Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Pemerintah Indonesia telah menerbitkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan sistem keuangan pemerintah daerah. Implementasi perundang-undangan ini kemudian dikeluarkan aturan pelaksanaan dalam bentuk Peraturan Pemerintah PP dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Permendagri. Paket peraturan perundang-undangan ini dimaksudkan untuk mengawal pengelolaan keuangan daerah yang banyak mengalami perubahan dan perbaikan seiring semangat reformasi manajemen keuangan pemerintah Warisno, 2009: 2 dalam Oktaviyah, 2014. Perwujudan sistem manajemen keuangan pemerintah yang transparan dan akuntabel sangat perlu didukung oleh penyelenggaraan yang merata sampai pada tingkat pemerintahan terendah. Sesuai dengan pengertian asas desentralisasi, pemerintah desa sebagai pemerintahan tingkat terendah diberi kewenangan untuk menyelenggarakan pemerintahannya Oktaviyah, 2014. Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa, desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, danatau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa Pasal 24 menjelaskan bahwa asas penyelenggaraan pemerintahan desa adalah kepastian hukum, tertib penyelenggaraan pemerintahan, tertib kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efektivitasefisiensi, kearifan lokal, keberagaman dan partisipatif. Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa Pasal 71 menyebutkan bahwa keuangan desa adalah semua hak dan kewajiban desa yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban desa. Pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut menimbulkan pendapatan, belanja, pembiayaan, dan pengelolaan keuangan desa, pengelolaan keuangan desa meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan dan pertanggungjawaban. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa beserta Peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, memberikan amanat kepada desa untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan hak asal usul, adat istiadat, dan nilai sosial budaya masyarakat, serta mandiri dalam mengelola pemerintahan dan berbagai sumber daya alam yang dimiliki, termasuk di dalamnya pengelolaan keuangan dan kekayaan milik desa. Semua urusan yang terkait dengan keuangan dilaksanakan berdasarkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa atau APBDesa. APBDesa terdiri atas bagian pendapatan, belanja, dan pembiayaan desa. APBDesa merupakan keseluruhan gambaran keuangan desa. APBDesa dikelola oleh pemerintah desa. Pengelolaan keuangan desa meliputi serangkaian kegiatan dimulai dari perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, sampai pertanggungjawaban. Pamong desa dalam menyelenggarakan kewenangannya berdasarkan Undang-Undang Desa, tentu dalam pelaksanaanya membutuhkan dana yang tidak sedikit. Permasalahan terkait kesenjangan penerimaan antar desa selalu menjadi topik utama di kalangan pemerintah desa. Alasannya, tingkat kemampuan tiap- tiap desa dalam mengupayakan sumber penerimaan pun berbeda-beda, sementara Undang-Undang Desa memperlakukan hal yang sama terhadap semua desa, baik desa yang berada di daerah perkotaan maupun daerah terpencil, baik desa dengan kemampuan sumber daya manusia yang memadai ataupun desa dengan kemampuan sumber daya manusia yang kurang memadai. Berangkat dari permasalahan tersebut, melalui Undang-undang Desa ini, pemerintah memberikan jaminan bahwa setiap desa akan menerima dana melalui anggaran negara dan daerah yang jumlahnya jauh lebih besar di atas jumlah yang selama ini tersedia dalam anggaran desa. Penambahan penerimaan desa tersebut, diharapkan dapat menjadi solusi atas permasalahan kesenjangan penerimaan antar desa dan akhirnya semua desa dapat meningkatkan kesejahteraan desa serta kualitas hidup masyarakatnya. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat DPR membuktikannya dengan mengeluarkan kebijakan yakni menganggarkan Dana Desa secara nasional dalam APBN setiap tahun yang dimulai pada tahun 2015. Dana desa yang dianggarkan untuk tahun 2015 sejumlah Rp 20,7 triliun berdasarkan Rincian Anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa dalam Peraturan Presiden Nomor 162 Tahun 2014 tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2015. Dana desa ini ditransfer melalui APBD KabupatenKota dan disalurkan secara langsung kepada 74.093 desa di seluruh Indonesia, sehingga paling tidak setiap desa menerima dana desa sekitar Rp 270 juta, dan akan meningkat di tahun 2016. Jumlah tersebut merupakan jumlah terbesar pertama dalam sejarah APBN yang dialokasikan untuk desa. Desa yang berada di Indonesia menerima dana desa secara langsung dari APBN, selain itu desa juga menerima sumber pendapatan lainnya yang tidak kalah besarnya, yaitu berasal dari transfer dana pusat melalaui APBD KabupatenKota yang dikenal dengan Alokasi Dana Desa ADD. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa, formulasi perhitungan Alokasi Dana Desa adalah paling sedikit 10 dari dana perimbangan yang diterima KabupatenKota dalam APBD setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus. Apabila menggunakan data Rincian Anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa dalam Peraturan Presiden Nomor 162 Tahun 2014 tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, maka terdapat potensi antara Rp 30-40 triliun dana yang mengalir ke desa dengan menggunakan mekanisme ADD. Dibandingkan dengan kondisi yang ada sebelum UU No 6 Tahun 2014 berlaku, penambahan alokasi dana untuk desa tersebut tentu sangat meningkatkan jumlah penerimaan desa, belum lagi ditambah dengan sumber penerimaan lainnya seperti dari Pendapatan Asli Desa PAD, bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah KabupatenKota, bantuan keuangan dari APBD Provinsi dan APBD KabupatenKota, hibah atau sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga, dan lain-lain pendapatan desa yang sah. Kebijakan pemerintah memberikan dana dalam jumlah besar kepada desa tentu bukan serta merta tanpa tujuan. Seperti diterangkan dalam artikel Dana Desa pada warta Badan Pemeriksaan Kuangan BPK bulan Juni 2015, bahwa “Tujuan dikucurkannya dana desa adalah memberikan keleluasaan desa untuk mempergunakan dana desa untuk pemberdayaan desa, baik pembangunan infrastruktur maupun pemberdayaan masyarakat desa, tetapi apabila salah urus atau bahkan rawan penyimpangan, maka tujuan yang baik itu justru akan memba wa sengkarut.” Semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan keuangan desa ini harus bekerja sama dan bersinergi agar Dana Desa dan Alokasi Dana Desa ini dikelola dengan efektif dan efisien, transparan dan akuntabel. Pihak yang harus bekerja ekstra tidak hanya pemerintah desa namun juga pemerintah daerah bahkan pemerintah pusat. Hal ini dilakukan agar pelaksanaan pengelolaan keuangan desa tidak salah urus dan tidak mencederai kepercayaan masyarakat. Begitu besar peran yang diterima oleh desa, tentunya disertai dengan tanggung jawab yang besar pula. Oleh karena itu, pemerintah desa harus bisa menerapkan prinsip akuntabilitas dalam tata pemerintahannya, dimana semua akhir kegiatan penyelenggaraan pemerintahan desa harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat desa sesuai dengan ketentuan. Akuntabilitas ini merupakan satu langkah menuju perwujudan good governance, Good Governance diartikan sebagai tata kepemerintahan yang baik. Tata kelola pemerintahan yang baik merupakan salah satu tuntutan masyarakat yang harus dipenuhi, sedangkan akuntabilitas merupakan salah satu pilar tata kelola yang selalu menjadi perhatian utama publik. Akuntabilitas merupakan bentuk pertanggungjawaban pemerintah terhadap rakyatnya yakni apa yang dikerjakan dan apa yang tidak dikerjakan oleh pemerintah dalam rangka memenuhi janji terhadap mandat yang diberikan oleh rakyat melalui konstitusi negara Istianto, 2011: 95. Menurut Putro 2013 teori stewardship mengasumsikan hubungan yang kuat antara kesuksesan organisasi dengan kepuasan pemilik. Pemerintah desa yaitu pamong desa akan berusaha secara maksimal dalam menjalankan pemerintahan desa untuk mencapai tujuan pemerintah yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat. Putro juga menjelaskan apabila tujuan ini mampu tercapai maka rakyat selaku pemilik akan merasa puas dengan kinerja pemerintah. Pemerintah desa akan berperilaku sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan oleh perundang-undangan. Akuntabilitas merujuk pada bagaimana pemerintah mempertanggungjawabkan penggunaan dana publik, dan memastikan apakah sumber daya yang ada dimanfaatkan secara ekonomis, efisien dan efektif, dimana masyarakat atau publik selalu menuntut pemerintahan yang bersih, bertanggung jawab, dan transparan terhadap akuntabilitas keuangan pemerintah. Tuntutan ini diarahkan pada semua tingkatan pemerintahan, mulai dari pemerintah pusat hingga ke pemerintah desa. Menurut Nordiawan 2006 akuntabilitas adalah mempertanggung jawabkan pengelolaan sumber daya serta pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepada entitas pelaporan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara periodik. Akuntabilitas publik adalah prinsip yang menjamin bahwa tiap-tiap kegiatan yang dilakukan oleh pemerintahan desa dapat dipertanggungjawabkan kepada seluruh lapisan masyarakat secara terbuka. Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa, pengelolaan keuangan desa adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan dan pertanggungjawaban keuanagan desa. Cita-cita mewujudkan akuntabilitas pengelolan keuangan desa tidak semudah membalikkan telapak tangan. Berdasarkan Laporan Kajian Sistem Pengelolaan Keuangan Desa: Alokasi Dana Desa dan Dana Desa oleh Komisi Pemberantasan Korupsi KPK yang dilakukan di lima sampel pada tahun 2015, yaitu Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat, Kabupaten Klaten Provinsi Jawa Tengah, kabupaten Kampar Provinsi Riau, Kabupaten Gowa Provinsi Sulawesi Selatan, dan Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah, diperoleh hasil bahwa akuntabilitas keuangan di desa masih rendah. KPK menemukan sejumlah temuan yang mengakibatkan akuntabilitas pengelolaan keuangan desa di kelima sampel menjadi rendah. Temuan tersebut adalah potensi masalah regulasi, tata laksana, pengawasan, dan SDM. Berbagai penjelasan dan laporan kajian KPK di atas, diketahui Sumber Daya Manusia SDM yaitu dalam hal ini pemerintah desa, dimana pemerintah desa inilah yang mengelola keuangan desa yang dimulai dari proses perencanaan, kemudian ada pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, dan sampai pada proses pertanggungjawaban memiliki peran yang sangat penting. Berlakunya Undang- undang Desa menuntut SDM pemerintah desa harus memiliki kemampuan yang lebih dalam mengelola keuangan desa, mengingat semakin kompleksnya keuangan desa saat ini. Pengembangan SDM memerlukan upaya terarah dan terencana salah satunya dengan penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan, menurut Oemar Hamalik 2007:11 pelatihan diberikan dalam bentuk pemberian bantuan. Bantuan dalam hal ini dapat berupa pengarahan, bimbingan, fasilitas, penyampaian informasi, latihan keterampilan, pengorganisasian suatu lingkungan belajar, yang pada dasarnya peserta telah memiliki potensi dan pengalaman, motivasi untuk melaksanakan sendiri kegiatan latihan dan memperbaiki dirinya sendiri sehingga mampu membantu dirinya sendiri, bimbingan teknis merupakan salah satu proses bantuan yang diberikan kepada individu. Bimbingan teknis adalah bentuk kegiatan yang di dalamnya mengandung pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan kompetensi pemerintah desa. Kompetensi merupakan suatu kemampuan untuk melaksanakan atau melakukan suatu pekerjaan atau tugas yang dilandasi atas keterampilan dan pengetahuan serta didukung oleh sikap kerja yang dituntut oleh pekerjaan tersebut. Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo saat menghadiri Wisuda Praja IPDN di kampus IPDN, Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Minggu, 14 Juni 2015, menyatakan pihaknya telah melatih secara terpadu para aparat desa. Pelatihan tersebut dikoordinasikan dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. “Utamanya tentang tata kelola dan sistematika dalam membuat laporan penggunaan keuangan desa dengan benar,” ucapnya. Pelatihan tersebut diharapkan para aparatur desa tahu mekanisme, aturan dan penggunaan anggaran desa dengan benar. “Pokoknya harus efektif untuk menekan potensi korupsi,” jelas Tjahjo ucapnya Warta BPK, 2015. Diselenggarakannya berbagai bimbingan teknis terkait pengelolaan keuangan desa adalah upaya pemerintah mendorong terwujudnya akuntabilitas pengelolaan keuangan desa. Bimbingan teknis dilakukan dalam rangka untuk mengembangkan dan meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan pemerintah desa yang sudah dimiliki agar kemampuan pemerintah desa semakin baik. Diskusi panel yang dilaksanakan pada Jumat, 5 Juni 2015 dengan tema “Mengawal dana Desa” Wakil Ketua DPD, Farouk Muhammad menyatakan bahwa, “Kemampuan perangkat desa dalam mengelola dana desa menjadi hal yang sangat strategis ke depan. Dana desa yang seharusnya menjadi berkah jangan sampai berubah menjadi bencana akibat salah urus dan berbagai penyimpangan korupsi, sehingga kesiapan administrasi dan sumber daya pengelolaan keuangan desa menjadi mutlak. Pelatihan, pendampingan, dan penguatan kapasitas harus dilakukan berkesinambungan, sistematis dan terarah ” Warta BPK, 2015. Pemahaman pemerintah desa mengenai tugas pokok dan fungsinya dalam organisasi juga menjadi salah satu faktor penentu akuntabilitas pengelolaan keuangan desa. Pemerintahan desa merupakan lembaga perpanjangan pemerintah pusat yang memiliki peran strategis untuk mengatur masyarakat yang ada di pedesaan demi mewujudkan pembangunan pemerintah Sujarweni, 2015. Berdasarkan perannya tersebut, maka diterbitkanlah peraturan-peraturan atau undang-undang yang berkaitan dengan pemerintahan desa yang mengatur tentang pemerintahan desa, sehingga roda pemerintahan berjalan dengan optimal. Segala hal yang berkaitan dengan desa telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa pasal 23, pemerintahan desa diselenggarakan oleh pemerintah desa. Pemerintah desa yaitu kepala desa sebagai pemegang jabatan tertinggi pada penyelenggaraan pemerintahan desa dan Pelaksana Teknis Pegelolaan Keuangan Desa PTPKD Setiap jabatan dalam pemerintahan desa memiliki tugas pokok dan fungsi yang berbeda-beda. Tugas pokok dan fungsi masing-masing jabatan telah diatur berdasarkan peraturan yang berlaku. Kemampuan pemerintah desa dalam mengerti serta memahami masing-masing tugas, dan fungsinya, membantu kelancaran dalam pengelolaan keuangan desa. Hal ini dikarenakan setiap pemerintah desa telah paham dengan fungsi serta job descriptionnya, sehingga tidak akan terjadi ketimpangan tugas. Mengenai pengelolaan keuangan dalam akuntansi sektor publik, menatausahakan semua penerimaan dan pengeluaran yang berkenaan dengan pelaksanaan kegiatan di desa merupakan salah satu bentuk pelaksanaan akuntabilitas publik, sehingga pemahaman mekanisme penatausahaan adalah hal yang harus dimiliki oleh pemerintah desa. Pemahaman memadai yang dimiliki oleh pelaksana teknis pengelolaan keuangan desa PTPKD diharapkan dapat memperlancar mekanisme penatusahaan pengelolaan keuangan desa sesuai dengan peraturan yang berlaku. Kepala desa sebagai pemegang kekuasaan pengelola keuangan desa memiliki kewenangan menetapkan bendahara desa untuk melaksanakan penatausahaan keuangan desa. Bendahara adalah perangkat desa yang ditunjuk oleh kepala desa bertugas untuk menerima, menyimpan, kemudian menyetorkan atau membayar, menatausahakan, serta mempertanggungjawabkan penerimaan pendapatan desa dan pengeluaran pendapatan desa dalam rangka pelaksanaan APBDesa Permendagri 1132014, pasal 7. Bendahara sebagai penanggung jawab dalam seluruh proses penatausahaan keuangan di pemerintahan desa sampai pada penyusunan laporan pertanggungjawaban keuangan dihadapkan pada keharusan untuk memiliki pengetahuan yang memadai di bidang keuangan desa. Interpretasi bendahara terhadap aturan yang menjadi pedoman dalam melaksanakan tugasnya berpengaruh pada hasil laporan pertanggungjawabannya. Pemahaman tugas pokok dan fungsinya dalam organisasi serta pemahaman mekanisme penatausahaan keuangan desa ini merupakan kompetensi yang harus dimiliki oleh pamong desa. Kompetensi didefinisikan sebagai kapasitas yang ada pada seseorang yang bisa membuat orang tersebut mampu memenuhi apa yang disyaratkan oleh pekerjaan dalam suatu organisasi sehingga organisasi tersebut mampu mencapai hasil yang diharapkan. Ketika pamong desa memiliki pemahaman tugas pokok dan fungsinya serta pemahaman penatausahaan keuangan desa, diharapakan pekerjaan yang diberikan dapat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dan dapat mencapai hasil yang diharapakan. Studi menunjukkan masih ada pemerintah desa yang tidak mampu mewujudkan akuntabilitas keuangan ini, meskipun tuntutan terhadap akuntabilitas pengelolaan keuangan semakin tinggi. Studi yang dilakukan oleh Setyoko 2010 yang melakukan penelitian mengenai Akuntabilitas Administrasi Keuangan Alokasi Dana Desa ADD di Kabupaten Purbalingga menemukan bahwa kegagalan mewujudkan akuntabilitas vertikal dan horizontal administrasi keuangan ADD menunjukkan pengelolaan keuangan negara pada tingkat desa belum berhasil. Sistem dan mekanisme pelaporan keuangan yang telah disusun dengan baik dan rinci oleh pemerintah kabupaten, ternyata tidak dapat dilaksanakan dengan baik oleh aparat pemerintah desa. Kegagalan ini disebabkan oleh rendahnya kemampuan administratif aparat pemerintah desa, tidak adanya sanksi yang tegas dari pemerintah kabupaten terkait dengan dengan ketertiban administrasi keuangan ADD, serta masyarakat pedesaan yang kurang peduli terhadap persoalan akuntabilitas administrasi keuangan ADD. Sejalan dengan studi Setyoko 2010, studi Furqoni 2010 yang dilakukan di Desa Kalimo Kecamatan Kalianget Kabupaten Sumenep juga menunjukkan hasil yang sama, yakni belum terwujudnya akuntabilitas pada desa. Studi Furqoni menyatakan transparansi terjadi hanya ketika perencanaan saja. Hampir semua proses tidak memenuhi prinsip tanggung jawab karena ada beberapa hal dalam proses yang tidak sesuai dengan Permendagri Nomor 372007. Sementara akuntabilitas sangat rendah karena tanggung jawab tidak melibatkan BPD Badan Permusyawaratan Desa. Berbeda dari penelitian Setyoko 2010 dan Furqoni 2010, studi yang dilakukan oleh Irma 2014 dan Romatis 2015 memperoleh hasil bahwa desa berhasil mewujudkan akuntabilitas keuangan. Studi yang dilakukan oleh Irma 2014 memperoleh hasil bahwa akuntabilitas pengelolaan Alokasi Dana Desa di wilayah Kecamatan Dolo Selatan Kabupaten Sigi dilihat dari tahap perencanaan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban baik secara teknis maupun administrasi sudah berjalan dengan baik, namun dalam hal pertanggungjawaban administrasi keuangan kompetensi sumber daya manusia pengelola masih memerlukan pendampingan dari aparat Pemerintah Daerah Kabupaten Sigi. Studi Romantis 2015 mengenai Akuntabilitas Pengelolaan Alokasi Dana Desa di Kecamatan Panarukan Kabupaten Situbondo Tahun 2014, menerangkan bahwa pada ketiga tahapan, yaitu tahap perencanaan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban sudah memenuhi asumsi akuntabilitas. Tahap perencanaan ADD di 8 delapan desa telah menerapkan prinsip partisipasi dan transparansi. Hal ini dibuktikan dengan antusiasme masyarakat dalam forum musyawarah desa. Tahap pelaksanaan sudah menerapkan prinsip transparansi dan akuntabilitas, dilihat dengan adanya informasi mengenai jadwal pelaksanaan fisik yang didanai ADD dan akuntabilitas sudah terlakasana sepenuhnya karena pertanggungjawaban secara fisik dan administrasinya sudah selesai dan lengkap, pada tahap pertanggungjawaban ADD baik secara teknis maupun administrasi sudah baik. Penelitian yang dilakukan oleh Lestari dkk 2014 yang berjudul Membedah Akuntabilitas Praktik Pengelolaan Keuangan Desa Pakraman Kubutambahan, Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali menemukan bahwa proses akuntabilitas pengelolaan keuangan desa Pakraman Kubutambahan telah berlangsung secara konsisten setiap bulan dengan menggunakan sistem akuntansi sederhana. Studi lainnya yang berkaitan dengan pengelolaan dana desa yaitu Subroto 2009 menyatakan dalam hasil penelitiannya mengenai akuntabilitas pengelolaan dana desa menunjukkan bahwa untuk perencanaan dan pelaksanaan kegiatan alokasi dana desa, sudah menampakkan adanya pengelolaan yang akuntabel dan transparan, sedangkan dalam pertanggungjawaban dilihat secara hasil fisik sudah menunjukkan pelaksanaan yang akuntabel dan transparan, namun dari sisi administrasi masih diperlukan adanya pembinaan lebih lanjut, karena belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan. Berdasarkan uraian tersebut, untuk mengetahui akuntabilitas pengelolaan keuangan desa di Kabupaten Kebumen, maka peneliti mengambil judul penelitian “Determinan Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan Desa Studi pada Pamong Desa di Wilayah Kabupaten Kebumen ”.

1.2. Rumusan Masalah