kehilangan kasih sayang dari seseorang. Seseorang yang cemburu selalu mempunyai sikap benci terhadap saingannya”
51
. 4
Rasa sedih. Rasa sedih yang terjadi pada masa ini sering terjadi karena adanya imitasi, pada awal perkembangan anak belum mengerti dan
memahami kejadian yang menyebabkan sedih tersebut. Umumnya rasa sedih timbul karena ada sesuatu yang hilang, baik itu berupa benda
maupun perasaannya yang menjadi suatu yang menyenangkan atau penting untukya.
5 Rasa gembira. “Gembira adalah ekspresi dari kelegaan, yakni perasaan
terbebas dari ketegangan. Biasanya kegembiraan itu disebabkan oleh hal- hal yang bersifat tiba-tiba surprise dan kegembiraan biasanya bersifat
sosial, yaitu melibatkan orang-orang lain di sekitar orang yang sedang gembira tersebut”
52
. Kenyaman dan perhatian yang diterima anak akan direspon dengan rasa kegembiraan.
2. Prinsip Utama Mengelola Emosi Anak
Menurut pendapat Seto Mulyadi didalam buku yang berjudul “Membantu Anak Balita Mengelola Amarahnya”, terdapat beberapa prinsip antara lain:
a. Tidak ada perasaan salah
Rasa amarah sangat menusiawi sehingga tidak dapat disalahkan. Rasa marah sama manusiawinya dengan rasa lapar yang kita alami karena
belum makan, rasa sakit karena tertusuk benda tajam, ataupun rasa ngantuk akibat kurang tidur. Perasaan itu adalah reaksi kimiawi tubuh, dan
51
Ibid.
52
Ibid
memang seperti itulah tubuh kita bekerja. Masih banyak orang tua yang mengaitkan perasaan negatif yang dirasakan oleh anak dengan watak anak
yang buruk. Si adik yang iri dengan kakaknya dianggap memiliki watak jelek, sedangkan si kakak dianggap lebih banyak memperoleh perhatian.
Menurut Dr. Elizabeth Hurlock “reaksi marah pada anak memang akan mencapai puncaknya pada usia 2-4 tahun. Marah juga merupakan emosi
yang paling sering ditunjukkan anak-anak disbanding rangsangan emosi lainnya”.
53
b. Perasaan harus diungkapkan, tetapi secara bijak Cara seorang anak mengungkapkan perasaannya terkait dengan
kemampuan anak untuk mengendalikan diri. Tidak perlu khawatir apabila si kecil masih mengekspresikan emosinya dengan cara yang salah.
Kemampuan untuk mengelola emosi setiap anak pun berbeda-beda tergantung usia, penyebab, latar belakang keluarga, serta kondisi
psikologis saat stimulasi terjadi. Kemampuan mengelola emosi ini perlu dilatih, sama halnya dengan kemampuan si kecil untuk menngontrol
anggota gerak dan benda-benda didekatnya. Lebih baik apabila emosi itu diungkapkan dan tidak dipendam. Perasaan yang dipendam dapat
berakibat destruktif pada diri sendiri, terutama jika ada tekanan yang dirasakan oleh anak. Ada dua hal yang membuat anak tidak dapat
mengungkapkan rasa marahnya, yaitu: 1
Kemampuan berbahasanya yang belum berkembang dan pengaruh lingkungan sosial atau budaya
53
Ibid., h. 12.
2 Ada kemungkinan seorang anak takut untuk mengakui bahwa ia
sedang marah karena ajaran orang dewasa yang megatakan bahwa anak yang baik tidak boleh marah atau ngambek.
“Kemampuan mengelola emosi perlu dilatih, sama halnya dengan kemampuan si kecil untuk mengontrol anggota gerak dan benda-benda
disekitarnya”.
54
Orang tua sebaiknya memfasilitasi anak agar mampu mengungkapkan perasaannya ini sekaligus bertindak sebagai mentor yang
membimbingnya agar mampu mengungkapkan perasaan dengan bijak. Contoh, dengan melampiaskan amarah anak pada benda mati atau dengan
cara yang sesedikit mungkin menimbulkan kerugian, misalnya; membuat coret-coretan, mewarnai, menulis dan sebagainya. Jika telah mencapai
tahap pengendalian diri yang lebih baik, rasa marah bahkan bisa ditransformasikan dalam kegiatan yang positif dan menghasilkan manfaat,
seperti mencipta lagu, syair, tulisan dan sebagainya. c. Letakkan harapan sesuai kemampuan
Jangan pernah lupa bahwa anak-anak tetaplah anak-anak. Mereka memiliki keterbatasan pemahaman maupun kontrol terhadap dirinya. Jadi,
tak mungkin mengharapkan mereka mampu mengerti, mengendalikan diri, dan berperilaku seperti layaknya orang dewasa. Sebagai contoh, seorang
ibu mengharapakan anak laki-lakinya yang berusia 2 tahun dapat duduk tenang di meja makan tanpa melempar makanan. Dalam hal ini, harapan si
ibu sudah cukup sesuai dengan usia anak. Namun sebaliknya, harapan ibu
54
Ibid., h. 13
menjadi tidak sesuai jika megharapkan si anak untuk duduk tenang selama 20 menit di meja makan.
Menurut Dr. Seto Mulyadi dalam karangan bukunya yang berjudul membantu anak balita mengelola amarahnya, terdapat beberapa tahap
perkembangan anak masa kanak-kanak awal 3-6 tahun yaitu: 1
Mulai meningkatkan kekuatan dan kehalusan motorik, kemandirian, pengendalian diri, kreativitas, dan imajinasi.
2 Sudah memiliki gagasan atau pemhaman konkrit, belum mampu
memiliki pemahaman abstrak, mulai menyadari orang lain, dan egosentrisme menurun.
Untuk membuat harapan yang sesuai dengan taraf perkembangan anak, orang tua perlu memahami pola-pola perkembangan anak
berdasarkan usia. Orang tua perlu mengetahui apa yang dapat diharapkan dari anak sesuai usianya, berapa usia yang tepat untuk munculya suatu
perilaku positif pada anak, dan kapan biasanya pola perilaku ini meningkat ke pola perilaku yang lebih matang.
d. Berusaha menjadi model terbaik Untuk mendidik anak kita memang tak ada cara lain selain
menjadikan diri kita sebagai model. Anak-anak adalah peniru yang paling baik sehinggan orang tua haruslah menjadikan dirinya sebagai contoh,
karena orang tua adalah model utama dan paling dekat dalam kehidupan anak. “Apabila orang tua tidak mampu mengendalikan diri dan emosi
dengan baik maka sukar untuk mengharapkan anak mengendalikan diri”.
55
55
Ibid., h. 17.
Karena orang tua sebagai contoh terbaik bagi anak-anak, tunjukkanlah bagaimana cara orang dewasa mengatasi kemarahan dan kekecewaan
dengan sikap tenang. Jadilah guru bagi buah hati kita sambil membantu mereka memahami dari apa yang kita teladani.
e. Bersikap konsekuen Sikap yang konsekuen dalam mengasuh anak adalah hal yang
sangat penting. Sikap ini akan membantu orang tua untuk mencapai tujuan, karena dapat mendorong anak untuk patuh dan menghormati orang
tua. Sebagai contoh, kita telah membuat kesepakatan dengan si kecil bahwa ia harus tidur pukul 20.00, kecuali hari libur. Jika suatu malam ia
tidur pada pukul 20.30, maka kita harus mengejarnya untuk bersikap konsekuen dengan peraturan yang telah disepakati bersama. Untuk kasus
ini, kita dapat mengatakan padanya, ‘mama papa tahu kamu marah, mungkin kamu akan menganggap mama sebagai orang terkejam di dunia.
Namun, kamu telah melanggar waktu tidur. Jadi, besok kamu harus tidur lebih cepat, yaitu pada pukul 19.30’.
Sikap konsekuen ini juga berlaku bagi orang tua. Ingatlah kembali bahwa “orang tua adalah model atau panutan untuk anak. Apabila orang
tua melanggar peraturan, ia juga harus mencontohkan pada anak bahwa ia menerima konsekuensi pila”.
56
Misalnya, apabila orang tua melanggar peraturan, ia pun harus bersedia ‘dihukum’. Namun hal ini hanya
bertujuan mengajarkan konsekuensi kehidupan pada anak. Jika orang tua
56
Ibid., h. 18.
tidak konsekuen, tentunya anak akan mengalami kebingungan. Selain itu, batasan aturan yang dibuat orang tua menjadi kabur atau tidak jelas.
Kita juga perlu menjelaskan tujuan dan alas an kita menerapkan aturan tersebut dengan bahasa yang mudah dimengerti. Selain itu, kita
perlu pula menjelaskan bahwa peraturan itu berbeda-beda untuk orang yang berbeda. Namun, hukuman ini hanya bertujuan untuk mengajarkan
konsekuensi.
3. Sebab Utama dan Tanda Gejolak Emosi Anak