Daftar Pustaka Alwasilah, A. Chaedar. 2012. Pokoknya Rekayasa Literasi. Bandung: PT

14 Mendiknas. 2009. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional. Musthafa, Bachrudin. 2008. Dari Literasi Dini ke Literasi Teknologi. Jakarta: Cahaya Insan Sejahtera. Othman, Yahya.; Baki, Roselan.; Mat, Naffi. 2009. Pemerkasaan Bahasa Melayu: dari Teori ke Praktik. Selangor: UNIPRESS PRINTER SDN. Prasetyo, Eko. 2013. Keterampilan Berbahasa Tepat Memilih Kata: Kasus Kebahasaan di Sekitar Kita. Jakarta: PT Indeks. Putrayasa, Ida Bagus. 2007. Kalimat Efektif Diksi, Struktur, dan Logika. Bandung: PT Refika Aditama. Putrayasa, Ida Bagus. 2008. Kajian Morfologi Bentuk Derivasional dan Infleksional. Bandung: PT Refika Aditama. Rahardi, Kunjana. 2006. Dimensi-dimensi Kebahasaan: Aneka Masalah Bahasa Indonesia Terkini. Jakarta: Penerbit Erlangga. Ramlan, M. 2008. Kalimat, Konjungsi, dan Preposisi Bahasa Indonesia dalam Penulisan Karangan Ilmiah. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma. Rosidi, Ajip. 2010. Bus, Bis, Bas: berbagai Masalah Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya. Sembok, Tengku Mohd Tengku. 2007. Bahasa, Kecerdasan, dan Makna: Sekitar Capaian Maklumat. Bangi: Universiti Kebangsaan Malaysia. Sudarman.; Zulianto, Sugit.; Jamiluddin.; Rede, Amram.; Harun, Abduh. 2011. Pemetaan Kompetensi Hasil Ujian Nasional dan Model Pengembangan Mutu Pendidikan SMA di Kabupaten Parigi Moutong dan Poso Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2011. Laporan penelitian tidak diterbitkan. Palu: Lembaga Penelitian Univeristas Tadulako. Suherdi, Didi. 2012. Rekonstruksi Pendidikan Bahasa: sebuah Keniscayaan bagi Keunggulan Bangsa. Bandung: CELTICS Press. Suparno. dan Yunus, Muhamad. 2007. Keterampilan Dasar Menulis. Jakarta: Penerbit Universitas Terbuka. Suwignyo, Heri. dan Santoso, Anang. 2008. Bahasa Indonesia Keilmuan berbasis Area Isi dan Ilmu. Malang: UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang. Syahroni, Ngalimun.; Dewi, Dwi Wahyu Candra.; Mahmudi. 2013. Bahasa Indonesia di Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Aswaja Pressindo. Tony. dan Buzan, Barry. 2004. Memahami Peta Pikiran. Terjemahan oleh Alexander Sindoro. Batam: Interaksara. Usman, Ilman. 2013. Wawancara tentang Mutu Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sulteng. Palu: MGMP Bahasa Indonesia Kota Palu. Wahyuni, Sri. dan Ibrahim, Abd. Syukur. 2012. Asesmen Pembelajaran Bahasa. 1 PENERJEMAHAN KITA: QUO VADIS? Tamam Ruji Harahap Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Abstrak Penerjemahan bukan semata sebuah proses pengalihan antarbahasa. Penerjemahan jauh lebih kompleks dari sekadar mengubah teks bahasa sumber ke dalam teks bahasa sasaran. Kompetensi penerjemah terutama sekali memerlukan pemahaman wacana yang kuat serta kemampuan menulis yang andal. Ada tiga tujuan utama tulisan ini: pertama, merefleksikan pengalaman penerjemahan kita ini sejak dulu hingga kini; kedua, memaparkan serta mengomentari kegiatan penerjemahan kita mutakhir ini, dan; ketiga memberi catatan-catatan yang dipandang perlu terhadap arah kebijakan dan orientasi penerjemahan kita sekarang dan masa yang akan datang. Simpulan tulisan ini adalah bahwa stagnasi atau bahkan kemerosotan kegiatan penerjemahan kita dekade-dekade terakhir ini perlu segera diatasi dengan a perencanaan penerjemahan secara bertujuan dan berkelanjutan dengan cara membangun kerja sama antarinstansi; b mulai menanamkan budaya menerjemahkan dengan cara menggalakkan budaya membaca pengetahuan kontekstual dan menulis penguasaan bahasa Indonesia; c mengubah pola penerjemahan yang selama ini cenderung menggunakan metode berorientasi-linguistik gramatika, dan; d reorientasi kompetensi penerjemah dari basis lulusan bahasa asing ke lulusan program disiplin ilmu. Upaya ini perlu segera dilaksanakan dengan tujuan a menyerap dan menyebarkan ilmu pengetahuan dan teknologi ke seluruh lapisan masyarakat, dan b melindungi bahasa Indonesia dari daya imperialis bahasa asing Inggris. Kata kunci: penerjemahan, kualitas terjemahan, kompetensi, bahasa asing, dua-bahasa, budaya membaca H lm . | 2

I. Pengantar

“ Kita sebenarnya dihadapkan dengan suatu dilema….para mahasiswa diwajibkan membaca buku acuan reference books yang ditulis dengan bahasa Inggris karena buku Indonesia belum mencukupi jumlah dan mutu. Kenyataannya ialah bahwa mereka tidak membaca buku Inggris itu karena pengetahuan bahasanya tidak memadai. Agar pengetahuan itu ditatarkan, maka harus diadakan pengintensifan pendidikan bahasa Inggris… Dengan meningkatkan pengajaran bahasa Inggris itu kedudukan bahasa Indonesia akan terdesak, sekalipun patriotisme kita akan mengakui kepahitan ini. Manakah jalan lepasnya? ” Potongan paragraf di atas dikutip dari salah satu artikel dalam buku Kembara Bahasa 1989, 1 ditulis Anton Moeliono 2 lebih dari dua puluh tahun lalu. Saya sengaja mengutipnya untuk dijadikan sebagai lensa dalam menyoroti permasalahan penerjemahan di Indonesia dan sebagai dasar pijak perlunya menggerakkan kegiatan penerjemahan. Sekadar membandingkan, sepuluh tahun lalu, Tuntun Sinaga memberi catatan konstruktif mengenai urgensi serta pentingnya pengupayaan penerjemahan buku-buku referensial dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan di Indonesia. 3 Alasan yang dikemukakan ialah bahwa kurangnya penerjemah yang andal dan mumpuni dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan menyebabkan pembelajar lebih memilih sumber acuan bahasa asing. Pada tahun yang sama, Alfons Taryadi kembali mengingatkan tentang pentingnya pemerintah, dengan cara bekerja sama dengan lembaga-lembaga terkait, untuk menggerakkan dan menggalakkan penerjemahan. 4 Sekitar dua tahun lalu, dalam sebuah diskusi yang membahas tantangan dunia penerjemahan di Indonesia, Chambert-Loir memberi catatan lain, yang antara lain menekankan pentingnya meningkatkan peran pendidikan di bidang penerjemahan. Bahkan, dengan tajam Chambert-Loir menyambat praktik penerjemahan di Indonesia yang selama ini berorientasi pasar, alias demi keuntungan penerbit semata, yang sebagai akibatnya, menurutnya, buku yang dipilih untuk diterjemahkan pun umumnya bukan yang paling berguna, tetapi yang paling laku. 5 Catatan-catatan di atas dikemukakan, setidaknya, untuk melihat bagaimana realitas dan gerak dunia penerjemahan kita selama lebih dari dua puluh tahun terakhir ini. Kendati, barangkali, bukti-bukti lain dapat diajukan untuk membantahnya, sulit memungkiri bahwa gerak dunia penerjemahan kita belakangan cukup stagnan, meskipun secara kuantitas sedikit ada peningkatan. Catatan-catatan itu juga mengonfirmasi pandangan-pandangan yang luas diwacanakan masyarakat, bahwa dunia penerjemahan kita sekarang ini banyak ngawurnya. 6 Pembuktian lain? Kita hanya perlu sebentar berselancar di dunia maya dan mencari tulisan- tulisan mengenai penilaian karya-karya terjemahan di Indonesia, khususnya karya-karya terjemahan dua dekade belakangan ini, niscaya pandangan atas kengawuran itu terkukuhkan. 1 Lih. Anton Moeliono, “Beberapa Aspek Masalah Penerjemahan ke Bahasa Indonesia,” dalam Moeliono 1989:54-63. 2 Almarhum; kiranya Tuhan Yang Kuasa menempatkan Beliau di sisi-NYA, Amin. 3 Lih. “Prospek, Hambatan dan Komitmen”, sebuah makalah yang disajikan pada Kongres Nasional Penerjemahan, di Tawangmangu, Solo 15—16 September 2003. Diunduh dari http:mayantara.sch.idartikelpenerjemahan-buku-teks-di-indonesia.htm, pada tanggal 21 Juli 2013. 4 Lih. Alfons Taryadi, “Kualitas Terjemahan, Siapa Bertanggung jawab?” Sari makalah yang disajikan dalam diskusi Himpunan Penerjemah Indonesia, 11 Oktober 2003, di Pusat Bahasa, Depdiknas, Rawamangun, Jakarta. Diunduh dari http:aziz.byethost3.com pada 14 Agustus 2013. 5 Lih. “Tantangan Buku-Buku Terjemahan di Indonesia” dalam http:tembi.orgcover2011-0307- Tantangan_Buku-Buku_Terjemahan_di_Indonesia.htm, dibaca pada 21 Juli 2013, pukul 02.30 WIB. 6 Mengamini penilaian Alfons Taryadi, sebagaimana dikatakan oleh Benny Hoed dalam “Tentang Penerjemah”, dimuat dalam http:penerjemah.setneg.go.idartikeldetil111027-tentang-penerjemah. H lm . | 3 Catatan-catatan di atas juga menyiratkan bahwa permasalahan dunia penerjemahan kita tampaknya bermuara dari kebijakan penerjemahan pendidikan secara umum, dan kompetensi penerjemah secara khusus. Untuk yang disebut pertama, tampaknya kita harus sedikit menelusuri sejarah penerjemahan kita sendiri untuk melihat bagaimana kita, dari dulu hingga kini, memandang bidang penerjemahan sekaligus meletakkannya di dalam konstelasi pengembangan peradaban bangsa. Kemudian, mengenai kompetensi penerjemah serta kualitas terjemahan, baru-baru ini, di sebuah ruang media sosial twitter, penulis sengaja mem-posting sebuah kicauan: “Bagaimana menjadi seorang penerjemah yang baik?” Salah satu tanggapan cukup menarik: “excellent linguistic flair, good translation skills, rich translating experiences, good research skills and PASSION.” Dengan kata lain, suatu kualitas karya terjemahan yang unggul dapat dicapai cukup jika penerjemah memiliki pengetahuan linguistik yang mumpuni, pengalaman menerjemahkan yang luas, kemauan dan kemampuan melakukan penggalian informasi, dan disertai ketertarikan menerjemahkan yang kuat. Tampaknya, tanggapan tersebut mewakili konsepsi umum tentang kompetensi yang diperlukan penerjemah agar mampu menghasilkan karya terjemahan yang berkualitas. Yang menarik di sini ialah tanggapan itu terkesan meminggirkan penguasaan teks bidang wacana terjemahan serta terlalu mengistimewakan penguasaan ilmu bahasa linguistik. Kendati, senyatanya, memang demikianlah yang dikehendaki buku-buku teori penerjemahan yang kita pegang; bahwa profisiensi dalam dua-bahasa menjadi syarat pertama untuk menjadi penerjemah. Konsekuensinya, kuat anggapan bahwa seseorang yang menguasai dua bahasa secara otomatis dapat menerjemahkan dengan baik pula. Bagi penulis, konsepsi ini perlu ditinjau ulang karena kurang tepat, jika bukan salah kaprah. Siapa tahu? Penerjemahan itu maha penting, dan lantaran itu perlu digerakkan. Pentingnya penerjemahan terhadap pembangunan bangsa juga cukup jelas. Penerjemahan berguna untuk menyebarkan ilmu pengetahuan dan informasi, melindungi dan memperkaya bahasa secara lebih khusus, serta mempunyai peranan yang sangat penting dalam komunikasi interlingual Nababan, 2008:4. Dari kacamata Yusuf 1994:31, kegiatan penerjemahan “…dapat menambah dan memperkaya budaya serta merangsang kemajuan peradaban bangsa. Kemajuan peradaban ini tidak saja diartikan sebagai upaya maksimum manusia untuk memenuhi keperluan sehari-hari dan kenyamanan hidup lainnya, tetapi juga mempunyai arti penyempurnaan ilmu, pemikiran, dan kecerdasan yang akan mengangkat kehidupan manusia ke derajat yang lebih tinggi. Suatu bangsa yang beradab ialah bangsa yang tidak hanya memperoleh kemakmuran dalam bidang kebendaan, tetapi juga yang memperkembang nilai intelektual dan spiritual.” Beranjak dari situ, pertanyaan yang perlu diajukan ialah apa yang sudah, sedang, dan seharusnya kita lakukan untuk menggerakkan dunia penerjemahan kita yang selama dua dekade terakhir ini stagnan, jika bukan merosot kualitasnya? Tulisan ini dimaksudkan untuk mengikhtisarkan gerak penerjemahan sebagaimana yang dilakukan pada masa lalu, memaparkan sekaligus mengomentari kegiatan dan praktik penerjemahan kita seiring waktu berjalan, serta kemudian menawarkan gagasan tentang dunia penerjemahan: Quo Vadis? Atau, hendak ke mana akan kita bawa dunia penerjemahan kita?

II. Bermula dari Parwa

Dalam sebuah diskusi penerjemahan, Chambert-Loir mengemukakan ada tiga periode besar dalam sejarah penerjemahan kita, yakni penerjemahan zaman Hindu-Budha