Frame : Menikah Untuk Meneruskan Riwayat Keluarga

BAB IV PESAN MORAL DALAM FILM GET MARRIED

A. Pengemasan Isu Pesan dalam Film Get Married

Dalam film Get Married ini ditemukan beberapa fakta tentang beberapa pemikiran yang dijadikan alasan sebagian besar masyarakat melakukan pernikahan. Paradigma atau pemikiran-pemikiran yang terdapat dalam film itulah yang akan diangkat dalam frame atau bingkai isu yang ditonjolkan dalam film ini. Pesan-pesan yang akan dikemukakan berikut ini menggunakan pendekatan analisis framing yang dikembangkan Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki model Pan dan Kosicki.

1. Frame : Menikah Untuk Meneruskan Riwayat Keluarga

Dengan judul Get Married semakin terlihat jelas skema cerita ini sangat menekankan frame tentang perintah untuk seseorang agar segera menikah. Dalam pengenalan tokoh, film ini sudah memulai dengan inti dari tema film yang bertajuk “Get Married” ini. Karena, masih dalam adegan-adegan pembuka atau awal, sutradara sudah menyuguhkan inti dari isi cerita di mana Mae pemeran utama diminta untuk segera menikah oleh orang tuanya karena Mae telah selesai merampungkan kuliahnya, namun Mae belum juga mengenyam dunia kerja sequence 1. Seperti orang tua pada umumnya, Bapak dan Ibu Mardi sebagai orang tua Mae ingin puteri tunggalnya itu bisa menjadi kebanggan bagi mereka, akan tetapi kenyataan puterinya malah merepotkan, terlebih lagi dengan tingkah lakunya yang seperti anak laki-laki. Keadaan seperti itu ternyata membuat Bapak dan Ibu Mardi berpikir bahwa sebaiknya Mae segera menikah saja, dengan tujuan melepaskan tanggung jawab mereka terhadap Mae. Untuk itu orang tua Mae punya rencana untuk mencarikan jodoh buat Mae di luar kampung mereka. Bapak dan Ibu Mardi membicarakan hal ini pada puterinya, dengan penekanan kalimat “meneruskan riwat keluarga” mereka meminta Mae agar menyetujui rencananya tersebut. Untuk lebih jelas lihat dialog berikut: “Bu Mardi : Mae bagaimanapun keadaan kamu, kami menyayangi kamu. Pak Mardi: Mangkenye, lu ini anak satu-satunye, lu punya kewajiban sejarah untuk nerusin riwayat keluarga kita.” Dalam Bab 11 telah dijelaskan bahwa tujuan dari pernikahan sendiri adalah agar laki-laki dan perempuan dapat berhubungan satu sama lain, saling mencintai dan menghasilkan keturunan serta dapat hidup dalam kedamaian. Begitu juga dengan keinginan orang tua Mae yang sangat berharap agar Mae dapat meneruskan riwayat keluarga mereka. Karena Mae adalah anak tunggal, Bapak dan Ibu Mardi merasa khawatir kalau-kalau Mae tidak bisa meneruskan keturunan mereka. Alasan ‘meneruskan generasi’ adalah penekanan ungkapan yang digunakan untuk meluluhkan hati Mae agar mau segera menikah. “Pak Mardi : Ya.. ini ikhtiar orang tua. Jangan merasa terhina, jangan merasa ditawar-tawarin Mae : Nggak ko Pak, kan seperti kata bapak, itu kan kewajiban sejarah. Pak Mardi : Ya bener itu bener. Asal lu tau manusia itu mesti berkembang biak.” Pada sequence pertama, sebuah konflik berani diperlihatkan oleh sutradara, yaitu konflik yang berupa tekanan bagi Mae sebagai tokoh utama dari kedua orang tuanya untuk mengikuti keinginan dan cita-cita mereka. Penulis mengatakan ini sebuah konflik karena keegosian orang tua terhadap anaknya tanpa memikirkan hak anaknya sendiri, yaitu hak menentukan pilihan untuk segera berumah-tangga atau tidak. Sebetulnya dalam frame ini sutradara memberi pesan pada penonton, bahwasanya sesuatu yang kita anggap baik belum tentu akan baik pula bagi orang lain. Begitu juga halnya orang tua, anak memang suatu amanat yang diberikan oleh Tuhan akan tetapi bukan berarti hak seorang anak adalah hak orang tuanya juga. Pada scene 20 mulai menjelaskan tugas Mae sebagai anak yang mempunya kewajiban sejarah yakni untuk meneruskan riwayat keluarga mereka karena Mae adalah anak satu-satunya. Mae tidak ingin menyakiti kedua orang tuanya, sehingga ia tidak menolak rencana apapun dari orang tuanya. Akan tetapi sikap Mae tersebut bukan berarti Mae langsung setuju untuk menikah, akan tetapi Mae melihat dan menyeleksi calon-calon jodoh yang dicarikan Bapak dan Ibunya terlebih dahulu sequence 3. Menarik dan menggelitik, adegan-adegan pada saat datangnya para calon jodoh buat Mae sangat cerdas dikemas oleh sang sutradara. Dengan ide-ide kreatifnya, Hanung menampilkan karakter laki-laki yang unik dan berbeda pada umumnya, sehingga menabah warna humor dari film ini. Konflik film semakin bertambah ketika Mae menolak semua calon yang dicarikan oleh Bapak dan Ibunya. Ganre drama pada film ini terasa pada saat scene yang menggambarkan kekecewaan Bapak dan Ibu Mardi kepada putrinya - Mae. Seperti dialog pada scene 47 ini: “Bu Mardi : Kata si Mae calon-calonnya ga mutu, tapi kan kita nggak punya kerabat orang kaya Pak. menagis Pak Mardi : Ya udah, emang nasibnya si Mae jadi perawan tua mao apa lagi Bu Mardi : Tapi apa kita nggak punya penerus generasi apa? …” Konflik dalam film ini terus terlihat ketika tokoh orang tua Mae mulai memperlihatkan keegoisan mereka dengan perintahnya terhadap Mae untuk segera menikah, dengan alasan mereka merasa terbebani dan merasa direpotkan oleh Mae, yang padahal itu sudah kewajiban mereka sebagai orang tua untuk merawat dan menjaga anak mereka sampai Mae bisa mendapatkan seorang suami yang bisa mengayomi Mae, dan bergantilah tanggung jawab itu kepada suaminya. Elemen Strategi Penulisan Sintaksis Penulis cerita menempatkan karakter tokoh Bapak dan Ibu Mardi sebagai orang tua yang memberikan kewajiban atas puterinya untuk segera menikah. Skrip Penekanan cerita lebih dikedepankan pada persoalan keinginan Bapak dan Ibu Mardi agar Mae menikah untuk meneruskan riwayat keluarga mereka. Tematik 1 Orang tua yang ingin puteri tunggalnya bisa meneruskan keturunan. 2 Keegoisan orang tua Mae akan keinginan menikahi Mae untuk mengakhiri tanggung jawab sebagai orang tua. Retoris Bapak dan Ibu Mardi ingin menikahi Mae, karena Mae anak yang gagal – punya pendidikan yang tinggi namun masih juga pengangguran yang hanya merepotkan orang tua.

2. Frame : Menikah Karena Perjodohan