberapa tim yang masih memiliki semangat sesuai dengan apa yang direncanakan sebelumnya berusaha mencarikan solusi agar
Komunitas Film X ini tetap mempertahankan filmnya dalam “Omnibus Bohong”. Mereka melihat Komunitas Film X ini tidak terbuka, kalau saja di internal mereka
ada masalah sewajarnya jangan membawa masalah pribadi mereka. Mameng menyatakan dengan adanya silaturahmi yang sinergi maka akan mempermudah
permasalahan yang terjadi menuju realisasi film “Omnibus Bohong” ini. Editor Mata Sapi Films ini juga menambahkan salah satu memilimalisir masalah dalam
tim “Omnibus Bohong” ini dengan mempercepat pemutaran perdananya, agar PR
77 Universitas Sumatera Utara
yang belum selesai semakin dikejar guna mewujudkan cita-cita awal terbentuknya mimpi mereka.
“Situasinya PR masing-masing kejarkan selain untuk produksi omnibus ini untuk kegiatan masing-masing komunitas itu sudah mau selesai atau
sebelumnya sudah mulai reda, artinya mau kegiatan apa lagi ini yah yang ada ya omnibus bohong yang sudah kita selesai produksi. Ya caranya kalo
di Mata Sapi sendiri melihat ini kayaknya harus, harus sudah tanggal berapa inikan udah nggak lucu lagi ini. Di facebook sendiri, orang sudah
banyak komunitas lain yang ngeupload-upload film, udah ada yang premier juga lagi. Film kita yang udah produksi dari akhir tahun kemaren
belum premier, yaudahlah kapan ini kita premiernya?. Artinya lebih serius lagi berhubung waktu itu belum terbentuk Kofi Sumut karena hanya cuma
berempat atau berlima itu tadi gampanglah dia terjadi kesepakatan untuk ngambil keputusan tadi. Kalo diliat sekarang akan lebih susah, kenapa?.
Karena makin banyak, jadi makin susah, kumpul aja susah apa lagi untuk ngambil keputusan. aku missingnya setelah inilah. Misinya ketika itu
hendri yang lebih sering intens breafing untuk “Omnibus Bohong”, aku orang di balik layar waktu itu ya, tapi setelah ku lihat kayaknya ini
menarik gitu. Aku jadi intens juga, cuma untuk di awal pembicaraan itu aku nggak terlalu intens. Aku nggak tau formasinya mengajak siapa aja
gitu”
Analisis Informan 3
Mata Sapi Films kolektifan untuk produksi film berjudul “Segi Empat” guna mengisi film “Omnibus Bohong” bersama tiga komunitas film lainnya.
Namun dengan ini mereka juga memiliki masalah internal sendiri, mereka produksi sesuai dengan kesempatan dan kesepakatan bersama. Mameng yang
lebih dekat dengan Hendry melewati banyak proses sebelum produksi film walaupun internal untuk praproduksi mereka sudah merasakan kegelisahan namun
mereka menerima hal ini sebagai tantangan yang harus diselesaikan. Walau mereka masing-masing berlatar belakang sebagai pekerja di bidang broadcasting,
biaya produksi menjadi penghalang bagi mereka namun dengan pengalaman sebelumnya mereka dapat meminimalisir anggaran untuk produksi sebuah film.
Mameng selaku perwakilan Mata Sapi Films menilai Kofi Sumut sebagai wadah yang dilandasi oleh rasa kebersamaan untuk saling memajukan. Namun Mameng
saat ini menyayangkan Kofi Sumut malah seperti ada dan tiada karena sejauh ini Kofi Sumut belum memiliki ADART guna mengikat tanggungjawab untuk
organisasi ini. Dengan keluarnya Komunitas Film X yang dianggap tidak beretika
78 Universitas Sumatera Utara
ini memiliki dampak yang besar, Mameng bertugas sebagai finishing mastering secara drastis turun semangatnya untuk menjalankan kewajibannya. Hal ini
tercermin dengan kurang sigap mengulang editan film “Omnibus Bohong” tersebut. Ayah dari dua anak ini menambahkan jika ingin bergabung di Kofi
Sumut, selayaknya adalah orang-orang yang siap berbagi ilmu untuk kebersamaan dan dengan sepenuh hati dalam organisasi ini.
4. Ridho Golap Wawancara dilakukan pada tanggal 2 Desember 2014
Pria berusia 34 tahun ini melalui proses panjang bertahun-tahun hingga akhirnya menemukan minatnya di dunia film selama perantauannya di ibukota
Sumatera Utara. Ridho Golap yang mewakili Mataniari Project melihat kegiatan omnibus ini merupakan sebuah agenda yang positif, kerjasama di luar komunitas
pribadi dan mau berbagi guna meraih apa yang menjadi tujuan. Hanya saja dikarenakan kesibukan project yang sedang dilakukan oleh Mataniari Project,
Golap akhirnya menyatakan tidak bisa sumbangsih film dalam omnibus. Namun Golap siap membantu proyek ini sebagai pelaksana pemutaran film tersebut.
Sebagai pelaksana penyelenggaraan Golap sangat aktif untuk terus mengikuti rapat dan perkembangan persiapan pemutaran. Bahkan kantor
Mataniari yang biasa mereka sebut Sangkar Mataniari menjadi tempat konfrensi pers sebelum terselenggaranya pemutaran “Omnibus Bohong”. Karena hal baru
ini merupakan hal yang positif, Golap menginginkan adanya efek ledakan yang luar biasa, dengan penyebaran isu ke publik secara besar agar semakin banyak
yang tahu pula, tuturnya. Berikut tanggapan Golap mengenai organisasi Kofi Sumut ini:
“Ya “Omnibus Bohong” kukira itu latar belakangnya dari keinginan beberapa kawan yang sharing dan ingin saling berbagi,
membangun atau menunjukkan karya anak Medan. Beberapa kawan yang diawalin pertemuan-pertemuan informal di event-event, di acara dan
akhirnya ngumpul. Aku tidak ikut dari awal persis itu dapat informasi dari Galung. Mulainya dari situ ada Galung, ada dosen Manu, Komunitas Film
X, ada Opik di situ. Aku di situ baru melihat ternyata ini kawan-kawan yang ingin membuat karya bersama dalam satu wadah tapi dalam satu
desain omnibus. Ini ku kira jadi gawean pertama dari lintas komunitas. Melihat respon dan keinginan kawan-kawan yang menurut aku positif ya
oke aku kemarin nimbrunglah walaupun pada akhirnya Mataniari dari lima komunitas awal itu yang tidak menyertai karyanya karena tidak sempat
79 Universitas Sumatera Utara
untuk berproduksi jadi yang melatarbelakangi itu kupikir ya keinginan untuk maju bersama pada saat itu semangatnya adalah “Ayo ni pada hari
ini ada kerja bareng, ada kerja sama-sama ada untuk menunjukkan Medan punya”. Sepengetahuan aku itu menjadi pelopor itu menjadi pertama di
Medan yang lintas komunitas. Beberapa kali pertemuan secara maraton dan terbentuk di situ kira-kira omnibus ini bisa menjadi sebuah wadah
pendorong untuk bagian komunitas ini bersatu. Secara nggak sengaja tercetuslah kalimat Kofi Sumut dengan diawali dari sebuah kegiatan
bersama lintas komunitas”.
Yang Golap rasakan untuk penetapan tanggal pemutaran perdana terasa begitu lama. Disebabkan oleh waktu kesibukan masing-masing komunitas. Waktu
menjadi kendala utama, akan tetapi masih bisa siasati karena seluruh anggota memiliki waktu yang fleksibel. Walaupun beberapa kali Golap merasa sedikit
lucu sebenarnya, Golap melihat Kofi Sumut sekarang ini terkadang terjadi tegang urat leher, kendalanya masalah ego. Namun di balik itu hal yang menarik menurut
Golap sendiri adalah penempatan tugas kerja yang sesuai dengan kemampuan anggota yang terlibat dalam omnibus ini.
“Kita tidak membentuk itu dengan meletakkan orang pada bagian yang harus dijalani ya tapi kira-kira siapakah yang bisa menanganin bagian itu
misalnya, tadi bagian untuk mengundel menyatukanediting akhir materi dari film-film itu dibuat dari sebuah satu rangkaian film panjang ya
Mameng dari Mata Sapi karena dia juga basicnya sebagai editor film dan cukup melek teknologi. Kita ngeliat itu dan dia merasa oke. Ini memang
ranah tanggungjawab wewenang yang diberikan untukku. Mampu dia jalani, makannya dia dalam bagian struktur itu untuk mengisi kursi itu,
begitu juga dengan yang lain bagaimana event bagaimana jadwalan, bagaimana promosi jadi sesuai dengan kemampuan”.
Dalam proses screening “Omnibus Bohong” terjadi gagasan pembentukan Kofi Sumut, walau Golap memandang hal ini menjadi sebuah keterpaksaan
namum momentum ini secara tidak sengaja menyatukan para penggiat film di Sumatera Utara. Jauh sebelum adanya “Omnibus Bohong” gagasan seperti ini
sudah beberapa kali terdengar hanya saja belum ada yang mengangkat ke permukaan secara nyata dan terang-terangan. Hingga akhirnya tawaran TVRI ini
Golap menganggap sebagai momentum yang sangat positif. “Apakah ini menjadi sebuah keterpaksaan?, ya. Momentum itu untuk
kegiatan yang tidak sengaja itu menyatukan kita membuat kita selalu sering berkomunikasi, sering berbagi, sering diskusi, berbagi pikiran atau
saling melemparkan wacana sama pandangan ke depannya seperti apa tadi
80 Universitas Sumatera Utara
perfilman di Medan Sumatera Utara sampai akhirnya kecetus Kofi Sumut. apakah sudah meluas ke komunitas-komunitas lainnya yang ingin
nimbrung juga ke dalam Kofi Sumut?, mungkin ada nilai-nilai paksa, terpaksa atau nilai semangat yang kebablasan. Sebelum itu memang ada
gagasan tapi mungkin mencuatnya itu belum terasa. Tiba-tiba ada yang mancing ternyata sebagian besar ada yang punya keinginan seperti itu.
Masing-masing punya keinginan ada pemersatu dari sekian banyak penggiat, ada sekian banyak kelompok gimana kalo ada pemersatu. Walau
ada kecurigaan, terus keragu-raguan juga ada, ragu tidak jadi satu seperti apa?”.
Dalam proses pembentukan Kofi Sumut, masalah yang komplek Golap rasakan. Hal ini disebabkan oleh perbedaan persepsi para anggota. Kofi Sumut
bertujuan untuk bisa memayungi atau mendorong komunitas-komunitas yang menjadi member di dalamnya bisa berperan, mendapat bagian, dan terus
mengembangkan komunitasnya dari adanya Kofi Sumut. Koordinator Mataniari ini berharap masing-masing komunitas dan Kofi Sumut dapat sinergi menjadi
sebuah hubungan. Saling mengisi kekosongan jika satu komunitas yang ada di dalamnya itu akan menawarkan sebuah kegiatan menjadi sebuah program Kofi
Sumut. Sebaliknya juga seperti itu apakah Kofi Sumut yang melontarkan program untuk komunitas-komunitas yang tergabung dalam Kofi Sumut. Namun yang
Golap sayangkan kali ini kondisi Kofi Sumut dianalogikan seperti bayi yang belajar baru tahapan belajar telungkup dan harus berbenah di internal bagaimana
mengolahnya agar bisa berjalan.
“Dampak terburuk dari kegiatan “Omnibus Bohong” itu tadi adalah kita itu letupan ego, letupan-letupan ego dari komunitas, ada yang bisa
mengendalikan ada yang tidak bisa mengendalikan letepun egonya itu. Namanya juga ada banyak pikiran, ada banyak gagasan dan bila tidak siap
untuk menerima gagasan yang tidak diterima atau dinomor kesekiankan ujungnya merajuk. Ambil sikap mundur, itu terjadi kemaren diproses
omnibus satu komunitas yang ujungnya menarik diri, bisa dikatakan seratus persen berjalan, tiba-tiba dia menarik diri, aku bilang itu ego
kekanak-kanakan yang tidak bisa dia selesaikan, tidak bisa meletakan kapan kepentingan pribadi dan kepentingan bersama harus diprioritaskan.
Selebihnya tidak ada masalah, selebihnya komunitas yang tersisa juga akhirnya tetap bisa enjoy, tetap bisa sinergi saling berkomunikasi kecuali
yang mundur itu. Dan kita tidak tau lagi cara membangun, komunikasi dengan dia ya karena begitu keluar langsung mengurung diri tidak
menerima apapun yang berbau dengan Kofi Sumut. Aku kira mereka merasa eksistensinya sebagai komunitas film akan redup kalau Kofi Sumut
ini dibesarkan, seperti si kambing mengasuh anak macan udah besar yah si
81 Universitas Sumatera Utara
kambing yang dimakannya mungkin dia punya pemikiran seperti itu. Padahal ya belum tentu, seperti itu tadi yang aku bilang kedewasaan
berorganisasi yang diapain dia harus meletakkan mana kepentingan kelompok dengan kepentingan bersama. Sedangkan komunitas dia punya
kepentingan sendiri, punya ego sendiri tidak bisa meletakan prioritas itu di mana-mana prioritas yang harus dikerjakan secara bersama-mana
komunitas yang dikerjakan secara pribadi. Disetiap pertemuan kita selalu terbuka aja, nggak ada yang ditutup-tutupi, tidak ada masalah. Ya
kalaupun ada masalah selalu kita perbincangkan. Tiba-tiba dia mengambil sikap seperti itu. Seakan-akan Kofi Sumut menjadi rival atau memang
tujuan dia, dia ikut membentuk Kofi Sumut tanpa sengaja akhirnya dia melihat potensi Kofi Sumut bisa jauh lebih besar dan dia butuh rival untuk
berkompetisi memperbaiki komunitas dia. Sampai sekarang aku juga belum pernah berkomunikasi sama dia”.
Golap selaku penyelenggara dalam pemutaran “Omnibus Bohong” ini tidak memiliki peranan khusus secara etika untuk membangun iklim dalam tim
ini. Namun masukan Golap memiliki pesan yang sangat kuat untuk memperbaiki sistem yang belum baku dalam organisasi ini. Golap juga menilai peranan
komunikasi sangat penting untuk mengantisipasi dan mengatasi sebuah masalah. Sekecil apapun masalah yang timbul jangan pernah dianggap sepele dan jangan
mula dipendam dalam perasaan karena Golap menilai hal ini jika menumpuk akan meledak dan mengorbankan tim yang ada di dalam organisasi ini.
“Yah komunikasi itu yang penting, memperingan jalur komunikasi, memperlancar jalur komunikasi itu yang paling penting untuk mengatasi
sebuah masalah jangan dipendam. Masalah bersama jangan dibahas ke belakang tapi apa ke depannya. Ke belakangnya itu hanya menjadi sebuah
catatan saja bila kita menghadapi hal yang sama dengan kasus yang sudah ada lihat ke belakangnya apa penyebabnya sehingga kita tidak menghadapi
itu lagi. Kita sudah punya penghubung pembelajaran jadi nggak usah dibahas akar masalahnya sampai tuntas ke yang lain, energi akan sampai
banyak terbuang, waktu akan sangat banyak tersia-siakan yah tinggal ke depannya mau diapain masalahnya. Kasih catatan bahwasanya kita
mengalami kekurangan di sini”.
Analisis Informan 4
Golap dan Mataniarinya pada kegiatan ini mendapatkan amanah sebagai penyelenggara pemutaran perdana “Omnibus Bohong”. Dalam pembentukan ini
Golap menilai ini kegiatan cipta karya pertama kali untuk wilayah Sumatera Utara lintas antar komunitas. Hanya saja Mataniari yang masih memiliki tugas tidak
dapat mengikutsertakan karyanya dalam kegiatan tersebut. Golap melihat kegiatan
82 Universitas Sumatera Utara
ini yang melatar belakangi lahirnya Kofi Sumut. Langkah “Omnibus Bohong” membentuk sebuah struktur untuk merealisasikan mimpi mereka sangatlah tepat
dengan menggunakan metode yang adil yaitu penempatan tugas kerja sesuai dengan keahlian anggotanya. Berdirinya organisasi Kofi Sumut yang dianggap
Golap sebagai momentum yang tidak disengaja ini berdampak positif guna menyatukan komunikasi antar komunitas film di Sumatera Utara ini menjadi
sangat beragam walau harus melewati beberapa masalah yang begitu komplek sehingga mengakibatkan salah satu komunitas yang sedari awal mengikuti
program “Omnibus Bohong” menyatakan diri keluar dari gagasan ini. Ledakan ego yang sangat fatal, pria berusia 34 ini menilai disebabkan kurangnya
kedewasaan berorganisasi. Komunikasi yang dibangun dalam organisasi ini yang baik juga mengacu pada terjadinya kecurigaan antar komunitas. Dalam
wawancara ini Golap berpesan agar iklim dalam sebuah organisasi berjalan dengan tidak menyepelekan masalah sekecil apapun dan harus diselesaikan
bersama jika hal ini bersangkutan dalam pengembangan sebuah organisasi. Sebuah industri kreatif sewajarnya menggunakan struktur selevel, karena
organisasi ini tidak berorientasi bisnis walau tetap memiliki kendala yang menyita waktu dalam koordinasi dan harus memiliki kesabaran yang tinggi.
5. Winda Mitari Utami, S.Pd Wawancara dilakukan pada tanggal 11
Desember 2014
Winda anak pertama dari 4 bersaudara ini telah lama menggeluti dunia seni panggung, kecakapannya ini yang melandasi Winda memegang peran sebagai
sutradara dari Opique Pictures untuk memimpin produksi film “Ego” sebagai bagian dari “Omnibus Bohong”. Dalam proses awal produksi film ini Winda
merasakan sebuah tantangan baru dalam hidupnya, hal ini disebabkan karena film ini adalah film pertama yang diproduksinya secara profesional dengan melewati
persiapan yang begitu panjang dan memakan waktu begitu lama. Film “Ego” ini yang sebelumnya pernah Winda pentaskan dalam pagelaran panggung
membuatnya harus mengubah tatanan latar. Namun hal ini sangat Winda nikmati selama produksi bersama beberapa komunitas lain dalam produksi film tersebut.
Walau tidak begitu banyak mengikuti proses terbentuknya tim “Omnibus
83 Universitas Sumatera Utara
Bohong” hingga lahirnya Kofi Sumut akan tetapi Winda juga merasakan kekecewaannya saat hambatan organisasi ini dibangun. Berikut hasil wawancara
dengan Winda yang langsung dilakukan di rumahnya di bilangan Jalan Pintu Air: “Pembentukan ini sangat positif ya, di saat komunitas lain pada bersaing
tapi kita yang ada di dalam “Omnibus Bohong” bisa bersatu satu sama lain. Dan semua yang ikutan dalam tim ini dikasih kebebasan produksi
sesuai dengan kemampuannya. Walau awal merasa sedikit ragu karena bisa mengakibatkan penonton membandingkan satu sama lain tapi kita di
Opique Pictures melihat ini sebagai peluang. Karena tim yang ikutan itu punya pengalaman yang luar biasa dan ilmu, jadi kalau kita ikutan pasti
ikutan terdongkrak kualitas kita dari saling berbaginya ilmu di saat produksi. Hasil dari komunitas ini seperti ini yang satu lagi seperti ini jadi
bisa nyatu enggak bersaing sih kalo menurut Winda sih gitu. Walau latarnya berbeda yang Winda lihat ya supaya jangan sama gitu loh, gimana
caranya beda-beda tapi tetap menghasilkan filmnya nggak lari dari tema. Kalo dari kualitas ya bersaing, biar lebih keliatan ide mana yang lebih
muncul, lebih kena ke tema, terus visualnya, gambarnya, ya talentnya apanya segala macam”.
Bagi Winda yang selalu dapat memetik pesan dari sebuah film ini kurang mengikuti proses dalam lahirnya Kofi Sumut. Winda yang banyak menghabiskan
waktu untuk mengajar bahasa Inggris ini kurang aktif mengikuti rapat dan pertemuan di sekretariat Kofi Sumut, namun Winda tetap mendapatkan informasi
perkembangan ini langsung dari perwakilan Opique Pictures yang saat itu aktif mengikuti pertemuan yang diadakan oleh Kofi Sumut.
“Pada saat pembentukan struktural Winda jarang ikutan rapat, jadi Winda mengikuti hasil yang sudah disepakati, kebetulan untuk struktur itu lebih
dipegang oleh ketua kami. Ini yang beda komunitas kami dengan yang lainnya dalam “Omnibus Bohong”. Kalo komunitas lain pemimpin
komunitasnya langsung jadi sutradara untuk memimpin produksi masing- masing film, sedangkan kami di Opique Pictures yang sedang menjalani
rotasi peran ya kami saling mengisi dan trus koordinasi biar tetap berjalan kegiatan ini”.
Walau tidak mengikuti secara terus menerus perkembangan dari Kofi Sumut, Winda menilai selain dari adanya “Omnibus Bohong” hingga akhirnya
lahir Kofi Sumut ini merupakan hal yang positif jika dikaji secara mendasar dilihat dari tujuan terbentuknya organisasi ini.
“Komunitas yang bagus yang apa yah, tempat tukar pikiran, terus tempat ide-ide juga lebih nyantai, nggak banyak tuntutan, harus kita komunitas
film jadi harus seperti ini, harus seperti ini, enggak sih. Nyantai tapi
84 Universitas Sumatera Utara
bagaimana kita bisa menghasilkan sebuah karya tapi tetap nyantai, tetap rilex, tetap komunikasi. Dia diam-diam tapi menghasilkan, kan orang
nggak terlalu banyak tahu tentang komunitas film hanya beberapa aja, tapi tahu-tahunya kita nonton bareng omnibus itu di Lopian kemaren, dari yang
nggak tahu Kofi Sumut, jadi tahu”.
Komunitas yang berbeda dari sudut pandang pengalaman dan karya ini tetap memiliki masalah yang Winda rasakan. Yang Winda rasakan sama dengan
anggota lain yaitu masalah jadwal. Masing-masing komunitas yang memiliki agenda yang berbeda ini pula yang sering kali menghambat tercapainya misi
dibentuknya organisasi ini. Berulang-ulang materi yang disampaikan yang disebabkan oleh silih bergantinya perwakilan komunitas untuk mengikuti rapat
tersebut. Terlebih lagi dengan keluarnya Komunitas Film X ini Winda merasa sangat kecewa. Kepercayaan yang berlandaskan berkomunitas ini yang tidak
membuat kesepakatan hitam di atas putih menyebabkan peluang bumerang menyerang kembali.
“Sangat disesalkanlah ya bang, maksudnya ya itu tadi penonton pasti kecewa, sama kayak kita juga kecewa karena dari awal kita udah sepakat,
ya udah kita sepakati, ada prosedur-prosedur yang harus kita jalani terus udah sepakat harus sampai selesai screening, sampai selesai segala
sesuatunya. Semuanya tapi ya itu tadi tiba-tiba mereka mengundurkan diri. Kecewa juga, kecewa kesal juga. Tapi ya kitakan komunitas juga nggak
maksa itukan hak mereka jadi kalo menurut mereka itu udah kesepakatan dari komunitas mereka ya silahkan, ya berpengaruh sih mungkin.
Seharusnya ada yang harus kita jalanin juga nggak gampang ngelepas, nggak kayak gitu. Harus siap mungkin izin dulu terus kasih alasan.
Kenapa? nggak segampang itu aja lepas-lepas aja gitu. Kitakan bermodalkan rasa percaya. Itu kembali lagi ke komunitasnya sih bang
sebenarnya, kemarin dia kesadaran dia, kalo memang dia sadarkan kita bermodalkan percaya, dengan dia keluar seperti itu berartikan dia merusak
kepercayaan kita. Ya kalo misalnya cuma dari kita aja yang punya kiat- kiat dia sendiri nggak punya sama aja. Kayak cinta kelapalah, cinta kita
bertepuk sebelah tangan. Kita peduli dia gak peduli untuk apa yah maksudnya seimbang kita kerjasama sama dia, dia harus menjaga
kepercayaan kita sama-sama percaya gitu. Jadikan sama-sama enak. Setelah kita ikut beberapa rapat setelah screening, kayaknya banyak dari
komunitas yang lain keberatan karena dia nggak datang ya bang. Terus kalo yang lain kerja gimana cari tempat buat bisa screening, dia nggak
hanya bisa datang terus pun untuk datang aja mereka enggak. Malah nyuruh-nyuruh yang baru masuk itu”.
85 Universitas Sumatera Utara
Winda juga menyadari bahwa dengan kurangnya jadwal untuk rapat sebagai alternatif komunikasi dengan menggunakan jejaring sosial. Keuntungan
jejaring sosial ini selain menghemat ruang dan waktu Winda juga menilai komunikasi dapat lebih jelas dan lengkap karena dapat dipahami secara berulang.
Hanya saja yang sering terjadi beberapa orang tidak peduli dan merasa sepele dari apa yang sudah disampaikan dan ini menjadi hal negatif jejaring sosial yang tidak
secara langsung bertatap muka.
“
Untuk yang ini lebih banyak peranan abang-abang yang senior yang ngerjai, salah satu yang dilakukan ya dengan mempercepat pemutaran
karena ini tujuan awal. Kalo sering diundur malah yang masih ada bisa kendur semangatnya. Jadi semangat awal yang harus diingatkan kembali
agar tercapai. Yang jelas satu sama lain saling mengingatkan biar tetap semangat walau kejenuhan memang sudah tampak dari masing-masing
anggota”.
Analisis Informan 5
Bagi Winda, selain ini merupakan tantangan baru yang dialaminya, selain dia menjadi sutradara pembentukan bersama komunitas film besar ini menurutnya
sangat positif. Hal tersebut tampak dari berbagil ilmu dan pengalaman di dunia film indie khususnya pemuda di Medan. Walaupaun dari kesibukan pribadinya
yang mengakibatkan dirinya jarang mengikuti rapat “Omnibus Bohong”, komunitas yang diwakilinya tetap memiliki perwalikan yang selalu mengikuti
agenda tersebut. Dalam proses menuju realisasi pemutaran film “Omnibus Bohong” dengan lahirnya Kofi Sumut ini, Winda menilai hal ini dapat membuat
dirinya lebih baik lagi karena kegiatan ini menjadi wadah saling bertukar fikiran. Wanita yang baru bergelar sarjana pendidikan ini walau tampak mengikuti arus
yang terjadi dalam “Omnibus Bohong” dan Kofi Sumut, juga merasakan kekecewaan yang cukup mendalam dengan keluarnya Komunitas Film X dalam
“Omnibus Bohong”. Mimpi yang dibangun atas kepercayaan ini terasa begitu disia-siakan. Namun Winda menambahkan yang sangat disayangkan karena sedari
awal kegiatan ini tidak membuat surat kesepakatan. Solusi yang digunakan Kofi Sumut sangat tepat sasaran dengan menyegerakan pemutaran untuk menjaga
semangat tim yang masih bertahan. Kiat yang digunakan agar tetap bertahan sederhananya dengan mengembalikan ingatan cita-cita awal kegiatan ini dibentuk.
86 Universitas Sumatera Utara
4.2 Pembahasan