Lorensia Kali. Prediction of need urban forest use SIG and remote sensing. Case Study in Kabupaten Belu province of NTT

(1)

PREDIKSI KEBUTUHAN HUTAN KOTA

MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DAN

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS:

Studi Kasus di Kabupaten Belu

Provinsi Nusa Tenggara Timur

LORENSIA KALI

PROGRAM PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(2)

iii ABSTRAK

Lorensia Kali. Prediksi Kebutuhan Hutan Kota Menggunakan Data Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis: Studi Kasus di Kabupaten Belu Propinsi Nusa Tenggara Timur. Dibimbing oleh Andry Indrawan dan I Nengah Surati Jaya.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan memprediksi kebutuhan luas hutan kota berdasarkan produksi CO2, serta untuk mengidentifikasi potensi dan distribusi spasial pengembangan hutan kota. Prediksi luas hutan kota dilakukan hingga tahun 2020 dengan basis data tahun 2003. Metode untuk memprediksi luas hutan kota meggunakan analisis spasial. Anaysis Hierarchy Process (AHP) pada penelitian ini digunakan untuk mengetahui skala alternatif yang harus dilakukan. Wawancara dilakukan terhadap stakeholder yang berkompoten yaitu: Pemerintah, masyarakat, LSM, dan Perguruan Tinggi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa luas hutan kota tahun 2003 seluas 9.258,43 ha masih mencukupi kebutuhan luas hutan kota hingga 2020, yakni seluas 207.701,666 ha. Meskipun demikian secara spasial sebaran dari hutan kota tersebut umumnya terdapat di kawasan pinggiran kota, sehingga masih perlu pembenahan karena yang semestinya sangat dibutuhkan pengembangan hutan kota adalah di pusat-pusat kota. Berdasarkan Analisis Hierarchy Process (AHP), prioritas alternatif program yang harus dikembangkan adalah hutan kota pemukiman sebagai prioritas terpenting (utama), kemudian prioritas kedua hutan kota social community, prioritas ketiga hutan kota konservasi, dan prioritas keempat hutan kota rekreasi, selanjutnya sebagai prioritas terakhir hutan kota industri.


(3)

iv Abstract

Lorensia Kali. Prediction of need urban forest use SIG and remote sensing. Case Study in Kabupaten Belu province of NTT.

The aim of this research was to predict and identify need of urban forest based on production of Carbon Dioxide (CO2), also to identify spatial distribution and potent of developed urban forest. Prediction of urban forest carried out until 2020 with data base in 2003. This research used spatial analysis. The use of Analysis Hierarchy Process (AHP) to know alternatif scale what to do. Filled of cuisener on stackeholder such as; government, community, LSM, and the university.

The result of this research to show that urban forest area in 2003 was 9.258,43 ha still enaugh need of urban forest until 2020 e.g. 207.701,666. However spatially despeard of urban forest were located in suburb. Based on Analysis Hierarchy Process, so the main alternatif was urban forest of housing, social community as second alternatif or priority. The third alternatif was urban forest conservation, and urban forest of recreation as four alternatif. The last alternatif was urban foret of industry.


(4)

v

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari

Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam

bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm dan sebagainya


(5)

v

PREDIKSI KEBUTUHAN HUTAN KOTA

MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DAN

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS:

Studi Kasus di Kabupaten Belu

Provinsi Nusa Tenggara Timur

LORENSIA KALI

TESIS

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(6)

(7)

ii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyampaikan bahwa Tesis Prediksi Kebutuhan Hutan Kota Menggunakan Data Penginderaan Jauh dan Sisitem Informasi Geografis : Studi Kasus di Kabupaten Belu Propinsi Nusa Tenggara Timur, adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau yang dikutip dari karya yang terbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka bagian akhir tesis ini.

Bogor, September 2006

Lorensia Kali NIM P052040121


(8)

vii

PRAKATA

Puji syukur penulis menyampaikan kehadirat tuhan yang maha esa yang telah memberikan rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis penelitian ini yang berjudul Prediksi Kebutuhan Hutan Kota Menggunakan Data Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis: Studi Kasus di Kabupaten Belu Propinsi Nusa Tenggara Timur. Penelitian ini dibuat dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar master sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup (PSL) Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Untuk itu penulis perlu menyampaikan banyak terima kasih pada semua pihak yang telah banyak memberikan bantuan dalam penyelesaian usulan penelitian ini, diantaranya yaitu:

1. Buat pendampingku dan buah kasihku yang selalu setia dan tabah mengikuti seluruh rankaian kegiatan perkulihanku.dengan penuh kasih sayang.

2. Bapak, mama , kakak serta adik- adikku yang tercinta, atas segala dorongan, dukungan dan perhatian yang sangat berarti dan tak ternilaikan

3. Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS sebagai ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir. I. Nengah Surati Jaya, M.Agr sebagai anggota komisi pembimbing yang tidak hanya memberikan bmbingan tetapi juga pendidikan yang sangat berarti. 4. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS sebagai Ketua Program Studi Pengelolaan

Sumber Daya Alam dan Lingkungan Sekolah Pasca Sarjana IPB.

5. Bapak Bupati Belu Drs. Yoakim lopez yang memberikan kesempatan untuk mengenyam pendidikan di IPB.

6. Instansi-instansi Pemerintah Kabupaten Belu di antaranya yaitu Bappeda, Bappedala, Dinas Kebersihan dan Pertamanan, Dinas Kehutanan, Dinas Kimpraswil, Dinas Perhubungan, Dinas Perindag, Kesbanglimas, Badan Pertanahan, dan Badan Pusat Statistik yang telah memberi bantuan berupa data-data yang diperlukan dalam pennyusunan usulan penelitian ini.

7. Bapak camat kota atambua,bapak camat kakuluk mesak dan Ibu Camat Tasbar serta para lurah dan seluruh masyarakat yang telah memberikan data-data yang diperlukan dalam penyusunan tesis ini.

8. Bapak Uus Saeful M dan Adik Edwin atas segala bantuannya.

9. Rekan- rekan mahasiswa Program studi PSL khususnya adik-adiku yang kubanggakan yang telah memberikan dukungan dan perhatian yang sangat berarti.


(9)

viii 10. Kepada semua pihak yang telah membantu namun tak dapat saya sebutkan

satu persatu.

Penulis berharap, semoga usulan penelitian ini dapat berguna bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, September 2006


(10)

ix

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kabupaten Belu pada tanggal 21 Pebruari 1967 sebagai anak ke tiga dari sembilan bersaudara dari Bapak I. J. Kali Mau dan Ibu Rosa Delima Motu.

Pada tahun 1986 penulis lulus SMAK St. Yoseph Dili dan melanjutkan ke Universitas Katolik Widya Mandira Kupang Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jurusan MIPA Program Studi Biologi. Penulis menyelesaikan studi SI tahun 1992 kemudian penulis mengabdi di Pemda Belu sejak tahun 1992 hingga saat ini. Tahun 2004 penulis melanjutkan studi S2 di Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan.


(11)

PREDIKSI KEBUTUHAN HUTAN KOTA

MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DAN

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS:

Studi Kasus di Kabupaten Belu

Provinsi Nusa Tenggara Timur

LORENSIA KALI

PROGRAM PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(12)

iii ABSTRAK

Lorensia Kali. Prediksi Kebutuhan Hutan Kota Menggunakan Data Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis: Studi Kasus di Kabupaten Belu Propinsi Nusa Tenggara Timur. Dibimbing oleh Andry Indrawan dan I Nengah Surati Jaya.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan memprediksi kebutuhan luas hutan kota berdasarkan produksi CO2, serta untuk mengidentifikasi potensi dan distribusi

spasial pengembangan hutan kota. Prediksi luas hutan kota dilakukan hingga tahun 2020 dengan basis data tahun 2003. Metode untuk memprediksi luas hutan kota meggunakan analisis spasial. Anaysis Hierarchy Process (AHP) pada penelitian ini digunakan untuk mengetahui skala alternatif yang harus dilakukan. Wawancara dilakukan terhadap stakeholder yang berkompoten yaitu: Pemerintah, masyarakat, LSM, dan Perguruan Tinggi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa luas hutan kota tahun 2003 seluas 9.258,43 ha masih mencukupi kebutuhan luas hutan kota hingga 2020, yakni seluas 207.701,666 ha. Meskipun demikian secara spasial sebaran dari hutan kota tersebut umumnya terdapat di kawasan pinggiran kota, sehingga masih perlu pembenahan karena yang semestinya sangat dibutuhkan pengembangan hutan kota adalah di pusat-pusat kota. Berdasarkan Analisis Hierarchy Process (AHP), prioritas alternatif program yang harus dikembangkan adalah hutan kota pemukiman sebagai prioritas terpenting (utama), kemudian prioritas kedua hutan kota social community, prioritas ketiga hutan kota konservasi, dan prioritas keempat hutan kota rekreasi, selanjutnya sebagai prioritas terakhir hutan kota industri.


(13)

iv Abstract

Lorensia Kali. Prediction of need urban forest use SIG and remote sensing. Case Study in Kabupaten Belu province of NTT.

The aim of this research was to predict and identify need of urban forest based on production of Carbon Dioxide (CO2), also to identify spatial distribution and potent of developed urban forest. Prediction of urban forest carried out until 2020 with data base in 2003. This research used spatial analysis. The use of Analysis Hierarchy Process (AHP) to know alternatif scale what to do. Filled of cuisener on stackeholder such as; government, community, LSM, and the university.

The result of this research to show that urban forest area in 2003 was 9.258,43 ha still enaugh need of urban forest until 2020 e.g. 207.701,666. However spatially despeard of urban forest were located in suburb. Based on Analysis Hierarchy Process, so the main alternatif was urban forest of housing, social community as second alternatif or priority. The third alternatif was urban forest conservation, and urban forest of recreation as four alternatif. The last alternatif was urban foret of industry.


(14)

v

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari

Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam

bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm dan sebagainya


(15)

v

PREDIKSI KEBUTUHAN HUTAN KOTA

MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DAN

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS:

Studi Kasus di Kabupaten Belu

Provinsi Nusa Tenggara Timur

LORENSIA KALI

TESIS

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(16)

(17)

ii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyampaikan bahwa Tesis Prediksi Kebutuhan Hutan Kota Menggunakan Data Penginderaan Jauh dan Sisitem Informasi Geografis : Studi Kasus di Kabupaten Belu Propinsi Nusa Tenggara Timur, adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau yang dikutip dari karya yang terbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka bagian akhir tesis ini.

Bogor, September 2006

Lorensia Kali NIM P052040121


(18)

vii

PRAKATA

Puji syukur penulis menyampaikan kehadirat tuhan yang maha esa yang telah memberikan rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis penelitian ini yang berjudul Prediksi Kebutuhan Hutan Kota Menggunakan Data Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis: Studi Kasus di Kabupaten Belu Propinsi Nusa Tenggara Timur. Penelitian ini dibuat dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar master sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup (PSL) Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Untuk itu penulis perlu menyampaikan banyak terima kasih pada semua pihak yang telah banyak memberikan bantuan dalam penyelesaian usulan penelitian ini, diantaranya yaitu:

1. Buat pendampingku dan buah kasihku yang selalu setia dan tabah mengikuti seluruh rankaian kegiatan perkulihanku.dengan penuh kasih sayang.

2. Bapak, mama , kakak serta adik- adikku yang tercinta, atas segala dorongan, dukungan dan perhatian yang sangat berarti dan tak ternilaikan

3. Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS sebagai ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir. I. Nengah Surati Jaya, M.Agr sebagai anggota komisi pembimbing yang tidak hanya memberikan bmbingan tetapi juga pendidikan yang sangat berarti. 4. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS sebagai Ketua Program Studi Pengelolaan

Sumber Daya Alam dan Lingkungan Sekolah Pasca Sarjana IPB.

5. Bapak Bupati Belu Drs. Yoakim lopez yang memberikan kesempatan untuk mengenyam pendidikan di IPB.

6. Instansi-instansi Pemerintah Kabupaten Belu di antaranya yaitu Bappeda, Bappedala, Dinas Kebersihan dan Pertamanan, Dinas Kehutanan, Dinas Kimpraswil, Dinas Perhubungan, Dinas Perindag, Kesbanglimas, Badan Pertanahan, dan Badan Pusat Statistik yang telah memberi bantuan berupa data-data yang diperlukan dalam pennyusunan usulan penelitian ini.

7. Bapak camat kota atambua,bapak camat kakuluk mesak dan Ibu Camat Tasbar serta para lurah dan seluruh masyarakat yang telah memberikan data-data yang diperlukan dalam penyusunan tesis ini.

8. Bapak Uus Saeful M dan Adik Edwin atas segala bantuannya.

9. Rekan- rekan mahasiswa Program studi PSL khususnya adik-adiku yang kubanggakan yang telah memberikan dukungan dan perhatian yang sangat berarti.


(19)

viii 10. Kepada semua pihak yang telah membantu namun tak dapat saya sebutkan

satu persatu.

Penulis berharap, semoga usulan penelitian ini dapat berguna bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, September 2006


(20)

ix

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kabupaten Belu pada tanggal 21 Pebruari 1967 sebagai anak ke tiga dari sembilan bersaudara dari Bapak I. J. Kali Mau dan Ibu Rosa Delima Motu.

Pada tahun 1986 penulis lulus SMAK St. Yoseph Dili dan melanjutkan ke Universitas Katolik Widya Mandira Kupang Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jurusan MIPA Program Studi Biologi. Penulis menyelesaikan studi SI tahun 1992 kemudian penulis mengabdi di Pemda Belu sejak tahun 1992 hingga saat ini. Tahun 2004 penulis melanjutkan studi S2 di Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan.


(21)

x

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ……… xii

DAFTAR GAMBAR ……….……….. xiii

DAFTAR LAMPIRAN ……… xv

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ………. 1

1.2. Kerangka Pemikiran ……… 3

1.3. Perumusan Masalah ………... 4

1.4. Tujuan Penelitian ………. 5

1.5. Manfaat Penelitian ……….. 5

1.6. Hipotesis ………... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Kota ... 6

2.2. Pengaruh Perkembangan Kota Terhadap Lingkungan ... 6

2.3. Pencemaran Lingkungan Hidup Perkotaan 7 2.4. Produksi Karbondioksida dari Kendaraan Bermotor, Kegiatan Produksi dan Penduduk ... 8

2.5. Perlunya Pengembangan hutan Kota ... 10

2.6. Pengertian Hutan Kota ... 12

2.7. Tipe-tipe Hutan Kota ... 14

2.8. Peranan Hutan Kota ... 16

2.9. Kriteria dan Bentuk Hutan Kota ... 18

2.10 Pengelolaan Hutan Kota ... 19

2.11 Pemilihan Jenis Hutan ... 21

III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 25

3.2. Bahan dan Alat ... 25

3.3. Metode Penelitian ... 26

3.3.1. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data ... 26

3.3.1.1. Data Primer ... 26

3.3.1.2. Data Sekunder ... 27

3.3.2. Pengolahan Data ... 28

3.3.2.1. Kebutuhan Luas Hutan Kota Berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1998 ... 28 3.3.2.2. Kebutuhan Luas Hutan Kota Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2002 ... 28 3.3.2.3. Kebutuhan Luas Hutan Kota Berdasarkan Jumlah Karbondioksida ... 28 3.3.2.4. Analisis Spasial Hutan Kota ... 30


(22)

xi Halaman

3.3.2.4.1. Pembangunan Basis

Data ……….

30 3.3.2.4.2. Pengolahan Digital Data

Landsat ...

30 3.3.2.5. Analisis Hierarchy Process (AHP) ... 33

IV. KEADAAN UMUM KABUPATEN BELU

4.1. Letak dan Luas ……….. 39

4.2. Hidrologi ………. 40

4.3. Iklim ………. 41

4.4. Vegetasi ……….. 41

4.5. Kondisi Sosial Ekonomi Budaya ………. 42 4.3.1. Penduduk ……… 42 4.3.2. Budaya Masyarakat ………... 43 4.6. Kondisi Hutan Kota ………... 43

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Luas Hutan Kota Berdasarkan Inmendgri No. 14 Tahun 1988 dan Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2002 ...

49 5.2. Estimasi CO2 Penduduk di Kabupaten Belu ... 49

5.2.1. Karbondioksida yang dihasilkan Pendudun Tahun 2003 ……….

49 5.2.2. Perkiraan Karbondioksida yang dihasilkan

Penduduk Tahun 2006, 2010. 2015, dan 2020 ...

50 5.2.3. Estimasi CO2 Kendaraan Bermotor ……… 52

5.2.4. Estimasi karbondioksida yang dihasilkan dari

industri ...

56 5.3. Luas Hutan Kota Berdasarkan Jumlah CO2 ... 60

5.3.1. Kebutuhan Luas Hutan Kota Tahun 2003 60 5.3.2. Estimasi Kebutuhan Luas Hutan Kota Tahun 2006,

2010, 2015, dan 2020

62

5.4. Analisa Pengembangan Hutan Kota 66

5.4.1. Analisis Analiytical Hierarchy Proses 70 5.4.1.1. Aktor ... 70 5.4.1.2. Aspek ... 71 5.4.1.3. Alternatif ... 72 5.4.1.4. Sintesis Strategi menurut Aktor ... 73 5.4.2. Bentuk dan Tipe Hutan Kota ... 77

VI. SIMPULAN DAN SARAN

6.1. Simpulan ... 82 6.2. Saran ... 82

DAFTAR PUSTAKA .... 83

LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 85


(23)

xii

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Jumlah karbondioksida yang dihasilkan penduduk …………..…. 9 2. Jumlah karbondioksida yang dihasilkan kendaraan bermotor .… 9 3. Jumlah karbondioksida yang dihasilkan industri ………. 9 4. Kriteria dan Bentuk Hutan Kota ………. 18 5. Tipe Hujan Menurut Schmidt dan Ferguson ... 22 6. Skala Banding Secara berpasangan dalam AHP ... 35 7. Laju Pertumbuhan Penduduk Kabupaten Belu Perkecamatan

tahun 2001 dan tahun 2002 ...

42 8. Prediksi Jumlah Penduduk di Kabupaten Belu Perkecamatan

Tahun 2006, 2010, 2015, dan 2020 ...

50 9. Jumlah kendaraan bermotor di Kabupaten Belu, Tahun

2001-2005 ...

53 10. Luas Ruang Terbuka Hijau dan Hutan kota di Kabupaten Belu .. 66 11. Bobot untuk pengembangan hutan kota di Kabupaten Belu

Berdasarkan Aktor ...

71 12. Skala Prioritas Aspek ……….. 71


(24)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Bagan Alir Kerangka Penelitian ………. 4

2. Bagan Organisasi Pengelolaan Hutan Kota (Sumber: Dahlan

2004) ………..

21 3. Lokasi Penelitian ... 25

4. Diagram Alir Analisis Spasial Prediksi Neraca Ketersediaan

RTH dan kebutuhan Hutan Kota ...

32

5. Hirarki Proses Pengembangan Hutan Kota di Kabupaten Belu

Provinsi NTT ...

34

6. Taman Makam Pahlawan Seroja Haliwen 44

7. Jalur Hijau Tugu Gerbades 45

8. Jalur menuju Rumah Jabatan Bupati 45

9. Jalur Hijau menuju Bandara 46

10. Grafik peningkatan jumlah penduduk di Kabupaten Belu Tahun

2003, 2006, 2010, 2015, dan 2020 ………..

48

11. Peta Penyebaran Penduduk Kabupaten Belu Tahun 2003 …….. 49

12. Peta Penyebaran Karbondioksida yang Dihasilkan Penduduk di

Kabupaten Belu Tahun 2003 ………

49

13 Grafik peningkatan jumlah penduduk di Kabupaten Belu Tahun

2003, 2006, 2010, 2015, dan 2020 ………...

51

14. Grafik jumlah karbondioksida yang dihasilkan penduduk di

Kabupaten Belu Tahun 2003, 2006, 2010, 2015, dan 2020……..

52

15. Peta Penyebaran Kendaraan Bermotor Kabupaten Belu Tahun

2003 ………...

54

16. Peta Penyebaran Karbondioksida yang dihasilkan Kendaraan

Bermotor di Kabupaten Belu Tahun 2003 ………

54

17. Grafik Perkiraan jumlah kendaraan bermotor Per Kecamatan

di Kabupaten Belu Tahun 2003, 2006, 2010, 2015, dan 2020 ....

55

18. Grafik Perkiraan Jumlah karbondioksida yang dihasilkan

kendaraan bermotor per Kecamatan di Kabupaten Belu Tahun 2003, 2006, 2010, 2015, dan 2020 ...

56 19. Peta Penyebaran Industri Kabupaten Belu Tahun 2003 ... 57 20. Peta Penyebaran Karbondioksida yang dihasilkan Industri di

Kabupaten Belu Tahun 2003 ...

58 21. Grafik Perkiraan peningkatan jumlah industri per Kecamatan di

Kabupaten Belu Tahun 2003, 2006, 2010, 2015, dan 2020 ...

59 22. Grafik Perkiraan jumlah karbondioksida yang dihasilkan industri

di Kabupaten Belu Tahun 2003, 2006, 2010, 2015, dan 2020 ....

59

23. Peta Penyebaran Kebutuhan Hutan Kota di Kabupaten Belu

Tahun 2003 ...


(25)

xiv

24. Peta Penggunaan Lahan di Kabupaten Belu Tahun 2003 ... 61

25. Peta Perkiraan Kebutuhan Hutan Kota di Kabupaten Belu

Tahun 2006 ...

63

26. Peta Perkiraan Kebutuhan Hutan Kota di Kabupaten Belu

Tahun 2010 ...

63

27. Peta perkiraan Kebutuhan Hutan Kota di Kabupaten Belu

Tahun 2015 ...

64

28. Peta Perkiraan Kebutuhan Hutan Kota di kabupaten Belu Tahun

2020 ...

64

29. Grafik perkiraan kebutuhan hutan kota perkecamatan di

Kabupaten Belu tahun 2003, 2006, 2010, 2015, dan 2020...

65 30. Peta Jaringan Jalan Kabupaten Belu ... 69

31. Peta Aliran Sungai Kabupaten Belu ………. 70

32. Bobot alternative untuk pengembangan hutan kota di

Kabupaten Belu ...


(26)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Kuisioner AHP 85

2. Jenis- jenis Tanaman yang ada di RTH Kabupaten Belu 89 3. Jumlah Kendaraan Sepeda Motor Kabupaten Belu Per

Kecamatan Tahun 2001, 2002, 2003, 2004, dan 2005

90 4. Jumlah Industri yang menggunakan bahan bakar Bensin

Kabupaten Belu Per Kecamatan Tahun 2003, 2004, dan 2005

91 5. Jumlah Industri yang menggunakan bahan bakar Solar

Kabupaten Belu Per Kecamatan Tahun 2003, 2004, dan 2005

92 6. Jumlah Industri yang menggunakan bahan bakar Minyak Tanah

Kabupaten Belu Per Kecamatan Tahun 2003, 2004, dan 2005

93 7. Jumlah dan Karbondioksida yang dihasilkan oleh Penduduk Per

Kecamatan Tahun 2003

94 8. Perkiraan Jumlah Total Kendaraan Bermotor Kabupaten Belu

Tahun 2003, 2006, 2010, 2015, dan 2020

95 9. Perkiraan Jumlah Penduduk kabupaten Belu Per Kecamatan

Tahun 2006, 2010, 2015 dan 2020

96 10. Perkiraan Karbondioksida yang dihasilkan Penduduk Per

Kecamatan Tahun 2006, 2010, 2015, dan 2020

97 11. Perkiraan Jumlah Karbondioksida yang dihasilkan Kendaraan

Bermotor Per Kecamatan Tahun 2003, 2006, 2010, 2015, dan 2020

98 12. Perkiraan Jumlah Karbondioksida yang dihasilkan Industri

Kabupaten Belu Per Kecamatan Tahun 2003, 2006, 2010, 2015, dan 2020

99 13. Jumlah Prediksi Total Karbondioksida di Kabupaten Belu Per

Kecamatan Tahun 2003, 2006, 2010, 2015, dan 2020.

100 14. Perkiraan Kebutuhan Hutan Kota di Kabupaten Belu Per

Kecamatan Tahun 2003, 2006, 2010, 2015, dan 2020

101 15. Jumlah Rasio Hutan Kota di Kabupaten Belu Per Kecamatan

Tahun 2003, 2006, 2010, 2015, dan 2020

102 16. Jenis- jenis Tanaman yang dapat Dikembangkan di Taman Kota 103 17. Jenis- jenis Tanaman yang dapat Dikembangkan di RTH

Pekarangan

104 18. Jenis Tanaman yang dapat dikembangkan di Jalur Hijau 105 19. Jenis- jenis Tanaman yang dapat dikembangkan di Taman

Hutan

106 20. Ruang Terbuka Hijau yang Dikelola Dinas Kebersihan dan

Pertamanan

107 21. Tutupan lahan per land use di Kabupaten Belu 108


(27)

xvi

Halaman

22. Jumlah Kendaraan Sepeda Motor Kabupaten Belu Per Kecamatan Tahun 2001, 2002, 2003, 2004, dan 2005

109 23. Jumlah Industri yang menggunakan bahan bakar Bensin

Kabupaten Belu Per Kecamatan Tahun 2003, 2004, dan 2005

110 24. Jumlah Industri yang menggunakan bahan bakar Solar

Kabupaten Belu Per Kecamatan Tahun 2003, 2004, dan 2005


(28)

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kota merupakan pusat berbagai aktifitas manusia baik penduduk setempat ataupun pendatang. Sebuah kota mempunyai fungsi majemuk diantaranya sebagai pusat pemukiman, populasi, perdagangan, pemerintahan, industri, maupun pusat budaya. Pesatnya pembangunan ditandai dengan meningkatnya jumlah sarana transportasi baik untuk ruas jalan maupun peningkatan jumlah kendaraan bermotor.

Perkembangan kota yang demikian melalui pembangunan berbagai sarana dan prasarana fisik disatu sisi merupakan simbol kemajuan peradaban manusia terutama penduduk kota yang cenderung mengikuti perkembangan zaman. Namun disisi lain menimbulkan berbagai dampak negatif yang akhirnya dapat mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan. Kondisi ini dapat dilihat dengan semakin banyaknya persoalan lingkungan di perkotaan seperti peningkatan suhu dan tingkat polusi udara berupa produksi karbondioksida (CO2)

dan menurunnya produksi oksigen (O2) di udara.

Dampak lain dari perkembangan kegiatan pembangunan kota adalah semakin berkurangnya lahan terbuka hijau yang keberadaannya menyusut dari waktu ke waktu. Penurunan lahan terbuka hijau akan berdampak pada fungsi tumbuhan sebagai penghasil oksigen semakin berkurang sejalan dengan menurunnya proses fotosintesis dari vegetasi. Sebaliknya kandungan gas CO2

semakin tinggi karena asap kendaran bermotor dan aktifitas lainnya dari penduduk kota semakin meningkat.

Sehubungan dengan kondisi diatas maka diperlukan suatu strategi yang mampu mengakomodir beragam persoalan sebagaimana diuraikan pada bagian terdahulu namun tetap menpertimbangkan relevansinya terhadap proses kegiatan kota. Oleh karena itu strategi yang dapat dikembangkan adalah melalui penerapan konsep hutan kota dalam perencanaan tata ruang kota. Konsep pengembangan hutan kota berangkat dari sebuah keprihatinan terhadap dampak buruk yang ditimbulkan oleh sejumlah kegiatan pembangunan di kota berupa pembangunan gedung, pusat-pusat industri serta peningkatan sarana dan prasarana transportasi. Sementara pada saat yang bersamaan ruang untuk vegetasi kian terdesak. Dengan kata lain kehadiran hutan kota dimaksudkan


(29)

2

untuk mengimbangi pesatnya pembangunan fisik kota, dimana dengan adanya komponen hutan kota berupa jalur hijau, taman kota, tanaman perkarangan, dan keberadaan ruang terbuka hijau lainnya diharapkan dapat meningkatkan produksi oksigen di udara, menjaring partikel debu dan partikel pencemar lainnya sehingga akan meningkatkan kualitas lingkungan di perkotaan.

Hutan kota juga memiliki peranan penting dalam mengurangi CO2 dari

atmosfer yang terlihat dari banyaknya karbon yang berada pada biomassa hutan. Hal tersebut disebabkan karena melalui serangkaian fotosiontetis selain memproduksi oksigen tumbuhan juga dapat menghasilkan cadangan karbon yang cukup potensial yang tersimpan pada bagian tumbuhan seperti akar, daun dan bagian tumbuhan lainnya.

Menurut Grey dan Deneke (1978); Ronette (1983) dalam Dahlan (2004) menjelaskan bahwa hutan kota dapat berperan secara alamiah dalam pengelolaan lingkungan perkotaan yakni berfungsi menyangkut hal-hal berikut: 1) Sebagai penahan panas disiang hari akibat pertambahan ruas jalan,

gedung-gedung bertingkat, jembatan layang, papan reklame, televisi, radio, menara, dan sarana fisik lainnya.

2) Sementara dimalam hari dapat menciptakan kondisi lebih hangat, hal ini berkaitan dengan kemampuan tajuk pepohonan dalam menahan radiasi balik (radiasi) dari bumi.

Peranan lain dari hutan kota terkait dengan jumlah radiasi surya yang dipantulkan ke hutan sangat dipengaruhi oleh panjang gelombang jenis tanaman, umur tanaman, posisi jatuhnya sinar surya, keadaan cuaca, posisi lintang (Dahlan 2004).

Kabupaten Belu merupakan salah satu Kabupaten di Propinsi Nusa Tenggara Timur. Secara geografi Kabupaten Belu terletak pada 124o-126o BTS, dan 0,9o – 10o LS dengan luas wilayah 244.557 km2 yang terdiri dari 12 kecamatan. 12 kelurahan, 154 Desa. Kondisi wilayah merupakan daerah datar berbukit hingga pegunungan dengan sungai yang mengalir ke utara dan selatan mengikuti arah kemiringan lerengnya. Dalam rangka pengembangan hutan kota di Kabupaten Belu dijumpai sejumlah persoalan yang menempatkannya sebagai salah satu kota yang pantas untuk dikembangkan konsep hutan kota. Persoalan yang dimaksudkan disini adalah dari aspek populasi penduduk. Bahkan permasalahan penduduk ini telah menjadi problema klasik di Kabupaten Belu, keadaan ini dipicu oleh berbagai faktor diantaranya: migrasi, kelahiran serta efek


(30)

3

pengungsian. Faktor pengungsian menjadi pemicu tersendiri sebagai implikasi dari proses pembangunan jajak pendapat pada tahun 1999 dengan hasil akhir terbentuknya suatu negara baru yaitu Republik Democratic of Timor Leste yang dideklarasikan pada tanggal 20 Mei 2002 (Pemerintah Kabupaten Belu 2003).

Kota-kota yang berada di Kabupaten Belu mengalami perubahan secara fisik berupa penyusutan lahan terbuka hijau yang dikonversi menjadi kawasan bangunan (Pemerintah Kabupaten Belu 2004). Fenomena ini dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap penurunan kualitas lingkungan hidup. Sejumlah parameter untuk menilai menurunnya kualitas udara antara lain dicirikan oleh menurunnya produksi oksigen, meningkatnya suhu udara, menurunnya kelembaban udara, meningkatnya kadar CO2, terjadinya

pencemaran udara, dan merebaknya wabah penyakit.

1.2. Kerangka Pemikiran

Ketersediaan sarana dan prasarana di kawasan perkotaan diperlukan sebagai tuntutan dalam mendukung aktivitas kehidupan kota sebagai bagian dari kegiatan pembangunan yang terus dilancarkan. Kegiatan pembangunan selain menimbulkan dampak strategis dari aspek ekonomi juga berimplikasi negatif bagi lingkungan. Salah satunya adalah penyusutan lahan bervegetasi karena terjadi alih fungsi menjadi kawasan pemukiman, industri dan kepentingan ekonomi lainnya. Kenyataan ini akan berdampak pada penurunan kualitas lingkungan hidup yang pada akhirnya akan mempengaruhi kehidupan manusia, sehingga diperlukan suatu pengelolaan kawasan bervegetasi di perkotaan guna menjamin kelestarian lingkungan. Penerapan konsep hutan kota dapat diterapkan untuk menjawab tantangan tersebut, namun mesti disesuaikan dengan karakteristik kota bersangkutan. Bagan kerangka pemikiran disajikan pada Gambar 1.


(31)

4

Gambar 1. Bagan Alir Kerangka Pemikiran

1.3. Perumusan Masalah

Beberapa permasalahan yang memerlukan kajian penelitian dalam rangka pengembangan hutan kota yaitu:

1) Apakah perencanaan hutan kota yang telah dan sedang berjalan dapat mengoptimalisasi fungsi hutan kota

2) Apakah hutan kota yang ada di Kabupaten Belu telah dapat mencukupi kebutuhan kota baik untuk masa sekarang maupun untuk beberapa tahun yang akan datang sehingga diperlukan suatu pengembangan hutan kota.

Penurunan kualitas lingkungan hidup

perkotaan

Dampak negatif terhadap kehidupan masyarakat kota

Diperlukan suatu pengelolaan lingkungan hidup perkotaan

Penerapan konsep hutan kota Kota sebagai pusat

aktifitas perekonomian Fasilitas dan sarana prasarana kota

Meningkatnya jumlah penduduk

Pembangunan yang terus meningkat

Perencanaan pengembangan hutan kota Berkurangnya lahan

bervegetasi

Terjadinya alih fungsi lahan


(32)

5

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1) Untuk mengidentifikasi dan memprediksi kebutuhan luas hutan kota berdasarkan produksi CO2;

2) Mengidentifikasi potensi dan distribusi spasial pengembangan hutan kota.

1.5. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian sebagai berikut:

1) Dapat memberikan suatu landasan untuk pembangunan hutan kota bagi para perencana dan pengambil keputusan pembangunan kota;

2) Sebagai penelitian tahap awal bagi pengembangan hutan kota di Kabupaten Belu dan dapat dijadikan sebagai landasan bagi para pemerhati di bidang pengembanagan hutan kota khususnya para peneliti yang tertarik untuk memperoleh informasi lebih lanjut (kajian lanjutan).

1.6. Hipotesis

Hipotesa penelitian sebagai berikut:

2. Perkembangan fisik Kota-kota di Kabupaten Belu akan menyebabkan peningkatan produksi CO2

3. Perencanaan pengembangan hutan kota yang dapat menwujudkan kualitas lingkungan yang optimal untuk menunjang kehidupan perkotaan


(33)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Kota

Kota merupakan satu kesatuan yang tertutup dan merupakan pusat aktivitas ekonomi, sosial, politik, dan kebudayaan terletak pada posisi geografis tetentu dan merupakan otak dari daerah sekelilingnya (Richarson 1997 dalam

Affandi 1994). Kota adalah suatu permukiman dengan kepadatan penduduk yang lebih besar dari kepadatan penduduk nasional, dengan struktur mata pencaharian non agraris dan tata guna yang beraneka serta kerapatan pembangunan yang tinggi. Kota juga merupakan suatu kebulatan tatanan dari lingkungan sistem fisik, biologis, sosial dan ekonomi yang saling berintegrasi secara sederhana. Soeriaatmaja (1977) mengemukakan bahwa kota merupakan suatu system yang sifatnya sementara dan sewaktu-waktu sulit untuk dikontrol.

Kota dipandang sebagai suatu kesatuan yang tertutup dan merupakan pusat aktifitas ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan serta mempunyai otoritas tertentu dalam suatu Negara, terletak pada posisi geografis tetap dan merupakan pusat dari daerah sekitarnya. Kota dapat dipelajari melalui berbagai fungsinya yang terorganisir dalam skala waktu dan ruang tertentu dalam alam. Kota yang baik merupakan kesatuan organis yang diterapkan sesuai dengan keadaan kondisi teknologi dan cita-cita serta didasarkan pada masa lalu dan berorientasi ke masa depan. Kota pada akhirnya akan mati atau mundur apabila tidak merupakan suatu organisasi yang dapat berfungsi dan berkembang serta dapat menyediakan kebutuhan sumberdaya alam seperti air minum, listrik, sarana transportasi, sistem pembuangan sampah serta regenerasi kota bagi kesejahteraan penduduk kota.

2.2. Pengaruh Perkembangan Kota terhadap Lingkungan

Perkembangan kota tidak merata dengan laju pertambahan penduduk antara satu kota dengan kota yang lainnya. Perkembangan kota terutama dipengaruhi oleh sektor jasa perdagangan, pemerintahan dan lain sebagainya yang menimbulkan krisis permukiman, air minum, kesehatan, limbah karena berhubungan dengan pemusatan banyaknya manusia dalam kurun waktu yang relatif pendek dalam ruang yang terbatas (Anonymous 1987). Selanjutnya dikatakan bahwa pesatnya perkembangan permukiman wilayah kota beserta


(34)

7

perkembangan kebudayaannya menambah beban daya dukung lingkungan yang relatif tetap yang sementara memang masih dapat diatasi dengan teknologi, namun akibat sampingan akan berlipat ganda.

Menurut Richardson (1977) dalam Affandi (1994), perkembangan kota yang berfungsi sebagai pusat perdagangan, industri, pelayanan dan sebagainya menyebabkan homogennya perekonomian ruang. Perekonomian di daerah terdapat kawasan yang penduduknya lebih padat, bagian dalam kegiatan industri lebih besar dan pandangannya lebih kosmopolitan daripada daerah-daerah sekitarnya. Gejala yang terjadi di suatu daerah terjadi pemusatan penduduk dan industri, barang-barang dan jasa, komunikasi dan lalu lintas, juga kegiatan-kegiatan bisnis komersil. Terjadinya pemusatan kegiatan-kegiatan atau aglomerasi ini selain memberikan keuntungan ekonomi juga memberikan dampak negatif yaitu semakin semakin meningkatnya jasa-jasa transportasi di daerah-daerah pusat kegiatan maka pencemaran pun meningkat.

Perkembangan kota yang semakin pesat ditandai dengan semakin meningkatnya aktifitas manusia seperti pengolahan lahan, permukiman, perindustrian dan sebagainya, menyebabkan kualitas lingkungan hidup di perkotaan cenderung menurun. Menurunnya kualitas lingkungan merupakan perubahan lingkungan yang menyebabkan terganggunya kenyamanan penduduk perkotaan (Tarsoen, 1991 dalam Affandi 1994).

2.3. Pencemaran Lingkungan Hidup Perkotaan

Fasilitas di kawasan perkotaan seperti aliran listrik, air minum, perumahan, pendidikan, kesehatan dan lain-lain serba terbatas dan tidak dapat memenuhi kebutuhan pertambahan penduduk yang cepat. Pesatnya kemajuan teknologi dan pembangunan kota secara terus menerus, menyebabkan kualitas lingkungan hidup kota cepat menurun.

Salim (1986) menjelaskan bahwa pengaruh pembangunan kota terhadap lingkungan adalah lebih besar dari pada pengaruh pembangunan desa. Pengaruh itu meliputi: (1) Perubahan keadaan fisik lingkungan alam menjadi lingkungan buatan manusia, (2) Perubahan lingkungan sosial masyarakat yang hidup dalam kota.

Pencemaran lingkungan adalah perubahan lingkungan yang tidak menguntungkan, sebagian karena tindakan manusia, disebabkan perubahan pola penggunaan energi dan materi, tingkat radiasi bahan-bahan fisika dan kimia


(35)

8

dan jumlah organisme. Kondisi ini dapat mempengaruhi manusia secara langsung ataupun tidak langsung melalui air, hasil pertanian, peternakan, benda-benda dan perilaku dalam apresiasi dan rekreasi di alam bebas (Soerjanegara dan Indrawan1998). Sedangkan menurut Undang-Undang No.23 Tahun 1997 tentang Pengolahan Lingkungan Hidup, pencemaran lingkungan adalah massuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam lingkungan oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya.

Menurut Grey dan Deneke (1978), bahan pencemar lingkungan dapat digolongkan menjadi tiga golongan, yaitu bahan pencemar fisika (physical pollutans), bahan pencemar kimiawi (chemical pollutans) dan bahan pencemar fisiologi (physiology pollutans). Ada 9 jenis zat pencemar udara yang paling utama, yaitu: sulfur oksida (SO2), ozon (O3), senyawa flour ethylene, oksigen

nitrogen, ammonia, chlorine, hidrogen clorida, partikel-partikel dan herbisida. Bentuk pencemaran yang terjadi di perkotaan dapat dibedakan menjadi empat, yaitu: pencemaran dalam bentuk padat, bentuk cair, bentuk gas, dan kebisingan. Bentuk-bentuk pencemaran tersebut lebih sering disebut sebagai pencemaran tanah, air, udara dan kebisingan. Pencemaran udara terjadi akibat meningkatnya jumlah pemakaian kendaraan bermotor serta asap yang dihasilkan pabrik-pabrik yang berada di perkotaan.

2.4. Produksi Karbondiksida dari Kendaraan Bermotor, Kegiatan

Industri, dan Penduduk.

Pertumbuhan populasi manusia yang terus meningkat berimplikasi pada peningkatan aktivitas yaitu; industri, kendaraan bermotor serta dari sisi manusia itu sendiri. Sejauh ini di Kabupaten Belu belum terdapat penelitian menyangkut kontribusi dari masing-masing kegiatan dalam menghasilkan karbondioksida. Hasil penelitian Marianah (2006) di Kota Depok tentang jumlah emisi karbondioksida per hari dari penduduk, kendaraan bermotor, dan industri disajikan pada Tabel 1.


(36)

9

Tabel 1. Jumlah karbondioksida yang dihasilkan penduduk

No. Kecamatan Karbondioksida yang dihasilkan (kg/hr)

1 Sawangan 147260.29 180974.74 238228.86 335903.78 473625.86 2 Pancoran Mas 190338.04 203369.83 222143.91 248067.16 277015.54 3 Sukmajaya 290471.02 344220.41 431666.50 572846.17 760199.67 4 Cimanggis 360235.79 470041.98 670197.85 1044205.59 1626930.48 5 Beji 127046.47 168456.00 245387.06 392697.50 628441.15 6 Limo 96996.21 122361.60 166788.33 245649.73 361798.64 7 Cibinong 151880.66 161201.54 174525.19 192738.86 212853.34 8 Bojonggede 169689.95 178161.83 190119.24 206200.78 223642.61 9 Gunung Sindur 62986.56 67012.05 72782.38 80698.95 89476.62 10 Parung 68883.96 73241.25 79482.70 88037.70 97513.50 11 Gunung Putri 118809.93 131321.71 150077.28 177332.34 209537.12 Total 1784598.8 2100362.9 2641399.2 3584378.5 4961034.5

Tabel 2. Jumlah karbondioksida yang dihasilkan kendaraan bermotor

No. Kecamatan Karbondioksida yang dihasilkan (kg/hr)

1 Sawangan 122199.76 134523.70 157200.28 187277.18 217049.02 2 Pancoran

Mas 145653.24 192407.28 257723.72 339826.38 420992.50 3 Sukmajaya 102919.56 129899.42 166051.22 214394.82 261880.92 4 Cimanggis 1631858.1 2620205.7 3968908.1 5678115.8 7376758.9 5 Beji 579837.04 906009.82 1385816.8 1985700.9 2585284.0 6 Limo 193289.02 204073.14 266220.90 343956.10 421539.46 7 Cibinong 92572.04 101560.50 113173.12 128113.52 142615.58 8 Bojonggede 17970.34 19643.26 21876.80 24766.42 27328.34 9 Gunung

Sindur 20831.46 18398.84 15390.96 11984.48 9588.78 10 Parung 53361.28 53392.56 53481.48 53581.28 53679.72 11 Gunung Putri 16265.24 22633.30 31168.02 42159.96 52388.70 Total 2976757.1 4402747.5 6437011.3 9009876.8 11569105.9 Keterangan : *) Berdasarkan estimasi laju kendaraan bermotor dari tahun 1999 s/d tahun 2002

Tabel 3. Jumlah karbondioksida yang dihasilkan industri

No. Kecamatan Karbondioksida yang dihasilkan (kg/hr)

1 Sawangan 8577.81 14276.47 22087.08 42414.90 55237.66 2 Pancoran Mas 6671.63 39534.84 9094.68 13881.24 19600.46 3 Sukmajaya 24780.34 28552.94 33780.24 40101.36 46328.36 4 Cimanggis 49560.68 58204.07 71458.20 90999.24 112257.18 5 Beji 5718.54 9883.71 16890.12 29304.84 40982.78 6 Limo 18108.71 31847.51 55867.32 97168.68 140766.94 7 Cibinong 79106.47 106524.43 154609.56 226726.92 306479.92 8 Bojonggede 5718.54 6589.14 7795.44 9254.16 10691.16 9 Gunung Sindur 13343.26 16472.85 24685.56 38559.00 53455.80 10 Parung 3812.36 5490.95 7795.44 12338.88 16036.74 11 Gunung Putri 120089.34 146059.27 183192.84 232896.36 286879.46 Total 335487.68 463436.18 587256.48 833645.58 1088716.46 Keterangan : *) Berdasarkan estimasi laju pertumbuhan industri dari tahun 1999 s/d tahun 2002


(37)

10

2.5. Perlunya Pengembangan Hutan Kota

Kegiatan di perkotaan yang memberikan limbah dalam bentuk padat, cair, gas maupun debu yang mencemarkan udara menyebabkan kualitas lingkungan hidup di kota semakim lama semakin menurun. Pembangunan jalan dan permukiman yang memberikan dampak penuruman kemampuan tanah untuk menyerap dan menampung air, transportasi yang memberikan gas karbodioksida, sulfurdioksida serta kebisingan udara. Untuk memperbaiki dan mutu lingkungan hidup di kota dapat dilakukan dengan efisiensi dan efektif melalui pengembangan hutan kota.

Faktor-faktor dasar lingkungan alami dalam wilayah perkotaan yang harus diperhatikan (Purnomohadi, 1987) antara lain:

1) Kualitas udara yagn sangat dipengaruhi oleh pola lalu lintas kota, adanya ruang terbuka yang relatif luas sehingga memungkinkan adanya sirkulasi udara bagi setiap kelompok bangunan. Aliran udara berupa hembusan angin akan melindungi kualitas air.

2) Perlunya pengelolaan air, terutama air permukaan pada daerah-daerah penampungan air, sungai, kanal, waduk dan rawa dalam satu sistem, termasuk penyediaan air bersih, penampungan air buangan yang kemudian dapat diproses melalui instalasi pemurnian air buangan.

3) Pengelolaan limbah padat di tempat yang khusus dan harus dipertimbangkan pula yang dapat menjadi sumber bahan mentah dari buangan-buangan tadi.

4) Diharapkan terciptanya derajat kebisingan yang serendah mungkin dengan mengenali faktor yang mempengaruhinya, seperti lalu lintas, penghijauan, kepadatan penduduk serta penumpukan fasilitas kota.

5) Adanya kehidupan alami dalam habitat ciptaan maupun alami bagi berbagai jenis satwa yang tidak berbahaya.

6) Adanya berbagai fasilitas umum seperti peninggalan sejarah kejayaan kota, energi listrik, sarana kesehatan, pendidikan, transportasi, perdagangan, peristirahatan, rekreasi dan sebagainya.

Interaksi antara klorofil dan bantuan sinar matahari, tumbuhan mampu mengubah zat karbondioksida dari udara dan air dari tanah menjadi karbohidrat dan oksigen. Proses ini dikenal dengan nama fotosintesis (Anonymous 1987: Bernatzky 1978: Soekotjo 1976). Proses tersebut sering dinyatakan sebagai berikut:


(38)

11

sinar matahari

6CO2 + 12 H2O C6H12O6 + 6H2O + 6O2

klorofil

Satu hal yang paling esensial dari proses fotosintesis selain pembentukan karbohidrat adalah pembentukan oksigen yang diperlukan dalam proses pernapasan (respirasi) semua makhlik hidup. Agar proses respirasi dan fotosintesis bejalan lancar, maka adanya keseimbangan antara produsen oksigen dan konsumen oksigen mutlak diperlukan. Kota-kota besar dan daerah yang padat penduduknya keseimbangan tersebut harus konstan, karena perubahan dalam waktu yang singkat atau perubahan sedikit saja akan dapat dirasakan akibatnya. Keberadaan pereduksi yang bersifat permanen sangat dibutuhkan pada kondisi demikian. Pereduksi yang dipandang permanen adalah vegetasi pohon, mengingat pohon memiliki daur yang cukup panjang dan dapat memproduksi oksigen yang cukup banyak (Anonymous 1987).

Faktor lain yang dapat menunjang perlunya pengembangan hutan kota adalah adanya kecenderungan penduduk kota yang mendambakan suasana alami. Hal ini bias ditunjukkan dengan semakin banyaknya penduduk kota yang pergi ke luar kota untuk mencari kenyamanan dan keindahan alam terbuka baik di waktu libur maupun di waktu senggang (Anonymous 1987). Pengembangan hutan kota memerlukan penyediaan lahan sebagai faktor yang paling penting karena hutan kota diperuntukkan untuk masyarakat luas, maka tentu saja penyediaan lahan tersebut menjadi kewajiban penduduk kota dan pemerintah.

Berdasarkan hal tersebut, maka lahan hutan kota dapat dikategorikan dalam 2 kelompok berdasarkan status pemiliknya (Fakuara 1987), yaitu:

1) Lahan hutan kota harus disediakan pada lokasi-lokasi atau tempat-tempat umum, seperti tempat komunitas (pertokoan, pasar dan lain-lain), jalan raya serta tempat-tempat umum lainnya. Untuk keperluan ini, lahan harus disediakan oleh pemerintah yang dapat berasal dari tanah negara maupun tanah milik.

2) Lahan hutan kota yang harus disediakan pada tempat-tempat perorangan, termasuk dalam kelompok ini seperti pemukiman, industri dan tempat-tempat lainnya yang dibebani hak milik. Untuk keperluan ini, lahan harus disediakan oleh masyarakat baik secara individu maupun badan hukum seperti pengembang (developer), pengusaha dan lain-lain.


(39)

12

Perencanaan tata ruang bertujuan untuk memanfaatkan ruang/lahan secara optimal dan tidak merusak lingkungan. Agar kegiatan dalam rangka pemanfaatan ruang dengan sumber-sumber yang terdapat di dalamnya dapat memberikan hasil yang optimal, maka perlu diatur ketetapan lokasi agar kegiatan tersebut senantiasa saling menguntungakan dan sedikit mungkin menimbulkan dampak yang negatif melalui perencanaan tata ruang.

Penataan ruang diharapkan dapat terwujud kehidupan dan penghidupan yang aman, tertib, lancar, sehat dan efisien dalam lingkungan yang serasi dan daya dukung yang selaras, seimbang dan serasi. Oleh karena itu, pembangunan dan pengembangan hutan kota harus berpedoman pada perencanaan tata ruang kota (Fakuara, 1987). Rencana penetapan lokasi hutan kota harus didasarkan pada Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK). Lokasi hutan kota tersebut harus dibangun pada tempat yang tepat dengan luas yang cukup, sehingga daya dukung wilayah dapat memenuhi kebutuhan terhadap hutan kota tersebut.

Beberapa komponen pendukung yang diperlukan untuk pembangunan dan pengembangan hutan kota antara lain (Dahlan 2004):

1) Tersedianya kebun pembibitan yang dapat menyediakan bibit secara massal;

2) Ilmu dan teknologi yang memadai; 3) Pelayanan jasa konsultasi untuk umum; 4) Dukungan dari penentu kebijakan; 5) Peraturan–perundangan;

6) Dukungan masyarakat; 7) Tenaga Ahli.

2.6. Pengertian Hutan Kota

Definisi hutan kota menurut Sekretariat Jenderal Departemen Kehutanan bekerja sama dengan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (1987) adalah lapangan yang ditumbuhi vegetasi berkayu di wilayah perkotaan yang memberikan manfaat lingkungan sebesar-besarnya kepada penduduk kota dalam kegunaan-kegunaan proteksi, rekreasi dan kegunaan khusus. Menurut Suwardi (1987) hutan kota adalah suatu hutan yang keberadaannya ada di dalam kota, di sekitar pinggiran kota atau di dalam daerah-daerah pusat permukiman yang berkembang karena proses urbanisasi. Hutan kota merupakan cabang khusus dari hutan yang pengelolaannya melalui pendekatan multi disiplin


(40)

13

dan dikembangkan secara intensif di dalam daerah perkotaan untuk keuntungan dan kepentingan warga kota.

Hutan kota merupakan suatu pendekatan dan penerapan salah satu atau beberapa fungsi hutan dalam kelompok vegetasi di perkotaan untuk mencapai tujuan proteksi, rekreasi, estetika dan kegunaan khusus lainnya bagi kepentingan penduduk perkotaan. Oleh karena itu, hutan kota tidak hanya berarti hutan (menurut Undang-Undang Pokok Kehutanan, UUPK No. 5 Tahun 1967 yaitu lapangan yang ditumbuhi pohon-pohon yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup dengan alam lingkungannya dan mempunyai luas areal minimal 0,25 ha berada di kota dapat tersusun dari komponen hutan dan kelompok vegetasi lainnya yang berada di kota sepert taman, jalur hijau serta kebun dan pekarangan (Fakuara 1987).

Haeruman (1987) mengemukakan bahwa hutan kota juga terletak jauh di luar batas kota, sepanjang interaksi yang intensif antara penduduk sebuah kota dengan hutan tersebut berlangsung terus menerus. Sebagai contoh, Taman Hutan Raya Ir. H. Juanda di Bandung, Taman Hutan Raya Muh. Hatta di Padang dan di Bengkulu sedang dalam taraf pembangunan. Ekosistem hutan kota tumbuh secara ekologis sesuai dengan lingkungan perkotaan, artinya terdiri dari tegakan yang berlapis-lapis di mana masing-masing fungsinya meniru hutan alami. Pemeliharaan relatif sedikit dibandingkan misalnya dengan lapangan oleh raga, taman-taman umum dalam skala luas yang sama. Secara rinci, komposisi tegakan dalan hutan kota dijabarkan secara teknis sesuai dengan fungsinya, antara lain: biologis, estetis, rekreatif, ekologis, fisis, sosial, sebagai cadangan untuk pengembangan Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota dalam pembangunan kota jangka panjang (Purnomohadi 1987).

Perbedaan yang nyata dengan unsur terbuka hijau yang lain adalah bahwa tegakan pepohonan dan semak belukar dalam hutan kota dikelola sesuai dengan sifat hutan yaitu tidak berdiri sendiri sehingga satu kelompok tegakan dengan yang lainnya terjadi dalam satu komunitas yang sesuai atau paling tidak mirip dengan ekosistem hutan alami. Namun sesuai dengan nilai-nilai ”urbanity” maka ada keterbatasan dalam pembentukan hutan kota tersebut seirama pula dengan perkembangan kota yang terjadi serta berbagai aspek kehidupan yang menyangkut kehidupan penduduk kota. Kalau hanya berupa kumpulan pohon yang sejejer tidaklah dapat dikatakan hutan kota. Tanaman yang ada harus asosiasi, dimana akan terdapat saling berinteraksi dalam mencapai suatu


(41)

14

kesimbangan. Oleh karena itu, perlu ditentukan beberapa jenis minumum vegetasi yang tumbuh baru disebut hutan kota. Tanaman dalam pot tidak dapat dikatakan hutan kota, karena jika tidak ada manusia tanaman pot itu akan mati. Hutan kota harus berinteraksi langsung dengan lingkungannya, yaitu tanah, air, dan air tanah (Haeruman 1987).

2.7. Tipe-tipe Hutan Kota

Fakuara (1986) menyatakan bahwa tipe-tipe hutan kota yang dikembangkan terdiri dari:

1) Hutan Kota Permukinan, bentuknya antara lain:

a) Taman bermain untuk anak-anak, tanaman yang ditaman di dalamnya ialah dari kombinasi yang ketinggiannya berbeda, disusun sedemikian rupa untuk memenuhi fungsi keindahan, meredam suara, produksi oksigen dan meningkatkan kenyamanan;

b) Tanaman Tepi Jalan, dibuat untuk tujuan meredam suara, menguapkan air genangan, meningkatkan kenyamanan serta menahan silau sinar kendaraan di malam hari. Jenis pohon yang di pakai untuk tujuan ini adalah jenis pohon yang tidak terlalu tinggi, tajuknya rimbun serta tingkat transpirasinya relatif tinggi;

c) Tanaman Pekarangan, tanaman yang dipakai untuk pekarangan adalah paling sedikit untuk tujuan menghasilkan oksigen yang diperlukan untuk pernapasan manusia. Tujuan penanamannya sangat tergantung kepada pemilik pekarangan;

d) Tanaman Pelengkap Gedung Bertingkat. Karena terbatasnya lahan yang tersedia di perkantoran, maka pemukiman pada gedung bertingkat sudah mulai dulaksanakan oleh Perumnas. Suasana pemukiman seperti ini sangat monoton dan kaku. Oleh karena itu, pada setiap lantai dan pada lokasi tertentu dari lantai tersebut harus tersedia tanaman yang membawa ke arah alami serta nyaman. Jenis tanaman yang dipakai untuk kepentingan ini ialah jenis tanaman yang berdaun rindang tetapi ringan serta mempunyai kecepatan pertumbuhan yang tinggi sehingga diharapkan produksi oksigennya tinggi;

2) Hutan Kota Kawasan Industri, bentuk-bentuknya antara lain:

a) Tanaman Kawasan Industri, dibuat dengan tujaun untuk istirahat para pekerja sebagai tempat yang terlindungi secara alamidari kebisingan,


(42)

15

debu dan gas buangan industri. Untuk dapat meredam debu udara, maka dipilih tanaman yang dapat menggugurkan daun, mempunyai tajuk yang rimbun dan rapat serta berdaya tahan tinggi. Untuk menyerap gas, maka dipilih tanaman yang mempunyai stomata yang banyak, serta mempunyai ketahanan yang baik terhadap gas tertentu, mempunyai tingkat pertumbuhan yang cepat, dan tahan terhadap serangan angin. Jika digunakan untuk meredam kebisingan maka dipilih tanaman yang rimbun daunnya, sedangkan untuk penghasil oksigen ialah yang mempunyai tingkat pertumbuhan yang cepat;

b) Tanaman penyangga. Pada umumnya kawasan indusri merupakan kawasan yang tidak terlepas dari kawasan berpenduduk, baik dalam bentuk pemukiman, pertokoan, pertanian dan sebagainya. Tanaman penyangga ini dibuat berdasarkan perhitungan gerakan angin yang bisa bergerak di sekitar kawasan. Oleh karena itu penanaman pohon ini harus memperhatikan tinggi gerakan angin serta jarak dari daerah yang perlu dilindungi;

3) Hutan Kota Rekreasi/Wisata. Hutan kota rekreasi mempunyai peranan sebagai tempat bermain anak-anak, tempat istirahat orang dewasa, perlindungan dari gas dan debu, serta sebagai produsen oksigen. Lokasi dari hutan kota rekreasi ini diusahakan dapat memenuhi fungsi sebagai rekreasi ‘jam’ artinya dapat didatangi dan dinikmati tidak lebih dari satu jam dari ujung daerah pemukiman dengan kendaraan bermotor;

4) Hutan Kota Konservasi. Hutan konservasi mengandung arti untuk mencegah kerusakan, perlindungan dan pengawetan terhadap objek tertentu dalam alam. Hutan kota konservasi tentunya juga bermaksud untuk mencegah kerusakan, melindungi dan melestarikan sumberdaya alam tertentu di perkotaan. Suatu kota seringkali mempunyai kekhasan pada satwa tertentu yang perlu dipertahankan kelestariannya. Oleh karena itu perlu adanya tindakan konservasi dengan pembuatan hutan kota konservasi. Jenis tanaman yang ditanam tentunya disesuaikan dengan kebutuhan satwa, misalnya untuk keperluan bersarang, bermain, mencari makan, ataupun untuk bertelur. Ciri khas lain suatu kota juga dapat juga berupa tebing-tebing yang curam ataupun tepi-tepi sungai yang perlu dijaga supaya tidak terjadi longsor yang bisa membahayakan pemukiman. Termasuk dalam hutan konservasi ini ialah jalur-jalur hijau sepanjang jalan


(43)

16

tol ataupun jalan raya biasa, di terminal, dan di pusat perbelanjaan serta tepi rel kereta api;

5) Hutan Kota Pusat Komunitas Sosial/Kegiatan. Kota juga mempunyai pusat-pusat komunitas sosial/kegiatan seperti pusat-pusat pertokoan, gedung-gedung pertemuan, perkantoran dan lain-lain. Hutan kota yang berada di wilayah ini bertujuan untuk memberikan sentuhan estetika, sebagai pelindung, produsen oksigen dan lain-lain. Di dalam pusat komunitas, hutan kota juga dapat dijadikan sebagai alat sosialisasi penduduk kota.

2.8. Peranan Hutan Kota

Hijaunya kota tidak hanya menjadikan kota itu indah dan sejuk, namun aspek kelestarian, keserasian, keselarasan dan keseimbangan sumberdaya alam, yang selanjutnya akan membaktikan jasa-jasa berupa kenyamanan, kesegaran, terbebasnya kota dari polusi dan kebisingan serta sehat dan cerdasnya warga kota tersebut (Dahlan 2005). Hutan kota selain dapat memberi keteduhan dan keindahan, juga dapat memberi manfaat dalam mengurangi dampak negatif pencemaran udara, dan mengatasi masalah erosi tanah (Robinette 1972 dalam Supriadi, M. Ichsan, Sri L. D., Handari W. 1991).

Menurut Dahlan (2005), hutan kota mempunyai peranan sebagai berikut: (1) Indentitas kota, (2) Pelestarian plasma nutfah, (3) Penahan dan penyaring partikel padat dari udara, (4) Penyerap dan penjerap partikel timbal, (5) Penyerap dan penjerap debu semen, (6) Peredam kebisingan, (7) Mengurangi bahaya hujan asam, (8) Penyerap karbonmonoksida (9) Penyerap karbondioksida dan penghasil oksigen, (10) Penahan angin, (11) Penyerap dan penepis bau, (12) Mengatasi penggenangan, (13) Mengatasi intrusi air laut, (14) Produkti terbatas, (15) Ameliorasi iklim, (16) Pengelolaan sampah, (17) Pelestarian air tanah, (18) Penapis cahaya silau, (19) Meningkatkan keindahan, (20) Sebagai habitat burung, (21) Mengurangi stress, (22) Mengamankan pantai terhadap abrasi, (23) Meningkatkan industri pariwisata, dan (24) Sebagai hobi dan pengisi waktu luang.

Menurut Grey dan Denake (1978), bahwa dengan menerapkan konsep hutan kota akan memberikan 4 jenis manfaat, yaitu:

1) Perbaikan Iklim. Kehidupan manusia akan dipengaruhi oleh unsur-unsur iklim seperti, radiasi matahari, temperatur udara, angin dan kelembaban. Dengan adanya hutan kota maka akan memberikan kondisi yang lebih baik


(44)

17

bagi kehidupan manusia seperti, penyesuaian suhu lingkungan dan penurunan kecepatan angin;

2) Pemanfaatan Bidang Keteknikan. Pemanfaatan bidang keteknikan ini berupa, perlindungan terhadap Daerah Aliran Sungai (DAS), pengendalian terhadap erosi, pengendalian air buangan, meredam kebisingan, menyaring polusi udara, pengendalian sinar langsung dan pantulan serta pengendalian lalu lintas;

3) Pemanfaatan di Bidang Arsitektur. Pengaturan struktur pohon-pohon hutan kota di sekitar gedung atau bangunan akan memberikan hasil yang lebih baik, terutama apabila dipandang dari sudut seni dan keindahan;

4) Pemanfaatan di Bidang Estetika. Keberadaan tanaman hutan kota dalam berbagai bentuk, struktur dan warna akan mempercantik dan memperindah wajah kota.

Kota identik dengan kepadatan penduduk, sehingga seringkali kondisi lingkungan hidupnya kurang terpelihara dengan baik yang berakibat terjadinya penurunan kualitas lingkungan hidup perkotaan. Untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup di kawasan pemukiman kota perlu diterapkan prinsip-prinsip hutan kota dalam bentuk (Fakuara 1987):

1) Membuat taman bermain untuk anak-anak. Jenis tanaman yang dapat ditanam di taman ini bervariasi dengan ketinggian yang berbeda, disusun sedemikian rupa untuk memenuhi keindahan, meredam suara, produksi oksigen dan meningkatkan kenyamanan;

2) Membuat tanaman tepi jalan atau jalur hijau. Tanaman ini bertujuan untuk meredam suara, menyerap genangan air, meningkatkan kenyamanan serta menahan sinar silau pada malam hari;

3) Tanaman pekarangan. Tanaman ini bertujuan untuk produksi oksigen, keindahan serta beberapa tujuan lain berdasarkan keinginan pemiliknya; 4) Tanaman pelengkap gedung bertingkat. Tanaman ini bertujuan untuk

produksi oksigen dan untuk memberikan kondisi yang alami dan nyaman. Hutan kota juga dapat dimodifikasi untuk memberikan pelayanan rekreasi bagi penduduk kota. lokasi hutan kota rekreasi diusahakan merupakan “rekreasi jam”, yang artinya dapat didatangi dan dinikmati tidak lebih dari satu jam perjalanan dari ujung daerah pemukiman dengan kendaraan bermotor.

Pohon-pohon yang dapat ditanam untuk kawasan rekreasi yaitu pohon yang terdiri dari jenis-jenis berdaun lebar yang rindang untuk memberikan


(45)

18

keteduhan yang besar. Sedangkan menurut Grey dan Denake (1978), pohon-pohon yang dapat ditanam untuk hutan kota dapat diklasifikasikan menjadi 3, yaitu: (a) pohon-pohon kecil dengan tinggi kurang dari 9.14 m, (b) pohon-pohon sedang dengan tinggi 9,14-18,28 m dan (c) pohon-pohon tinggi dengan tinggi lebih dari 18,28 m.

2.9. Kriteria dan Bentuk Hutan Kota

Kriteria hutan kota terdiri dari sasasran dan fungsi penting, vegetasi, intensitas manajemen serta status. Berdasarkan kriteria tersebut, maka bentuk hutan kota dapat dikelompokkan menjadi 4 bentuk, yaitu Taman Kota, Kebun/Pekarangan, Jalur Hijau dan Hutan (Fakultas Kehutanan IPB 1987). Secara terinci kriteria untuk masing-masing bentuk tersebut dapat dilihat pada Tabel 4. Sedangkan menurut Dahlan (2005) bentuk hutan kota dikelompokkan menjadi; a) Jalur Hijau, b) Taman Kota, c) Kebun dan Halaman, d) Kebun Raya, Hutan Raya dan Kebun Binatang, e). Hutan Lindung.

Taman kota dibangun tidak sekedar untuk tujuan keindahan saja melainkan dapat pula berfungsi sebagai produsen oksigen. Luas taman dapat bervariasi dari beberapa m2 sampai puluhan hektar. Kebun/pekarangan juga harus ditanami jenis tanaman yang mampu mendukung paling tidak kebutuhan oksigen penduduk kota, tetapi disamping itu juga dapat untuk tujuan yang bernilai ekonomis. Jalur hijau yang dibangun untuk menyusun hutan kota dapat berupa jalur beberapa meter sampai puluhan kilometer. Jenis tanaman yang akan ditanam tergantung pada tujuan dan fungsi tertentu, misalnya peredam kebisingan, pengendali pencemaran udara, penangkal angin dan produksi oksigen.

Tabel 4. Kriteria dan Bentuk Hutan Kota

Bentuk No. Kriteria

Taman Kota Kebun/

Pekarangan Jalur Hijau Hutan 1. Sasaran Kawasan

industri,

pemukinan dan pusat kegiatan

Pemukiman, daerah subur

Jalan dan kawasan konservasi

Areal konservasi


(46)

19

Lanjutan Tabel 4

Bentuk No. Kriteria

Taman Kota Kebun/

Pekarangan Jalur Hijau Hutan 2. Fungsi

yang penting

Ameliorasi iklim, estetika, produksi O2,

rekreasi dan peredam polusi

Produksi O2 dan

atas tujuan ekonomi, ameliorasi iklim, estetika Ameliorasi iklim,

produksi O2,

peredam kebisingan, peredam bau Hidro-orologis, ameliorasi iklim, produksi O2, fungsi

konservasi lain. 3. Vegetasi Tanaman

hias Buah-buahan, tanaman hias, pohon lainnya. Tumbuhan dari semua strata(perdu, semak, pohon) Pohon dengan tajuk lebar dan perakaran intensif. 4 Intensitas

manajemen

Tinggi Sedang Sedang Rendah

5 Status Pemilikan

Umum dan perorangan

Perorangan Umum Umum 6 Pengelola Dinas

Pertamanan/ Perorangan

Perorangan Dinas Pertamanan

Dinas Kehutanan/ Perorangan Sumber: Fakultas Kehutanan IPB, 1987.

2.10. Pengelolaan Hutan Kota

Program hutan kota adalah kegiatan khusus kehutanan yang bertujuan mengelola vegetasi kayu (pohon) bagi kepentingan kesejahteraan fisiologik, sosial dan ekonomi masyarakat perkotaan. Tercakup ke dalam rumusan tersebut di atas ialah program komprehensif untuk mendidik penduduk kota tentang peranan vegetasi berkayu (pohon) di dalam lingkungan perkotaan. Dalam pengertian yang lebih luas lagi, program tersebut merupakan sistem pengelolaan dan kegunaan yang mencakup daerah-daerah perkotaan, sylvikultur dan umumnya dan produksi kayu serat.

Hutan kota memerlukan suatu pengelolaan yang tertib agar keberadaan dan fungsinya terpelihara sepanjang masa. Pengelolaan hutan kota melibatkan 3 unsur, yaitu individu, masyarakat dan pemerintah kota. Pemerintah yang dalam hal ini dapat berupaya Dinas Pertamanan Kota atau Dinas Kehutanan, harus membuat perencanaan hutan kota untuk lahan yang tersedia di lahan milik pemerintah maupun lahan milik masyarakat dan juga milik individu. Setiap unit lahan yang berada pada suatu kota harus dibuatkan perencanaannya oleh


(47)

20

pemerintah, kemudian jika lahan itu milik pemerintah pelaksanaannya dilakukan oleh pemerintah, tetapi jika lahan itu milik masyarakat dilaksanakan oleh masyarakat, dan jika lahan itu milik individu masyarakat maka pelaksanaannya dilakukan oleh individu masyarakat dengan bimbingan teknis dari pemerintah supaya benar pelaksanaannya (Fakuara 1986).

Menurut Grey dan Denake (1978) ada tiga macam kegiatan di dalam pengelolaan hutan kota, yaitu:

1) Penanaman. Penanaman harus mempunyai prioritas tertinggi, terutama kegiatan penebangan pohon-pohon yang sudah tua/mati. Kegiatan penanaman ini harus memperhatikan komposisi jenis, lokasi dan desain; 2) Pemeliharaan. Pemeliharaan hutan kota dapat didefinisikan sebagai

penerapan kebutuhan-kebutuhan praktis bagi kesehatan yang layak, kekuatan, dan sesuai dengan lingkungan perkotaan. Kegiatan pemeliharaan meliputi pengendalian pertumbuhan, perusakan, serta serangga dan penyakit;

3) Pembersihan. Kegiatan pembersihan meliputi penyingkiran pohon-pohon yang mati, pohon-pohon yang membahayakan baik secara fisik berupa posisi yang tidak menguntungkan, maupun karena merupakan sumber penyakit, serta pohon-pohon yang terlalu berdesakan.

Studi kajian perencanaan aspek yang dapat diteliti meliputi: lokasi, fungsi dan pemanfaatan, aspek teknik silvikultur, arsitektur lansekap, sarana dan prasarana, teknik pengelolaan lingkungan. Bahan informasi yang dibutuhkan dalam studi meliputi: (1) Data fisik (letak, wilayah, tanah, iklim, dan lain-lain); (2) Sosial ekonomi (aktivitas di wilayah bersangkutan dan kondisinya); (3) Keadaan lingkungan (lokasi dan sekitarnya); (4) Rencana pembangunan wilayah (RUTR, RTK, RTH), serta (5) Bahan-bahan penunjang lainnya (Dahlan 2005).

Hasil studi berupa Rencana Pembangunan Hutan Kota yang terdiri dari tiga bagian, yakni (Dahlan 2005):

1) Rencana jangka panjang, yang memuat gambaran tentang hutan kota yang dibangun, serta target dan tahapan pelaksanaannya.

2) Rencana detail yang memuat desain fisik atau rancang bangun untuk masing-masing komponen fisik hutan kota yang hendak dibangun serta tata letaknya.


(48)

21

Organisasi pembangunan dan pengelolaan hutan kota sangat bergantung kepada perangkat yang ada dan keperluannya. Sistem pengorganisasian di suatu daerah mungkin berbeda dengan daerah lainnya. Salah satu bentuk pengorganisasian pembangunan dan pengelolaan hutan kota dapat dilihat pada Gambar 2. Walikota dan Bupati sebagai kepala wilayah bertanggung jawab atas pembangunan dan pengembangan hutan kota di wilayahnya. Bidang perencanaan pengendalian dipegang oleh Bappeda Tingkat II. Untuk pelaksaannya dapat ditunjuk dinas-dinas yang berada di wilayahnya (Gambar 2).

Pengelolaan hutan kota pada areal yang dibebani hak milik diserahkan kepada pemiliknya, namun dalam pelaksanaannya harus memperhatikan petunjuk dari bidang perencanaan dan pengendalian. Guna memperlancar pelaksanaannya perlu dipikirkan jasa atau imbalan apa yang dapat diberikan oleh pemerintah kepada yang bersangkutan.

Gambar 2. Bagan Organisasi Pengelolaan Hutan Kota (Sumber:

Dahlan 2004)

2.11. Pemilihan Jenis Pohon

Tinjauan dari segi ekologi, jenis tanaman yang baik ditanam untuk reboisasi maupun penghijauan suatu kota adalah jenis-jenis tanaman asli daerah setempat. Sedangkan jenis-jenis exot baik dari luar daerah harus menyesuaikan

Bappeda Tk II

Penanggung Jawab

Kepala Wilayah (Walikota/Bupati)

Pelaksana Perencana

Dinas Kehutanan Dinas Tata Kota Dinas Pertanian Dinas Kebersihan dan Pertamanan

Dinas Perkebunan Perusahaan Negara Swasta

Kampus/Sekolah


(49)

22

diri dengan iklim dan lingkungan hidup yang baru. Kalau jenis-jenis asli tidak memungkinkan untuk ditanam misalnya tidak tersedianya biji yang cukup untuk jenis-jenis asli, atau tidak sesuai dengan pola perencanaan industri daerah yang bersangkutan dan sebagainya, maka dipilih jenis yang cocok baik dalam arti ekonomi maupun arti ekologi. Aspek ekologis menyangkut kecocokan dengan daerah yang bersangkutan harus diperhatikan persyaratan tumbuh daerah dalam hubungannya dengan faktor iklim, tanah, tinggi tempat dari permukaan laut, toleransi jenis tersebut akan cahaya matahari, keadaan lapangan dan vegetasi yang ada (Ishemat dan Andry 1998 dalam Septriana 2005).

Keadaan ekologis yang perlu diperhatikan dalam pemilihan jenis pohon (Ishemat dan Andry 1998 dalam Septriana 2005) adalah sebagai berikut:

1) Iklim. Tiap jenis pohon mempunyai persyaratan tumbuh yang berhubungan erat dengan iklim. Faktor iklim yang mempengaruhi pertumbuhan pohon adalah hujan. Untuk daerah-daerah dengan musim kering yang sedang sampai kuat, pemilihan jenis dibatasi oleh ketahanan pohon akan kekurangan air;

2) Klasifikasi yang sesuai dan dipergunakan secara luas di Indonesia adalah tipe hujan menurut Schmidt dan Ferguson, yaitu:

100%

x

100mm)

(

basah

bulan

rata

rata

Jumlah

60mm)

(

kering

bulan

rata

rata

Jumlah

Q

>

<

=

Perhitungan Q maka setiap tipe iklim mempunyai sifat hujan yang dapat dilihat pada Tabel 5, berikut:

Tabel 5. Tipe Hujan Menurut Schmidt dan Ferguson

Tipe Iklim Nilai Q Keadaan Iklim

A 0 – 0,413 Tanpa musim kering hutan hujan tropika yang selalu hijau

B 0,413 – 0,333 Tanpa musim kering hutan hujan tropika yang selalu hijau

C 0,333 – 0,600 Musim kering nyata, merupakan peralihan hutan hujan tropika ke hutan musim.

D 0,600 – 1,000 Musim kering agak keras. Merupakan hutan musim yang pohon-pohonnya menggugurkan daun.

E 1,000 – 1,670 Musim kering keras. Hutan savana F 1,670 – 3,000 Musim kering keras. Hutan savana


(50)

23

Lanjutan Tabel 5

Tipe Iklim Nilai Q Keadaan Iklim

G 3,000 – 7,000 Daerah kering. Padang pasir

H 7,000 Daerah kering. Padang pasir

1) Tanah. Kesuburan dari tanah sangat penting untuk diperhatikan karena setiap jenis tanaman membutuhkan kesuburan yang berbeda-beda untuk dapat mencapai hasil yang maksimal. Pohon menurut habitat tertentu untuk tumbuh dengan baik, misalnya Tectona grandis baik tumbuhnya di tanah-tanah kapur yang bersifat alkalis (jenis tanah grumusol) dengan bonita yang cukup tinggi dan baik untuk tanaman ini. Pinus merkusii dapat tumbuh di segala jenis tanah kecuali pada tanah-tanah yang tidak meneruskan air;

2) Tinggi Tempat. Setiap jenis tanaman mempunyai kisaran tumbuh terhadap tinggi tempat dari permukaan laut. Penanaman sebaiknya dilakukan pada tempat-tempat dimana tinggi tempatnya termasuk dalam kisaran tumbuh tanaman tersebut dimana jenis tanaman dapat tumbuh maksimum;

3) Kebutuhan akan Cahaya Matahari. Penanaman suatu jenis pohon harus memperhatikan kebutuhan jenis tersebut akan cahaya matahari. Jenis pohon ada yang bersifat toleran, setengah toleran dan intoleran.

Jenis pohon yang bersifat toleran maksudnya ialah jenis pohon tersebut untuk hidupnya membutuhkan naungan dari jenis pohon lain. Jenis pohon yang bersifat setengah toleran maksudnya adalah jenis tersebut pada waktu mudanya membutuhkan baungan dan setelah dewasa membutuhkan pembebasan tajuk dari pohon lain. Jenis pohon yang bersifat intoleran maksudnya adalah jenis-jenis tersebut untuk hidupnya membutuhkan cahaya matahari penuh.

1) Keadaan Lapangan. Keadaan lapangan penting diperhatikan dalam pemilihan jenis pohon dalam reboisasi ialah dalam hal apakah jenis yang akan dipilih pada lapangan tersebut jenis-jenis untuk tujuan hutan produksi, hutan lindung, memperbaiki kesuburan tanah atau gabungan dari masing-masing tujuan;

2) Drainase. Drainase tanah perlu diperhatikan untuk mengetahui dapat atau tidaknya jenis-jenis yang akan dipilih tumbuh dengan hasil yang memuaskan pada tanah-tanah yang berdrainase jelek atau tidak. Apakah jenis-jenis yang akan dipilih dapat tumbuh di tanah-tanah yang becek, sewaktu-waktu tergenang atau tidak dapat tumbuh sama sekali. Hal yang


(51)

24

perlu diperhatikan keadaan daerah yang akan direboisasi apakah ekosistem hutam rawa, hutan gambut dan sebagainya dalam hubungannya dengan jenis-jenis yang akan dipilih.


(52)

III.

METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Belu, Propinsi Nusa Tenggara Timur selama 10 bulan yaitu dari bulan Agustus 2005 hingga Mei 2006. Lokasi penelitian tertera pada Gambar 3.

Gambar 3. Citra Landsat TM Kabupaten Belu Tahun 2002 dan 2003

3.2. Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi; data citra landsat ETM Kabupaten Belu tahun 2002, peta administrasi, peta topografi, peta tata guna lahan, layer penduduk, layer kendaraan bermotor, layer batas administrasi kecamatan, layer jalan, layer tutupan lahan, Software Arc View dan ER mapper, rencana umum, tata ruang Kabupaten Belu dan rencana ruang terbuka hijau Kabupaten Belu, sedang alat-alat yang digunakan yaitu : Altimeter, kamera dan alat tulis.


(53)

26

3.3. Metoda Penelitian

3.3.1. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data Primer 3.3.1.1.Data Primer

Data primer yang dikumpulkan diantaranya yaitu mengenai persepsi dan pengertian dari para Stakeholders terhadap keberadaan dan pemeliharaan hutan kota, kecocokan jenis pohon dan keadaan hutan kota secara nyata dilapangan (Lampiran 2). Teknik dan prosedur pengumpulan data sosial dilakukan menggunakan wawancara

A. Wawancara

Wawancara dimaksudkan guna mengetahui bagaimana persepsi dan perhatian serta komitmen stakeholders dalam hal ini masyarakat, instansi pemerintah, dan pihak-pihak yang terkait terhadap pengembangan hutan kota.

Untuk wawancara pemilihan responden dilakukan dengan cara Purpossive

Random Sampling. Jumlah responden yang ditetapkan meliputi; BAPPEDA(3 responden), Bapedalda (3 responden), Dinas Kehutanan (3 responden), LSM ( 3 responden ), perguruan tinggi (3 responden ), masyarakat ( 3 responden )

Wawacara dilakukan berdasarkan panduan daftar pertanyaan yang ditujukan untuk pengisian kuesioner AHP. Wawancara terhadap stakeholders diantaranya mengenai beberapa hal sebagai berikut:

1) Perhatian dan pendapat Stakeholders mengenai hutan kota. 2) Keinginan Stakeholders untuk memelihara hutan kota.

3) Kegiatan yang dilakukan Stakeholders dalam pengembangan hutan kota 4) Pendapat Stakeholders mengenai program pemerintah dalam usaha.

pengembangan hutan kota.

B. Kecocokan Jenis Pohon

Kecocokan jenis-jenis tanaman yang telah ditanam di Kabupaten Beludapat dilihat berdasarkan kepada :

1) Syarat literatur jenis-jenis tanaman yang ada di lapangan dicocokan dengan syarat literatur yang diperoleh dengan melakukan studi pustaka;

2) Syarat lapangan (kondisi lapangan) diantaranya yaitu:

a) Ketinggian dari permukaan laut yang diukur dengan menggunakan

alat altimeter.


(54)

27

c) Type hujan, yang disesuaikan berdasarkan klasifikasi type hujan menurut Schmidt dan Ferguson yaitu :

Hasil perhitungan nilai Q di atas menggambarkan tipe iklim.

C. Observasi

Observasi dilakukan untuk memperoleh gambaran nyata kondisi biofisik, terutama yang dapat dilihat secara visual mengenai jumlah, luas dan letak taman-taman kota, jalur hijau, dan kepadatan kendaraan bermotor di Kabupaten Belu.

3.3.1.1.Data Sekunder

Pengambilan data sekunder dilakukan untuk memperoleh data kuantitatif tentang kondisi biofisik dan kondisi klimatologis yang akan digunakan sebagai dasar dalam menentukan pola pengembangan hutan kota. Sumber data sekunder diperoleh dari hasil wawancara.

Data sekunder diperoleh dari instansi yang terkait antara lain, BAPPEDA, Bappedalda, Dinas kehutanan, Dinas Kebersihan dan Pertamanan, Dinas Perhubungan, Dinas PERINDAG, Dinas Kependudukan, PMD, Badan Pusat Statistik, Badan Pertanahan Kabupaten Belu, Kimpraswil, Bakosurtanal, DEPHUT RI.

1) Kondisi Biofisik:

a) Jumlah luas dan lokasi taman-taman kota

b) Jumlah luas dan lokasi jalur hijau

c) Luas Tata guna lahan

d) Jenis tanaman yang ada di hutan kota di Kabupaten Belu

e) Jumlah laju pertumbuhan penduduk

f) Jumlah dan laju perkembangan Kendaraan bermotor

g) Jumlah dan laju pertumbuhan Industri.

2) Kondisi Klimatologis a) Suhu udara

b) Kelembaban relatif

jumlah rata-rata bulan kering (<60 mm)

jumlah rata-rata bulan basah(>100 mm)

Q =


(55)

28

c) Curah Hujan d) Kecepatan angin.

3.3.2 Pengolahan Data

3.3.2.1.Kebutuhan Luas Hutan Kota berdasarkan Instruksi Menteri dalam Negeri No 14 Tahun 1998

Analisa kebutuhan luas hutan kota berdasarkan Inmendagri No. 14 Tahun 1998 tentang penataan ruang terbuka hijau di wilayah perkotaan yaitu dilihat luas hutan kota yang harus tersedia di lingkungan perkotaan dan biasanya ditetapkan dalam persentase dari total luas areal kota yang bersangkutan (40 %).

3.3.2.2 Kebutuhan Luas Hutan Kota berdasarkan Peraturan Pemerintah No 63 Tahun 2002

Menurut peraturan pemerintah No. 63 Tahun 2002 ditentukan bahwa hutan kota paling sedikit 10 % dari luas seluruh kawasan kota. Penetapan porsi bagi pengembangan hutan kota tersebut diperlukan sebagai upaya penyeimbang kemajuan pembangunan.

3.3.2.3.Kebutuhan Luas Hutan Kota Berdasarkan Jumlah Karbondioksida.

Penentuan luas hutan kota berdasarkan jumlah karbondioksida (Gerakis, 1974 dalam Wisesa, 1988 ). Penentuan luas hutan kota berdasarkan jumlah karbodioksida yang dikeluarkan merupakan total karbodioksida yang dihasilkan dari aktifitas manusia, kendaraan bermotor, dan industri.

Rumus : L = atvt + btwt + ctzt

K

Keterangan : L = Luas hutan kota (ha)

at = karbondioksida yang dihasilkan setiap manusia (kg/jam) bt = karbondioksida yang dihasilkan perkendaraan bermotor

(kg/jam)

ct = karbondioksida yang dihasilkan perindustrian (kg/jam) vt = jumlah penduduk (jiwa)

wt = jumlah kendaraan bermotor (unit) zt = jumlah industri (unit)

K = konstanta yang menunjukkan bahwa kemampuan hutan kota


(1)

Lampiran 20. Jenis- jenis Tanaman yang dapat Dikembangkan di RTH Pekarangan

NO Nama Daerah Nama Latin

1 Belimbing Averrhoa carambola

2 Jambu Air Eugenia cuminii Linn.

3 Jambu Monyet Anacardium occidentale.

4 Jeruk Citrus aurantifolia ( Christm. Dan Panz ).

5 Kedondong Spondias rarak

6 Kopi Coffea arabica

7 Mangga Mangifera indica Linn.

8 Nangka Artocarpus integra Merr.

9 Bunga Kupu- kupu Bauhinia purpurea Linn.

10 Dadap Erythrina varigate Linn.

11 Sirsak Annona muricata Linn.


(2)

Lampiran 21. Jenis Tanaman yang dapat dikembangkan di Jalur Hijau

NO Nama Daerah Nama Latin

1 Angsana Pterocarpus indicus Wild.

2 Asam Jawa Tamarindus indicus Linn.

3 Cemara Angin

Casuaria equisetifolia J.R. dan Forst.

4 Flamboyan Delonix regia Rafin

5 Glondongan Polyathia longfolia Benth

6 Jati Tectona grandis Linn.

7 Mahoni Swietenia mahogani (L.) JACQ.


(3)

Lampiran 22. Jenis- jenis Tanaman yang dapat dikembangkan di Taman Hutan

NO Nama Daerah Nama Latin

1 Angsana Pterocarpus indicus Wild.

2 Asam Tamarindus indica Linn.

3 Beringin Ficus benjamina Linn.

4 Flamboyan Delonix regia Rafin

5 Eucallyptus

6 Johar Cassia siamea

7 Damar Agathis damara ( Lamb.) L.C.Rich

8 Gelodongan Polyathia longifolia Benth.


(4)

Lampiran 23. Ruang Terbuka Hijau yang Dikelola Dinas Kebersihan dan Pertamanan

NO Komponen Ruang Terbuka Hjau Luas ( m2 )

1 Jalur Hijau Tugu Gerbades 1500

2 Jalur Hijau Rumah Jabatan 1700

3 Jalur Hijau Bandara 1000

4 Taman Makam Pahlawan Seroja 10.000

5

Taman Kantor Bupati DATI II


(5)

(6)

Lampiran 24. Tutupan lahan per land use di Kabupaten Belu

Landcover Landuse Badan

Air

Semak

Belukar Ladang Perkebunan Awan

Sawah Irigasi

Bayangan

Awan Mangrove Hutan

Mangrove 37.74

299.21

1,138.94 -

43.23

602.63

- 3,290.54 428.02

Perkebunan 2.94 3,778.27

2,335.24 625.43 58.59

1,580.99 3.90 2.51 534.54

Kolam Air 214.20 161.15 967.68 0.50 355.38

1,497.01 0.25 169.34 10.02

Lahan Kosong 34.22

7,750.50 13,463.97 1,546.46 702.22

10,178.00 7.01 9.05 55.54

Areal Pemukiman 0.39

345.06 1,893.05 10.02 24.61

1,173.27 3.43

- 0.38

Semak Belukar 61.08

75,907.87 22,602.00 5,606.75 2,518.11 45,682.68 396.46

48.21 921.70

Sawah Irigasi 2.41

102.45 23.46 6.07 9.01 885.29 - - -

Badan Air 2.72 -

0.01 - -

2.02

- 0.02 -

Hutan -

1,471.75 858.05 50.58 265.84 835.46 16.05

3.44 2,464.75

Sawah Tadah Hujan 9.14

444.29 920.11 36.90 61.24

1,141.09 2.12