Sinopsis Cerita ANALISIS PSIKOLOGIS TOKOH UTAMA DALAM NOVEL “CATATAN

BAB III ANALISIS PSIKOLOGIS TOKOH UTAMA DALAM NOVEL “CATATAN

ICHIYO” KARYA REI KIMURA

3.1 Sinopsis Cerita

Catatan Ichiyo berkisah tentang perempuan Jepang bernama Ichiyo Higuchi yang hidup di Jepang pada zaman Meiji. Novel ini diangkat dari kisah nyata perjalanan hidup tokoh utama yang dituliskannya dalam sebuah buku harian, dan dituliskan kembali dalam bentuk karya sastra oleh Rei Kimura. Novel setebal 286 halaman ini terbagi dalam 29 bab, menceritakan perjalanan Ichiyo, seorang penulis brilian dan agresif yang dengan penuh ketenangan berjalan menghadapi segala tantangan prasangka gender, kemiskinan ekstrim, kondisi kesehatan yang buruk, serta penolakan dan hinaan, dan terus menerus dengan gairah yang tinggi, penuh kedalaman, dan kejujuran hingga pada akhirnya, ia menyentuh hati dan pikiran banyak orang lewat karya-karya sastra yang ditulisnya. Lebih dari 200 tahun setelahnya wajahnya diabadikan dalam mata uang kertas resmi 5000 yen Jepang, sebuah penghormatan yang tak pernah diperoleh wanita Jepang manapun. Awal novel ini justru menceritakan akhir dari kisah ini, pada 22 November 1896, tentang detik-detik kematian dini Ichiyo pada usia 24 tahun karena penyakit tuberkulosis yang terus menggerogotinya. Saat kematiannya dikelilingi oleh semua orang yang dicintainya, yaitu komunitas kecil penulis, penyair, penerbit dan penggemar yang mencintainya, memberinya penghormatan dan pengakuan Universitas Sumatera Utara bagi tahun-tahun penuh perjuangan melawan kemiskinan dan sebuah sistem yang tak menghargai bakat seorang wanita. “Kau akan menjadi terkenal, mungkin wajahmu akan muncul dalam uang kertas Jepang suatu hari nanti, Ichiyo, dan kita tidak akan miskin lagi” “Teruslah bermimpi, tapi hanya bermimpi, ya Kuni chan, paling tidak itulah yang dapat kita lakukan terus-menerus, karena mimpi itu gratis” Sebuah mimpi kecil oleh Kuniko Higuchi yang tidak akan pernah dibayangkan akan benar-benar menjadi kenyataan bagi seorang Ichiyo Higuchi. Yang dimilikinya hanyalah suatu keyakinan bahwa suatu saat dirinya akan menjadi salah satu penulis yang disegani di Jepang walaupun dirinya adalah seorang wanita. Ichiyo adalah putri kedua dari lima bersaudara. Diantara semua saudaranya, Fuji, Sentaro, Toranasuke, Kuniko. Ichiyo yang memiliki nama kecil Natsuko merupakan satu-satunya yang tertarik pada bidang sastra. Sejak lahir, Natsuko membawa kebahagiaan bagi keluarganya. Suasana duka yang membayangi keluarga Higuchi setelah kematian putra kedua mereka terpulihkan oleh kemampuannya menularkan keceriaan dan ketidakpeduliannya terhadap segala kekacauan dan tekanan di sekelilingnya. Natsuko menjadi anak favorit Noriyoshi, ayahnya. Natsuko berhasil mengalihkan perhatian ayahnya dari obsesi meraih status sosial yang tinggi. Namun, obsesi ayahnya beralih kepada Natsuko. Ayahnya berpikir bahwa kecerdasan luar biasa dalam diri anak kesayangannya sangat perlu dikembangkan. Natsuko kecil merespon dan mengerti sajak-sajak yang dibacakan ayahnya untuknya. Saat ia mulai tumbuh besar, ia membuktikan kebenaran kata-kata ayahnya. Di usia enam tahun, Natsuko berani tampil percaya diri dan optimis di hadapan Universitas Sumatera Utara orang-orang luar biasa pandai dan berbakat dalam dunia sastra untuk melantunkan sajak klasik yang sulit dengan gairah dan ekspresi yang sangat kuat. Semua penonton memuji penampilannya itu dan ia menikmati setiap pujian yang diberikan. Sejak saat itu, Natsuko mengatakan dengan tegas cita-citanya untuk menjadi seorang penulis. Sejak usia enam tahun dia sudah sangat optimis dengan cita-citanya dan bisa berdebat dengan Sentaro, kakaknya untuk mengutarakan pemikirannya bahwa perempuan juga mampu menjadi apa pun yang mereka inginkan asalkan mereka memiliki otak dan sepasang tangan. Menurutnya, perempuan sama pintarnya dengan laki-laki. Kejadian itu memberikan inspirasi yang semakin menyala terang dari tahun ke tahun hingga menyita hidupnya, pikirannya dan jiwanya. Di usia tujuh tahun. Natsuko mampu membacakan koran untuk ayahnya yang penglihatannya sudah memburuk. Itu adalah bakat yang luar biasa untuk anak seusianya. Hal ini disebabkan karena Noriyoshi selalu mendukung dan mengembangkan bakat luar biasa putrinya itu. Sebaliknya Furuya, ibu Natsuko lebih realistis dan menentang hobi putrinya itu. Furuya realitis terhadap status wanita di Jepang pada zaman Meiji. Zaman dimana tidak ada tempat dan pengakuan bagi seorang wanita dalam dunia sastra. Walaupun demikian, Noriyoshi sangat percaya pada Natsuko dan berpendapat bahwa masyarakat pada akhirnya akan mengakui bakat putrinya dalam kesusasteraan. Ada keyakinan yang tak terungkapkan di dalam suaranya. Furuya sangat menentang hobi Natsuko membaca buku dan berusaha menghentikan kebiasaan putrinya itu. Natsuko menangis dan mengumpulkan buku-bukunya dan berlari ke toserba untuk membaca buku. Tak peduli sekeras Universitas Sumatera Utara apa pun usaha usaha ibunya menghentikan kebiasaan putrinya, ia tidak pernah berhenti membaca. Akibatnya, matanya menjadi rabun karena penerangan di toserba sangat buruk yang mengakibatkan ibunya mengomel sangat keras. Furuya takut Natsuko tidak bisa mendapatkan suami dengan penampilan Natsuko yang terlihat seperti cendikiawan tua yang bijak dengan kacamata di hidungnya dan setumpuk besar buku berdebu sebagai teman setianya, tetapi Natsuko tidak pernah memusingkannya. Ia juga sama sekali tak tertarik bermain seperti anak- anak lain seusianya. Ia lebih suka dikelilingi oleh kana zoshi atau buku cerita miliknya. Terkadang Natsuko juga merasa takut akan energi dan kekuatan emosi dan ambisi yang jauh melampaui usianya dan bertanya-tanya mengapa ia tidak seperti anak-anak lain kebanyakan. Sampai pada suatu hari Natsuko merasa senang karena akhirnya menemukan teman yang memiliki minat yang sama dengannya. Masao menjadi teman menghabiskan waktu mendiskusikan buku-buku terbaru yang dibelikan ayahnya. Natsuko muda untuk pertama kalinya mengalami perasaan suka terhadap lawan jenisnya. Perasaan itu mempengaruhi dia menulis sajak untuknya dan Masao. Namun, hal itu tidak berlangsung lama karena Masao harus pergi ke Hokkaido bersama keluarganya dan akhirnya mereka harus berpisah. Sejak kepergian Masao, Natsuko memutuskan mengganti nama menjadi Ichiyo yang berarti ‘sehelai daun’, karena menurutnya nama itu lebih menunjukkan identitasnya sebagai penulis dan penyair masa depan. Dia ingin menjadi sehelai daun dari halaman buku-buku yang ingin ditulisnya sejak saat itu. Namun, hidup Ichiyo berubah sejak Sentaro terserang penyakit tuberkulosis yang membuat keluarga mereka terpuruk hingga akhirnya Ichiyo Universitas Sumatera Utara terpaksa harus berhenti sekolah. Ibunya segera mendaftarkannya ke berbagai kelas kewanitaan yang sangat tidak ia sukai. Dia sangat terpukul dan hancur dan menumpahkan segala pikiran-pikirannya yang paling pribadi ke dalam buku hariannya. Selama dua setengah tahun tidak bersekolah, dia mengalami konflik batin yang semakin keras. Dirinya perlahan mengering dan sekarat dan untuk pertama kalinya dia berharap dilahirkan sebagai seorang anak laki-laki, yang bebas mengejar apa un yang ingin diraihnya. Sebelum ulang tahunnya yang ke 16, akhirnya Ichiyo diberi kesempatan lagi untuk masuk ke sekolah penyair milik Nakajima Utako. Dia sangat bahagia dan sangat berterima kasih kepada ayahnya. Dia meruntuhkan dinding sifat aslinya yang datar tanpa emosi dengan berlutut di hadapan Noriyoshi dengan mata berkaca-kaca. Di Haginoya dia berkembang pesat dan sangat berprestasi. Namun dalam hubungan sosial, lagi-lagi ia terasing dan tidak dapat membaur dengan teman sebayanya. Buku hariannya menjadi teman sejatinya setiap hari, menumpahkan segala perasaan dan kegelisahannya tentang nasib karir menulisnya. Ada juga bagian yang ditulisnya ketika dia merasa miskin dan lemah dibanding teman- temannya yang berasal dari keluarga kaya dan terhormat. Pada Juni 1887 menjadi masa yang sangat suram untuk keluarga Higuchi. Noriyoshi kehilangan pekerjaannya di Departemen Kepolisian di akhir usianya yang produktif dan penyakit tuberkulosis Sentaro kambuh kembali. Sejak Sentaro meninggal pada Desember, Noriyoshi menjual petak tanah terakhirnya dan rumahnya dan berbisnis dengan pengusaha, namun ia tertipu dan akhirnya mereka bangkrut total. Furuya menjadi depresi dan Noriyoshi terserang demam dan sakit tuberkulosis juga. Ayahnya kehilangan keinginan untuk hidup dan setiap hari Universitas Sumatera Utara semakin lemah. Akhirnya Noriyoshi meninggal pada 12 Juli 1889 di usia 59 tahun. Sejak saat itu juga, hidup Ichiyo berubah, beban untuk menghidupi keluarga jatuh ke pundak Ichiyo yang baru berusia 17 tahun. Butuh waktu lama bagi Ichiyo untuk menerima kematian ayahnya. Perasannya berganti-ganti antara kemarahan terhadap ayahnya karena menelantarkannya dan hampa akan kematiannya. Seminggu setelah kematian ayahnya, Ichiyo duduk memandangi dengan serius neraca keuangan keluarganya, terenyak oleh fakta betapa sedikit uang yang mereka miliki. Nyonya Nakajima memintanya tinggal bersamanya dan membantunya. Ia menjanjikan Ichiyo akan menempatkannya sebagai guru di salah satu sekolah wanita, namun hal itu tidak pernah terjadi. Di tengah keputus asaannya, Ichiyo kembali ke keluarganya dan akhirnya mereka harus meninggalkan gaya hidup terhormat dan mulai menjahit dan mencuci pakaian untuk menghidupi diri mereka. Kuniko sering mendapat penglihatan wajah Ichiyo tak lekang dimakan zaman dan tak pernah terlupakan di Jepang. Oleh sebab itu, Kuniko meminta Ichiyo untuk tetap menulis dan Ichiyo mulai memutuskan bahwa dia akan menganggap serius buku hariannya sebagai wadah berkarya dan akan menghasilkan uang dari menulis. Namun pada tanggal 15 April 1891 Ichiyo bertemu dengan Nakarai Tosui, novelis muda energik yang membuat hidupnya berwarna. Di satu sisi, Ichiyo menganggap Tosui sebagai mentornya dan di sisi lain Ichiyo telah jatuh cinta dengan segala pesona Nakarai Tosui. Perasaan cintanya yang menggebu-gebu terhadap Tosui membuatnya menjadi berkembang pesat. Ia menulis jauh lebih giat dengan alur cerita rumit dan cerdas karena terinspirasi oleh kekuatan perasaannya pada Nakarai Tosui. Karakter tokoh dalam novelnya pun banyak mirip dengan Universitas Sumatera Utara Nakarai Tosui. Namun, karena skandal Nakarai Tosui yang tidak terlalu bagus dan penghinaan yang diucapkan Tosui terhadap karya-karyanya membuat hatinya sakit dia ia tidak dapat menerimanya. Akhirnya mereka tidak bisa bersama. Ichiyo menulis kekecewaan, kepahitan dan patah hatinya dalam buku hariannya dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya yang berat, ia berpikir ingin bunuh diri. Dua tahun sejak kematian ayahnya, di usianya yang masih 19 tahun, kekayaan keluarganya sama sekali belum membaik. Mereka semakin miskin dan hanya mampu makan dengan menu hanya nasi dan acar. Ichiyo bertambah kurus hingga tulang bahunya benar-benar mencuat seperti seekor burung yang sangat kurus. Ichiyo sering pusing dan napasnya terputus-putus. Dia mulai terserang penyakit tuberkulosis. Dia juga belum menghasilkan karya yang dapat dibanggakan. Pada saat itu dalam hidupnya, saat keraguan hebat dan bayangan kegagalan yang sia-sia mulai menyerang harga dirinya, Ichiyo mengandalkan prinsip kegigihan Konghucu yang tegas dan tekad membaja untuk melalui segala penderitaan dan mempertahankan kemurnian dan kebersahajaan gaya menulisnya, tidak peduli betapa keras dan suramnya kehidupan. Ichiyo berjanji pada Kuniko, adik tersayangnya bahwa suatu hari nanti dia akan membawa nama keluarganya terkenal dan dunia tidak akan pernah melupakan mereka. Impian dan ambisi yang luar biasa di tengah kemelaratan yang dihadapinya. Ichiyo tetap menemui Tosui walaupun dia tahu segala keburukan dan skandal Tosui yang sangat senang tehadap kehidupan malam. Kemiskinan Ichiyo telah membentuknya menjadi pribadi yang lur biasa realistis dan praktis, ia menyadari kelemahan dan ketidakmampuannya menjauh dari Tosui sebagian dipicu oleh keyakinan bahwa Tosui adalah satu-satunya orang yang dapat Universitas Sumatera Utara membuat novel pertamanya diterbitkan. Dan pada akhirnya, novel pertama Ichiyo yang berjudul Bunga di Kala Senja diterbitkan di Musashino dan mendapat komentar positif dari koran bergengsi seperti Asahi Shimbun. Namun, segala berita miring tentang Tosui membuatnya mau tidak mau harus berhenti bertemu dengan Tosui. Terjadi konflik batin yang dalam di pikiran Ichiyo untuk tidak mempercayai apa yang dikatakan orang terhadap Tosui, rasa cintanya yang luar biasa menutup segala akal sehat dan kewarasan. Namun pada akhirnya ia memang harus mengakhiri hubungan mereka. Kembali lagi terjadi pergolakan batin dan konflik emosional saat dia harus berjalan ke rumah Tosui untuk benar-benar mengakhiri hubungan mereka. Dia tidak dapat membohongi hatinya, ada pertentangan tiada habis antara hati dan pikirannya. Sejak saat itu, Ichiyo menuliskan dalam buku hariannya bahwa ia yakin tidak akan pernah jatuh cinta lagi dan mendedikasikan hidupnya hanya untuk menulis dan kelangsungan hidup keluarganya. Dalam kesedihannya yang mendalam, terbitlah Umoregi di dalam majalah bergengsi Miyako no Hana dan untuk pertama kalinya menerima 10 yen dari hasil karyanya. Meskipun sejak saat itu Ichiyo rutin memperoleh bayaran untuk karyanya, uang yang didapatnya masih belum cukup untuk mengakhiri kemiskinan berkepanjangan dan kesulitan finansial dalam keluarga Higuchi. Ibu dan adiknya tetap harus mencuci dan pada malam-malam tertentu Ichiyo tidak makan malam agar ibu dan adiknya dapat memakan bagiannya dan memulihkan energi serta tenaga mereka untuk bekerja keras esok harinya. Seringkali dia melawan perihnya rasa lapar dengan menulis. Akhirnya, setelah semua barang berharga terakhir yang mereka punya terjual, mereka pindah ke areal “rendah” dan menjadi pedagang toko murah di tengah- Universitas Sumatera Utara tengah pusat lokalisasi dan kawasan hiburan di Ryusenji. Pergolakan kembali terjadi di dalam pikirannya mengingat ia harus mampu mengobrol basa-basi dengan pelanggan, sesuatu yang sama sekali bukan dirinya yang kalem, senang menyendiri dan tak suka membaur dengan orang lain. Tinggal di tengah kawasan hiburan Yoshiwara yang terkenal dengan reputasi buruknya membuat Ichiyo terlalu sibuk dan hampir tak pernah menulis. Ia mendapati dirinya tersedot ke dalam bagian rutin mengurusi usaha, menawar dan berdebat dengan para pemasok barang yang kasar dan tak punya sopan- santun, melayani pelanggan yang umumnya para penarik kereta angkut, tukang keamanan, wanita penghibur dari rumah bordil dan kedai minum sekitar. Sangat berbeda dengan kemewahan sesi baca puisi di sekolah Nyonya Nakajima. Selama masa paceklik dalam karir menulis di Ryusenji, Ichiyo bahkan sempat berpikir untuk kembali memakai nama Natsuko agar ia tidak terlalu merasa bersalah saat kehilangan inspirasi dan gairah dalam menulis. Namun lama-kelamaan, ia terbiasa dengan Ryusenji dan mulai tertarik dengan segudang pengalaman hidup tepat di depan matanya. Ichiyo mulai menulis catatan kecil tentang berbagai macam orang dan peristiwa di jalan-jalan Ryusenji yang penuh warna, yang pada akhirnya menginspirasinya untuk menulis novel-novel nya yang berikutnya. Setelah ada kesempatan untuk pindah dari Ryusenji dengan uang yang diperoleh dari surat perjanjian utang Tuan Wakayama, mereka pindah ke rumah tua kecil di Maruyama-Furuyama yang masih berada di kawasan hiburan kumuh dalam kota namun setidaknya mereka tidak lagi harus hidup berdampingan dengan rumah bordil dan bar-bar murahan. Akhirnya, Kuniko dan Furuya bekerja Universitas Sumatera Utara sebagai penjahit kimono yang indah untuk wanita penghibur di kawasan itu. Sementara Ichiyo mulai memantau dan meresapi lingkungan sekitarnya, merekam setiap aspek kehidupan di tengah-tengah para wanita penghibur dan menjadikan salah satu novelnya yang paling banyak dipuji, Child’s Play yang merujuk pada karakter kuat novel tersebut. Saat itu adalah masa indah dan damai bagi keluarga Higuchi dan Ichiyo menulis dengan sangat giat, menghasilkan lima buah novel antara tahun 1895 dan 1896, yaitu On the Last Day of the Year Hari Terakhir di Tahun Ini, Troubled Waters Air yang Keruh, The Thirteenth Night Malam Ketiga Belas, Child’s Play Mainan Anak, dan Separate Ways Jalan Lain. Sebenarnya kehidupan Ichiyo tidak pernah ditakdirkan untuk damai dan tanpa masalah, empat bulan setelah itu sebuah gelombang baru tiba mengganggu ketenangan mereka. Minoko Tanaka datang dan mengajak Ichiyo menjadi partnernya untuk mengelola “Umeyoshi” atau sekolah penyairnya. Ingin sangat ingin dan bersemangat, namun Ichiyo tidak mempunyai uang untuk membeli saham keanggotaan dan akhirnya mimpi itu pun pupus. Ichiyo sangat putus asa dengan kemiskinan mereka yang berkepanjangan hingga bahkan ia sempat berpikir menjadi istri simpanan pria kaya raya bernama Kusaka yang berprofesi sebagai peramal. Dia merasa tidak adil bahwa uang sepertinya jatuh dengan mudah ke pangkuan Kusaka sementara mereka bekerja bagai budak demi beberapa yen yang bahkan tak cukup untuk terus hidup dengan harga diri. Akhirnya setelah teringat lagi dengan mimpinya bekerja sama dengan Minoko Tanaka, Ichiyo menyerah pada pergulatan batin dengan kehormatan diri dan hati nuraninya untuk mengunjungi Kusaka tanpa membuat janji terlebih dahulu. Setelah rutin mengunjungi Kusaka dan memainkan permainan tarik-ulur Universitas Sumatera Utara dengannya, membuat Kusaka mengirim surat yang menawarkan sejumlah uang jika ia mau menjadi istri simpanannya. Namun, Ichiyo tersadar bahwa ini bukan jalan yang benar dan kembali ke sekolah Nyonya Nakajima sebagai asisten bergaji rendah, namun setidaknya ia berada dalam lingkungan yang tepat untuk menulis dan setelah pengalaman merendahkan moral serta harga diri dengan Kusaka, Ichiyo benar-benar mensyukuri suasana bersih dan sehat di Haginoya. Semua kisah novel yang ditulisnya adalah hasil dari analisis jujur tentang situasi kehidupan, tentang perasaan yang termanifestasi dalam cinta, kebahagiaan, tragedi, kemiskinan, depresi dan apa pun yang hati manusia rasakan. Semua kerja kerasnya akhirnya berbuahkan hasil. Semua orang kini mengakuinya. Penerbit, majalah dan penulis semua berlomba-lomba mendapatkan kontrak kerja sama dengannya. Namun, karena ia bekerja terlalu keras, ia mengacuhkan sakit tuberkulosis yang terus menggerogotinya. Ia sedang berada di popularitasnya sebagai penulis dan tidak ingin penyakitnya akan menjatuhkannya kembali. Sampai akhirnya ia menghembuskan nafas terakhirnya di usia yang sangat muda, 24 tahun, Ichiyo meninggal di awal ketenarannya sebagai penulis.

3.2 Analisis Konflik Batin Tokoh Utama Karena Pengaruh Lingkungan