10 | P a g e
Bab 2 Institusi dan Kebijakan
Bab ini akan membahas mengenai isu-isu kebijakan yang mendukung penyusunan dan pelaksanaan RAD GRK.
2.1 Kerangka Kebijakan dan Acuan Normatif Mengenai Perubahan Iklim
Pemerintah Republik Indonesia Pemerintah RI telah menghasilkan beberapa peraturan dan kebijakan mengenai adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Beberapa dokumen utama antara
lain: Rencana Aksi Nasional Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca RAN – GRK dan
Indonesia Climate Change Sektoral Roadmap
ICCSR. RAN GRK adalah dokumen perencanaan jangka panjang yang mengatur usaha
– usaha pengurangan emisi gas rumah kaca yang terkait dengan substansi Rencana Pembangunan Jangka Panjang RPJP dan Rencana Pembangunan Jangka
Menengah RPJM. RAN GRK merupakan acuan utama bagi aktor pembangunan di tingkat nasional, provinsi, dan kotakabupaten dalam perencanaan, implementasi, monitor, dan evaluasi
pengurangan emisi gas rumah kaca. Proses legalisasi RAN GRK dibuat melalui Peraturan Presiden.
RAN GRK mengamanatkan kepada Pemerintah Provinsi untuk menyusun rencana aksi pengurangan emisi untuk tingkat provinsi, yang selanjutnya disebut dengan Rencana Aksi
Daerah Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca RAD GRK. Substansi pada RAN GRK merupakan dasar bagi setiap provinsi dalam mengembangkan RAD GRK sesuai dengan
kemampuan serta keterkaitannya terhadap kebijakan pembangunan masing
– masing provinsi. Dengan demikian, RAD GRK kemudian akan ditetapkan melalui Peraturan Gubernur.
Penyusunan RAD GRK diharapkan merupakan proses
bottom-up
yang menggambarkan bagaimana langkah yang akan ditempuh setiap provinsi dalam mengurangi emisi gas rumah
kaca, sesuai dengan kapasitas masing – masing. Lebih lanjut, setiap Pemerintah Provinsi perlu
menghitung besar emisi gas rumah kaca masing – masing, target pengurangan, dan jenis sektor
yang akan dikurangi emisinya.
2.2 Komitmen Pemerintah Indonesia terhadap Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca
Berdasarkan keputusan
Bali Action Plan
2007, disebutkan perlunya peran negara-negara berkembang melalui pengurangan emisi secara sukarela. Indonesia dalam hal ini di G20
Pittsburg September 2009 mengajukan untuk menurunkan sebesar 26 dari BAU pada tahun 2020 dengan usaha sendiri dan dapat meningkat menjadi 41 dengan dukungan internasional.
Upaya pengurangan emisi secara sukarela ini disebut juga
Nationally Appropriate Mitigation Actions
NAMAs. Secara internasional belum terdapat kesepakatan mengenai metodologi NAMAs. Akan tetapi, arah perkembangan negosiasi antar negara terkait dengan pengurangan
emisi mengindikasikan bahwa Indonesia perlu membuat Nasional
ba seline
acuan dasar. Nasional
baseline
ini perlu membuat landasan yang komprehensif tentang baseline dari emisi
11 | P a g e
nasional maupun berbagai skenario penurunan emisi dari emisi per sektornya. Salah satu pertimbangan utama agar program-program mitigasi dapat dikategorikan dalam program
NAMAs adalah program-program yang berbiaya murah
least cost principle
. Kedudukan program-program mitigasi dalam dokumen RAD dapat dipertimbangkan sebagai
bagian dari program-program NAMAs, jika program-program tersebut mengacu kepada Nasional baseline. Selanjutnya, jika dari aspek biaya program-program dari RAD ada yang
termasuk dalam kategori biaya yang lebih murah, maka dapat diusulkan masuk dalam program- program NAMAs. Selanjutnya biaya yang akan dikeluarkan untuk melakukan program-program
tersebut dapat bersumber atau mendapat insentif dari pemerintah pusat.
2.2.1 Kebijakan Nasional Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca
Dokumen ICCSR, Yellow Book, dan RAN GRK memberikan pengayaan kepada setiap bentuk produk perencanaan pembangunan. Dalam hal ini mengikuti tatanan yang diatur di dalam UU
252004 mengenai Sistem Pembangunan Nasional. UU 252004 tersebut membagi produk perencanaan pembangunan ke dalam 3 jenis : a perencanaan jangka panjang
– Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Daerah, b perencanaan jangka menengah
– Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Daerah Rencana Strategis KL, serta c rencana
tahunan – Rencana Kerja Pembangunan Rencana Kerja KL.
Dengan demikian, pada dasarnya belum terdapat keterkaitan langsung antara dokumen kebijakan yang memperkaya Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dalam hal perubahan iklim
maupun dari Undang – undang mengenai lingkungan hidup kepada penyusunan RAD GRK.
Ketentuan langsung yang mengamanatkan penyusun RAD – GRK terdapat pada RAN GRK,
yang juga berarti bahwa RAN GRK adalah acuan penyusunan dan substansi RAD GRK. Namun demikian, RAD GRK yang diusulkan Pemerintah Daerah juga berfungsi sebagai bahan untuk
mengkaji ulang target dan aksi pada RAN GRK
2
. Dokumen kebijakan pada tingkat nasional memiliki keterkaitan langsung maupun tidak langsung
dengan penyusunan RAD – GRK pada tingkat Provinsi Gambar 1. Lebih lanjut, ini merupakan
kombinasi dari hubungan Dokumen ICCSR dengan Sistem Pembangunan Nasional serta Dokumen RAN GRK dengan Sistem Pembangunan Nasional
3
. Kombinasi tersebut menjelaskan bagaimana keterkaitan Dokumen ICCSR, RAN GRK, dan RAD GRK yang dihasilkan oleh
Pemerintah Provinsi. RAD GRK tentu perlu disusun karena merupakan ketentuan langsung yang diatur di dalam Peraturan Presiden mengenai RAN GRK, kemudian Gambar 1 menjelaskan
bahwa substansi peta jalan
Roadmap
pengurangan emisi pada setiap sektor di dalam ICCSR pada dasarnya dapat diadopsi dijadikan pertimbangan oleh Pemerintah Provinsi untuk
menentukan aksi mitigasi.
2
Draft RAN GRK, Pasal 4 ayat 3, Pasal 5, dan Pasal 8 ayat 4
3
Dokumen Laporan Sintesis ICCSR Halaman 8 Bappenas, 2010 dan RAN GRK Bappenas, 2010 untuk melihat keterkaitan ICCSR
– Sistem Pembangunan Nasional dan RAN GRK – Sistem Pembangunan Nasional
12 | P a g e
Gambar 2.1 Kerangka Keterkaitan DokumenKebijakan Nasional-Daerah dengan RAD GRK
Indonesia Climate Change Sektoral Roadmap ICCSR
ICCSR dipublikasikan oleh Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional pada Maret 2010. Dokumen ICCSR diharapkan dapat memberikan panduan pedoman yang detail dan sebagai alat
untuk mengarustuamakan perubahan iklim di dalam setiap sektor ataupun lintas sektor pembangunan. Dokumen ICCSR bertujuan untuk mengatur target nasional, target sektoral,
capaian dan prioritas aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim
4
. Ruang lingkup ICCSR merupakan kombinasi
roadmap
untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Pedoman inisiatif terkait mitigasi emisi gasr rumah kaca yang disediakan di dalam ICCSR
setidaknya meliputi lima hal : 1.
Inventori emisi CO2 yang akan direvisi serta penyesuaiannya pada 2015. 2.
Penyediaan panduan kebijakan untuk pengurangan emisi gas rumah kaca dari proyeksi scenario
business as usual
sebesar 26 pada tahun 2020 menggunakan sumberdaya nasional serta 41 dengan dukungan internasional.
4
ICCSR, 2010, Bappenas, p.6
13 | P a g e
3. Implementasi mitigasi yang mendukung pencapaian agenda pembangunan nasional 2025.
4. Peningkatan energi alternatif.
5. Adopsi
low-carbon development
bagi seluruh sektor yang berkontribusi terhadap emisi gas rumah kaca.
Secara konseptual peta jalan untuk mengadopsi usaha mitigasi terhadap sistem pembangunan yang disediakan oleh dokumen ICCSR meliputi
5
: a.
Penentuan sektor mitigasi. b.
Penguatan basis ilmiah. c.
Status emisi inventori. d.
Penentuan potensi reduksi emisi gas rumah kaca. e.
Rekomendasi strategi mitigasi. f.
Integrasi ke dalam sistem pembangunan nasional. Formulasi prioritas mitigasi diharapkan berasal dari studi terkini mengenai inventori emisi
Inventori Gas Rumah kaca nasional, ICCSR juga memberi catatan bahwa hal ini sangat mungkin untuk diperbaharui sesuai perkembangan lebih lanjut pada konteks nasional maupun
internasional
6
. Adapun pada dokumen ICCSR, sektor mitigasi emisi gas rumah kaca dibagi atas sektor transportasi, kehutanan, industri, energi, dan pengelolaan persampahan.
Dalam pengaturan aktivitas mitigasi pada setiap sektor, dokumen ICCSR mengklasifikasikannya ke dalam tiga kategori sebagai berikut:
1 Dalam pengaturan aktivitas mitigasi pada setiap sektor, dokumen ICCSR
mengklasifikasikannya ke dalam tiga kategori Kategori 1 Manajemen Data, Informasi, dan Pengetahuan ;
2 Kategori 2 Perencanaan dan Kebijakan, Peraturan, dan Pengembangan Institusi;
3 Kategori 3 Implementasi, Kontrol, dan Evaluasi.
Penyusunan strategi dan aktivitias mitigasi pada setiap sektor di dalam ICCSR setidaknya meliputi penjelasan mengenai kegiatan, instansi terkait, lokasi kegiatan, serta waktu pelaksanaan.
Kerangka waktu pelaksaan yang disusun terbagi ke dalam kurun waktu 2010 – 2029.
“Yellow Book” National Development Planning: Indonesia’s Response to Climate Change Dokumen Yellow Book dipublikasikan oleh Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional.
Dokumen ini dimaksudkan untuk menjembatani isu sektoral dan lintas sektoral yang sensitif terhadap perubahan iklim dan juga hubungannya dengan dokumen perencanaan pembangunan
nasional. Dokumen ini juga bertindak untuk mempertajam dan melengkapi susbtansi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional RPJMN 2010
– 2014. Secara umum maksud penyusunan dokumen ini meliputi : 1 integrasi program adaptasi dan mitigasi perubahan iklim
dengan sistem perencanaan pembangunan, 2 menyajikan prioritas sektoral dan lintas sektoral
5
ICCSR, 2010, Bappenas, p.6
6
ICCSR, 2010, Bappenas, p.9
14 | P a g e
atas perubahan iklim di dalam kerangkan pembangunan berkelanjutan, 3 memberikan gambaran mekanisme pembiayaan dan institusi untuk mengimplementasikan kegiatan adaptasi dan mitigasi
perubahan iklim, 4 memberikan gambaran kerjasama di dalam kerangka perubahan iklim
7
.
Rencana Aksi Nasional Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca RAN GRK
RAN GRK adalah dokumen kerja yang menyediakan landasan bagi Pemerintah, Pemerintah Daerah, masyarakat serta pelaku ekonomi untuk pelaksanaan berbagai kegiatan yang secara
langsung dan tidak langsung menurunkan emisi Gas Rumah Kaca dalam periode 2010-2020 yang sesuai dengan target pembangunan nasional. RAN GRK merupakan acuan utama bagi aktor
pembangunan di tingkat nasional, provinsi, dan kotakabupaten dalam perencanaan, implementasi, monitor, dan evaluasi pengurangan emisi gas rumah kaca. Proses legalisasi RAN
GRK dibuat melalui Peraturan Presiden.
RAN GRK mengamanatkan kepada Pemerintah Provinsi untuk menyusun rencana aksi pengurangan emisi untuk tingkat provinsi, yang selanjutnya disebut dengan Rencana Aksi
Daerah Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca RAD GRK
8
. Substansi pada RAN GRK merupakan dasar bagi setiap provinsi dalam mengembangkan RAD GRK sesuai dengan
kemampuan serta keterkaitannya terhadap kebijakan pembangunan masing – masing provinsi.
Dengan demikian, RAD GRK kemudian akan ditetapkan melalui Peraturan Gubernur. Penyusunan RAD GRK diharapkan merupakan proses
bottom-up
yang menggambarkan bagaimana langkah yang akan ditempuh setiap provinsi dalam mengurangi emisi gas rumah
kaca, sesuai dengan kapasitas masing – masing. Lebih lanjut, setiap Pemerintah Provinsi perlu
menghitung besar emisi gas rumah kaca masing – masing, target pengurangan, dan jenis sektor
yang akan dikurangi emisinya. Namun demikian, Pemerintah Provinsi juga tetap harus memastikan bahwa pengurangan emisi gas rumah kaca di daerahnya tetap berkontribusi terhadap
target pengurangan di tingkat nasional.
2.2.2 Kebijakan Terkait Sektor Kehutanan
Rencana Jangka Panjang Kementerian Kehutanan 2006 – 2025 telah mengidentifikasi beberapa
strategi yang secara tidak langsung berkaitan dengan sumber emisi kebakaran hutan, konservasi hutan, dan manajemen hutan bakau. Setidaknya terdapat tiga strategi utama yang terkait dengan
hal tersebut:
1 SFM – Strategi Mitigasi Hutan,
2 RED – Strategi Mitigasi Hutan, dan
3 Jenis tanaman – Strategi Mitigasi Hutan
Strategi tersebut didukung dengan beberapa program seperti program riset dan pengembangan hutan, perencanaan makro hutan, stabilisasi area hutan, dan program manajemen pendukung dan
teknis. Lebih lanjut, terdapat pula dua peraturan menteri; yakni Peraturan Menteri 682008 mengenai penyelenggaraan pengurangan emisi karbon dari deforestasi dan degradasi hutan dan
7
Yellow Book: Indonesia‟s Response to Climate Change, 2010, Bappenas, p.3
8
Pasal 8, Ayat 1, Draft RAN GRK, 2010
15 | P a g e
Peraturan Menteri 392009 mengenai Tata cara pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan REDD. Beberapa peraturan terkait sektor kehutanan juga berasal dari Kementerian
Lingkungan Hidup.
Di dalam Rencana Aksi Nasional Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca, sektor kehutanan memiliki potensi yang besar dalam upaya penurunan emisi GRK, diantaranya yaitu pengelolaan
hutan yang berkelanjutan dari hutan produksi, hutan konservasi, dan hutan lindung, serta pembatasan konversi lahan hutan menjadi non-hutan dan degradasi kualitas hutan, pengelolaan
hutan pada lahan gambut dan pencegahan kebakaran hutan. Arah kebijakan untuk penurunan emisi GRK di bidang kehutanan di arahkan untuk mensinergikan program-program bidang
kehutanan seperti;
1. Mensinergikan kebijakan, perencanaan, dan program para pemangku kepentingan di
bidang kehutanan. 2.
Mempertajam kebijakan dan langkah-langkah pengurangan emisi karbon dari bidang kehutanan yang secara efektif dapat menyelesaikan masalah penyebab deforestasi dan
degradasi hutan. 3.
Mendukung pengelolaan hutan berkelanjutan. 4.
Merevitalisasi ekosistem hutan yang terdegradasi dengan pelibatan masyarakat. 5.
Menekan laju deforestasi dari berbagai gangguan seperti penebangan liar, kebakaran hutan, konversi hutan untuk kepentingan non-hutan.
6. Mengembangkan hutan tanaman untuk pemenuhan permintaan hasil hutan kayu untuk
keperluan industri kehutanan. Secara umum, Indonesia mengejar strategi ganda untuk upaya mitigasi pada sektor kehutanan,
yang mencerminkan dua fungsi utama hutan dalam konteks perubahan iklim, yaitu sebagai sumber karbon dan penyerap karbon. Melindungi hutan yang ada akan menjaga stok karbon dan
kapasitas penyerapan, reboisasi dan rehabilitasi hutan akan meningkatkan kapasitas hutan sebagai penyerap karbon, sedangkan deforestasi dan degradasi hutan akan meningkatkan emisi
gas rumah kaca. Maka strategi sebagai bentuk mitigasi dapat diringkasi sebagai berikut:
1. SFM – Strategi Mitigasi Hutan 1, peningkatan stok karbon hutan dan menghindari emisi
terkait dengan degradasi dan deforestasi yang tidak terencana. 2.
RED – Strategi Mitigasi Hutan 2, mengurangi jumlah emisi melalui manajemen konversi lahan hutan.
3. Perkebunan – Strategi Mitigasi Hutan 3 - Meningkatkan kapasitas penyerapan karbon
melalui promosi perkebunan di lahan tutupan non hutan. Dalam kebijakan saat ini banyak peran dari perkebunan untuk meningkatkan kapasitas
penyerapan karbon. Tetapi sedikit yang terencana, di luar pengembangan KPHs, untuk memastikan bahwa pohon-pohon yang terpelihara dengan baik dan tumbuh, atau untuk
memantau secara akurat pertumbuhan perkebunan dan penyerapan karbon. Pembangunan dan pembentukan KPH merupakan sarana penting untuk menjaga keabadian dari penyerapan karbon
di hutan dan karena itu harus dilihat sebagai prasyarat penting untuk semua aktivitas mitigasi.
16 | P a g e
Rencana Strategis Renstra Kementerian Kehutanan tahun 2010-2014 disusun berdasarkan kondisi saat ini dan permasalahan serta isu-isu strategis dalam pembangunan kehutanan ke
depan. Berdasarkan arah kebijakan dan strategi pembangunan nasional mengenai peningkatan konservasi dan rehabilitasi sumber daya hutan, Kementerian Kehutanan memiliki visi yang
tertuang di dalam Renstra Kementerian Kehutanan Tahun 2010-
2014, yaitu “Hutan Lestari Untuk Kesejahteraan Masyarakat Yang Berkeadilan
”. Guna mewujudkan visi tersebut ditetapkan beberapa misi Kementerian Kehutanan, dengan arah kebijakan prioritas pembangunan pada;
1. Pemantapan kawasan hutan.
2. Rehabilitasi hutan dan peningkatan daya dukung daerah aliran sungai DAS.
3. Pengamanan hutan dan pengendalian kebakaran hutan.
4. Konservasi keanekaragaman hayati.
5. Revitalisasi pemanfaatan hutan dan industri kehutanan.
6. Pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan.
7. Mitigasi dan adaptasi perubahan iklim sektor kehutanan.
8. Penguatan kelembagaan kehutanan.
2.2.3 Kebijakan Terkait Sektor Pertanian
Hubungan antara kegiatan pertanian dengan emisi gas rumah kaca pada dasarnya berasal dari fungsi penanaman dan perubahan guna lahan sebagai akibat dari kegiatan pertanian. Beberapa
peraturan telah diterbitkan terkait dengan hal ini, diantaranya Peraturan Menteri Pertanian 502007, 472006, 262007, 142009, dan lainnya. Peraturan
– peraturan terkini memperketat ketentuan untuk penggunaan lahan gambut bagi perkebunan tertentu, misalnya sawit, tidak hanya
mempertimbangkan kedalaman rawa gambut 3m, tetapi juga komposisi tanah di bawah gambut, kematangan gambut, dan kesuburan lahan gambut; dengan demikian akan
mempengaruhi jumlah emisi gas rumah kaca.
Pada RAN-GRK, Kebijakan pembangunan pertanian diarahkan untuk meminimalisasi dampak negatif dari perubahan iklim dan berkontribusi dalam penurunan emisi GRK, yang dilakukan
melalui i mensinergikan dan mengintegrasikan kebijakan, perencanaan, dan program pada seluruh pemangku kepentingan di bidang pertanian seperti, dengan Kementerian Pekerjaan
Umum misalnya untuk ketersediaan air dan infrastruktur, Kementerian Kehutanan misalnya untuk REDD+, dan Pemerintah Daerah.
Dalam ICCSR, kebijakan pada sektor pertanian secara umum adalah meminimalisasi dampak negatif dari fenomena alam tersebut agar sasaran pembangunan pertanian tetap dapat dicapai.
Kebijakan juga diarahkan untuk meningkatkan peran sektor pertanian, terutama subsektor perkebunan dan subsektor pertanian di lahan gambut, dalam menurunkan emisi GRK. Secara
rinci kebijakan yang akan ditempuh adalah:
1. Meningkatkan pemahaman petani dan pihak terkait dalam mengantisipasi perubahan
iklim.
17 | P a g e
2. Meningkatkan kemampuan sektor pertanian untuk beradaptasi dengan perubahan iklim,
termasuk didalamnya membangun sistem asuransi perubahan iklim. 3.
Merakit dan menerapkan teknologi tepat guna dalam memitigasi emisi GRK, dan 4.
Meningkatkan kinerja penelitian dan pengembangan di bidang adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Pada RENSTRA Departemen Pertanian 2010-2014 terdapat persiapan terhadap antisipasi dari perubahan iklim diperlukan analisis tentang kerentanan dampak perubahan iklim, inventarisasi
dan delineasi wilayah yang terkena dampak, serta penyusunan road map rencana aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dan lingkungan. Selain itu, perlu diciptakan dan disiapkan berbagai
teknologi adaptif baik untuk adaptasi maupun mitigasi, seperti varietas unggul, teknologi pengelolaan lahan dan air, pemupukan serta paket-paket teknologi adaptasi dan mitigasi
perubahan iklim, dan sebagainya.
2.2.4 Kebijakan Terkait Sektor Industri
Terkait dengan emisi yang dihasilkan dari sektor industri, beberapa peraturan dari Menteri Industri dan Lingkungan Hidup telah diterbitkan. Secara umum peraturan tersebut biasanya
dikembangkan untuk industri – industri tertentu; sebagai contoh industri kertas, besi dan baja,
pupuk, dan sebagainya. Dengan demikian, Pemerintah Provinsi harus mengidentifikasi industri terkait di area masing
–masing. Dalam Rencana Aksi Nasional Gas Rumah Kaca, sektor yang menjadi salah satu penyumbang
emisi Gas Rumah Kaca terbesar yaitu sektor industri. Emisi dari sektor industri berasal dari 3 sumber, yaitu dari penggunaan energi, proses produksi, dan limbah. Kebijakan bidang industri
dalam rangka mendukung mitigasi perubahan iklim dilakukan dengan mengarahkan agar sektor industri besar seperti semen, baja, pulp dan kertas, tekstil, dan lain-lain dapat melakukan
program penurunan emisi GRK secara bertahap melalui 3 program yaitu;
1. Melakukan efisiensi energi dengan menggunakan teknologi mesin yang lebih efisien
2. Menggunakan bahan bakar alternatif.
3. Melakukan efisiensi dalam proses produksi.
Dalam ICCSR, maksud dan tujuan dari dibuatnya roadmap sektor industri adalah untuk memperkirakan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari kegiatan industri dengan penekanan
khusus pada industri semen, untuk menghitung besarnya potensi pengurangan dari sektor industri, selanjutnya sebagai pertimbangan dalam menentukan rencana pembangunan ekonomi
nasional. Dalam ICCSR, potensi mitigasi yang dapat dilakukan terkait mitigasi secara teknis, diantaranya yaitu;
1. Efisiensi energi – mengurangi konsumsi energi seperti pencahayaan, efisiensi motor, AC,
dan bahan bakar dalam mesin. 2.
Bahan bakar alternatif – biomassa sebagai limbah pertanian, tanaman bahan bakar, limbah kota dan industri, termasuk limbah berbahaya.
18 | P a g e
3. Pencampuran bahan – untuk industri semen misalnya menggunakan bahan pengganti
klinker termasuk menggunakan bahan daur ulang.
2.2.5 Kebijakan Terkait Sektor Energi dan Transportasi
Di sektor energi, beberapa dokumen dan peraturan nasional telah diterbitkan yang terkait dengan pengurangan emisi gas rumah kaca; Masterplan Energi Nasional, Blueprint Energi Nasional,
Kebijakan Nasional Energi, Perpres 22008, dan sebagainya. Potensi penghematan energi, diverisifikasi energi, dan elastisitas energi yang ditargetkan pada dokumen
– dokumen tersebut akan berimplikasi terhadap jumlah emisi yang dihasilkan. Di sisi lain, Menteri Keuangan juga
telah menerbitkan beberapa peraturan yang dapat berimplikasi terhadap investasi di bidang energi.
Dalam RAN-GRK arahan kebijakannya berupa komitmen efisiensi dalam pemanfaatan energi diterapkan pada seluruh sektor pengguna energi, yakni sektor transportasi, industri, rumah
tangga, dan komersial.
Dalam ICCSR arahan kebijakannya dijelaskan bahwa emisi gas rumah kaca yang diperoleh dari sektor energi harus dikelola karena sektor ini sangat penting untuk pembangunan perekonomian
Indonesia, baik untuk ekspor produktif tukar pendapatan valas asing dan untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri.
Dalam Renstra Kementerian ESDM 2010-2014 memiliki salah satu arahan kebijakannya berupa meningkatkan kesadaram masyarakat melalui diversifikasi dan konservasi energy dalam rangka
untuk mengurangi gas rumah kaca.
Untuk sektor transportasi Kementerian Lingkungan Hidup telah mengesahkan beberapa peraturan terkait transportasi; sebagai contoh standar emisi untuk kendaraan baru dan lama.
Pemerintah Provinsi juga perlu mempersiapakn regulasi dan dokumen lebih detail untuk mitigasi emisi yang sesuai dengan strategi
avoidreduce
–
shift
–
improve
yang tertulis di dalam ICCSR. Sedangkan pada RAN-GRK pendekatan pengurangan emisi dilakukan dengan beberapa
pendekatan seperti trip demand management, shifting, improvement dan green transport. Pada Renstra Kementerian Perhubungan 2010-2014 telah terdapat strategi untuk
mengarusutamakan isu perubahan iklim kedalam perencanaan pembangunan nasional, termasuk koordinasi, sinergi, monitoringdan evaluasi merupakan tantangan dalam memitigasi dan
beradaptasi terhadap setiap perubahan iklim.
2.2.6 Kebijakan Terkait Sektor Pengelolaan Sampah
Peraturan dasar bagi sektor pengelolaan sampah berasal dari UU 182008 mengenai pengelolaan sampah, UU 262007 mengenai penataan ruang, dan UU 322009 mengenai lingkungan hidup.
Undang – undang tersebut didukung oleh regulasi detail maupun panduan yang disediakan oleh
Kementerian Pekerjaan Umum. Secara umum, regulasi tersebut mengatur mengenai pengelolaan dan pembangunan infrastruktur pengelolaan sampah.
19 | P a g e
Pada RAN-GRK terdapat Kebijakan pengelolaan limbah sampah dalam rangka mitigasi perubahan iklim dilakukan dengan pengelolaan sampah dengan penerapan konsep 3R
Reduce, Reuse, Recycle
, fasilitasi prasarana pengumpulanpengangkutan sampah, pembangunan peningkatan Tempat Pemrosesan akhir TPA sampah menjadi
sanitary landfill
dan juga pengembangan TPA yang terpadu dengan teknologi pemanfaatan GRK untuk energi.
Dalam ICCSR, kebijakan pengelolaan sampah ke depan sekurangnya harus menerapkan dua kebijakan utama. Kebijakan pertama adalah pengurangan
reduce
sampah di sumber sebanyak mungkin, digunakan kembali
reuse
dan didaur ulang
recycle
3R sebelum diangkut ke TPA. Kebijakan kedua yaitu pengelolaan sampah harus dilakukan dengan mengintegrasikan partisipasi
masyarakat. Dua kebijakan ini digunakan sebagai prinsip dasar pengelolaan sampah sebagaimana yang dideskripsikan di dalam undang-undang pengelolaan sampah. Sementara itu,
partisipasi aktif masyarakat dalam program 3R sampah padat dimulai dari tingkat perumahan dengan mengubah kebiasaan masyarakat menjadi lebih bersih dan sehat. Partisipasi industri juga
akan dilakukan dengan melaksanakan EPR
Extended Producer Responsibility
yaitu prinsip untuk produsen dan importir sampah B3.
Pada Rencana Strategis Kementerian Pekerjaan Umum 2010-2014 arahan kebijakannya berupa pengelolaan persampahan dikelola secara lebih efektif dan efisien melalui pola BLU Badan
Layanan Umum ini diharapkan dapat menjadi langkah awal dalam pembaharuan manajemen keuangan sektor publik, demi meningkatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat. Dalam 5
lima tahun ke depan Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pekerjaan Umum merencanakan untuk terus mendorong berbagai alternatif pembiayaan untuk investasi pembangunan
infrastruktur, termasuk
pola-pola KPS, yang salah satunya pengelolaan persampahan.
2.3 Peran Institusi dan Kewenangannya
Penyiapan institusi untuk RAD GRK pada tingkat provinsi juga perlu diawali dengan inventarisasi kewenangan pada setiap sektor yang terkait dengan emisi gas rumah kaca. Panduan
ini memberikan gambaran kewenangan yang dapat dan tidak dapat dilakukan lembaga di tingkat provinsi dan kabupatenkota pada sektor terkait emisi GRK dengan mengacu kepada kegiatan
yang ada di dalam RAN-GRK dan berdasarkan kerangka kelembagaan yang ada UU 322004, dan PP 382007.
2.3.1 Kerangka Institusi Nasional
Penyiapan institusi untuk RAD GRK pada tingkat provinsi juga perlu diawali dengan inventarisasi pembagian kewenangan urusan kepemerintahan pada setiap sektor yang terkait
dengan emisi gas rumah kaca. Panduan ini memberikan gambaran kewenangan dari nasional, provinsi, dan kotakabupaten terhadap program-program yang terdapat pada RAN-GRK. Dengan
mengacu kepada UU 322004 dan PP 382007 maka dari program yang ada di dalam RAN-GRK setiap sektornya dapat diketahui kewenangan setiap lembaga Nasional. Provinsi,
KotaKabupaten untuk melaksanakan program pada RAN-GRK tersebut.
20 | P a g e
Perlu dipahami bahwa RAN GRK mengatur pembagian kegiatan pengurangan emisi gas rumah kaca ke dalam beberapa bidang yang pada Dokumen RAN PI ataupun ICCSR diklasifikasikan
sebagai sektor dan juga terdapat beberapa perbedaan di dalamnya. Pembagian ini kemudian perlu diselaraskan dengan pengaturan urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar susunan
pemerintahan, sebagaiman diatur di dalam PP 382007. Berikut ialah tabel komparasi sektor bidang kegiatan pengurangan emisi gas rumah kaca :
Tabel 2.1 Komparasi Pembagian Sektor – Bidang – Urusan Pemerintahan terkait Kegiatan
Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca
ICCSR RAN GRK
PP 38 2007
1 Sektor Transportasi
2 Sektor Kehutanan
3 Sektor Industri
4 Sektor Energi
5 Sektor Pengelolaan
Persampahan 1
Bidang Kehutanan dan Pengelolaan Lahan Gambut
2 Bidang Pertanian
3 Bidang Energi dan Transportasi
4 Bidang Industri
5 Bidang Pengelolaan Limbah
1 Pekerjaan umum
2 Perumahan
3 Penataan ruang
4 Perencanaan pembangunan
5 Perhubungan
6 Lingkungan hidup
7 Pertanian dan ketahanan pangan
8 Kehutanan
9 Energi dan sumber daya mineral
10 Perindustrian
keterangan : PP 382007 mendefinisikan bahwa terdapat 31 urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar susunan pemerintahan, daftar di atas hanya mena mpilkan yang berkaitan dengan pembagian pada
PP 382007, ICCSR, dan Draft RAN GRK.
Kegiatan – kegiatan pengurangan emisi gas rumah kaca yang tercantum di dalam RAN GRK
ataupun RAD GRK nantinya pada akhirnya akan memiliki keterkaitan dengan kewenangan dan juga urusan kepemerintahan yang diemban oleh masing
– masing lembaga. Oleh karenanya, ketentuan di dalam UU 322004 mengenai Pemerintah Daerah dan juga PP 382007 mengenai
Pembagian urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah
Daerah KabupatenKota
merupakan acuan
dalam penentuan
lembaga penanggungjawab maupun pelaksana kegiatan pengurangan emisi gas rumah kaca. Padanan
pembagian bidang kegiatan pengurangan emisi gas rumah kaca pada RAN GRK dengan urusan pemerintahan pada PP 382007 menunjukkan bahwa seluruh bidang berada pada urusan
pemerintahan yang dibagi persama antar tingkatan danatau susunan pemerintahan
9
. Gambar 2 memperlihatkan keterkaitan antara bidang kegiatan pengurangan emisi gas rumah kaca dengan
pembagian urusan pemerintahan. Pada gambar tersebut juga diindikasikan klasifikasi urusan pemerintahan yang sifatnya wajib maupun pilihan bagi Pemerintah Daerah Provinsi maupun
KabupatenKota bergantung kepada karakteristik wilayah masing
– masing. Urusan wajib ialah urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah Provinsi dan
Pemerintah Daerah KabupatenKota berkaitan dengan pelayanan dasar
10
. Adapun urusan pilihan
9
Lihat PP 382007 pasal 2
10
PP 382007, pasal 7, ayat 1
21 | P a g e
adalah urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang
bersangkutan
11
.
Tabel 2.2 Keterkaitan Bidang Pengurangan Emisi GRK pada RAN dengan Pembagian Urusan Pemerintahan
Bidang Pembagian Urusan Pemerintah PP 37 Tahun 2008
Urusan Wajib Urusan Pilihan
P e
k er
jaan U
mu m
P er
u mah
an P
e n
ata an
R u
an g
P er
e n
can aan
P emb
an gu
n an
P er
h u
b u
n gan
Li n
gk u
n gan
H id
u p
P er
tan ian
d an
K e
tah an
an P
an gan
K e
h u
tan an
P er
in d
u str
ian
En e
r g
i d
an S
u mb
e r
D aya
M in
er a
l
Pengelolaan Limbah √
√ Kehutanan dan Pengelolaan Lahan Gambut
√ √
√ √
Pertanian √
√ √
Energi dan Transportasi √
√ √
√ Industri
√ √
Sumber : Disarikan dari PP 38 Tahun 2007
Dalam pembagian urusan pemerintahan, baik urusan wajib maupun urusan pilihan, pada umumnya terdapat beberapa kriteria yang menjadi pertimbangan; yakni eksternalitas,
akuntabilitias, dan efisiensi dengan memperhatikan hubungan antar tingkatan danatau susunan pemerintahan
12
. Pada praktiknya, pembagian urusan pemerintahan ini sifatnya akan sangat konktektual dan sangat dimungkinkan untuk terjadi perbedaan antara suatu periode ke periode
lainnya maupun antar daerah. Oleh karenanya pada pengaturan teknis untuk setiap bidang urusan pemerintahan perlu dilakukan dengan melihat pengaturan yang dilakukan melalui
kementerianlembaga pemerintahan non departemen yang membidangi urusan pemerintah tersebut.
Secara umum Pemerintah Pusat melalui MenteriKepala Lembaga Pemerintah Non Departemen memiliki kewenangan untuk menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria NSPK untuk
pelaksanaan urusan wajib dan pilihan. NSPK tersebut kemudian berfungsi sebagai pedoman bagi
11
PP 382007, pasal 7, ayat 3
12
PP 382007, Pasal 4
22 | P a g e
Pemerintah Daerah provinsi dan Pemerintah Daerah KabupatenKota dalam melaksanakan setiap urusan wajib serta pilihan tersebut. Tabel 2 di bawah memberikan ilustrasi pembagian
kewenangan bagi Pemerintah, Pemerintah Provinsi, serta Pemerintah KotaKabupaten berdasarkan PP 382007. Hal tersebut merupakan kerangka penyelenggaraan urusan
pemerintahan yang juga melingkupi kegiatan pengurangan emisi gas rumah kaca.
Tabel 2.3 Kerangka Pembagian Urusan Pemerintahan
Pemerintah Pusat
a Penyelenggaraan sendiri urusan pemerintahan
b Pelimpahan sebagian urusan pemerintahan kepada gubernur selaku wakil Pemerintah
dalam rangka dekonsentrasi c
Penugasan sebagian urusan pemerintahan kepada Pemerintah Daerah berdasarkan asas tugas pembantuan.
Pemerintah Provinsi
a Penyelenggaraan sendiri urusan pemerintahan tingkat Provinsi
b Penugasan sebagian urusan pemerintahan kepada pemerintahan daerah kabupatenkota
berdasarkan asas tugas pembantuan
Pemerintah KabupatenKota
a Penyelenggaraan sendiri urusan pemerintahan tingkat KabupatenKota
b Penugasan sebagian urusan pemerintahan kepada pemerintahan desa berdasarkan asas
tugas pembantuan
RAD GRK, sebagai bagian tidak terpisahkan upaya penurunan emisi gas rumah kaca yang direncanakan di dalam RAN GRK, perlu dilaksanakan dalam kerangka institusi yang sesuai dan
telah ditetapkan sebelumnya. Kerangka institusi nasional yang berperan dalam mendukung pelaksanaan RAN GRK telah ditetapkan dengan melibatkan beberapa komponen sebagai berikut:
Tabel 2.4 Kerangka Institusi Pendukung Pelaksanaan RAN GRK
Institusi Tugas Peran
Kementerian Koordinator
Perekonomian a
Melakukan koordinasi pelaksanaan dan pemantauan RAN GRK dengan melibatkan para Menteri dan Gubernur yang terkait dengan upaya penurunan emisi gas rumah
kaca. b
Melaporkan pelaksanaan RAN GRK yang terintegrasi kepada Presiden paling sedikit 1 tahun sekali.
Kementerian Perencanaan
Pembangunan Nasional Kepala Bappenas
a Mengkoordinasikan evaluasi dan kaji ulang RAN-GRK yang terintegrasi
b Melaporkan hasil evaluasi kepada Menteri Koordinator Perekonomian
c Menyusun pedoman RAD-GRK yang akan diintegrasikan dalam upaya pencapaian
target nasional penurunan emisi GRK. Kementerian
Lingkungan Hidup a
Mengkoordinasikan inventarisasi GRK yang dilakukan oleh masing-masing KementerianLembaga dan Pemerintah Daerah dan melaporkan hasil inventarisasi
GRK tersebut kepada Menteri Koordinator Perekonomian. b
Menyusun pedoman dan metodologi MRV
Measurable Reportable Verifiable
Kementerian Dalam Negeri
Memfasilitasi penyusunan RAD-GRK bersama-sama dengan Menteri Perencanaan Pembangunan NasionalKepala Bappenas dan Menteri Lingkungan Hidup
23 | P a g e
Kementerian Lembaga a
Melaksanakan RAN-GRK dan inventarisasi GRK pada KementerianLembaga masing-masing.
b Memantau pelaksanaan RAN-GRK secara berkala.
c Melaporkan pelaksanaan kegiatan RAN-GRK yang telah terverifikasi kepada
Menteri Koordinator Perekonomian, Menteri Perencanaan Pembangunan NasionalKepala Bappenas, dan Menteri Lingkungan Hidup secara berkala, minimal
satu tahun sekali.
Gubernur Pemerintah Provinsi
a Menyusun Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca RAD-GRK
yang mengacu pada RAN-GRK dan sesuai dengan prioritas pembangunan daerah berdasarkan kemampuan APBD dan masyarakat.
b Menetapkan RAD GRK melalui Peraturan Gubernur
c Menyampaikan RAD-GRK kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Perencanaan
Pembangunan NasionalKepala Bappenas untuk diintegrasikan dalam upaya pencapaian target nasional penurunan emisi GRK.
Sumber: RAN GRK, 2010
Diadaptasikan dari: Kementerian Lingkungan Hidup, 2009
Gambar 2.2 Proses Inventarisasi Emisi Gas Rumah Kaca dan Institusi
Penyiapan institusi juga memerlukan pemahaman distribusi kewenangan antar tingkat pemerintahan yang terkait dengan perubahan iklim. Pemerintah Pusat pada dasarnya adalah
membangunan kebijakan umum yang dilengkapi dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria NSPK Nurhadi, 2009. Pemerintah Provinsi, di sisi lain, adalah perpanjangan tangan dari
Pemerintah Pusat di daerah: Dengan demikian memiliki kewenangan untuk pengendalian implementasi kebijakan nasional dan NSPK. Pemerintah Provinsi juga memiliki peran dalam
memfasilitasi isu antar kabupatenkota. Adapun konteks desentralisasi untuk setiap sektor pada dasarnya berbeda tergantung konteks kebutuhan sektoral.
24 | P a g e
2.4 Pra Kondisi Institusi: Penyesuaian Kegiatan Antar Jenjang Kepemerintahan
Langkah berikutnya dan penting untuk dilakukan oleh Pemerintah Provinsi dalam memahami pra kondisi kerangka institusi yang ada ialah menyesuaikan kegiatan antar jenjang di dalam
pengurangan emisi gas rumah kaca. Hal ini penting dilakukan agar kegiatan yang bersifat sangat lokal di dalam provinsi tetap berkontribusi terhadap pengurangan emisi di tingkat nasional.
Berikut ini ialah dua prinsip di dalam penyesuaian kegiatan antar jenjang kepemerintahan:
a Konsistensi dan Keterpaduan terhadap Kepentingan Nasional
Panduan ini memberikan arahan agar Pemerintah Provinsi sangat memacu inisiatif lokal dalam pengurangan emisi, namun demikian dokumen dan agenda pada tingkat nasional
harus tetap dipandang sebagai acuan utama. Dengan demikian target pengurangan emisi gas rumah kaca nasional 26 dengan usaha sendiri dan 41 dengan dukungan dunia
internasional tetap harus diacu oleh Pemerintah Provinsi, baik dalam kepentingan terhadap pengendalian maupun evaluasi.
b Keterpaduan dengan Agenda Pembangunan di Tingkat Provinsi
Pada umumnya usaha untuk mengintegrasikan target maupun kebijakan nasional di tingkat daerah akan menghadapi tantangan bahwa daerah telah memiliki agenda dan
prioritas pembangunannya masing – masing. Dalam konteks ini, pengurangan emisi gas
rumah kaca tidak dapat dipisahkan dari rencana pembangunan provinsi yang telah ada sebelumnya.
Sejalan dengan kedua prinsip di atas, berikut ialah langkah – langkah di dalam menyesuaikan
kepentingan antar jenjang kepemerintahan di dalam pengurangan emisi GRK: 1
Kajian terhadap target, kebijakan, program, dan aksi pada tingkat nasional yang berhubungan langsung dengan sumber emisi gas rumah kaca yang terdapat di provinsi.
2 Kajian dan inventarisasi terhadap rencana pembangunan provinsi yang didefinisikan di
dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah RPJMD. 3
Kajian dan pemahaman terhadap hasil dari penelitian tingkat emisi gas rumah kaca daerah dan rekomendasi target penurunannya.
4 Kajian terhadap kesesuaian dan keterhubungan antara rencana pembangunan daerah dan
prioritas lokasi pengurangan emisi gas rumah kaca yang didefinisikan pada rencana nasional
5 Identifikasi kebutuhan tindakan provinsi yang berdasarkan kepada arahan dari rencana
nasional yang belum tercantum di dalam rencana pembangunan provinsi. 6
Pengambilan keputusan terhadap substansi yang bertolak belakang antara rencana pembangunan provinsi dengan rencana nasional.
25 | P a g e
Bab 3 Baseline, Skenario dan Opsi Mitigasi
3.1 Baseline Secara Umum
Baseline adalah sebuah referensi untuk mengukur kuantitas yang terukur dimana hasil alternative dapat diukur dan pengurangan emisi merupakan selisih antara baseline dan kinerja nyata.
Baseline yang berhubungan dengan perubahan iklim merupakan tindakan atau skenario tanpa kebijakan intervensi atau tindakan yang dilakukan untuk mengatasi perubahan iklim.
Secara umum baseline dapat diinterpretasikan sebagai: 1.
Skenario tanpa intervensi 2.
Bukan merupakan ekstrapolasi sederhana dari tren saat ini, tetapi lebih merupakan evolusi masa depan dari tindakan.
3. Tidak dianggap sebagai prediksi apa yang akan terdi di masa depan
4. Simulasi jangka panjang diperlukan dan harus memasukkan ketidakpastian
uncertainty
yang mungkin terjadi dalam evolusi sistem dan termasuk didalamnya hambatan- hambatan utama.
Skenario baseline dapat didefinisikan sebagai skenario yang memungkinkan dan memberikan penjelasan konsisten mengenai bagaimana sistem dapat berevolusi di masa depan tanpa
kebijakan mitigasi GRK.
mengukur dampak sektoral target = baseline
– kinerja
Gambar 3.1 Skenario Emisi
Terdapat tiga pendekatan yang dapat digunakan untuk mendefinisikan baseline: 1.
Kasus efisiensi ekonomi: mengasumsikan alokasi sumber daya yang sempurna: mitigasi pasti ada implikasi pada kerugian ekonomi.
2. Kasus
Business as usual
: lanjutan dari tren saat ini.
Emissions Baseline with
own action.
Baseline with support.
Actual
Performance
BAU
2011