PENUTUP Dunia ini semakin leper, kata Thomas Friedman

11 ilmu dan bahasa pengungkapan budaya tinggi, agar bahasa kita tidak tergelincir dari landasan ilmiah tamadun silam. Cara terbaik adalah dengan mengukuhkan elemen-elemen bahasa Melayu dan bahasa Indonesia yang membolehkan bahasa kita berperanan sebagai bahasa ilmu, tetapi pada masa yang sama, usaha dan upaya yang benar-benar bererti perlu dilaksanakan untuk membina kapasiti bangsa yang berilmu. DAFTAR PUSTAKA A Kadir Jasin. 2009. Membangun Bangsa dengan Mata Pena. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Abdul Rahim Bakar dan Awang Sariyan Ed.. 2005. Suara Pejuang Bahasa. Kuala Lumpur: Persatuan Linguistik Malaysia. Abdullah Hassan Ed.. 1994. Language Planning in Southeast Asia. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Abdullah Hassan Ed.. 1999. Perancangan Bahasa di Asia Tenggara. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Asmah Haji Omar. 1982. Language and Society in Malaysia. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Asmah Haji Omar. 1987. Bahasa Malaysia Saintifik. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Asmah Haji Omar. 1993. Perancangan Bahasa dengan Rujukan Khusus kepada Perancangan Bahasa Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Asmah Haji Omar. 2010. Kajian dan Perkembangan Bahasa Melayu Edisi Kedua. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Asraf Ed.. 1996. Manifesto Budaya. Kuala Lumpur: Persatuan Linguistik Malaysia. Awang Sariyan. 1995. Ceritera Bahasa. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Awang Sariyan. 2000. Warna dan Suasana Perancangan Bahasa Melayu di Malaysia. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Bastardas-Boada, A. 2000. “Language planning and language ecology: Towards a theoretical integration”, dalam Symposium 30 Years of Ecolinguistics, Graz, Austria. Cobarrubias, J. dan Fishman, J. Ed.. 1983. Progress in language planning: “International perspectives.” The Hague: Mouton. Collins, J.T. 1998. Malay, World Language: A Short History, 2nd Edition. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Cooper, R. L. Language Planning and Social Change. New York: Cambridge University Press, 1989. Crystal, D. 2003. English as a Global Language, 2nd ed., Cambridge: Cambridge University Press. Eastman, C. 1983. Language Planning: An Introduction. San Francisco: Chandler and Sharp Publishers, Inc. Edwards, J. 1985. Language, Society and Identity. Oxford: Basil Blackwell. Ferguson, C. A. 1977. “Language Planning Processes” dalam Language Planning Processes. Ed. Rubin et al. Ferguson, G. 2006. Language Planning and Education. Edinburgh: Edinburgh University Press. Fishman, J. A. 1971. “The Impact of Nationalism on Language Planning,” dalam Can Language Be Planned? Rubin dan Jernudd Ed.. 12 Gordon, R.G., Jr. Ed.. 2005. Ethnologue: Languages of the World, Fifteenth edition. Dallas, Tex.:SIL International. Online version: http:www.ethnologue.com . Hassan Ahmad. 1988. Bahasa Sastera Buku: Cetusan Fikiran Hassan Ahmad. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Hassan Ahmad. 2009. Ke Luar Jendela. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Mccrum, R., Cran, W. dan Macneil, R. 1986. The Story of English. New York: Viking. Moeliono, Anton M. 1994. “Indonesian language development and cultivation”, dalam Abdullah Hassan Ed. hlm 195-213. Norrby, C. dan Hajek, J Ed. 2011. Uniformity and Diversity in Language Policy: Global Perspectives Multilingual Matters. Bristol: Multilingual Matters. Oakes, L. 2001. Language and National Identity: Comparing France and Sweden. AmsterdamPhiladephia: John Benjamins. Pennycook, A. 2006. Global Englishes and Transcultural Flows. London: Routledge. Phillipson, R. 1992. Linguistic Imperialism. Oxford: Oxford University Press. Raja Mukhtaruddin bin Raja Mohd. Dain. 1982. Pembinaan Bahasa Melayu: Perancangan Bahasa di Malaysia. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Rubin, J. dan Jernudd, B.H. Ed.. 1971. Can Language Be Planned? Hawaii: The University Press of Hawaii. Rubin, J., Jernudd, B.H., Das Gupta, J., Fishman, J.A. dan Ferguson, C.A. Ed.. 1977. Language Planning Processes. The Hague: Mouton Publishers. Simpson, A. Ed. 2007. Language and National Identity in Asia. Oxford: Oxford University Press. 1 Sub-tema: Point 1: Bahasa Indonesia sebagai Penghela Ilmu Pengetahuan dan Wahana Ipteks METABAHASA TENTANG BAHASA INDONESIA SEBAGAI TEKS STANISLAUS SANDARUPA FAKULTAS ILMU-ILMU BUDAYA UNIVERSITAS HASANUDDIN Abstrak Makalah ini membahas sejumlah konsep metabahasa Bahasa Indonesia yang didasarkan pada kekuatan refleksif bahasa seperti metabahasa, metasemantik dan metapragmatik. Tujuannya ialah membangun Bahasa Indonesia ilmiah di bidang teks. Teori yang dipakai ialah teori teks semiotik yang sudah berkembang pesat. Ia berargumentasi pada teori linguistik struktural dan melihat bahasa sebagai suatu sistem terbuka. Konsep-konsep yang dikembangkan memperlihatkan hubungan teks-konteks, dan dibedakan tiga tingkat teks: teks denotasi, teks interaksional dan teks mediasi. Ketiganya memberi ruang pada kegiatan penutur sebagai agen. Teks denotasi berhubungan dengan konsep kotekstualitas, kontekstualisasi dan entekstualisasi. Teks interaksional adalah teks relasi sosial yang dibangun dalam berteks denotasi. Kedua teks dihubungkan oleh teks mediasi semiotik. Teori mediasi eklektik karena ditunjang teori percakapan emergent structure dan teori sastra dialogisme tentang voice serta teori puitik. Struktur kotekstualitas kohesif mengindeks interpretasi konteks yang relevan. Inilah tanda indeksikal yang memberikan dasar empiris kepada analis untuk menghubungkan bahasa dan konteks budaya, ritual, sastra, sosial politik. [refleksif, metabahasa, agen, semiotik, indeksikalitas, kontekstualisasi, entekstualisasi, teks denotasi, teks interaksional, konteks, performativitas, emergent strutcture, struktur puitik] 1. Pengantar Penetapan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa untuk memakai skema pembelajaran Bahasa Indonesia berbasis teks dan genre dalam Kuriklum 2013 sudah berada pada jalur benar. Dalam hal ini bahasa Indonesia telah memasuki perkembangan pesat dan menempuh jalur yang sudah benar. Persoalannya sekarang ialah bagaimana membagun sebuah metabahasa ilmiah sistematis untuk membahas bahasa Indonesia sebagai teks dan konsekuesi apa yang terjadi dengan mengambil pandangan tersebut? Persoalan utama inilah yang hendak dibahas dalam makalah. Untuk membangun metabahasa demikian dikemukakan di sini teori teks semiotik Silverstein 2001 yang sudah berkembang pesat di bidang antropologi linguistik. Teori ini berpusat pada kekuatan refleksif bahasa: metalinguitik, metasemantik, dan metapragmatik. Teori ini berargumentasi melawan teori bahasa linguistik murni yang memokuskan perhatian pada hubungan internal elemen-elemen bahasa seperti yang dianjurkan Saussure Saussure 1966 [1959] dan Chomsky Chomsky 1965. Dari sudut sejarah perkembangan ide, teori 2 teks ini berkembang dari Boas Boas 1966 [1911], Sapir-Whorf Sapir 1921; Whorf 1956, sampai ke teori semiotik Peirce Peirce 1940[1955] dan teori fungsi puitik Jakobson. Teori semiotik khususnya indeks telah dikembangkan Silverstein menjadi teori indeksikalitas Silverstein 1984; Silverstein 1987; Silverstein 1998a; Silverstein 1976; Silverstein 1993; Silverstein 1998b; Silverstein 2003. Dalam membangun metabahasa tentang Bahasa Indonesia sebagai teks, pembahasan difokuskan pada hubungan teks dan konteks. Dalam sejarah ide, pendekatan terhadap teks terkadang direduksi ke tingkat langue. Sebaliknya, terkadang pembahasan berpusat pada tingkat konteks sehingga aspek pragmatisme yang mendominasi. Kesulitan utama terletak pada pemisahan kedua tingkat itu. Kedua, kalaupun keduanya dipertimbangkan, tidak ada upaya menghubungkannya. Menyelesaikan kesulitan-kesulitan itu merupakan fokus pembahasan makalah ini. Teori ini membedakan tiga tingkat teks yaitu teks denotasi, teks interaksional dan teks mediasi. Tujuannya untuk membangun model refleksif bahasa yang mengatur kehidupan sosial.

2. Teks denotasi

Teks denotasi adalah teks yang terdiri atas ujaran atau sekelompok ujaran yang menjawab pertanyaan ’apa yang dikatakan’ penutur. Dalam pendekatan ini, analisis teks difokuskan pada struktur suatu ujaran. Ujaran disebut kalimat teks, suatu representasi denotasi dimana bahasa dipakai untuk berbicara tentang sesuatu. Ia merupakan suatu penjelasan tentang atau suatu karakterisasi benda-benda di dunia. Suatu kalimat teks mengandung sebuah proposisi. Bagi paradigma struktural, inilah aspek teks terpenting. Bahasa berfungsi sebagai sistem representasi. Tata bahasa menghubungkan makna proposisi dengan bentuk gramatikal sehingga ada hubungan langsung antara kalimat abstrak dengan ujaran. Seperti yang sudah diketahui pemokusan pada aspek proposisi mempunyai kelemahan karena mereduksi bahasa ke aspek langue Saussure. Dapat dikatakan pandangan demikian meniadakan sifat dasar bahasa yang relasional. Bahwa bahasa adalah teks yang berhubungan dengan konteks. Bahwa di samping aspek proposisional ada fungsi-fungsi pragmatis lain bahasa. Namun demikian, pemokusan pada struktur demikian tidak disangkal pentingnya. Ia merupakan satu fungsi penting bahasa. Hanya dikatakan bahwa struktur itu hanya merupakan salah satu saja. Dalam berbahasa, penutur juga memakai struktur lain. Karena itu dalam pedekatan ini, analisis kalimat-kalimat teks dilakukan melampaui makna relasi sense relation. Itu berarti perhatian ditujukan pada struktur tematis dan strktur informasi Halliday 1985. Dengan demikian teks denotasi memandang kalimat teks sebuah representasi proposisional, suatu cara mengkomunikasikan informasi tentang keadaan atau hal-hal di luar bahasa. Hal-hal itu adalah acuan atau denotata. Untuk hal demikian perhatian diarahkan pada pemakaian berbagai modalisasi, pemarkah daya ilokusi, pemarkah sikap proposisonal, pemarkah epistemis seperti kebenaran nomik. Hal ini berkaitan dengan status pragmatik ujaran-ujaran kita yaitu pilihan-pilihan penutur dalam mengadaptasi ujaran-ujarannya pada konteks. Dalam berkomunikasi dengan orang lain kita sebagai penutur selalu memperhatikan dua hal 1 mempertimbangkan keadaan mental pendengar, misalnya apa yang mereka sudah ketahui, apa yang sedang mereka perhatikan, apa yang menarik mereka dan lain-lain dan 2 membangun pesan kita yang berpengaruh pada 3 pendengar sesuai dengan yang kita inginkan. Misalnya, kita menekankan apa yang kita inginkan pendengar perhatikan dan lain-lain Payne 1997. Hal itu muncul dalam: 1 Topikalisasi, yaitu bagaimana memperkenalkan sesuatu untuk penciptaan teks denotasi yang koheren yang akan menjadi topik, suatu hal di mana semua informasi berpusat. 2 Pemarkah topik. Sesuatu yang ditandai sebagai topik yang berlangsung beberapa lama dalam interaksi. Karena berlangsung lama pendengar diingatkan tentang sesuatu sebagai topik. Hal ini berkaitan dengan struktur informasi, tema-rema, informaisi tema-rema. 3 Informasi fokus. Hal ini memperlihatkan bahwa teks denotasi merupakan sebuah struktur yang berkelanjutan dalam interaksi diskursif. Patut diketahui bahwa konsep struktur – struktur gramatikal – hanya satu dari struktur dalam fenomena bahasa sebagai teks. Pandangan ini dapat ditemukan dalam karya Halliday yang membahas klausa sebagai message struktur informasi, klausa sebagai pertukaran grammar dan klausa sebagai representasi struktur logis Halliday 1985. Selain itu dibedakan lagi suatu struktur yang bermain menghubungkan antara teks dan konteks lihat di bawah poin 4. Karena itu pendekatan terhadap bahasa tidak tepat didominasi struktur dengan fungsi deskriptif karena terdapat pula fungsi indeksikal non- deskriptif dan struktur yang bermain dalam membangun konteks yang relevan menentukan interpretasi yang tepat. Misalnya, kata-kata deiktik orang ’saya’, tempat ’di sini, di sana’, waktu ’hari ini’ dan lain-lain. Maknanya baru diketahui setelah konteks diketahui. Singkatnya, teks denotasi dikonstruksi dalam pemahaman sebagai koherensi dan kotekstualitas.

2.2 Konteks

Memandang bahasa sebagai teks mengharuskan adanya konsep lain yaitu konteks. Kata konteks berasal dari bahasa Latin cum dan texto, yang berarti ’yang menyertai teks’. Dalam sejarah perkembangan ide, analisis genre dan simbol mengalami banyak masalah. Ada kelompok analis yang memperlakukan teks sebagai objek tertutup dan terbatas. Teks dipisahkan dari konteks baik sosial maupun kultural. Bauman dan Briggs mengutip contoh-contoh dari pendekatan Blackburn dan Limon serta Young. Untuk Blackburn, ‘performance studies seem too much concerned with context and too little concerned with textual detail’ studi performans tampaknya terlalu menyibukkan diri dengan konteks dan sedikit tentang detil tekstual. Dengan kata lain dia menginginkan analisis performans berfokus pada teks. Pada pihak lain Limon Young serta Bronnner berargumentasi bahwa ‘performance approaches are too caught up in poetics to be able discern broader social and political contexts’ pendekatan-pendekatan performans terlalu berpusat pada puitik sehingga tidak mampu membahas konteks sosial dan politik yang lebih luas Bauman and Briggs 1990, 67. Masalah hubungan teks – konteks ini sebenarnya menyuarakan kembali permasalahan antara semantik dan pragmatik, kalimat dan ujaran, langue dan parole atau yang dalam makalah ini diungkapkan dalam istilah lain yaitu teks denotasi dan teks interaksional. Kedua pandangan yang saling bertentangan ini memperlihatkan adanya pemisahan antara teks dan konteks. Dari pandangan demikian banyak lagi masalah yang muncul seperti ketercakupan inclusiveness dan objektivitas objectivity. Ia dapat mencakup banyak hal dan melingkupi banyak deskripsi objektif yang berkaitan dengan ujaran-ujaran Bauman and Briggs 1990.