48 Pada tahun 2013, penggunaan lahan pada zona inti mengalami perubahan
cukup signifikan. Tutupan hutan berkurang sebanyak 36, diikuti dengan penambahan pada semak belukar. Pengurangan luas hutan menjadi semak
merupakan indikasi terjadinya degradasi hutan pada zona inti, terutama yang berada di ketinggian 2.500 mdpl, yang merupakan zona hutan pegunungan.
Zona rimba pada tahun 2013 mengalami pengurangan lahan berupa hutan 19 dibandingkan tahun 2001. Kondisi ini merupakan kejadian logis jika dilihat
dari posisi zona rimba yang berdampingan dengan permukiman dan ladang penduduk. Hal ini telah dibahas sebelumnya dimana pada zona ini perlu
diterapkan sistem pengelolaan kolaboratif antara pemerintah dan masyarakat untuk mengembangkan perekonomian berbasis konservasi lingkungan.
Penggunaan lahan berupa hutan pada zona pemanfaatan luasannya relatif tetap, yaitu sebesar 74 dari luas zona. Hal ini dikarenakan pada zona ini
dimanfaatkan sebagai kawasan wisata alam, sehingga pemeliharaan hutan dilakukan secara intensif guna mendatangkan wisatawan dan secara langsung
mendapatkan keuntungan. Pada zona ini rehabilitasi hutan juga relatif mudah, karena pihak pengelola dapat melakukan penanaman pohon maupun pengkayaan.
Namun, mengingat kondisi saat ini tegakan pada zona ini berupa Pinus yang ditanam secara monokultur, maka secara fungsi ekologis akan lebih baik jika
berupa hutan campuran, baik jenis konifer maupun pohon berdaun lebar. Salah satu jasa lingkungan yang akan terpengaruh dengan adanya hutan campuran
adalah produksi air yang menjadi lebih baik Nisbet 2005.
Pada zona rehabilitasi, penurunan luas hutan cukup signifikan antara tahun 2001 sampai dengan 2013, yaitu sebesar 32. Hal ini mengindikasikan bahwa
upaya awal penetapan zona ini yaitu untuk fokus pada kegiatan rehabilitasi belum tercapai. Secara umum, hasil rehabilitasi hutan seharusnya dapat dilihat dengan
adanya penambahan luas hutan, atau mempertahankan kondisi eksisting. Upaya minimum yang dapat dilakukan yaitu dengan memperkecil laju degradasi hutan.
Tipe penggunaan lahan pada daerah penyangga TNGMb tahun 2013 relatif tetap atau tidak berubah signifikan. Dengan demikian dapat terlihat bahwa
kegiatan masyarakat di kawasan peyangga relatif terkendali, baik secara penambahan permukiman maupun ladang.
Matriks perubahan penggunaan lahan pada setiap zona TNGMb periode tahun 2001 dan 2013 disajikan pada Tabel 16. Tabel tersebut menunjukkan bahwa
luas hutan berkurang pada setiap zona pada periode 2001-2013. Perubahan penggunaan hutan tersebut didominasi oleh padang rumput dan semak belukar,
kecuali pada daerah peyangga yang sebagian besar perubahannya menjadi perkebunan campuran.
Dari Tabel 16 dapat diketahui bahwa luas hutan yang tidak mengalami perubahan adalah seluas 3.165 ha. Pengurangan luas hutan ini disebabkan oleh
perubahannya menjadi penggunaan lain berupa ladang 244 ha, rumput 76 ha dan semak belukar 1.209 ha. Disamping mengalami pengurangan, luas hutan
juga mengalami penambahan dari penggunaan lahan lain yaitu padang rumput 61 ha semak belukar 204 ha dan perkebunan campuran 163 ha.
49 Tabel 16. Matriks perubahan penggunaan lahan periode 2001-2013 tiap zona
Keterangan : Htn= hutan, Pmk=permukiman, Ldng=ladang,
Rmp=padang rumput, Smk=semak belukar, Ltb=lahan terbuka Kbnc= perkebunan campuran
Permukiman merupakan satu-satunya tipe penggunaan lahan yang tidak mengalami pengurangan luasan. Permukiman merupakan penggunaan lahan yang
lebih bersifat permanen, artinya tidak mudah berubah menjadi penggunaan lain Munibah 2008. Tipe penggunaan lain yang berubah menjadi permukiman adalah
Penggunaan Lahan
2013 Jumlah
2001 ha
2001 Htn
Pmk Ldg
Rmp Smk
Ltb Kbnc
ZONA TNGMb 2752
41 689
584 1821
120 6.007
Z. Inti 264
463 380
1.107
Htn 197
58 160
415 Rmp
25 380
161 567
Smk 42
25 58
125
Z. Rimba 991
9 215
6 281
15 1.517
Htn 946
46 2
212 15
1.222 Ldg
158 158
Rmp 5
4 10
Kbnc 6
7 Pmk
9 9
Smk 39
5 70
1.13
Z. Pemanfaatan 117
3 20
18 157
Htn 106
10 116
Ldg 9
9 Kbnc
4 10
14 Pmk
3 3
Smk 7
8 15
Z. Rehabilitasi 1.380
29 454
115 1.142
104 3.224
Htn 1.206
40 16
746 31
2.039 Ldg
3 346
4 353
Rmp 30
95 138
264 Kbnc
38 56
69 163
Pmk 26
26 Smk
105 12
4 258
379
D. PENYANGGA 842
1.923 8.932
134 5
4.235 16.070
Htn 710
160 81
159 1.110
Ldg 107
7.143 384
7.634 Ltb
5 5
Kbnc 121
57 1.629
3.691 5.498
Pmk 1759
1.759 Smk
11 53
64
Jumlah 2013 ha 3.593
1.964 9.620
584 1.955
5 4.356
22.077
50 ladang 110 ha dan perkebunan campuran 57 ha. Permukiman dan ladang
terluas berada pada zona penyangga. Namun, perubahan tata guna lahan pada wilayah ini relatif tetap. Hal ini dapat dilihat dengan pertambahan permukiman
yang relatif kecil, serta lahan terbuka yang jumlahnya tetap. Perubahan terbesar terjadi pada perkebunan campuran yang berubah menjadi ladang, sedangkan
ladang sebagian besar tetap menjadi ladang.
Luas penggunaan lahan berupa permukiman bertambah pada daerah penyangga dan rehabilitasi. Penambahan luas juga terjadi pada tipe penggunaan
lahan ladang. Penambahan signifikan berada pada daerah penyangga, namun pada zona di dalam kawasan TNGMb seperti rimba, pemanfaatan, dan rehabilitasi, juga
terjadi penambahan luas ladang. Penambahan permukiman dan ladang pada zona di dalam kawasan TNGMb pada dasarnya tidak sesuai dengan penetapan kawasan
konservasi. Adanya penggunaan lahan berupa permukiman dan ladang di dalam kawasan TNGMb menunjukkan bahwa terdapat aktivitas yang bertentangan
dengan prinsip dibentuknya taman nasional. Dalam hal ini, pemanfaatan di dalam kawasan taman nasional telah diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor :
P56Menhut-II2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional. Kegiatan pemanfaatan hanya terbatas dalam bentuk wisata alam dan rekreasi, jasa
lingkungan, pendidikan, penelitian dan pengembangan yang menunjang pemanfaaan, serta kegiatan penunjang budidaya.
Dinamika perubahan penggunaan lahan juga terjadi pada ladang dan perkebunan campuran. Berkurangnya penggunaan lahan berupa perkebunan
campuran 1.327 ha diimbangi dengan meningkatnya luas ladang sebesar 1.466 ha. Kondisi ini mengindikasikan terjadi perubahan suatu penggunaan lahan ke arah
penggunaan lain yang dianggap memiliki nilai ekonomi lebih tinggi. Tanaman tahunan seperti Sengon oleh sebagian besar petani masih dianggap sebagai
investasi dan berada pada urutan kedua setelah pendapatan dari usaha tani dalam struktur pendapatan Ingesti 2008.
Perubahan tegakan hutan menjadi padang rumput dan semak belukar terbesar terdapat pada zona rehabilitasi. Pada zona ini peningkatan luas semak
belukar dan padang rumput mencapai 136 ha dalam kurun waktu 12 tahun. Laju pengurangan tutupan hutan di dalam kawasan TNGMb pada periode tahun 2001
– 2013 setiap tahunnya adalah 2,29 per tahun atau setara dengan 87 hatahun.
Pertumbuhan padang rumput dan semak belukar yang cepat dapat menjadi indikasi adanya frekuensi tinggi kebakaran hutan. Perakaran rumput yang berada
di bawah tanah tahan terhadap api, sehingga vegetasi rumput dan tumbuhan pionir lainnya akan tumbuh secara dominan pada kawasan bekas terbakar.
Pada zona rehabilitasi dan pemanfaatan yang dekat dengan kegiatan manusia, diduga banyak terjadi kebakaran akibat aktifitas seperti pertanian,
peternakan, perburuan, maupun aktifitas wisata seperti pendakian. Dewi 2009 menyatakan ada beberapa perilaku negatif masyarakat sekitar yang dapat memicu
deforestasi yaitu : 1 Membakar lahan untuk menanam rumput pakan ternak 2 Membuat arang di dalam kawasan hutan 3 Merambah kawasan hutan untuk
kegiatan pertanian. Hal ini sesuai dengan pernyataan Steenis 2006, bahwa manusia bertanggung jawab sebagai penyebab kebakaran, sekaligus penyedia
bahan bakar. Kondisi enclave maupun masyarakat sekitar hutan yang membuat ladang pada kawasan TNGMb, membuat invasi rumput sebagai bahan yang
mudah terbakar atau bahan bakar meluas. Hal ini menyebabkan kawasan tersebut
51 lebih rentan terbakar. Demikian pula dengan para petani yang sengaja menanam
rumput sebagai pakan ternak mereka, serta para pendaki yang lalai membuat api unggun.
Secara empiris, Balai TNGMb telah mencatat kejadian kebakaran di dalam kawasan dalam kurun waktu tahun 2006 sampai 2012. Data kejadian kebakaran
dan peta kebakaran TNGMb ditampilkan pada Tabel 17 dan Gambar 31. Dari data yang tercatat, terlihat bahwa luas areal yang terbakar pada kawasan TNGMb
cukup signifikan. Kejadian kebakaran cukup besar yang terjadi di dalam kawasan TNGMb adalah pada tahun 2006 seluas 463 ha dan juga pada tahun 2011 seluas
624 ha. Dengan luas kawasan TNGMb yang relatif kecil untuk Taman Nasional, maka luas areal yang terbakar selama kurun waktu 6 tahun yaitu sebesar 1.150,3
ha, atau sebesar ± 20 luas kawasan TNGMb cukup signifikan. Setiap kejadian kebakaran akan menyebabkan merebaknya padang rumput, semak belukar,
ataupun jenis pohon yang relatif tahan terhadap api secara seragam. Hutan campuran yang semakin terkikis serta kondisi kebakaran hutan yang terus
menerus terjadi akan mengakibatkan degradasi tanah akibat berkurangnya penghasil unsur hara seperti serasah hutan. Dengan demikian, kegiatan reboisasi
akan semakin sulit berhasil, baik yang dilakukan oleh campur tangan manusia, maupun secara alami.
Berdasarkan Gambar 31 terlihat bahwa luas areal terbakar terbesar berada pada lereng utara, timur, dan selatan. Hal ini dapat dikaitkan pula dengan curah
hujan yang lebih sedikit terjadi pada lereng sebelah timur TNGMb. Timbunan serasah, rumput kering, ataupun bahan bakar lainnya akan semakin rentan
terbakar pada musim kemarau, terlebih pada daerah yang lebih sedikit mendapatkan curah hujan. Selain itu, jika dilihat dari tipe penggunaan lahan pada
lereng utara, timur, dan selatan TNGMb, terlihat bahwa akses masyarakat terhadap kawasan hutan cukup dominan. Hal ini terlihat dari luas ladang dan
Tabel 17 Data kejadian kebakaran di TNGMb periode tahun 2006 -2012
No Tahun Lokasi Kecamatan
Tipe Ekosistem yang Terbakar
Luas ha 1
2006 Ampel dan Getasan
Hutan hujan pegunungan bawah, atas dan sub alpin
463 2
2007 Kec. Selo
Hutan hujan pegunungan bawah, atas
10 3
2008 Kec. Selo
Hutan hujan pegunungan bawah, atas
12 4
2009 Tidak ada kejadian
- 5
2010 Tidak ada kejadian
- 6
2011 Ampel dan Selo
Hutan hujan pegunungan bawah, atas dan sub alpin
405 Pakis dan Sawangan
125 Kec. Getasan
94 Jumlah
624 7
2012 Getasan
Hutan hujan pegunungan bawah, atas
41 JUMLAH
1.150
Sumber : Balai TNGMb 2013
52 permukiman yang lebih banyak pada areal terbakar dibandingkan lereng sebelah
barat.
Gambar 31 Penyebaran perubahan penggunaan lahan dan kejadian kebakaran Dengan demikian, upaya pencegahan kebakaran hutan pada kawasan
TNGMb dapat dijadikan prioritas untuk menanggulangi semakin cepatnya laju degradasi hutan di kawasan tersebut. Menurut Steenis 1972, hasil pengamatan
pada areal Gunung Papandayan yang sering terbakar, didapatkan fakta bahwa setelah satu dasawarsa areal tersebut terlindung dari api mulai tumbuh tegakan
pohon muda yang rimbun. Hal ini berarti kawasan hutan yang sudah didominasi oleh padang rumput dan semak belukar akibat terbakar, dapat direhabilitasi secara
alami dengan melindunginya dari kebakaran dalam jangka panjang.
5.2 Kesesuaian Lahan Berdasarkan Karakteristik Fisik Lahan dan Prioritas Penggunaan Lahan Hutan
Evaluasi kesesuaian lahan ini merupakan suatu usaha untuk melakukan evaluasi penggunaan lahan, dimana penggunaan lahan sebaiknya disesuaikan
dengan karakteristik lahan pada umumnya fisik dan kimia Munibah 2008. Pada penelitian ini analisis keseseuaian lahan hanya dibatasi pada karakteristik fisik
lahan saja, yang meliputi : sifat fisik tanah, kelerengan, elevasi, iklim, drainase, serta bahaya banjir dan erosi. Tipe penggunaan lahan tahun 2013 yang dievaluasi
adalah : hutan, ladang, perkebunan campuran dan permukiman. Data lengkap analisis kesesuaian kemampuan lahan disajikan pada Lampiran 6 dan 7. Peta
kesesuaian lahan saat ini pada tiap-tiap tipe penggunaan lahan dapat dilihat pada Gambar 34.
53
Gambar 32 Peta kesesuaian lahan berdasarkan atas karakteristik fisik lahan dan prioritas penggunaan lahan hutan
54
5.2.1 Lahan Sesuai dan Tidak Sesuai
Gambar 33 menunjukkan persentase luas lahan yang sesuai dan tidak sesuai di daerah penelitian. Berdasarkan Gambar 32 dan 33, persentase lahan yang sesuai
S lebih besar dibandingkan dengan lahan yang tidak sesuai N. Lahan yang sesuai S untuk permukiman, ladang dan perkebunan campuran persentasenya
lebih besar yaitu masing-masing sebesar 68,97, 90,12 dan 59,14 dibandingkan lahan yang tidak sesuai N. Khusus untuk hutan, dilakukan
pendekatan alokasi lahan prioritas dengan menggunakan metode analisis kemampuan lahan seperti telah disampaikan pada bagian metode penelitian.
Berdasarkan kriteria kelas kemampuan lahan, penggunaan lahan berupa hutan sesuai seluruhnya pada semua kelas kemampuan lahan, namun lahan yang
diprioritaskan untuk digunakan sebagai hutan di lokasi penelitian hanya 11,62 dari luas seluruh daerah penelitian atau seluas 2.566 ha.
Gambar 33 Luas lahan sesuai S dan tidak sesuai N Lahan yang tidak sesuai N untuk permukiman adalah lahan yang memiliki
faktor pembatas berupa kemiringan lereng. Lahan dengan kemiringan lereng 15 tidak diprioritaskan untuk permukiman karena rentan terhadap bahaya
longsor.
Lahan yang tidak sesuai N untuk ladang karena adanya faktor pembatas berupa lereng dan kedalaman efektif tanah. Lahan dengan kemiringan lereng
30 tidak diprioritaskan untuk pertanian karena memiliki potensi erosi cukup tinggi. Lahan dengan kedalaman efektif kurang dari 30 cm juga tidak
diprioritaskan untuk digunakan sebagai area ladang, meskipun memiliki kemiringan lereng 30 karena memiliki tingkat bahaya erosi berat sampai
dengan sangat berat Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007.
Lahan yang tidak sesuai N untuk perkebunan campuran karena adanya faktor pembatas berupa kemiringan lereng, curah hujan rata-rata dan kedalam
10 20
30 40
50 60
70 80
90 100
S N
69
31 90
10 59
41 100
K e
sese u
a ia
n l
a h
a n
Pmk Ldng
Kbnc Htn
55 efektif tanah. Tanaman sengon kurang sesuai untuk lahan dengan curah hujan
2.000 atau 4.000 mm tahun, dan juga kurang sesuai pada lahan dengan kedalaman efektif tanah 50 cm. Kemiringan lereng 30 tidak disarankan untuk
kegiatan pertanian.
Lahan yang diprioritaskan untuk hutan pada saat ini adalah lahan yang memiliki kelas kemampuan lebih dari V. Lahan dengan kelas kemampuan lahan
antara I-IV merupakan lahan yang tidak diprioritaskan untuk hutan dan sesuai digunakan untuk kegiatan pertanian. Faktor pembatas utama bagi lahan yang tidak
diprioritaskan sebagai hutan adalah kondisi kemiringan lereng 30 dan bahaya erosi tidak ada sampai dengan sedang. Kedua faktor pembatas tersebut masih bisa
diusahakan untuk kegiatan pertanian dengan menggunakan perlakuan konservasi tanah, misalnya dengan pembuatan teras.
5.2.2 Penggunaan Lahan pada Lahan Sesuai dan Tidak Sesuai
Penggunaan lahan di TNGMb dan daerah penyangganya secara umum telah menempati lahan yang sesuai untuk masing-masing tipe penggunaan lahan, yang
disajikan pada Gambar 34.
Gambar 34 Luas lahan sesuai S dan tidak sesuai N pada masing-masing tipe penggunaan lahan pada tahun 2013
Penggunaan lahan berupa ladang menempati lahan yang sesuai S sebesar 71,03 dan hanya sebesar 28,97 yang berada pada lahan yang tidak sesuai N.
Budidaya tanaman ladang terutama yang menempati dataran tinggi dengan kemiringan lereng 15 umumnya dilakukan secara tradisional. Kondisi ini
mengakibatkan lahan sangat rentan terhadap erosi, karena jenis tanahnya adalah Andisol yang masuk kategori peka terhadap erosi. Tindakan konservasi berupa
teras juga masih belum banyak dilakukan oleh petani, ditambah dengan
500 1000
1500 2000
2500 3000
3500
Pmk Ldng
Kbnc
K e
sesua ia
n L
a h
a n
h a
Penggunaan lahan tahun 2013
S N
26 71
74
96
4 29
56 penggunaan bedengan yang dibuat searah lereng. Hal-hal tersebut menyebabkan
lahan sangat rawan terhadap kerusakan dan bencana meskipun sesuai S untuk tanaman ladang.
Penggunaan lahan berupa permukiman menempati lahan yang sesuai S sebesar 96,28 dan hanya sebesar 3,72 berada pada lahan yang tidak sesuai N.
Permukiman penduduk sebagian besar berada pada daerah dengan kemiringan maksimal 15, hanya sebagian kecil saja yang menempati daerah dengan
kelerengan 15. Lahan yang tidak sesuai N untuk permukiman sebagian besar berada pada lahan dengan kemiringan lereng 15 dan berada di dalam kawasan
TNGMb. Penyebaran permukiman juga tidak hanya dipengaruhi oleh faktor fisik saja, namun juga sangat dipengaruhi oleh ketersediaan infrastruktur berupa jalan.
Penggunaan lahan berupa perkebunan campuran menempati lahan yang sesuai S sebesar 74,46 dan sebesar 25,54 berada pada lahan yang tidak
sesuai N. Perkebunan campuran biasanya ditanam pada lahan yang sama dengan ladang. Perkebunan campuran merupakan jenis penggunaan lahan yang memiliki
toleransi tinggi terhadap karakteristik fisik lahan, oleh karena itu intensitas pengelolaan lahan dalam kaitannya dengan tindakan konservasi lebih dipengaruhi
oleh kemiringan lereng dan elevasi, bukan oleh keberadaannya pada lahan yang sesuai S atau tidak sesuai N Munibah 2008.
Hutan yang berada pada lahan yang diprioritaskan sebagai hutan sebagian besar berada di dalam kawasan TNGMb pada daerah dengan bentuk lahan lereng
volkan atas, kelerengan 30 dan ketinggian 2.000 mdpl. Lahan hutan yang berada di lahan yang diprioritaskan sebagian juga termasuk ke dalam kawasan
TNGMb di wilayah kecamatan Pakis. Lahan hutan ini berada pada daerah dengan bentuk lahan berupa aliran lava sub resen dan lereng volkan tengah dengan
kemiringan lereng 15 dan ketinggian 1.500 mdpl.
5.3 Model Spasial Perubahan Penggunaan Lahan
Tujuan penyusunan model spasial perubahan penggunaan lahan adalah untuk memprediksi perubahan penggunaan lahan jangka waktu 12 tahun ke depan
yaitu sampai dengan tahun 2025. Penggunaan lahan tahun 2001 digunakan untuk memprediksi penggunaan lahan tahun 2013, dengan menggunakan Transitional
Probability Matrix TPM, kesesuaian lahan berdasarkan faktor fisik lahan, filter 5×5. Peta hasil simulasi penggunaan lahan tahun 2013 pada berbagai jumlah
iterasi kemudian divalidasi dengan menggunakan peta hasil interpretasi penggunaan lahan tahun 2013. Nilai kappa tertinggi hasil validasi pada iterasi ke-
n artinya iterasi tersebut memiliki akurasi paling tinggi dalam memprediksi penggunaan lahan di tahun 2013. Nilai kappa hasil validasi pada berbagai jumlah
iterasi disajikan pada Gambar 35, sedangkan waktu tiap iterasi disajikan pada Gambar 36.
57
Gambar 35 Nilai kappa hasil prediksi penggunaan lahan pada berbagai iterasi
Gambar 36 Grafik hubungan antara jumlah iterasi dan waktu iterasi Nilai kappa tertinggi hasil validasi prediksi penggunaan lahan tahun 2013
didapatkan pada iterasi ke-20 yaitu sebesar 79,71 dengan waktu iterasi 10,3 menit. Gambar 35 menunjukkan bahwa setelah iterasi ke-20, nilai kappa
cenderung menurun. Penggunaan lahan tahun 2013, Transitional Probababilty Matrix, kesesuaian lahan, filter 5×5 dan iterasi ke-20 selanjutnya digunakan untuk
membuat prediksi penggunaan lahan untuk jangka waktu 12 tahun ke depan yaitu penggunaan lahan tahun 2025. Hasil prediksi penggunaan lahan tahun 2025
dibandingkan dengan penggunaan lahan tahun 2013 disajikan pada Gambar 37 dan Tabel 18.
79,69 79,67
79,66
79,63 79,63
79,71 79,70
79,70
79,61 79,62
79,63 79,64
79,65 79,66
79,67 79,68
79,69 79,7
79,71 79,72
5 10
15 20
25 30
35
Ni la
i K
a p
p a
Iterasi
2,9 3,7
5,3 6,1
7,7 10,3
10,8 12,4
14,3
0,0 2,0
4,0 6,0
8,0 10,0
12,0 14,0
16,0
5 10
15 20
25 30
35
W a
kt u
M e
n it
Jumlah Iterasi