Perbedaan Metode Ceramah dan Leaflet Terhadap Skor Pengetahuan Santriwati Tentang Pedikulosis Kapitis di Pondok Pesantren Al-Mimbar Sambongdukuh Jombang

(1)

(2)

(3)

iii

SYARIF HIDAYATULLAH STATE ISLAMIC UNIVERSITY OF

JAKARTA

Undergraduate Thesis, June 2015 Hanik Fadilah, NIM: 1111104000057

The Differences in Methods of Lecture and Leaflets Against Santriwati Knowledge Score of Pediculosis Capitis in Al-Mimbar Islamic Boarding School Sambongdukuh Jombang

xvi + 47 pages + 6 tables + 2 figures + 2 schemes + 11 appendixes

ABSTRACT

Background. Treatment of pediculosis capitis should be granted because it can cause a variety of problems, but the provision of treatment without providing health education about pediculosis capitis will not prevent re-infestation of head lice. one of method of health education that suitable to apply in large groups are lectures and leaflets.

Purpose. The aim of this research was to determine the differences in methods of lecture and leaflet against santriwati knowledge score of pediculosis capitis. Methods. Quantitative analytical research with quasi-experimental design with pretest and posttest control group. Samples of this study were 60 students of Al-Mimbar Islamic Boarding School Sambongdukuh Jombang (total sampling). Data were analysed by Wilcoxon test and Mann Whitney test with statistical application program. Results. There was a significant relationship between the pretest and posttest in lecture and leaflet group with p value <0.001 and there was significant differences between the scores of knowledge posttest between lecture and leaflet group with p value = 0.002. Suggestion. Researchers suggested that boarding school have to take more attention for their student‟s health, especially related to the prevention of infectious diseases such as pediculosis capitis by optimizing the role of local health authorities.

Keywords: Knowledge, Leaflets, Methods Lecture, Pediculosis capitis, Santriwati. References: 47 (2000-2013)


(4)

iv Skripsi, Juni 2015

Hanik Fadilah, NIM: 1111104000057

Perbedaan Metode Ceramah dan Leaflet Terhadap Skor Pengetahuan Santriwati Tentang Pedikulosis Kapitis di Pondok Pesantren Al-Mimbar Sambongdukuh Jombang

xvi + 47 halaman + 6 tabel + 2 gambar + 2 bagan + 11 lampiran ABSTRAK

Latar Belakang. Pengobatan pedikulosis kapitis harus diberikan karena dapat menimbulkan berbagai masalah, namun pemberian pengobatan tanpa memberikan pendidikan kesehatan mengenai pedikulosis kapitis tidak akan mencegah infestasi ulang kutu kepala. Salah satu metode pendidikan kesehatan yang cocok diterapkan dalam kelompok besar adalah ceramah dan leaflet.

Tujuan. Mengetahui perbedaan metode ceramah dan leaflet terhadap skor pengetahuan santriwati tentang pedikulosis kapitis. Metode. Penelitian ini dilakukan di Pondok Pesantren Al-Mimbar Sambongdukuh Jombang. Sampel yang digunakan sebanyak 60 orang (total sampling). Desain penelitian yang digunakan adalah kuantitatif quasi experimental dengan pendekatan pretest and posttest with control group design. Teknik analisa data menggunakan uji Wilcoxon dan uji Mann Withney dengan menggunakan bantuan program aplikasi statistik. Hasil. Terdapat pengaruh yang signifikan antara nilai pretest dan posttest kelompok ceramah dan leaflet dengan p value <0,001 dan terdapat perbedaan yang signifikan antar skor pengetahuan posttest antara kelompok ceramah dan leaflet dengan p value=0,002. Saran. Peneliti menyarankan agar pondok pesantren semakin memperhatikan kesehatan santri didiknya terutama terkait pencegahan penyakit menular seperti pedikulosis kapitis dengan mengoptimalkan peran petugas kesehatan setempat.

Kata Kunci: Leaflet, Metode Ceramah, Pedikulosis Kapitis, Pengetahuan, Santriwati.


(5)

(6)

(7)

(8)

viii

Nama : Hanik Fadilah

Tempat, Tanggal Lahir : Blitar, 5 Desember 1992 Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Status : Belum Menikah

Alamat : Lingkungan Combong RT 01 RW 02 Desa Garum Kecamatan Garum Kabupaten Blitar, Jawa Timur 66182

Nomor HP : +6285692462202

E-mail : hanikfadilah56@gmail.com

Fakultas/Jurusan : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan/Program Studi Ilmu Keperawatan

PENDIDIKAN

1. TK Al-Hidayah Combong 1997-1999

2. MI Ma‟arif Garum 1999-2005

3. MTs Negeri 1 Blitar 2005-2008

4. MA Al-Bairuny Sambongdukuh Jombang 2008-2011 5. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2011-Sekarang ORGANISASI

1. OSIS 2008-2010

2. BEM IK 2012-2015

3. CSS MoRA 2011-Sekarang


(9)

ix

Bismillahhirrahmanirrahim. Alhamdulillah, puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Perbedaan metode ceramah dan leaflet terhadap skor pengetahuan santriwati tentang pedikulosis kapitis di Pondok Pesantren Al-Mimbar Sambongdukuh Jombang”.

Bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak sangat membantu dan berpengaruh pada penulisan skripsi. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada :

1. Dr. H. Arif Sumantri, S.KM, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta jajarannya. 2. Maulina Handayani S.Kp, M.Sc selaku Ketua Program Studi Ilmu

Keperawatan FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang sudah memberikan informasi tentang penulisan skripsi sehingga membuat penulis semangat melakukan penulisan proposal penelitian.

3. Ita Yuanita, S.Kp, M.Kep selaku pembimbing I dan Yenita Agus, M.Kep.,Sp.Mat.,PhD selaku pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk membimbing penulis dengan sabar dan ikhlas sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi. 4. Ns. Waras Budi Utomo, S.Kep, MKM selaku penguji I yang telah bersedia

memberi saran yang membangun demi terbentuknya skripsi ini.

5. Ns. Eni Nur‟aini Agustini, S.Kep, M.Sc selaku Dosen Pembimbing Akademik yang senantiasa memberi arahan, semangat, dan motivasi dari awal perkuliahan sampai saat ini.

6. Pengasuh Pondok Pesantren Al-Mimbar Sambongdukuh Jombang yang telah memberikan izin studi pendahuluan dan penelitian serta memberi kesempatan kepada penulis untuk dapat berkontribusi dalam masyarakat pesantren.


(10)

x menyelesaikan penulisan skripsi ini.

8. Sahabat-sahabat Rumah Jambu yang senantiasa memberikan dukungan dan semangat untuk selalu rajin dan cepat menyelesaikan skripsi.

9. Teman-teman seangkatan PSIK 2011 yang selalu memotivasi.

Atas segala bantuan dan dukungannya, penulis mengucapkan banyak terima kasih. Kritik dan saran sangat diperlukan dalam proposal ini, sehingga penulis dapat memperbaiki dan meningkatkan kualitas skripsi ini. Akhir kata, semoga kita semua diberikan rahmat dan hidayah Allah SWT. Aamiin.

Ciputat, Juni 2015


(11)

xi

Halaman Judul...i

Pernyataan Keaslian Karya...ii

Abstract ...iii

Abstrak ...iv

Pernyataan Persetujuan...v

Lembar Pengesahan... vi

Daftar Riwayat Hidup...viii

Kata Pengantar...ix

Daftar Isi...xi

Daftar Tabel...xiii

Daftar Bagan...xiv

Daftar Gambar...xv

Daftar Lampiran...xvi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...1

B. Rumusan Masalah...3

C. Pertanyaan Penelitian...4

D. Tujuan Penelitian...4

E. Manfaat Penelitian...5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pedikulosis Kapitis...6

B. Pendidikan Kesehatan...11

C. Pengetahuan...17

D. Penelitian Terkait...18

E. Kerangka Teori...20

BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS A. Kerangka Konsep Penelitian...21

B. Definisi Operasional Penelitian...22


(12)

xii

B. Lokasi dan Waktu Penelitian...25

C. Populasi dan Sampel...26

D. Instrumen Penelitian...27

E. Uji Validitas dan Reliabilitas...27

F. Metode Pengumpulan Data...29

G. Metode Analisa Data.... ...31

H. Etika Penelitian...32

BAB V HASIL PENELITIAN A. Analisa Univariat...34

B. Analisa Bivariat...36

BAB VI PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden Berdasarkan Usia dan Kesehatan Kepala Responden...39

B. Pengetahuan Responden...43

C. Keterbatasan Penelitian...44

BAB VII PENUTUP A. Kesimpulan...45

B. Saran...46 Daftar Pustaka


(13)

xiii Tabel 3.2 Definisi Operasional Variabel

Tabel 5.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Usia dan Kesehatan Kepala Tabel 5.2 Gambaran Mean Skor Pengetahuan Responden

Tabel 5.3 Pengaruh Metode Ceramah dan Leaflet Terhadap Skor Pengetahuan

Tabel 5.4 Analisis Beda Rata-Rata Skor Pengetahuan Pretest Kedua Kelompok Tabel 5.5 Analisis Beda Rata-Rata Skor Pengetahuan Posttest Kedua Kelompok


(14)

xiv

Bagan 2.1 Kerangka Teori Penelitian...24 Bagan 3.1 Kerangka Konsep Penelitian...25


(15)

xv

Gambar 2.1 Pediculus humanus capitis...8 Gambar 2.2 Kerucut Edgar Dale (1964) dalam Nursalam (2008)...17


(16)

xvi Lampiran 1. Lembar Informed Consent

Lampiran 2. Kuesioner Pengetahuan Pedikulosis Kapitis Lampiran 3. Lembar Observasi

Lampiran 4. Satuan Acara Pendidikan Ceramah tentang Pedikulosis Kapitis Lampiran 5. Leaflet Pedikulosis Kapitis

Lampiran 6. Surat Izin Uji Reliabilitas Lampiran 7. Surat Izin Penelitian Lampiran 8. Hasil Uji Reliabilitas

Lampiran 9. Rekapitulasi Jawaban Responden Lampiran 10. Hasil Analisa Univariat


(17)

1 A. Latar Belakang

Penyakit menular yang dipengaruhi oleh lingkungan dan perilaku seperti penyakit kulit masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang dominan di lingkungan padat penghuni seperti pondok pesantren (Badri, 2007). Salah satu penyakit kulit yang sering ditemui di pondok pesantren adalah pedikulosis kapitis (infestasi kutu kepala) yang disebabkan oleh Pediculus humanus capitis (kutu kepala) (Bugayong, 2011). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Riswandi pada tahun 1996, prevalensi santri yang mengalami pedikulosis kapitis di dua buah pondok pesantren khusus untuk santri perempuan di Jakarta sebesar 40,2% dan 47,5%, sedangkan penelitian Restiana pada tahun 2010, menunjukan bahwa sebesar 71,3% santri di sebuah pondok pesantren di Yogyakarta terinfestasi kutu kepala (Alatas et al., 2013).

Gulgun (2013) menyebutkan bahwa pedikulosis kapitis terjadi 41 kali lipat lebih sering pada anak perempuan daripada laki-laki dan paling sering ditemukan pada anak usia 9-16 tahun. Kejadian pedikulosis kapitis ini dapat menimbulkan berbagai masalah, mulai dari berkurangnya rasa percaya diri, pandangan sosial yang negatif, kurangnya kualitas tidur, dan gangguan belajar. Oleh karena itu, pengobatan pedikulosis harus diberikan, namun pemberian pengobatan tanpa memberikan pendidikan kesehatan mengenai pedikulosis kapitis tidak akan mencegah infestasi ulang kutu kepala (Alatas et al., 2013).


(18)

Masyarakat yang cenderung berperilaku acuh tak acuh dan kurang perhatian terhadap pemeliharaan kesehatan pribadi masing-masing mencerminkan kurangnya pengetahuan masyarakat tersebut terhadap persepsi sakit dan pengetahuan tentang penyebab dan gejala sakit. Kebiasaan tidak sehat seperti memakai benda pribadi secara bergantian, jika tidak ada pihak yang mengingatkan maka perilaku tidak sehat tersebut akan terus dilakukan dalam kehidupan sehari-hari (Ramdan et al., 2013). Menurut penelitian Haryono et al., (2008) pengetahuan, sikap dan perilaku santri yang diberi intervensi pendidikan kesehatan lingkungan lebih baik dari santri yang tidak diberi intervensi. Salah satu metode pendidikan kesehatan yang cocok diterapkan dalam kelompok besar adalah ceramah, untuk mendukung keberhasilan metode ceramah dapat digunakan suatu media bergerak dan dinamis serta dapat dilihat dan didengar, misalnya powerpoint (Notoatmodjo, 2010). Selain ceramah, metode pendidikan kesehatan yang dapat menjangkau kelompok besar adalah pemberian leaflet (Simamora, 2009). Selain itu menurut Nursalam (2008), jika tujuan pendidikan kesehatan adalah hanya untuk meningkatkan pengetahuan maka metode yang tepat untuk digunakan adalah metode ceramah atau dengan teknik media baca.

Hasil studi pendahuluan dengan metode wawancara di Pondok Pesantren Al-Mimbar Sambongdukuh Jombang terdapat 84% santriwati (54 santriwati dari 64 santriwati) yang mengalami pedikulosis kapitis. Kebiasaan saling meminjam barang pribadi seperti sisir, ikat rambut, kerudung dan mukena yang dapat menjadi sarana perpindahan kutu kepala masih sering dilakukan. Penanganan terkait pedikulosis kapitis yang telah dilakukan santriwati adalah membasmi kutu kepala dengan serit atau dengan tangan saat kepala terasa gatal atau saat ada


(19)

waktu luang. Penanganan serius terhadap pedikulosis kapitis berupa pendidikan kesehatan yang diharapkan dapat mengubah pengetahuan, sikap dan perilaku (Haryono, et al., 2008) pada santriwati belum pernah diberikan oleh pihak pondok pesantren.

Tingkat pedikulosis kapitis pada santriwati Pondok Pesantren Al-Mimbar Sambongdukuh Jombang masih tinggi dan perbedaan pengaruh metode ceramah dan leaflet sebagai metode dan media pendidikan kesehatan yang dapat menjangkau kelompok besar juga belum dibuktikan dalam populasi ini. Dari penjelasan tersebut, peneliti ingin melakukan penelitian tentang perbedaan metode ceramah dan leaflet terhadap pengetahuan santriwati tentang pedikulosis kapitis di Pondok Pesantren Al-Mimbar Sambongdukuh Jombang.

B. Rumusan Masalah

Tingginya angka kejadian pedikulosis kapitis di pondok pesantren Al-Mimbar Sambongdukuh Jombang dapat mengakibatkan terganggunya pola tidur santriwati serta berkurangnya konsentrasi belajar yang dapat menjadi pencetus menurunnya prestasi belajar mereka. Pendidikan kesehatan merupakan salah satu bentuk penanganan pedikulosis kapitis karena pengobatan yang tidak disertai pendidikan kesehatan tidak akan mencegah infestasi ulang kutu kepala sebagai penyebabnya. Menurut Notoatmodjo (2010) metode pendidikan kesehatan yang tepat untuk kelompok besar adalah ceramah, namun di samping itu menurut Simamora (2009) metode pemberian leaflet juga tepat untuk meningkatkan pengetahuan dalam kelompok besar. Perbedaan metode ceramah dan leaflet terhadap pengetahuan santriwati tentang pedikulosis kapitis perlu diteliti untuk


(20)

selanjutnya dapat ditentukan metode mana yang lebih berpengaruh untuk meningkatkan pengetahuan tentang pedikulosis kapitis pada santriwati.

C. Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana gambaran karakteristik santriwati berdasarkan usia dan kesehatan kepala?

2. Bagaimana gambaran skor rata-rata pengetahuan responden sebelum dan sesudah diberikan pendidikan kesehatan dengan metode ceramah dan leaflet? 3. Bagaimana perubahan skor pengetahuan pretest dan posttest kelompok

ceramah dan leaflet?

4. Bagaimana perbedaan skor pengetahuan pretest kelompok ceramah dan leaflet serta perbedaan skor pengetahuan posttest kedua kelompok tersebut?

D. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Mengetahui perbedaan metode ceramah dan leaflet terhadap skor pengetahuan santriwati tentang pedikulosis kapitis di Pondok Pesantren Al-Mimbar Sambongdukuh Jombang.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui gambaran karakteristik santriwati berdasarkan usia dan kesehatan kepala.

b. Mengetahui gambaran skor rata-rata pengetahuan santriwati tentang pedikulosis kapitis di Pondok Pesantren Al-Mimbar Sambongdukuh Jombang sebelum dan sesudah diberikan pendidikan kesehatan dengan metode ceramah dan leaflet.


(21)

c. Mengetahui perubahan skor pengetahuan pretest dan posttest kelompok ceramah dan leaflet.

d. Mengetahui perbedaan skor pengetahuan pretest kelompok ceramah dan leaflet serta perbedaan skor pengetahuan posttest kedua kelompok tersebut di Pondok Pesantren Al-Mimbar Sambongdukuh Jombang.

E. Manfaat Penelitian

1. Bagi Masyarakat Umum

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan mengenai perbedaan metode ceramah dan leaflet terhadap skor pengetahuan santriwati tentang pedikulosis kapitis di Pondok Pesantren Al-Mimbar Sambongdukuh Jombang.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai rujukan tambahan untuk melakukan pengabdian kepada masyarakat.

2. Bagi Pondok Pesantren Al-Mimbar Sambongdukuh Jombang

Meningkatkan peran pondok pesantren dalam memberikan pendidikan kesehatan pada para santri agar terhindar dari penyebaran penyakit menular. 3. Bagi Santriwati Pondok Pesantren Al-Mimbar Sambongdukuh Jombang

Meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku santriwati tentang pedikulosis kapitis dan cara penanganannya sehingga diharapkan tingkat pedikulosis kapitis di pondok pesantren ini menurun.

4. Bagi Praktisi Kesehatan

Meningkatkan pelayanan kesehatan atau keperawatan dengan bekerjasama dengan pihak pondok pesantren dalam memberikan pendidikan kesehatan pada para santri agar terhindar dari penyebaran penyakit menular.


(22)

6

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pedikulosis Kapitis

1. Definisi Pedikulosis Kapitis

Menurut Natadisastra dan Agoes (2009) proses masuknya ektoparasit (parasit yang hidup pada permukaan tubuh/kulit hospes, kebanyakan dari arthropoda) disebut infestasi. Menurut Alatas dan Linuwih (2013) pedikulosis kapitis adalah infestasi Pediculus humanus capitis (P.h.capitis/kutu kepala) di kulit kepala manusia. Sedangkan menurut Bugayong et al. (2011) pedikulosis kapitis adalah penyakit ektoparasit yang disebabkan oleh kutu kepala. Diagnosis pedikulosis kapitis ditegakkan dengan menemukan P.h.capitis dewasa, nimfa atau telurnya pada rambut kepala (Natadisastra dan Agoes, 2009).

2. Morfologi dan Siklus Hidup Pediculus humanus capitis

Menurut Natadisastra dan Agoes (2009) P.h.capitis adalah salah satu ektoparasit (parasit yang menyerang permukaan tubuh/kulit hospes (manusia)) penghisap darah yang menginfestasi kulit kepala manusia dan dapat menimbulkan gangguan kesehatan. P.h.capitis merupakan arthropoda dari famili Pediculidae yang mempunyai ciri-ciri badan pipih dorso ventral, berwarna kelabu, kepala berbentuk segitiga dengan segmen thorax menyatu. Ukuran kutu kepala betina 3 mm dan jantan 2 mm (Natadisastra dan Agoes, 2009).

Menurut Natadisastra dan Agoes (2009) kutu kepala mempunyai abdomen yang bersegmen dan ujung setiap kaki dilengkapi dengan kuku penjepit. Kutu


(23)

kepala ini berjalan dari satu helai rambut ke rambut lain dengan cara menjepit rambut dengan kuku-kukunya, atau dapat pindah ke hospes lain. Kutu kepala dewasa lebih menyukai rambut di bagian belakang kepala dari pada di bagian lainnya dan mengisap darah sedikit demi sedikit dalam jangka waktu lama.

Kutu betina dewasa meletakkan telur-telur yang dilekatkannya pada batang-batang rambut (Brown dan Burn, 2005). Menurut Natadisastra dan Agoes (2009) telur kutu kepala (nits) dilekatkan pada rambut dengan perekat mirip khitin (chitine like cement). Telur-telur ini berwarna seperti lemak dan sukar dilihat tetapi setelah menetas (kurang lebih 10 hari) telur-telur yang sudah kosong akan lebih mudah terlihat (Brown dan Burn, 2005).

Pemeriksaan mikroskopis dapat dilakukan jika perlu untuk membedakan telur-telur tersebut dengan serpihan ketombe atau lapisan keratin yang melekat pada batang rambut (Brown dan Burns, 2005). Waktu pertumbuhan sejak telur diletakkan sampai menjadi dewasa rata-rata 18 hari, sedangkan kutu kepala dewasa dapat hidup 27 hari (Natadisastra dan Agoes, 2009).

Gambar 2.1 Pediculus humanus capitis a. Jantan, b. Betina, c. Larva/nimfa, d. Telur

(Natadisastra dan Agoes, 2009)

3. Etiologi Pedikulosis Kapitis

Kutu kepala merupakan parasit permanen, yakni serangga yang seumur hidupnya menjadi parasit pada tuan rumah. Ia dapat berpindah-pindah tuan


(24)

rumah tetapi tidak dapat hidup bebas di alam (Natadisastra dan Agoes, 2009). Jika kutu kepala keluar atau tidak menetap lagi pada tuan rumahnya, mereka akan mati dalam sehari atau dua hari. Kutu kepala tidak dapat terbang maupun melompat (Timmreck, 2004). Penderita terjangkit kutu kepala akibat kontak langsung dengan penderita lain yang sudah terinfestasi maupun melalui benda-benda seperti sisir, bantal, dan kerudung yang digunakan bersama-sama. Faktor pendukung infestasi kutu kepala antara lain kebersihan yang kurang dan kebiasaan pinjam meminjam barang (Alatas dan Linuwih, 2013).

4. Dampak Pedikulosis Kapitis

P.h.capitis dapat menimbulkan berbagai masalah. Rasa gatal yang timbul disebabkan oleh air liur yang disuntikkan ke kulit kepala saat kutu kepala menghisap darah inangnya serta kotoran yang dihasilkan oleh kutu kepala tersebut (Timmreck, 2004). Rasa gatal akan mengakibatkan penderita menggaruk kepala. Kebiasaan menggaruk yang intensif dapat menyebabkan iritasi, luka, serta infeksi sekunder (Bugayong, dkk., 2011). Anemia karena kehilangan darah juga dapat terjadi pada pedikulosis kapitis berat (Moradi et al., 2009).

Lesi pada kulit kepala sering terjadi akibat tusukan kutu kepala pada waktu menghisap darah dan sering ditemukan di belakang kepala atau leher (Natadisastra dan Agoes, 2009). Menurut Brown dan Burns (2005) lesi yang diakibatkan oleh P.h.capitis berupa papula-papula urtikaria kecil, biasanya membentuk kelompok dan terkadang ditutupi vesikel-vesikel kecil yang terasa sangat gatal sehingga mudah terjadi ekskoriasi.


(25)

Lesi terjadi akibat respon hipersensitivitas tubuh seseorang terhadap antigen pada air liur kutu kepala. Namun, sebagian orang memiliki toleransi imunologis terhadap antigen sehingga tidak timbul reaksi akibat gigitan. Impetigo juga dapat terjadi akibat inokulasi stafilokokus ke dalam kulit kepala sewaktu penderita menggaruk kulit kepala (Brown dan Burns, 2005).

Pada infestasi berat P.h.capitis, helaian rambut satu dengan yang lain akan sering melekat dan mengeras dan banyak ditemukan kutu kepala dewasa, telur (nits) serta eksudat nanah yang berasal dari luka gigitan yang meradang. Keadaan ini disebut plica palonica yang dapat ditumbuhi jamur (Natadisastra dan Agoes, 2009).

Selain menimbulkan masalah fisik, efek psikologis akibat pedikulosis kapitis juga dapat terjadi (Tappeh et al., 2011). Efek psikologis yang dirasakan seperti berkurangnya rasa percaya diri, pandangan sosial yang negatif, kurangnya kualitas tidur, dan gangguan belajar (Alatas dan Linuwih, 2013). Istilah „dungu (nitwit)‟ berasal dari penampilan anak-anak berkutu yang kelihatan bodoh dengan sepsis kulit sekunder dan mungkin juga menderita anemia yang karenanya selalu dalam keadaan yang tidak sehat (Brown et al., 2005).

5. Penanganan Pedikulosis Kapitis a. Pencegahan

Menurut Natadisastra dan Agoes (2009) pencegahan penyakit parasit dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:


(26)

2) Melakukan pendidikan kesehatan dengan tujuan untuk mencegah penyebaran penyakit parasit.

3) Melakukan pengawasan sanitasi air, makanan, tempat tinggal, keadaan tempat kerja dan pembuangan sampah.

4) Melakukan pemberantasan atau pengendalian hospes reservoir dan vektor.

5) Mempertinggi pertahanan biologis terhadap penularan parasit. b. Pengobatan

Sedangkan pengobatan pedikulosis kapitis menurut Brown dan Burns (2005) dapat menggunakan metode fisik dan metode kimiawi.

1) Metode Pengobatan Fisik

Metode pengobatan fisik yang sederhana antara lain adalah mencuci rambut dengan shampo, kemudian diikuti dengan penggunaan kondisioner dalam jumlah yang banyak. Rambut kemudian disisir menggunakan serit (sisir yang giginya kecil-kecil dan rapat) dengan tujuan agar semua kutu dapat terangkat. Tindakan ini dianjurkan diulangi setiap 4 hari selama 2 minggu (Brown dan Burns, 2005). Sedangkan menurut Natadisastra dan Agoes (2009) metode pengobatan fisik kutu kepala dapat dilakukan dengan cara membunuh kutu dewasa menggunakan tangan dan sisir serit untuk menyisir nimfa dan telurnya. 2) Metode Pengobatan Kimiawi

Menurut Behrman et al. (2000) salah satu pengobatan pedikulosis kapitis adalah dengan hexachlorocyclohexane atau sering disebut


(27)

lindane. Prinsip penggunaan shampo lindane menurut Behrman et al. (2000) adalah:

a) Menggunakan shampo lindane 1% selama 10 menit dengan pemberian berulang dalam 7-10 hari.

b) Seluruh anggota keluarga/penghuni tempat tinggal harus diterapi pada waktu yang sama.

Sedangkan menurut Wibowo (2009) lindane yang digunakan untuk memberantas kutu kepala mempunyai kadar kurang dari 1%. Behrman et al. (2000) dan Werner (2010) juga menjelaskan bahwa untuk memberantas kantong telur yang melekat di rambut adalah dengan menggunakan serit (sisir bergigi rapat) yang telah dicuci dengan cuka yang dicampur air hangat dengan perbandingan 1:1 selama setengah jam. Pengendalian pedikulosis kapitis secara kimiawi juga dapat menggunakan insektisida jenis pedikulosida lain seperti malation, karbaril dan permetrin fenotrin yang telah secara luas dipakai di seluruh dunia (Brown dan Burns, 2005). Pedikulosida mudah dan nyaman digunakan untuk memberantas kutu kepala serta hasilnya sangat efektif. Namun, pada beberapa kasus ditemukan adanya resistensi kutu kepala terhadap malation dan insektisida piretroid (Brown dan Burns, 2005). B. Pendidikan Kesehatan

1. Definisi Pendidikan Kesehatan

Secara konseptual, menurut Adnani (2011) pendidikan kesehatan adalah upaya untuk mempengaruhi dan mengajak orang lain baik individu, kelompok atau masyarakat agar mau dan mampu melaksanakan perilaku hidup sehat.


(28)

Secara operasional, pendidikan kesehatan adalah semua kegiatan yang bertujuan meningkatkan pengetahuan, sikap dan praktik masyarakat dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan mereka sendiri (Adnani, 2011). Menurut Potter dan Perry (2005) pendidikan kesehatan yang efektif dapat menurunkan jumlah klien datang ke rumah sakit dan meminimalkan penyebaran penyakit yang dapat dicegah.

2. Metode dan Media Pendidikan Kesehatan

Menurut Machali (2009) metode adalah suatu cara melakukan sesuatu, terutama yang berkenaan dengan rencana tertentu. Menurut Nursalam (2008) metode pendidikan kesehatan adalah prosedur penerapan seperangkat petunjuk untuk menghadapi situasi problematis dalam bidang kesehatan. Dalam pengertian ini tercakup prosedur (teknik) dan perangkat (media). Pemilihan metode pendidikan kesehatan bergantung pada beberapa faktor, yakni karakteristik sasaran/partisipan (jumlah, status sosial ekonomi, jenis kelamin), waktu dan tempat yang tersedia, serta tujuan spesifik yang ingin dicapai dengan pendidikan kesehatan tersebut (perubahan pengetahuan, sikap, atau praktik partisipan) (Nursalam, 2008). Nursalam (2008) menjelaskan bahwa untuk memperoleh hasil belajar yang efektif, faktor instrumental (alat peraga, kurikulum, fasilitator belajar dan metode belajar) dirancang sedemikian rupa sehingga sesuai dengan materi dan subjek belajar.

a. Ceramah

Dalam pelaksanaan pendidikan kesehatan terdapat berbagai macam metode yang dibagi berdasarkan jumlah individu yang akan diberikan pendidikan kesehatan (Notoatmodjo, 2010). Metode ceramah merupakan


(29)

cara penyampaian yang digunakan untuk menyampaikan sesuatu dengan subjek kelompok dalam kategori besar (>15 orang) (Notoatmodjo, 2010). Menurut Notoatmodjo (2010) metode ini baik untuk sasaran yang berpendidikan tinggi maupun rendah.

Kelebihan metode ceramah menurut Herijulianti (2001) adalah sebagai berikut:

1) Murah dan mudah menggunakannya.

2) Waktu yang diperlukan dapat dikendalikan oleh penyuluh. 3) Mempunyai sifat yang fleksibel.

4) Tidak perlu banyak menggunakan alat bantu atau alat peraga.

5) Penyuluh dapat menjelaskan dengan menekankan bagian yang penting.

Sedangkan untuk kekurangan metode ceramah, Herijulianti (2001) menjelaskannya sebagai berikut:

1) Dapat menimbulkan kebiasaan yang kurang baik, yaitu sifat pasif, kurang aktif untuk mencari dan mengelola informasi jika sering digunakan. 2) Hanya sedikit penyuluh yang dapat menjadi presentator yang baik. 3) Tidak semua sasaran mempunyai daya tangkap yang sama.

4) Ceramah dalam waktu yag lama dapat membosankan sehingga sering mengganggu konsentrasi berpikir sasaran.

Berikut hal-hal yang harus diperhatikan dalam menggunakan metode ceramah menurut Notoatmodjo (2010):

1) Penceramah menguasai materi apa yang akan diceramahkan. 2) Penceramah dapat menguasai sasaran ceramah.


(30)

3) Mempersiapkan alat-alat bantu pengajaran, misalnya makalah singkat, slide, transparan, sound sistem, dan sebagainya.

b. Leaflet

Menurut Nursalam (2008) pendidikan kesehatan masyarakat dapat diberikan kepada sasaran baik secara langsung maupun melalui media tertentu. Dalam situasi di mana pendidik (sumber) tidak dapat bertemu langsung dengan sasaran, media pendidikan sangat diperlukan. Leaflet merupakan media berbentuk selembar kertas yang diberi gambar dan tulisan (biasanya lebih banyak berisi tulisan) pada kedua sisi kertas serta dilipat sehingga berukuran kecil dan praktis dibawa. Leaflet biasanya berukuran A4 yang dilipat tiga. Media ini berisi gagasan mengenai pokok persoalan secara langsung dan memaparkan cara melakukan tindakan secara ringkas dan lugas (Simamora, 2009). Kelebihan leaflet menurut Notoatmodjo (2005) adalah tahan lama, mencakup orang banyak, biaya tidak tinggi, tidak perlu listrik, dapat dibawa kemana-mana, menarik, mempermudah pemahaman dan meningkatkan keinginan belajar. Sedangkan kelemahanya menurut Notoatmodjo (2005) adalah media ini tidak dapat menstimulir efek suara dan efek gerak serta mudah terlipat.

Menurut Nursalam (2008), kemampuan partisipan untuk mengingat kembali pesan-pesan dalam pendidikan kesehatan menurut teknik dan medianya dapat digambarkan melalui Kerucut Edgar Dale. Menurut kerucut tersebut, dalam dua minggu setelah partisipan diberi pendidikan kesehatan mereka akan mampu mengingat materi yang diberikan dengan persentase


(31)

yang berbeda-beda sesuai dengan metode dan media pendidikan kesehatan yang dilakukan.

Gambar2.2 Kerucut Edgar Dale (1964) dalam Nursalam (2008) Keterangan:

1) Membaca, partisipan akan mengingat 10% dari materi yang dibacanya. 2) Mendengar, partisipan akan mengingat 20% dari materi yang

didengarnya.

3) Melihat, partisipan akan mengingat 30% dari apa yang dilihatnya.

4) Mendengar dan melihat, partisipan akan mengingat 50% dari apa yang didengar dan dilihatnya.

5) Mengucapkan sendiri kata-katanya, partisipan akan mengingat 70% dari apa yang diucapkannya.

6) Mengucapkan sambil mengerjakan sendiri suatu materi pendidikan kesehatan, maka partisipan akan mengingat 90% dari materi tersebut.

50%

70%

90% 30% 20%

10% Membaca

Mendengar Melihat foto, ilustrasi Melihat demonstrasi/video Partisipasi dalam diskusi Melakukan secara nyata Penerimaan visual Penerimaan visual Penerimaan visual Penerimaan visual Melakukan


(32)

3. Santri

Istilah santri berarti murid atau siswa (Moesa, 2007). Santri adalah salah satu elemen dasar berdirinya suatu pesantren (Hasbullah, 1999 dalam Ramdan et al., 2013). Santri sebagai salah satu komponen komunitas pesantren, memiliki cara pandang tersendiri bahwa semua kegiatan dalam kehidupan sehari-hari dipandang dengan relevansi hukum agama. Cara pandang inilah yang membedakan antara komunitas pesantren dengan masyarakat yang hidup di luar area pesantren (Ramdan et al., 2013).

Menurut Permenkes RI Nomor 1 Tahun 2013 pondok pesantren menaungi santri dari berbagai usia, namun pada umumnya santri yang belajar di pondok pesantren berusia antara 7-19 tahun. Sedangkan santriwati yang tinggal di Pondok Pesantren Al-Mimbar sendiri berusia 15-18 tahun. Menurut Potter dan Perry (2005) usia 13-20 tahun dikelompokkan sebagai usia remaja, yakni periode perkembangan di mana individu mengalami perubahan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa.

Dengan kapasitas perkembangan belajar tersebut Potter dan Perry (2005) menyatakan prinsip metode pendidikan kesehatan yang tepat bagi remaja adalah sebagai berikut:

a. Bantu remaja untuk belajar tanpa mengganggu aktualisasi diri mereka. b. Izinkan remaja untuk mengambil keputusan mengenai kesehatan dan

peningkatan kesehatan.

c. Gunakan pendekatan pemecahan masalah untuk membantu remaja dalam meningkatkan kesehatan mereka.


(33)

C. Pengetahuan 1. Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil dari tahu yang terjadi melalui proses sensoris khususnya mata dan telinga terhadap objek tertentu. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku terbuka (overt behavior). Perilaku yang didasari pengetahuan biasanya bersifat langgeng (Sunaryo, 2004). Notoatmodjo (2010) menyatakan bahwa pengetahuan kesehatan (health knowledge) dapat diukur dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara langsung (wawancara) atau melalui pertanyaan-pertanyaan-pertanyaan-pertanyaan tertulis (angket).

Bloom (1908) dalam Sunaryo (2004) menjelaskan bahwa tingkatan pengetahuan di dalam domain kognitif mencakup 6 tingkatan, yaitu:

a. Tahu, merupakan tingkat pengetahuan paling rendah. Tahu artinya dapat mengingat kembali suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Ukuran bahwa seseorang itu tahu adalah ia dapat menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, dan menyatakan.

b. Memahami, artinya kemampuan untuk menjelaskan dan menginterpretasikan dengan benar tentang objek yang diketahui. Seseorang yang telah paham tentang sesuatu harus dapat menjelaskan, memberikan contoh, dan menyimpulkan.

c. Penerapan, yaitu kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi dan kondisi nyata atau dapat menggunakan hukum-hukum, rumus, metode dalam situasi nyata.


(34)

d. Analisis, artinya adalah kemampuan untuk menguraikan objek ke dalam bagian-bagian lebih kecil, tetapi masih di dalam suatu struktur objek tersebut dan masih terkait satu sama lain.

e. Sintesis, yaitu suatu kemampuan untuk menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru atau kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. Ukuran kemampuan adalah ia dapat menyusun, meringkaskan, merencanakan, dan menyesuaikan suatu teori atau rumusan yang telah ada.

f. Evaluasi, yaitu kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu objek. Evaluasi dapat menggunakan kriteria yang telah ada atau disusun sendiri.

D. Penelitian Terkait

1. Penelitian Sahar Salim Alatas dan Sri Linuwih (2013)

Hasil penelitian berjudul “Hubungan Tingkat Pengetahuan Mengenai Pedikulosis Kapitis dengan Karakteristik Demografi Santri Pesantren X, Jakarta Timur” ini adalah tingkat pengetahuan santri tergolong kurang dan berhubungan dengan jenis kelamin, yakni tingkat pengetahuan santri laki-laki lebih tinggi daripada santri perempuan. Tingkat pengetahuan santri yang kurang menurut penelitian ini tidak berhubungan dengan usia dan tingkat pendidikan karena seluruh santri tinggal di lingkungan yang sama dan memiliki kegiatan yang sama serta pengetahuan mendalam tentang kesehatan juga belum dirasakan oleh santri.


(35)

2. Penelitian Sidoti, Bonura, Paolini dan Tringali (2009)

Penelitian ini berjudul “A Survey on Knowledge and Perceptions Regarding Head Lice on Sample of Teachers and Students in Primary Schools of North and South of Italy”. Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa masih banyak guru/pengajar yang mendapatkan informasi tentang pedikulosis kapitis tidak berdasarkan pada sumber ilmiah. Kurangnya pengetahuan guru ini berdampak pada ketidakadekuatan penanganan pedikulosis kapitis yang dialami siswa.

3. Penelitian Raras Kawuriansari, Dyah Fajarsari dan Siti Maulidah (2010) Hasil penelitian berjudul “Studi Efektivitas Leaflet Terhadap Skor Pengetahuan Remaja Putri tentang Dismenorea di SMP Kristen 01 Purwokerto Kabupaten Banyumas” ini menjelaskan bahwa media leaflet dapat meningkatkan pengetahuan siswi tentang dismenorea.

4. Penelitian Beni Harsono, Soesanto dan Samsudi (2009)

Hasil Penelitian berjudul “Perbedaan Hasil Belajar Antara Metode Ceramah Konvensional dengan Ceramah Berbantuan Media Animasi Pada Pembelajaran Kompetensi Perakitan dan Pemasangan Sistem Rem” ini menjelaskan bahwa metode ceramah konvensional dapat meningkatkan pengetahuan siswa namun dengan media animasi peningkatan pengetahuan siswa akan lebih tinggi.


(36)

E. Kerangka Teori

Bagan 2.1 Kerangka Teori Penelitian berdasarkan Health Promotion Model (Downie 1990 dalam WHO 2012)

Kombinas a. Mengurangi sumber infestasi

dengan mengobati penderita (mengetahui cara penularan, dan perkembangbiakan kutu kepala)

b. Pendidikan kesehatan untuk mencegah penyebaran penyakit c. Pengawasan lingkungan d. Pertahanan biologis

Keterangan:

= variabel yang diteliti

= variabel yang tidak diteliti Health

Education

Health Protection Prevention

Pengetahuan

Sikap

Perilaku Ceramah

Leaflet

Peraturan Sarana dan prasarana


(37)

21

KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS

A. Kerangka Konsep Penelitian

Kerangka konsep adalah model konseptual yang berkaitan dengan bagaimana seorang peneliti menyusun teori atau menghubungkan secara logis beberapa faktor yang dianggap penting dalam suatu masalah (Hidayat, 2008). Penelitian ini mengkaji dua variabel yakni pendidikan kesehatan (metode ceramah dan leaflet) sebagai variabel bebas (independen) serta skor pengetahuan santriwati tentang pedikulosis kapitis sebagai variabel terikat (dependen). Berikut adalah kerangka konsep yang akan dilakukan peneliti di Pondok Pesantren Al-Mimbar Sambongdukuh Jombang.

Bagan 3.1: Kerangka Konsep Penelitian Pretest

Pendidikan kesehatan tentang pedikulosis kapitis dengan metode

ceramah

Posttest

Pretest

Pendidikan kesehatan tentang


(38)

22

Tabel 3.2 Definisi Operasional Variabel

No Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Hasil Ukur Skala Ukur

1. Usia Usia responden yang dihitung sejak dilahirkan hingga ulang tahun terakhir

Kuesioner 0 = ≤15 tahun 1 = >15 tahun

(Lesshafft, 2013)

Nominal

2. Lama terjangkit kutu kepala

Lama waktu responden terjangkit kutu kepala yang dihitung sejak responden terjangkit kutu kepala hingga penelitian berlangsung

Wawancara 0 = ±1tahun 1 = ±2 tahun 2 = ≥3 tahun

Nominal

3. Jenis rambut Jenis rambut responden yang

diobservasi saat penelitian berlangsung

Lembar observasi 0 = rambut ikal/keriting 1 = rambut lurus

Nominal

4. Panjang rambut Panjang rambut responden yang

diobservasi saat penelitian berlangsung

Lembar observasi 0 = panjang rambut di atas pundak 1 = panjang rambut ≥pundak

(Tappeh et.al, 2012)

Nominal

5. Frekuensi keramas/minggu

Frekuensi keramas responden per minggunya

Wawancara 0 = <2 kali/minggu 1 = ≥2 kali/minggu

(Novita, 2009)


(39)

6. Kondisi kulit kepala

Kondisi kulit kepala dilihat dari adanya lesi atau tidak (kulit kemerahan,

bernanah atau luka sekunder lain)

Lembar observasi 0 = ada lesi 1 = tidak ada lesi

Nominal

7. Warna Konjungtiva

Warna konjungtiva responden yang diobservasi saat penelitian berlangsung

Lembar observasi 0 = konjungtiva pucat 1 = konjungtiva tidak pucat

Nominal

8. Skor

pengetahuan santriwati tentang pedikulosis kapitis

Pengetahuan satriwati Pondok Pesantren Al-Mimbar Sambongdukuh Jombang tentang definisi, etiologi, dampak, pencegahan dan pengobatan pedikulosis kapitis

Kuesioner pengetahuan tentang

pedikulosis kapitis, terdiri dari 30

pertanyaan, menggunakan skala

Guttman, dengan skor jawaban jika benar = 1 dan jika jawaban salah = 0

Continuous Rasio

9. Metode pendidikan kesehatan

Metode yang digunakan peneliti untuk menyampaikan materi pedikulosis kapitis kepada responden

- 1 = metode ceramah 2 = metode leaflet


(40)

24

setelah penelitian terlaksana (Notoatmodjo, 2010). Berdasarkan kerangka konsep yang telah dibuat maka hipotesis penelitian yang muncul adalah:

1. Ha1 = Terdapat perubahan skor pengetahuan yang signifikan antara nilai pretest

dan posttest pada kelompok ceramah.

2. Ha2 = Terdapat perubahan skor pengetahuan yang signifikan antara nilai pretest

dan posttest pada kelompok leaflet.

3. Ha3 = Terdapat perbedaan skor pengetahuan pretest yang signifikan antara

kelompok ceramah dan leaflet.

4. Ha4 = Terdapat perbedaan skor pengetahuan posttest yang signifikan antara


(41)

25

METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif quasi experimental dengan pendekatan pretest and posttest with control group design. Pada desain ini responden penelitian dibagi menjadi dua kelompok yakni kelompok pendidikan kesehatan dengan metode ceramah dan kelompok pendidikan kesehatan dengan leaflet. Sebelum intervensi, pada kedua kelompok dilakukan pretest untuk menilai pengetahuan awal responden dan setelah intervensi dilakukan posttest pada kedua kelompok tersebut untuk menentukan efek perlakuan pada responden (Dharma, 2011).

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan April tahun 2015 di Pondok Pesantren Mimbar Sambongdukuh Jombang. Alasan peneliti memilih Pondok Pesantren Al-Mimbar Sambongdukuh Jombang sebagai lokasi penelitian antara lain:

1. Terdapat 54 dari 64 santriwati (84%) Pondok Pesantren Al-Mimbar Sambongdukuh Jombang mengalami pedikulosis kapitis (berdasarkan wawancara).

2. Peneliti merupakan alumni Pondok Pesantren Al-Mimbar Sambongdukuh Jombang yang mana pernah merasakan bagaimana kondisi pedikulosis kapitis dan penanganannya di lokasi penelitian, sehingga tertarik untuk melakukan penelitian tentang pedikulosis kapitis di lokasi tersebut.


(42)

3. Belum pernah dilakukan penelitian tentang perbedaan metode ceramah dan leaflet terhadap skor pengetahuan santriwati tentang pedikulosis kapitis di Pondok Pesantren Al-Mimbar Sambongdukuh Jombang.

C. Populasi dan Sampel 1. Populasi

Populasi adalah seluruh subjek yang akan diteliti dan memenuhi karakteristik yang ditentukan (Riyanto, 2011). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh santriwati Pondok Pesantren Al-Mimbar Sambongdukuh Jombang yang berjumlah 64 orang.

2. Sampel

Sampel adalah bagian dari suatu populasi yang diteliti (Umar, 2011). Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik total sampling, yakni seluruh santriwati yang memenuhi kriteria inklusi. Selanjutnya, sampel dibagi menjadi dua kelompok yakni kelompok intervensi (ceramah) dan kelompok kontrol (leaflet). Teknik total sampling diambil dengan alasan besar sampel yang digunakan dalam penelitian dengan metode eksperimental menurut pendapat Gay adalah minimal 15 subjek per kelompoknya (Umar, 2011).

Agar sampel yang digunakan sesuai dengan target penelitian maka peneliti menentukan kriteria inklusi yakni santriwati kelas X, XI dan XII Madrasah Aliyah yang tinggal/menetap di Pondok Pesantren Al-Mimbar Sambongdukuh Jombang dan bersedia berpartisipasi dalam penelitian. Sedangkan kriteria eksklusi dari penelitian ini adalah santriwati yang selama penelitian berlangsung berhalangan hadir. Pada pelaksananaanya, sampel yang


(43)

diperoleh dalam penelitian ini totalnya berjumlah 60 orang yang kemudian dibagi ke dalam dua kelompok yakni kelompok ceramah dan leaflet, dalam pembagiannya dilakukan dengan cara acak.

D. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian untuk mengukur karakteristik responden berdasarkan usia dan pengetahuan responden adalah dengan kuesioner yang terdiri dari nama, dan usia serta 30 pertanyaan dengan skala Guttman (16 pertanyaan positif dan 14 pertanyaan negatif, dengan skor 1 bila jawaban benar dan 0 bila jawaban salah). Sedangkan untuk mengukur karakteristik kesehatan kepala (jenis rambut, panjang rambut, lama waktu mengalami pedikulosis kapitis, frekuensi keramas, kondisi kulit kepala dan warna konjungtiva) serta kondisi responden apakah terjangkit pedikulosis atau tidak adalah menggunakan lembar observasi.

E. Uji Validitas dan Reliabilitas 1. Uji Validitas

Uji validitas merupakan cara untuk menentukan ketepatan atau kecermatan pengukuran suatu instrumen. Suatu alat ukur dikatakan valid jika alat tersebut dapat mengukur variabel/sesuatu yang ingin diukur peneliti (Riyanto, 2011). Pada penelitian ini, uji validitas dilakukan berdasarkan theory-related validity (validitas berhubungan dengan teori) dengan tipe content validity (validitas isi). Validitas isi menunjukkan kemampuan item pertanyaan dalam instrumen mewakili semua unsur dimensi konsep yang sedang diteliti. Untuk menentukan validitas isi suatu instrumen dilakukan dengan meminta pendapat pakar pada bidang yang sedang diteliti. Seorang pakar akan diminta untuk menelaah instrumen dan menentukan apakah seluruh item pertanyaan


(44)

telah mencakup isi/content dari suatu konsep yang diteliti (Dharma, 2011). Pada penelitian ini instrumen ditelaah oleh dua ahli parasitologi yakni Dra. Widiastuti, MS dan dr. Prastuti Waraharini.

2. Uji Reliabilitas

Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau diandalkan (Notoatmodjo, 2010). Umar (2005) menyebutkan bahwa uji reliabilitas instrumen suatu penelitian dapat dilakukan dengan 30 responden. Uji reliabilitas kuesioner penelitian ini dilakukan pada 30 santriwati dari kelas X, XI dan XII Madrasah Aliyah Pondok Pesantren Al-Muslihuun Tlogo Kanigoro Blitar yang mana kriteria santriwatinya hampir sama dengan santriwati Pondok Pesantren Al-Mimbar Sambongdukuh Jombang.

Uji reliabilitas yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan menggunakan rumus uji Spearman Brown. Hal tersebut dikarenakan pada penelitian ini instrumen yang digunakan adalah menggunakan skala Guttman dan jumlah pertanyaan yang ada di dalam kuesioner ini genap (30 pertanyaan). Suatu instrumen dikatakan reliabel apabila nilai korelasi antara belahan genap dan belahan ganjil lebih besar dari nilai r tabel (Siregar, 2013).

Uji reliabilitas pada penelitian ini menggunakan bantuan program komputer dan didapatkan nilai korelasi antara belahan genap dan belahan ganjil 0,653. Nilai r tabel yang digunakan adalah 0,361 karna responden uji reliabilitas pada penelitian ini berjumlah 30 orang. Selanjutnya hasil yang didapatkan dari uji reliabilitas dibandingkan dengan nilai r tabel. Karena hasil


(45)

yang didapatkan lebih besar dari r tabel maka dapat dikatakan kuesioner penelitian ini reliabel.

Uji reliabilitas lembar observasi dilakukan dengan menggunakan metode interrater reliability, yakni dua atau lebih pengamat yang berbeda secara independen menelaah instrumen tersebut (Patricia dan Arthur, 2002).

F. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan bulan April tahun 2015. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh dari kuesioner yang diisi responden dan lembar observasi sebelum dan sesudah perlakuan. Ada beberapa tahapan yang dilakukan dalam pengambilan data dalam penelitian ini:

1. Tahap pertama, peneliti menentukan permasalahan, subjek penelitian, tempat penelitian, tujuan dan manfaat penelitian serta menentukan judul penelitian. Peneliti mengajukan surat izin penelitian dari Fakultas untuk diberikan kepada Pengasuh Pondok Pesantren Al-Mimbar Sambongdukuh Jombang.

2. Setelah diberi perizinan penelitian oleh Pengasuh Pondok Pesantren Al-Mimbar Sambongdukuh Jombang, peneliti terlebih dahulu melakukan studi pendahuluan terkait penelitian yang akan dilakukan.

3. Selanjutnya peneliti menyusun proposal skripsi dan melakukan ujian seminar proposal skripsi.

4. Selanjutnya, peneliti melakukan uji validitas dengan content validity dengan bantuan dari pakar parasitologi. Kemudian dilakukan uji reliabilitas kuesioner pengetahuan pada 30 santriwati di pondok pesantren lain dengan tingkat pedikulosis kapitis hampir sama dengan Pondok Pesantren Al-Mimbar


(46)

Sambongdukuh Jombang (Pondok Pesantren Al-Muslihuun Tlogo Kanigoro Blitar).

5. Setelah instrumen penelitian dinyatakan valid dan reliabel, peneliti melakukan koordinasi dengan Pengasuh Pondok Pesantren Al-Mimbar Sambongdukuh Jombang untuk mendapatkan calon responden (santriwati kelas X, XI dan XII yang tinggal/menetap di Pondok Pesantren Al-Mimbar Sambongdukuh Jombang).

6. Setelah mendapatkan calon responden, peneliti melakukan informed consent terhadap calon responden.

7. Setelah menandatangani lembar persetujuan, responden dibagi menjadi dua kelompok (kelompok ceramah dan kelompok leaflet).

8. Setelah itu, peneliti berkoordinasi dengan dengan Pengasuh Pondok Pesantren Al-Mimbar Sambongdukuh Jombang serta para responden terkait dengan waktu dan tempat pelaksanaan observasi dan pendidikan kesehatan tentang pedikulosis kapitis dengan metode ceramah dan metode leaflet.

9. Seluruh responden pada masing-masing kelompok akan diobservasi terkait karakteristik kesehatan kepala dengan panduan lembar observasi.

10. Pengisian kuesioner pengetahuan pertama dilakukan 30 menit sebelum pendidikan kesehatan dilakukan pada masing-masing kelompok.

11. Setelah itu, dilakukan pendidikan kesehatan tentang pedikulosis kapitis dengan metode ceramah pada kelompok ceramah dan dengan metode pemberian leaflet pada kelompok leaflet sesuai dengan kontrak waktu dan tempat yang telah disetujui sebelumnya. Pendidikan kesehatan dilakukan bersamaan untuk menghindari informasi dan pengaruh antar kelompok yang dapat


(47)

mempengaruhi nilai pengetahuan responden. Pada kelompok ceramah, ceramah akan dilakukan oleh peneliti, sedangkan pada kelompok leaflet peneliti akan dibantu orang lain untuk mengawasi jalannya pendidikan kesehatan.

12. Pengisian kuesioner dilakukan kembali setelah pendidikan kesehatan selesai dilakukan.

13. Hasil observasi dan kuesioner yang telah diisi selanjutnya diolah dan dianalisis oleh peneliti.

G. Metode Analisa Data 1. Analisa Univariat

Pada penelitian ini analisis univariat dilakukan secara deskriptif, yaitu menampilkan tabel distribusi frekuensi karakteristik responden dan pengetahuan pretest dan posttest masing-masing kelompok.

2. Analisa Bivariat

Analisa bivariat dapat dilakukan jika telah diketahui hasil dari analisa univariat (Notoatmodjo, 2010). Data yang diolah pada penelitian ini berupa data rasio yang tidak terdistribusi normal sehingga untuk mengetahui apakah terdapat perubahan skor pengetahuan yang signifikan atau tidak digunakan uji Wilcoxon, sedangkan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan skor pengetahuan yang signifikan atau tidak pada kedua kelompok digunakan uji Mann Withney (Dharma, 2011). Pada uji ini tingkat kemaknaan yang digunakan adalah α=5% (Riwidikdo, 2009). Dalam penghitungannya, penelitian ini menggunakan bantuan program komputer.


(48)

H. Etika Penelitian

Menurut Hidayat (2008) masalah etika yang harus diperhatikan oleh peneliti antara lain sebagai berikut:

1. Informed Consent

Informed consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dengan responden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan. Tujuan informed consent adalah agar subjek mengerti maksud dan tujuan penelitian, mengetahui dampaknya. Pada penelitian ini beberapa informasi yang terdapat dalam informed consent antara lain partisipasi klien, tujuan dilakukannya tindakan, jenis data yang dibutuhkan, komitmen, prosedur pelaksanaan, potensial masalah yang akan terjadi, manfaat serta kerahasiaan responden.

2. Anonimity (tanpa nama)

Sesuai etika keperawatan, pada penelitian ini peneliti memberikan jaminan dalam penggunaan subjek penelitian dengan cara tidak memberikan atau mencantumkan nama responden dalam lembar alat ukur dan hanya menuliskan kode pada lembar pengumpulan data atau hasil penelitian yang disajikan.

3. Confidentiality (kerahasiaan)

Peneliti memberikan jaminan kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi maupun masalah-masalah lainnya. Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiannya oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada hasil riset.


(49)

33

HASIL PENELITIAN

A. Analisa Univariat

1. Karakteristik Responden Berdasarkan Usia dan Kesehatan Kepala Responden

Tabel 5.1: Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Usia dan Kesehatan Kepala Responden (n=60)

Variabel Kategori

Terjangkit Kutu Kepala

Tidak Terjangkit Kutu Kepala

Total

n % n % n %

Usia

15 tahun 11 18,3% 1 1,7% 60 100%

>15 tahun 38 63,3% 10 16,7% Lama Terjangkit

Kutu Kepala

±1 tahun 23 38,3% 0 0%

49

±2 tahun 13 21,7% 0 0% 81,7%

≥3 tahun 13 21,7% 0 0%

Bentuk Rambut

Ikal 13 21,7% 5 8,3% 60 100%

Lurus 36 60% 6 10%

Panjang Rambut

Pendek 7 11,7% 2 3,3% 60 100%

Panjang 42 70% 9 15%

Lesi Kulit Kepala Ada 4 6,7% 0 0% 60 100%

Tidak Ada 45 75% 11 18,3%

Frekuensi Keramas/Minggu

<2 kali 4 6,7% 0 0% 60 100%

≥2 kali 45 75% 11 18,3%

Warna Konjungtiva

Pucat 14 23,4% 3 5% 60 100%

Tidak Pucat 35 58,3% 8 13,3%

Tabel 5.1 di atas menunjukkan bahwa persentase responden dengan kategori usia 15 tahun yang terjangkit kutu kepala adalah 18,3% sedangkan persentase responden dengan kategori usia >15 tahun yang terjangkit kutu


(50)

kepala adalah 63,3%. Tabel 5.1 tersebut juga menampilkan karakteristik kesehatan kepala responden berdasarkan lama terjangkit kutu kepala, bentuk rambut, panjang rambut, ada atau tidaknya lesi kulit kepala, frekuensi keramas/minggu dan warna konjungtiva. Mayoritas responden terjangkit kutu kepala ±1 tahun dengan persentase 38,3% (23 responden) dan variabel lama terjangkit kutu kepala ini hanya menampilkan 81,7% responden, 18,3% sisanya merupakan responden yang tidak terjangkit kutu kepala sehingga tidak mempunyai lama waktu terjangkit kutu kepala.

Responden yang terjangkit kutu kepala mayoritas mempunyai rambut lurus dengan persentase 60% (36 orang). Untuk variabel panjang rambut, mayoritas responden yang terjangkit kutu kepala mempunyai rambut panjang dengan persentase 70% (42 responden), begitu pula pada responden yang tidak terjangkit kutu kepala yang lebih banyak mempunyai rambut panjang dengan persentase 15% (9 responden). Sedangkan untuk kondisi kulit kepala responden yang terjangkit kutu kepala mayoritas tidak terdapat lesi kulit kepala dengan persentase 75% (45 responden).

Responden yang terjangkit kutu kepala mempunyai frekuensi keramas mayoritas 2-3 kali sehari dengan persentase 75% (45 responden) sedangkan responden yang tidak terjangkit kutu kepala seluruhnya mempunyai frekuensi keramas 2-3 kali sehari. Untuk variabel warna konjungtiva, terdapat responden yang terjangkit kutu kepala yang mempunyai konjungtiva pucat dengan persentase 23,4% (35 responden).


(51)

2. Gambaran Rata-Rata Skor Pengetahuan Responden

Gambaran rata-rata skor pengetahuan responden tentang pedikulosis kapitis saat pretest dan posttest pada kelompok ceramah dan leaflet dapat dilihat pada tabel 5.2.

Tabel 5.2: Gambaran Rata-Rata Skor Pengetahuan Responden Saat Pretest dan Posttest Pada Kelompok Ceramah (n=30) dan Leaflet (n=30)

Mean SD Minimum Maximum

Ceramah Pretest 20,07 4,226 9 29

Posttest 26,13 2,813 20 30

Leaflet Pretest 20,93 5,336 9 27

Posttest 22,83 4,340 13 28

Rata-rata skor pengetahuan pretest pada kelompok ceramah menunjukkan angka 20,07 dan pada kelompok leaflet menunjukkan angka 20,93. Sedangkan skor pengetahuan posttest pada kelompok ceramah meningkat menjadi 26,13 dan pada kelompok leaflet meningkat menjadi 22,83.

B. Analisa Bivariat

Hasil analisis uji normalitas pengetahuan menunjukkan nilai p Kolmogorov-Smirnov =0,004 (pretest) dan 0,000 (posttest). Kedua nilai tersebut menunjukkan p<0,05 yang berarti data berasal dari populasi yang tidak terdistribusi normal sehingga analisis bivariat selanjutnya menggunakan analisis nonparametrik, yakni uji Wilcoxon. Untuk melihat apakah terdapat perbedaan yang siginfikan atau tidak antara metode ceramah dan leaflet menggunakan uji Mann Withney.


(52)

1. Pengaruh Metode Ceramah dan Leaflet Terhadap Skor Pengetahuan Responden

Tabel 5.3: Analisa Beda Rata-Rata Skor Pengetahuan Responden Pretest dan Posttest Pada Kedua Kelompok (n=30)

Metode Alpha (α) Nilai p

Ceramah 0,05 <0,001

Leaflet 0,05 <0,001

Tabel 5.3 menunjukkan bahwa hasil analisa uji Wilcoxon pada metode ceramah dan leaflet masing-masing memiliki nilai p<0,001 yang mana nilai tersebut kurang dari nilai alpha (<0,05) sehingga disimpulkan bahwa baik metode ceramah maupun leaflet memberikan pengaruh yang berarti dalam menentukan skor pengetahuan responden.

2. Perbedaan Metode Ceramah dan Leaflet Terhadap Skor Pengetahuan Responden

Tabel 5.4: Analisa Beda Rata-Rata Skor Pengetahuan Responden Pada Kedua Kelompok Saat Pretest (n=30)

Mean Rank Nilai p

Ceramah 27,05

0,125

Leaflet 33,95

Hasil analisa uji Mann Withney pada skor pengetahuan pretest kedua kelompok menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan pengetahuan yang signifikan antara kedua kelompok saat pretest dengan nilai p=0,125 (>0,05).


(53)

Tabel 5.5: Analisa Beda Rata-Rata Skor Pengetahuan Responden Pada Kedua Kelompok Saat Posttest (n=30)

Mean Rank Nilai p

Ceramah 37,32

0,002

Leaflet 23,68

Hasil analisa uji Mann Withney pada skor pengetahuan posttest kedua kelompok menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pengetahuan yang signifikan antara kedua kelompok saat posttest dengan nilai p=0,002 (<0,05).


(54)

38

PEMBAHASAN

Bab ini akan menjelaskan interpretasi hasil penelitian dan keterbatasan penelitian. Interpretasi hasil akan membahas mengenai hasil penelitian yang dikaitkan dengan teori yang ada di tinjauan pustaka, sedangkan keterbatasan penelitian akan memaparkan keterbatasan yang terjadi selama pelaksanaan penelitian.

A. Karakteristik Responden Berdasarkan Usia dan Kesehatan Kepala Responden

Responden dalam penelitian ini berusia 15-18 tahun dan 81,6% terjangkit pedikulosis kapitis (18,3% usia 15 tahun dan 63,3% 17-18 tahun). Hal ini sesuai dengan penelitian dari Lesshafft et.al (2013) yang menyatakan bahwa populasi dengan usia >15 tahun masih memungkinkan terserang pedikulosis kapitis meskipun usia tersebut tidak masuk dalam kategori usia yang rentan (<15 tahun).

Karakteristik kesehatan kepala responden digambarkan berdasarkan lama terjangkit kutu kepala, jenis rambut, panjang rambut dan kondisi kulit kepala. Kesehatan kepala responden berdasarkan lama terjangkit kutu kepala diteliti dengan membagi responden masing-masing kelompok ke dalam tiga kategori waktu yakni responden dengan lama terjangkit kutu kepala ±1 tahun, ±2 tahun dan ≥3 tahun. Hasil penelitian menunjukkan terdapat 38,3% responden yang telah terjangkit kutu kepala ±1 tahun, 21,7% responden terjangkit kutu kepala ±2 tahun dan 21,7% responden terjangkit kutu kepala ≥3 tahun. Berdasarkan hasil


(55)

wawancara lebih lanjut dengan responden, sebagian besar dari mereka mulai terjangkit kutu kepala sejak tinggal di pondok pesantren. Responden yang telah ≥3 tahun terjangkit kutu kepala merupakan responden yang sebelumnya telah tinggal di pondok pesantren lain (sebelum masuk tingkat pendidikan Madrasah Aliyah Al-Bairuny).

Kesehatan kepala responden berdasarkan jenis rambut diteliti dengan membagi responden masing-masing kelompok ke dalam dua kategori yakni rambut ikal atau keriting dan rambut lurus. Hasil penelitian menunjukkan terdapat 30% responden berambut ikal atau keriting (21,7% responden diantaranya terjangkit kutu kepala) dan 70% responden berambut lurus (60% responden diantaranya terjangkit kutu kepala). Hal ini menunjukkan bahwa kutu kepala dapat hidup di rambut manusia baik rambut lurus maupun rambut ikal atau keriting.

Kesehatan kepala responden berdasarkan panjang rambut diteliti dengan membagi responden masing-masing kelompok ke dalam dua kategori yakni rambut pendek (di atas bahu) dan rambut panjang (sebahu atau di bawah bahu). Hasil penelitian menunjukkan terdapat 15% responden mempunyai rambut pendek (11,7% responden diantaranya terjangkit kutu kepala) dan 85% responden mempunyai rambut panjang (70% responden diantaranya terjangkit kutu kepala). Hasil penelitian tersebut menunjukkan mayoritas responden berambut panjang dan mempunyai kutu kepala, hal ini sesuai dengan penelitian Tappeh et.al (2012) yang menjelaskan bahwa mayoritas perempuan yang terjangkit pedikulosis kapitis mempunyai rambut panjang sebahu atau di bawah bahu.


(56)

Lesi merupakan salah satu komplikasi dari pedikulosis kapitis kronis yang terjadi akibat gigitan dan antigen air liur kutu kepala, namun sebagian orang memiliki toleransi imunologis terhadap antigen tersebut sehingga tidak timbul reaksi akibat gigitan (Brown dan Burns, 2005). Kesehatan kepala responden berdasarkan kondisi kulit kepala diteliti dengan membagi responden masing-masing kelompok ke dalam dua kategori yakni responden dengan lesi kulit kepala dan responden tanpa lesi kulit kepala. Hasil penelitian menunjukkan terdapat 6,7% responden yang terdapat lesi di kulit kepalanya dan seluruhnya masuk dalam kategori responden yang terjangkit kutu kepala, sedangkan 93,3% responden lainnya tidak terdapat lesi di kulit kepalanya. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat kemungkinan lesi yang ditemukan pada 6,7% responden tersebut diakibatkan oleh kutu kepala.

Menurut Novita (2009) untuk menghilangkan kotoran yang menempel pada kulit kepala diperlukan keramas 2-3 kali seminggu. Kotoran yang dihasilkan oleh kutu kepala dan air liurnya dapat menyebabkan rasa gatal yang memicu seseorang untuk menggaruk kepala (Timmreck, 2004), sedangkan menggaruk kepala secara intensif dapat menyebabkan iritasi, luka dan infeksi sekunder (Bugayong et.al, 2011). Kesehatan kepala responden berdasarkan frekuensi keramas diteliti dengan membagi responden masing-masing kelompok ke dalam dua kategori yakni responden dengan frekuensi keramas 0-1 kali dan 2-3 kali per minggu. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat 6,7% responden yang mempunyai frekuensi keramas 0-1 kali seminggu dan seluruhnya masuk dalam kategori responden yang terjangkit kutu kepala, sedangkan 93,3% responden lainnya mempunyai frekuensi keramas 2-3 kali seminggu.


(57)

Anemia karena kehilangan darah merupakan salah satu dampak yang dapat terjadi pada seseorang dengan pedikulosis kapitis berat (Moradi et al., 2009). Anemia adalah keadaan di mana masa eritrosit dan/atau masa hemoglobin yang beredar tidak memenuhi fungsinya untuk menyediakan oksigen bagi jaringan tubuh (Handayani dan Haribowo, 2008). Batasan hemoglobin yang umum digunakan untuk mendiagnosa seseorang terkena anemia adalah berdasarkan kriteria WHO 1968, yang mana untuk kriteria perempuan usia >14 tahun dan tidak hamil akan dikatakan anemia jika kadar hemoglobinnya <12gr/dl (Handayani dan Haribowo, 2008).

Gejala umum anemia atau yang biasa disebut anemic syndrome adalah gejala yang timbul pada semua jenis anemia pada kadar hemoglobin yang sudah menurun di bawah titik tertentu. Gejala ini timbul karena anoksia organ target dan mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan hemoglobin. Pada organ epitel, gejala anemia dapat dilihat salah satunya dari warna pucat pada kulit dan mukosa (Handayani dan Haribowo, 2008). Pada penelitian ini warna konjungtiva responden dilihat untuk mengetahui gejala anemia yang mungkin dialami oleh responden yang mayoritas terjangkit kutu kepala.

Kesehatan responden berdasarkan warna konjungtiva diteliti dengan membagi responden masing-masing kelompok ke dalam dua kategori yakni responden dengan warna konjungtiva pucat dan tidak pucat. Hasil penelitian menunjukkan terdapat 28,4% responden yang mempunyai warna konjungtiva pucat, 23,4% responden diantaranya masuk dalam kategori responden yang terjangkit kutu kepala. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat kemungkinan warna


(58)

konjungtiva pucat yang mayoritas ditemukan pada responden yang terjangkit kutu kepala adalah anemia yang disebabkan oleh kutu kepala.

B. Pengetahuan Responden

Pengetahuan adalah hasil dari tahu yang terjadi melalui proses sensoris khususnya mata dan telinga terhadap objek tertentu (Sunaryo, 2004). Efendi (2009) mengatakan bahwa dengan pendidikan kesehatan dapat memberikan dan meningkatkan pengetahuan. Dalam penelitian ini dengan dilakukannya pendidikan kesehatan diharapkan pengetahuan santriwati tentang pedikulosis kapitis dapat meningkat. Sunaryo (2004) menyebutkan bahwa pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku terbuka (overt behavior) dan perilaku yang didasari pengetahuan umumnya bersifat langgeng. Menurut Tappeh et.al (2012) pengetahuan tentang pedikulosis kapitis dibutuhkan untuk mencegah dan mengontrol infestasi kutu kepala dan berbagai dampak yang ditimbulkannya.

Hasil uji Wilcoxon menunjukkan bahwa kelompok metode ceramah dan leaflet mempunyai pengaruh yang berarti dalam menentukan skor pengetahuan responden. Sedangkan hasil uji Mann Withney menunjukkan tidak terdapat perbedaan skor pengetahuan yang signifikan antara kedua kelompok saat pretest dengan mean rank kelompok leaflet sedikit lebih tinggi dibandingkan kelompok ceramah, namun saat posttest terdapat perbedaan yang signifikan dengan mean rank kelompok ceramah lebih tinggi dibandingkan mean rank kelompok leaflet. Hal ini menunjukkan bahwa metode ceramah lebih baik daripada leaflet dalam menentukan skor pengetahuan dilihat dari peningkatan mean rank keduanya. Hasil ini sesuai dengan penelitian Munawaroh dan Sulistyorini (2010) yang


(59)

menyebutkan bahwa peningkatan pengetahuan pada kelompok yang diberi pendidikan kesehatan dengan metode ceramah lebih tinggi dibandingkan kelompok yang diberi pendidikan kesehatan dengan media leaflet.

Beberapa hal yang dapat menyebabkan metode ceramah lebih baik dibandingkan metode leaflet dalam menentukan skor pengetahuan adalah pada metode ceramah terdapat kontak langsung antara pendidik dengan responden sehingga pendidik dapat menjelaskan dengan menekankan bagian yang penting. Selain itu, pada penelitian ini metode ceramah disertai dengan media powerpoint sehingga materi yang disampaikan lebih menarik dan mudah dipahami. Sedangkan beberapa hal yang dapat menyebabkan media leaflet tidak lebih baik dari metode ceramah dalam menentukan skor pengetahuan adalah kurang menariknya media ini bagi sebagian responden (sebagian responden malas untuk membaca). Menurut kerucut Edgar Dale dalam Nursalam (2008), dalam dua minggu setelah partisipan diberi pendidikan kesehatan mereka akan mampu mengingat materi yang diberikan dengan persentase yang berbeda-beda sesuai dengan metode dan media pendidikan kesehatan yang dilakukan. Jika dilihat dari kerucut Edgar Dale kelompok dengan media leaflet akan dapat mengingat 10% materi yang telah diterima karena kelompok ini hanya mengandalkan visual sedangkan kelompok dengan metode ceramah dengan media powerpoint akan dapat mengingat 50% materi yang telah diterima karena kelompok ini menggunakan indera pendengaran dan penglihatan.


(60)

C. Keterbatasan Penelitian

Terdapat beberapa keterbatasan yang belum dapat dipenuhi dan menjadi kekurangan dalam penelitian ini. Berbagai kekurangan tersebut terdapat pada isi dan metodologi penelitian.

1. Populasi santriwati yang sedikit menjadikan teknik pengambilan sampel menggunakan total sampling (tidak terdapat randomisasi) sehingga sampel yang didapat tidak dapat digeneralisasi.


(61)

45 PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, maka berikut kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini. 1. Baik responden dengan usia 15 tahun atau lebih dari 15 tahun mayoritas

terjangkit kutu kepala. Mayoritas responden terjangkit kutu kepala ±1 tahun yang mana berdasarkan wawancara lebih lanjut para responden mulai terjangkit kutu kepala sejak tinggal di pondok pesantren. Responden yang terjangkit kutu kepala mayoritas mempunyai rambut lurus. Untuk variabel panjang rambut, mayoritas responden yang terjangkit kutu kepala maupun tidak terjangkit kutu kepala mempunyai rambut panjang. Kondisi kulit kepala responden yang terjangkit kutu kepala mayoritas tidak terdapat lesi kulit kepala. Responden yang terjangkit kutu kepala mempunyai frekuensi keramas mayoritas >2 kali sehari dengan persentase 75% sedangkan responden yang tidak terjangkit kutu kepala seluruhnya mempunyai frekuensi keramas >2 kali sehari. Untuk variabel warna konjungtiva, terdapat responden yang terjangkit kutu kepala yang mempunyai konjungtiva pucat dengan persentase 23,4%. 2. Rata-rata skor pengetahuan pretest pada kelompok ceramah menunjukkan

angka 20,07 dan saat posttest meningkat menjadi 26,13, sedangkan rata-rata skor pengetahuan pretest pada kelompok leaflet menunjukkan angka 20,93 dan saat posttest meningkat menjadi 22,83.


(62)

3. Baik metode ceramah maupun leaflet memberikan pengaruh yang berarti dalam menentukan skor pengetahuan responden namun metode ceramah lebih baik daripada metode leaflet dalam menentukan skor pengetahuan responden. B. Saran

1. Bagi Santriwati

Berdasarkan hasil penelitian ini santriwati diharapkan dapat menerapkan penanganan pedikulosis kapitis berupa pencegahan dan pengobatan dengan benar, khususnya bagi santriwati Pondok Pesantren Al-Mimbar Sambongdukuh Jombang yang telah diberikan pengetahuan tentang pedikulosis kapitis pada penelitian ini.

2. Bagi Pondok Pesantren

Berdasarkan hasil penelitian ini pondok pesantren diharapkan semakin memperhatikan kesehatan santri didiknya terutama terkait pencegahan penyakit menular seperti pedikulosis kapitis dengan mengoptimalkan peran petugas kesehatan setempat.

3. Bagi Puskesmas

Berdasarkan hasil penelitian ini diharapkan puskesmas setempat dapat meningkatkan pelayanan kesehatan atau keperawatan dengan bekerjasama dengan pihak pondok pesantren dalam memberikan pendidikan kesehatan pada para santri agar terhindar dari pedikulosis kapitis dan penyebaran penyakit menular lainnya.

4. Bagi Peneliti Selanjutnya

a. Dilakukan penelitian lain tentang faktor-faktor yang menyebabkan pedikulosis kapitis.


(63)

b. Dilakukan penelitian lain tentang pengaruh pendidikan kesehatan tentang pedikulosis kapitis terhadap sikap dan perilaku santri.


(64)

Adnani, Hariza. 2011. Buku Ajar: Ilmu Kesehatan Masyarakat. Yogyakarta: Nuha Medika.

Alatas, Sahar SS., Linuwih, S. 2013. Hubungan Tingkat Pengetahuan Mengenai Pedikulosis Kapitis dengan Karakteristik Demografi Santri Pesantren X, Jakarta Timur. eJKI, vol (1) 1: 53-57.

Arikunto, Suharsimi. 2010. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.

Badri, Moh. 2007. Hygiene Perseorangan Santri Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar Ponorogo.Media Litbang Kesehatan, vol (17) 2: 20-27.

Behrman, R., Kliegman, R., Arvin, A. 2000. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: EGC.

Brown, RG., Burns, T. 2005. Lecture Notes: Dermatologi. Jakarta: Erlangga Medical Series.

Budiman, Riyanto A. 2013. Kapita Selekta Kuesioner Pengetahuan dan Sikap dalam Penelitian Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika.

Bugayong, AMS. et. al.. 2011. Effect of dry-on, suffocation-based treatment on the prevalence of pediculosis among schoolchildren in Calagtangan Village, Miag-ao, Iloilo. Philippine Science Letters. Vol (4) 1: 33-37.

Dharma, Kelana K. 2011. Metodologi Penelitian Keperawatan. Jakarta: Trans Info Media.

Efendi, F., Makhfudli. 2009. Keperawatan Kesehatan Komunitas: Teori dan Praktik dalam Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

Gulgun, M. et. al.. 2013. Pediculosis Capitis: Prevalence And its Associated Factors in Primary School Children Living in Rural and Urban Areas in Kayseri, Turkey. National Institute of Public Health, vol (21) 2: 104-108. Handayani, W., Haribowo, AS. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan dengan

Gangguan Sistem Hematologi. Jakarta: Salemba Medika.

Harsono, B., Soesanto, Samsudi. 2009. Perbedaan Hasil Belajar antara Metode Ceramah Konvensional dengan Ceramah berbantuan Media Animasi dalam Pembelajaran Kompetensi Perakitan dan Pemasangan sistem Rem. Jurnal PTM, vol (9) 2: 71-79.

Haryono, I., Prabandari, YS., Hariyono, W. 2008. Pendidikan Kesehatan Lingkungan Melalui Kultum. Berita Kedokteran Masyarakat, vol (24) 1: 8-15.

Herijulianti, E., Indriani, TS., Artini, S. 2001. Pendidikan Kesehatan Gigi. Jakarta: EGC.

Hidayat, AA. 2008. Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis Data. Jakarta: Salemba Medika.

Kawuriansari, R., Fajarsari, D., Maulidah, S. 2010. Studi Efektivitas Leaflet Terhadap Skor Pengetahuan Remaja Putri tentang Dismenorea di SMP


(65)

Kristen 01 Purwokerto Kabupaten Banyumas. Bidan Prada : Jurnal Ilmiah Kebidanan, vol (1) 1: 108-122.

Lesshafft, H. et. al.. 2013. Prevalence and risk factors associated with pediculosis capitis in an impoverished urban community in Lima, Peru. Medknow Publications & Media Pvt. Ltd., vol (5) 4: 138-143.

Machali, Rochayah. 2009. Pedoman Bagi Penerjemah. Bandung: Kaifa.

Moesa, Ali Maschan. 2007. Nasionalisme Kiai: Konstruksi Sosial Berbasis Agama. Yogyakarta: LkiS.

Moradi. et. al.. 2009. The Prevalence of Pediculosis capitis in Primary School Students in Bahar, Hamadan Province, Iran. J Res Health Sci. Vol (9) 1: 45-49.

Munawaroh, S., Sulistyorini, A. 2010. Efektivitas Metode Ceramah dan Leaflet dalam Peningkatan Pengetahuan Remaja tentang Seks Bebas di SMA Negeri Ngrayun, Unpublished journal, Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah, Ponorogo.

Natadisastra, D., Agoes, R. 2009. Parasitologi Kedokteran: Ditinjau dari Organ Tubuh yang Diserang. Jakarta: EGC.

Notoatmodjo, S. 2005. Promosi Kesehatan: Teori dan Aplikasi. Jakarta: Rineka Cipta.

Notoatmodjo, S. 2010a. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Notoatmodjo, S. 2010b. Promosi Kesehatan: Teori dan Aplikasi. Jakarta: Rineka

Cipta.

Novita, Windya. 2009. Buku Pintar Merawat Kecantikan di Rumah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Nursalam, Efendi F. 2008. Pendidikan dalam Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

Pallant, Julie. 2007. SPSS: Survival Manual. England: Open University Press. Patricia, Arthur. 2002. Riset Keperawatan: Sejarah dan Metodologi. Jakarta:

EGC.

Permenkes RI No. 1 Tahun 2013 tentang Pedoman Penyelenggaraan dan Pembinaan Pos Kesehatan Pesantren, dalam: www.depkes.go.id diakses tgl 4 November pukul 09.00 WIB.

Potter P., Perry A. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, dan Praktik. Jakarta: EGC.

Purwoko, S., Satyanegara, S. 2006. Pertolongan Pertama dan RJP Pada Anak. Jakara: Arcan.

Ramdan, AA., Iswari, R., Wijaya, A. 2013. Pola Penyakit Santri di Pondok Pesantren Modern AsSalamah. Solidarity: Journal of Education, Society and Culture 2 (1): 1-8.

Riwidikdo, Handoko. 2009. Statistik Kesehatan. Jogjakarta: Mitra Cendekia Press Riyanto, Agus. 2011. Aplikasi Metodologi Penelitian Kesehatan. Yogyakarta:


(66)

Sidoti, Bonura, Paolini, Tringali. 2009. A Survey on Knowledge and Perceptions Regarding Head Lice on Sample of Teachers and Students in Primary Schools of North and South of Italy. J prev med hyg; 50: 141-151.

Simamora, Roymond H. 2009. Buku Ajar Pendidikan dalam Keperawatan. Jakarta: EGC.

Siregar, Syofian. 2013. Statistik Parametrik Untuk Penelitian Kuantitatif. Jakarta: Bumi Aksara.

Sunaryo. 2004. Psikologi untuk Keperawatan. Jakarta: EGC.

Tappeh, KH. et al.. 2012.Pediculosis capitis among Primary School Children and Related Risk Factors in Urmia, the Main City of West Azarbaijan, Iran. J Arthropod-Borne Dis, vol (6) 1: 79–85.

Timmreck, Thomas C. 2004. Epidemiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: EGC. Umar, Husein. 2005. Riset Sumber Daya Manusia dalam Organisasi. Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama.

Umar, Husein. 2011. Metodologi Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis. Jakarta: Rajawali Pers.

Werner, D., Thuman, C., Maxwell, J. 2010. Apa yang Anda Kerjakan Bila Tidak Ada Dokter. Yogyakarta: ANDI OFFSET.

WHO. 2012. Health Education: theoritical concepts, effective strategies and core competencies. Eastern Mediterranean: WHO Library Cataloguing in Publication Data.

Wibowo, Agus. 2009. Cerdas Memilih Obat dan Mengenali Penyakit. Jakarta: Lingkar Pena Kreativa.


(1)

ada luka/nanah (pretest) * kategori kutu sebelum intervensi Crosstabulation Count

kategori kutu sebelum intervensi Total tidak terjangkit

kutu

terjangkit kutu

ada luka/nanah (pretest)

ada 0 4 4

tidak ada 11 45 56

Total 11 49 60

frekuensi keramas dlm seminggu (pretest) * kategori kutu sebelum intervensi Crosstabulation

Count

kategori kutu sebelum intervensi Total tidak terjangkit

kutu

terjangkit kutu

frekuensi keramas dlm seminggu (pretest)

0-1 kali 0 4 4

2-3 kali 11 45 56

Total 11 49 60

Konjungtiva anemis * kategori kutu sebelum intervensi Crosstabulation Count

kategori kutu sebelum intervensi Total tidak terjangkit

kutu

terjangkit kutu

Konjungtiva anemis ada 3 14 17

tidak ada 8 35 43


(2)

B.

Pengetahuan Responden

Statistics

pretest_1 posttest_1 pretest_2 posttest_2 N

Valid 30 30 30 30

Missing 30 30 30 30

Mean 20,07 26,13 20,93 22,83

pretest_1

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

9 1 1,7 3,3 3,3

11 1 1,7 3,3 6,7

15 2 3,3 6,7 13,3

16 1 1,7 3,3 16,7

17 1 1,7 3,3 20,0

18 2 3,3 6,7 26,7

19 3 5,0 10,0 36,7

20 2 3,3 6,7 43,3

21 8 13,3 26,7 70,0

22 4 6,7 13,3 83,3

23 1 1,7 3,3 86,7

24 1 1,7 3,3 90,0

26 1 1,7 3,3 93,3

28 1 1,7 3,3 96,7

29 1 1,7 3,3 100,0

Total 30 50,0 100,0

Missing System 30 50,0


(3)

posttest_1

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

20 1 1,7 3,3 3,3

21 2 3,3 6,7 10,0

23 1 1,7 3,3 13,3

24 5 8,3 16,7 30,0

25 4 6,7 13,3 43,3

26 4 6,7 13,3 56,7

28 4 6,7 13,3 70,0

29 7 11,7 23,3 93,3

30 2 3,3 6,7 100,0

Total 30 50,0 100,0

Missing System 30 50,0

Total 60 100,0

pretest_2

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

9 1 1,7 3,3 3,3

10 1 1,7 3,3 6,7

11 2 3,3 6,7 13,3

14 1 1,7 3,3 16,7

15 1 1,7 3,3 20,0

18 2 3,3 6,7 26,7

20 3 5,0 10,0 36,7

21 1 1,7 3,3 40,0

22 1 1,7 3,3 43,3

23 4 6,7 13,3 56,7

24 4 6,7 13,3 70,0

25 5 8,3 16,7 86,7

26 2 3,3 6,7 93,3

27 2 3,3 6,7 100,0

Total 30 50,0 100,0

Missing System 30 50,0


(4)

posttest_2

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

13 1 1,7 3,3 3,3

15 2 3,3 6,7 10,0

16 1 1,7 3,3 13,3

17 2 3,3 6,7 20,0

19 1 1,7 3,3 23,3

22 5 8,3 16,7 40,0

23 1 1,7 3,3 43,3

24 4 6,7 13,3 56,7

25 3 5,0 10,0 66,7

26 5 8,3 16,7 83,3

27 1 1,7 3,3 86,7

28 4 6,7 13,3 100,0

Total 30 50,0 100,0

Missing System 30 50,0

Total 60 100,0

Descriptive Statistics

N Mean Std. Deviation Minimum Maximum

pretest_1 30 20.07 4.226 9 29

pretest_2 30 20.93 5.336 9 27

posttest_1 30 26.13 2.813 20 30


(5)

Lampiran 11

Hasil Analisa Bivariat

Wilcoxon Signed Ranks Test

Ranks

N Mean Rank Sum of Ranks

posttest_1 - pretest_1

Negative Ranks 0a .00 .00

Positive Ranks 28b 14.50 406.00

Ties 2c

Total 30

posttest_2 - pretest_2

Negative Ranks 0d .00 .00

Positive Ranks 25e 13.00 325.00

Ties 5f

Total 30

a. posttest_1 < pretest_1 b. posttest_1 > pretest_1 c. posttest_1 = pretest_1 d. posttest_2 < pretest_2 e. posttest_2 > pretest_2 f. posttest_2 = pretest_2

Test Statisticsa

posttest_1 - pretest_1 posttest_2 - pretest_2

Z -4.632b -4.422b

Asymp. Sig. (2-tailed) .000 .000

a. Wilcoxon Signed Ranks Test b. Based on negative ranks.

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic df Sig. skor pengetahuan pretest .142 60 .004 .938 60 .005 skor pengetahuan posttest .168 60 .000 .909 60 .000 a. Lilliefors Significance Correction


(6)

Mann-Whitney Test

Ranks metode pendidikan kesehatan

N Mean Rank Sum of Ranks

skor pengetahuan pretest

ceramah 30 27,05 811,50

leaflet 30 33,95 1018,50

Total 60

Test Statisticsa skor pengetahuan

pretest Mann-Whitney U 346,500

Wilcoxon W 811,500

Z -1,535

Asymp. Sig. (2-tailed) ,125 a. Grouping Variable: metode pendidikan kesehatan

Ranks metode pendidikan kesehatan

N Mean Rank Sum of Ranks

skor pengetahuan posttest

ceramah 30 37,32 1119,50

leaflet 30 23,68 710,50

Total 60

Test Statisticsa skor pengetahuan

posttest Mann-Whitney U 245,500

Wilcoxon W 710,500

Z -3,043

Asymp. Sig. (2-tailed) ,002 a. Grouping Variable: metode pendidikan kesehatan


Dokumen yang terkait

HUBUNGAN ANTARA PERILAKU SEHAT DENGAN ANGKA KEJADIAN PEDIKULOSIS KAPITIS PADA SANTRIWATI PONDOK PESANTREN DARUL ‘ULUM JOMBANG

1 8 12

EFEKTIFITAS AUDIOVISUAL DENGAN CERAMAH DAN LEAFLET TERHADAP PENGETAHUAN Efektifitas Audiovisual Dengan Ceramah Dan Leaflet Terhadap Pengetahuan Kontrasepsi Mow.

2 21 14

PERBEDAAN PENGETAHUAN PADA PENDIDIKAN KESEHATAN METODE CERAMAH DAN MEDIA LEAFLET Perbedaan Pengetahuan Pada Pendidikan Kesehatan Metode Ceramah Dan Media Leaflet Dengan Metode Ceramah Dan Media Video Tentang Bahaya Merokok Di SMK Kasatrian Solo.

0 4 15

PERBEDAAN PENGETAHUAN PADA PENDIDIKAN KESEHATANMETODE CERAMAH DAN MEDIA LEAFLET DENGAN Perbedaan Pengetahuan Pada Pendidikan Kesehatan Metode Ceramah Dan Media Leaflet Dengan Metode Ceramah Dan Media Video Tentang Bahaya Merokok Di SMK Kasatrian Solo.

0 2 16

PENDAHULUAN Perbedaan Pengetahuan Pada Pendidikan Kesehatan Metode Ceramah Dan Media Leaflet Dengan Metode Ceramah Dan Media Video Tentang Bahaya Merokok Di SMK Kasatrian Solo.

0 3 6

PERBEDAAN PENDIDIKAN KESEHATAN METODE CERAMAH DENGAN CERAMAH DISERTAI LEAFLET TERHADAP Perbedaan Pendidikan Kesehatan Metode Ceramah Dengan Ceramah Disertai Leaflet Terhadap Pengetahuan Keluarga Pasien Post Stroke Di Kecamatan Pasar Kliwon Sura

0 2 16

PERBEDAAN PENDIDIKAN KESEHATAN METODE CERAMAH DENGAN CERAMAH DISERTAI LEAFLET Perbedaan Pendidikan Kesehatan Metode Ceramah Dengan Ceramah Disertai Leaflet Terhadap Pengetahuan Keluarga Pasien Post Stroke Di Kecamatan Pasar Kliwon Surakarta.

0 2 17

POLITIK PESANTREN DAN KESETARAAN GENDER: PENDIDIKAN KEPEMIMPINAN SANTRIWATI DI PONDOK PESANTREN PUTRI AL LATHIFIYYAH 1 BAHRUL 'ULUM TAMBAKBERAS JOMBANG.

0 3 112

STUDI KOMPARASI METODE CERAMAH DAN LEAFLET TERHADAP TINGKAT PENGETAHUAN DAN SIKAP REMAJA TENTANG VULVA HYGIENE DI SMA N 10 PURWOREJO NASKAH PUBLIKASI - Studi Komparasi Metode Ceramah dan Leaflet terhadap Tingkat Pengetahuan dan Sikap Remaja tentang Vulva

0 11 20

PERBEDAAN PENGETAHUAN DAN PERILAKU PERSONAL HYGIENE SANTRIWATI SEBELUM DAN SETELAH DIBERIKAN PENDIDIKAN KESEHATAN SCABIES DI PONDOK PESANTREN SALAFI AL-FALAH JATILAWANG

0 0 16