Pengantar Kumpulan Makalah KBI X subtema 1 0 Bahasa Indonesia sebagai Penghela Ilmu Pengetahuan dan Wahana Ipteks

H lm . | 3 Catatan-catatan di atas juga menyiratkan bahwa permasalahan dunia penerjemahan kita tampaknya bermuara dari kebijakan penerjemahan pendidikan secara umum, dan kompetensi penerjemah secara khusus. Untuk yang disebut pertama, tampaknya kita harus sedikit menelusuri sejarah penerjemahan kita sendiri untuk melihat bagaimana kita, dari dulu hingga kini, memandang bidang penerjemahan sekaligus meletakkannya di dalam konstelasi pengembangan peradaban bangsa. Kemudian, mengenai kompetensi penerjemah serta kualitas terjemahan, baru-baru ini, di sebuah ruang media sosial twitter, penulis sengaja mem-posting sebuah kicauan: “Bagaimana menjadi seorang penerjemah yang baik?” Salah satu tanggapan cukup menarik: “excellent linguistic flair, good translation skills, rich translating experiences, good research skills and PASSION.” Dengan kata lain, suatu kualitas karya terjemahan yang unggul dapat dicapai cukup jika penerjemah memiliki pengetahuan linguistik yang mumpuni, pengalaman menerjemahkan yang luas, kemauan dan kemampuan melakukan penggalian informasi, dan disertai ketertarikan menerjemahkan yang kuat. Tampaknya, tanggapan tersebut mewakili konsepsi umum tentang kompetensi yang diperlukan penerjemah agar mampu menghasilkan karya terjemahan yang berkualitas. Yang menarik di sini ialah tanggapan itu terkesan meminggirkan penguasaan teks bidang wacana terjemahan serta terlalu mengistimewakan penguasaan ilmu bahasa linguistik. Kendati, senyatanya, memang demikianlah yang dikehendaki buku-buku teori penerjemahan yang kita pegang; bahwa profisiensi dalam dua-bahasa menjadi syarat pertama untuk menjadi penerjemah. Konsekuensinya, kuat anggapan bahwa seseorang yang menguasai dua bahasa secara otomatis dapat menerjemahkan dengan baik pula. Bagi penulis, konsepsi ini perlu ditinjau ulang karena kurang tepat, jika bukan salah kaprah. Siapa tahu? Penerjemahan itu maha penting, dan lantaran itu perlu digerakkan. Pentingnya penerjemahan terhadap pembangunan bangsa juga cukup jelas. Penerjemahan berguna untuk menyebarkan ilmu pengetahuan dan informasi, melindungi dan memperkaya bahasa secara lebih khusus, serta mempunyai peranan yang sangat penting dalam komunikasi interlingual Nababan, 2008:4. Dari kacamata Yusuf 1994:31, kegiatan penerjemahan “…dapat menambah dan memperkaya budaya serta merangsang kemajuan peradaban bangsa. Kemajuan peradaban ini tidak saja diartikan sebagai upaya maksimum manusia untuk memenuhi keperluan sehari-hari dan kenyamanan hidup lainnya, tetapi juga mempunyai arti penyempurnaan ilmu, pemikiran, dan kecerdasan yang akan mengangkat kehidupan manusia ke derajat yang lebih tinggi. Suatu bangsa yang beradab ialah bangsa yang tidak hanya memperoleh kemakmuran dalam bidang kebendaan, tetapi juga yang memperkembang nilai intelektual dan spiritual.” Beranjak dari situ, pertanyaan yang perlu diajukan ialah apa yang sudah, sedang, dan seharusnya kita lakukan untuk menggerakkan dunia penerjemahan kita yang selama dua dekade terakhir ini stagnan, jika bukan merosot kualitasnya? Tulisan ini dimaksudkan untuk mengikhtisarkan gerak penerjemahan sebagaimana yang dilakukan pada masa lalu, memaparkan sekaligus mengomentari kegiatan dan praktik penerjemahan kita seiring waktu berjalan, serta kemudian menawarkan gagasan tentang dunia penerjemahan: Quo Vadis? Atau, hendak ke mana akan kita bawa dunia penerjemahan kita?

II. Bermula dari Parwa

Dalam sebuah diskusi penerjemahan, Chambert-Loir mengemukakan ada tiga periode besar dalam sejarah penerjemahan kita, yakni penerjemahan zaman Hindu-Budha H lm . | 4 dipengaruhi oleh bangsa India, penerjemahan zaman masuknya ajaran Islam dipengaruhi oleh kebudayaan Arab, dan penerjemahan zaman kolonial dipengaruhi oleh bangsa Eropa. 7 Pertama, sejarah sastra kita bermula dari kitab-parwa, bersumber dari India. Di dalam KBBI versi daring, parwa disebutkan “bagian dari kitab”. Istilah yang berakar dari bahasa Sanskerta ini lebih sering diidentikkan dengan bagian-bagian kitab Mahabharata. Istilah ini sangat penting terhadap khazanah penerjemahan kita, sebab, boleh dikatakan, ia merupakan salah satu tonggak bermulanya sejarah penerjemahan resmi di Nusantara. Catatan soal ini dapat dikonfirmasi pada penelitian yang dilakukan oleh Soepomo, “Men-Jawa-kan Mahabharata”. 8 Di dalam penelitiannya, Supomo mengutarakan bahwa 14 Oktober 996 merupakan hari yang sangat penting, kalau bukan yang terpenting, dalam sejarah penerjemahan karya asing di Indonesia. Sebab, pada hari itulah untuk pertama kalinya berlangsung acara pembacaan Wirataparwa, buku pertama yang dapat diselesaikan dalam suatu proyek penerjemahan kitab Mahabharata ke dalam bahasa Jawa Kuna. 9 Bahkan, yang lebih penting lagi ialah bahwa “penerjemahan” itu sebegitu kuatnya sehingga tidak hanya memperkaya kosa kata Jawa Kuno, tetapi sekaligus menjadi pemicu lahirnya karya-karya berikutnya. 10 Periode berikutnya ialah masuknya pengaruh kebudayaan Arab. Kajian Braginsky memberi kita informasi bahwa sejak abad ke-14 dan terutama sejak abad ke-16 – ke-17 terjadi proses arabisasi, yang di dalamnya tasawuf memainkan peran penting dalam perkembangan sejarah, agama, dan kebudayaan di kepulauan Sumatera Melayu-Indonesia. Berbeda dengan penerjemahan periode pertama, penerjemahan Arab umumnya cenderung mempertahankan bentuk asli kendati secara konten banyak disesuaikan dengan situasi setempat. Menurut Jedamksi, para penerjemah zaman itu bahkan “mengembangkan” teks asli secara kreatif. Ada beberapa istilah penerjemahan yang lazim digunakan pada zaman itu, yaitu tersalin juga disalin, terkarang written, composed, ditjeritakan narrated, terkoetip copied, excerpted, quoted, ditoeroenkan passed on, generated from, dibahasamelajoekan, ditoetoerkan arranged, dan dioesahakan organized, worked. 11 Kemudian, periode besar ketiga ialah penerjemahan zaman kolonial serta awal bermulanya sastra modern Indonesia. Pada periode ini aktivitas penerjemahan cukup menggeliat. Pada zaman itu penerjemah-penerjemah Belanda, Tionghoa, serta belakangan pengarang-pengarang Indonesia banyak, jika bukan sebagian besar, “menerjemahkan” karya- karya bangsa Eropa Barat, sehingga tak mengherankan sastra modern Indonesia dipengaruhi kuat oleh kebudayaan Barat. 12 Jedamski mengutarakan bahwa jauh-jauh masa sebelumnya pemerintah kolonial Belanda juga memberikan perhatian khusus pada bidang penerjemahan, 7 Lih. “Tantangan Buku-Buku Terjemahan di Indonesia” dalam http:tembi.orgcover2011-0307- Tantangan_Buku-Buku_Terjemahan_di_Indonesia.htm, dibaca pada 21 Juli 2013; untuk pembahasan lebih jauh, lih. jg Chambert-Loir 2009 8 Lih. Chambert-Loir 2009:933-946. 9 Lih. juga, Supomo, S. “Old Javanese Literature,” dalam McGlynn 2001:18-19. 10 Menurut Supomo, pentingnya parwa-parwa terjemahan tersebut terhadap perkembangan Sastra Jawa Kuna, dan kebudayaan Jawa pada umumnya, terbukti jelas pada kenyataan bahwa sastra-sastra terjemahan itu kemudian menjadi sumber utama bagi penulisan kakawin dan cerita-cerita wayang. Catatan ini bersejalan dengan catatan-catatan pakar lain yang menyatakan bahwa epos Mahabharata telah mampu menancapkan pengaruh yang kuat dan besar terhadap sastra Jawa segala periode Pigeaud, 1967:117; Gonda, 1973; Zoetmulder, 1983:10-20 via Harahap, “Khazanah Penerjemahan: Ragam Suara dalam Sastra-Parwa,” dimuat dalam Prosiding Seminar Diskusi Ilmiah Kelompok Peneliti Kebahasaan dan Kesastraan di Lingkungan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa 2012:177-196. 11 Lih. Jedamski, “Translation in the Malay World: Different Communities, Different Agendas” dalam Eva Hung 2005:209-243. 12 Untuk diskusi lebih mendalam tentang pokok ini, lih. Jedamski, “Terjemahan Sastra dari Bahasa-Bahasa Eropa ke dalam Bahasa Melayu sampai tahun 1942,” dalam Chambert-Loir 2009:171-203.