57 Tabel 10 Perbandingan parameter koefisien penangkapan q, daya dukung
lingkungan K, pertumbuhan intrinsik r, nilai koefisien determinasi R
2
, Standar error SE dan Variance Infentory Factor VIF antara tujuh model produksi surplus rajungan di Teluk Banten
Model q
K r
R
2
SE VIF
Schaefer 0.0000302
1146.4844 0.2471
0.3464 0.0148
- Gulland
0.0000297 818.5185
0.2184 0.7861
0.0036 -
Pella Tomlimson 0.0000001
198528.1476 0.2447
0.3592 0.0147
- Fox
0.0000333 95272.9207
0.3647 0.6494
0.5422 -
W-H 0.0002720
294.2514 2.1246
0.8071 0.3175
1.3 Schnute
0.0005415 54.0929
3.4374 0.9084
0.2700 3.7
CYP 0.0012357
127.4221 4.3978
0.9897 0.0866
2.1
Masing-masing model menyajikan ketiga paramteter tersebut dengan nilai yang berbeda-beda. Parameter q, K dan r model Schaefer, Gulland, Pella
Tomlimson dan Fox diperoleh melalui perhitungan algoritma. Sedangkan untuk
model Walter Hilborn, Schnute dan Clarke Yoshimoto Pooley parameter-parameter tersebut diperoleh melalui subtitusi dan perhitungan menggunakan koefisien regresi
liniear berganda. Indikator statistik yang digunakan adalah koefisien determinasi R
2
Nilai koefisien determinasi masing-masing-masing model juga berbeda-beda. Nilai koefisien determinasi terbesar ditunjukkan oleh model Clarke Yoshimoto
Pooley yaitu 98.98. Sedangkan nilai koefisien determinasi terendah adalah model
Schaefer yaitu 34.64. Indikator statistik lain yang dapat mendukung hal ini adalah
nilai standar eror. Standar eror model CYP juga relatif rendah dibandingkan model lainnya. Adapun nilai Variance Infentory Factor model Walter-Hilborn, Schnute dan
CYP juga rendah. Artinya kolinearitas antara variabel tidak bebas pada masing-
masing model regresi sangat rendah.
4.2. Pembahasan
Model produksi surplus yang didasarkan pada keseimbangan biomassa homogen ikan di suatu perairan yang dugunakan pada penelitian ini sebanyak tujuh
model yaitu model Schaefer, Gulland, PellaTomlimson, Fox, Walter Hilborn, Schnute
dan model Clarke Yoshimoto Pooley. Model produksi surplus merupakan model holistik dalam pengkajian stok ikan. Artinya dalam suatu perairan tidak
58 dilakukan analisis secara rinci mengenai kematian, kelahiran serta migrasi ikan yang
terjadi di suatu wilayah perairan. Namun, kondisi ini tidak perlu diragukan karena dalam satu tahun dinamika yang terjadi secara alami di suatu perairan khususnya
Teluk Banten adalah seimbang atau dengan kata lain kondisi perairam secara alami berada pada keseimbangan dinamis. Oleh karena itu dibutuhkan data runut waktu
tahunan untuk dapat mengaplikasikan model ini. Model produksi surplus merupakan model yang sangat mudah diterapkan, karena hanya membutuhkan data tangkapan
dan upaya penangkapan yang biasanya tersedia di hampir setiap tempat pendaratan ikan.
Rajungan di perairan Teluk Banten yang ditangkap oleh nelayan Karangantu dapat diduga sebagai satu stok. Hal ini berangkat dari beberapa alasan. Pertama,
berdasarkan hasil wawancara, nelayan yang mendaratkan rajungan di PPN Karangantu hanya melakukan penangkapan di Teluk Banten, artinya wilayah
perairannya sama. Tonase kapal penangkap rajungan juga sangat minim sehingga tidak mungkin melakukan trip ke lokasi yang relatif jauh selama berhari-hari. Alasan
kedua, dilihat dari segi biologi rajungan merupakan ikan demersal yang migrasinya relatif dekat. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Sparre dan Venema 1999
bahwa untuk spesies yang kebiasaan ruayanya dekat terutama spesies demersal lebih mudah untuk menentukannya sebagai suatu stok daripada speseis yang beruaya jauh.
Model produksi surplus yang paling sesuai akan memiliki peluang berbeda untuk spesies berbeda bahkan pada kondisi perairan yang berbeda pula. Berdasarkan
perbandingan grafik tangkapan aktual dan tangkapan masing-masing model produksi surplus maka dapat dilihat bahwa grafik aktual yang identik dengan grafik
tangkapan masing-masing model ditunjukkan oleh model Clarke Yoshimoto Pooley. Tentunya tampilan visual pada grafik perlu dibuktikan secara statistik. Jika dilihat
dari indikator statistik yaitu koefisien determinasi maka nilai R
2
paling besar terdapat pada model Clarke Yoshimoto Pooley. Hal ini menunjukkan bahwa model
CYP merupakan model yang paling sesuai dan cocok untuk diterapkan pada perikanan rajungan Portunus pelagicus di perairan Teluk Banten. Hal ini didukung
oleh pendapat Pindyck dan Rubnfield 1998 in Aminah 2010 bahwa nilai determinasi atau R
2
lazim digunakan untuk mengukur goodness of fit dari variabel tidak bebas dalam model, dimana semakin besar nilai R
2
menunjukkan bahwa model
59 tersebut semakin baik. Tangkapan maksimum lestari berdasarkan model CYP
sebesar
30.1492
ton melalui upaya tangkapan optimum 3562 trip selama satu tahun. Secara statistik model CYP juga memberikan standar error dan nilai VIF yang relatif
rendah. Sehingga dapat mendukung nilai R
2
yang relatif tinggi. Jika dilihat dari nilai tangkapan dan upaya tangkapan aktual rajungan di
Teluk Banten oleh nelayan Karangantu menggunakan model Clarke Yoshimoto Pooley
, kondisi perikanan rajungan telah mengalami lebih tangkap atau melebihi jumlah tangkpan lestari dan juga lebih upaya penangkapan optimum. Berangkat dari
hal ini, maka sangat perlu untuk mengelola perikanan rajungan. Pengelolaan perikanan rajungan di Teluk Banten bisa dilakukan melalui pengendalian input
maupun output. Pengendalian input melalui pengaturan upaya dalam satuan trip penangkapan nelayan selama satu tahun. Upaya yang diperoleh melalui standarisai
upaya selama satu tahun perlu dikonversi lagi untuk masing-masing alat tangkap yang berbeda. Karena satuan trip yang digunakan pada perhitungan ini adalah trip
dogol berdasarkan hasil standarisasi, maka untuk alat tangkap jaring insang, payang, dogol, bagam dan sero memiliki tingkatan kemampuan penangkapan yang berbeda-
beda. Secara proporsional hal ini dapat dikalkulasikan. Adapun pengaturan output dapat dilakukan dengan mengatur hasil tangkapan oleh nelayan selama satu tahun.
Artinya nelayan hanya boleh menangkap rajungan di Teluk Banten maksimal
30.1492
ton. Untuk menanggulangi terjadinya kondisi overfishing yang melewati daya dukung lingkungan maka pendekatan kehati-hatian melalui Total Allowable Catch
TAC atau dikenal dengan istilah jumlah tangkapan yang diperbolehkan JTB dapat diterapkan. JTB atau TAC yaitu 80 dari tangkapan maksimum lestari. Maka
JTB untuk perikanan rajungan Portunus pelagicus di perairan Teluk Banten adalah sebesar 24.1194 ton. Melalui JTB ini maka akan cukup untuk mencegah estimasi
yang berlebihan over estimate. Hal ini diharapkan dapat menjamin kelestarian dan ketersediaan sumberdaya rajungan sepanjang tahun.
60
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian antara tujuh model produksi surplus diperoleh kesimpulan bahwa model produksi surplus yang paling sesuai untuk perikanan
rajungan Portunus pelagicus di perairan Teluk Banten adalah model Clarke Yoshimoto Pooley
, dengan jumlah tangkapan maksimum lestari sebesar 30.1492 tontahun dan upaya tangkapan optimum 3562 trip. Berdasarkan model CYP kondisi
perikanan rajungan di Teluk Banten telah mengalami lebih upaya tangkap.
5.2. Saran
Model produksi surplus perlu dievaluasi setiap tahun, karena kondisi sumberdaya rajungan Portunus pelagicus di Teluk Banten serta kondisi
perairannya tidak dapat ditentukan secara pasti. Selain itu, perlu dilakukan analisis dari segi bio-ekonomi untuk mendukung kebijakan pengelolaan sumberdaya
rajungan di perairan Teluk Banten.