78
mengambil tindakan terhadap persoalan masyarakat tidak diatur sama sekali sebagaimana dalam Qanun Mukuta Alam.
4.7.7. Peran Ulama dalam penyelesaian sengketa
Segala bentuk persengketaan masyarakat di selesaikan dengan cara hukum. Apabila terjadi pelanggaran Hukum mencakup perdata yang belum tertuang dalam perda
Qanun syari’at maka akan merujuk kepada undang- undang atau KUHP yang umunya berlaku di Indonesia.
Kendati demikian apabila terjadi pelangaran atau persengketaan sebelum diselesaikan secara KUHP maka terlebih dahulu diselesaikan secara kekeluargaan atau
secara adat. Penyelesaian dengan cara adat biasanya menjadi pilihan dari masyarakat Aceh dipedesaan. Selain karena proses yang jalankan tidak bertele- tele serta memiliki
kekebalan yang permanen. Kasus yang paling banyak terjadi dimasyarakat terkait penyelesaian persengketaan tanah. Pada masyaakat pedesaan tanah khususnya tanah
persawahan yang menjadi modal utama dalam pemenuhan kebutuhan pokok menjadi simbol atau uuran kekayaan. Kendati tanah tidak lagi dimiliki oleh kaum feodal atau
tuana tanah secara mutlak namun seseorang yang memiliki tanah dengan jumlah yang besar akan di hormati oleh masyarakat. Sehingga tanah akan menjadi rebutan setiap
orang dan apapun akan dicapai untuk mendapatkannya. Bagi masyarakat aceh tanah berfungsi tulang punggung perekonomian rumah
tangga sebagai sember usaha. Dapat dipastikan hampir semua warga pedesaan menimal memiliki sepetak tanah persawahan untuk menghidupi kebutuhan rumah tangga. Yang
menjadi persoalan adalah jumlah yang dimilki antara masyarakat yang berbeda. Tidak
Universitas Sumatera Utara
79
sedikit dari anggota masyarakat yang merasa kurang dengan tanah yang dimilikinya sehingga menyewa tanah milik orang lain. Sistem sewa tanah yang berlaku dalam
masyarakat sesuai dengan aturan atau syari’at Islam. Sistem sewa tersebut dikenal dengan bagi hasil sehingga segala resiko maupun keuntungan ditanggung secara bersama antara
yang punya tanah dan yang menggarap. Hasil panen yang didapat 70 diberikan kepada penggarap dan selebihnya 30 menjadi hal tuan tanah, pembagian lebih dibebankan
kepada pemiliki lahan. Selain itu biasanya petani penggarap cenderung menggarap sawah yang dimiliki
oleh sanak family yang relatif mapan secara ekonomi. Dalam hal ini ia akan terus menerus menggarap tanah yang dimiliki oleh sanak saudaranya sampai batas waktu yang
tidak ditentukan. Persoalan yang sering muncul ketika pemilik lahan meninggal dunia maka lahan tersebut akan menjadi bahan perebutan yang menggarap dengan anak ahli
waris pemilik tanah. sebagai mana yang dikemukakan oleh Tgk. Ibrahim “Dua bulan yang lalu ada persengketaan tanah yang cukup rumit.
Masalah tersebut telah berlangsung sejak enam bulan yang lalu. Dimana “cuda Mah”Kak Mah panggilan akrab untuk wanita yang lebih tua
meniggal dunia sementara ada satu petak tanahnya yang sejak 10 tahun terakhir digarap oleh “Apa Ki” Pak Ki, panggilan akrab untuk lelaki
dewasa
. Sementara selama ini apa Ki telah menjaga dan merawat cucu cuda Mah yang jauh dari ibunya. Sebagai imbalan tanah tersebut akan
digarap oleh apa ki. Namun setelah cuda Mah meninggal maka tanah tersebut di tagih oleh anak cuda Mah kakak dari cucu tesebut yang
menjadi hak warisnya. Atas permintaan yang bersengketa maka kami diminta menyelesaikan sengketa tersebut Setelah dengan cara sesuai
syari’at. Sesuai syari’ah tanah tersebut menjadi hak apa Ki. Tapi ahli waris tanah tersebut tidak puas dengan putusan kami dan berencana
untuk melimpahkan persoalan tersebut ke pengadilan. Apa bila dilimpahkan ke pengadilan maka konsekuensinya yang bersangkutan
akan dicemooh oleh masyarakat. Sehingga akhirnya ahli waris sepakat
Universitas Sumatera Utara
80
untuk menyerahkan tanah tersebut kepada apa ki sebagai imbalam merawat keponakan ahli waris tersebut”. Wawancara 12 january 2010
Tidak jarang mereka mencampuri antara hukum negara dengan hukum adat, dimana hukum negara apabila suatu tanah yang digarap atau disewakan dalam beberapa waktu
lamanya, maka akan menjadi milik yang menggarap. Persoalan mengenai surat menyurat akan diselesaikan kemudian hari dengan cara membuat hak kepemilikan atau akta tanah
yang dilegalisir oleh perangkat kecamatan. Kasus seperti diatas biasanya dimusyawarahkan di Meunasah balai desa yang diikuti oleh para perangkat desa
Geuchik, Teungku Imuem, ketua pemuda. Namun apabila tidak membuahkan hasil maka harus dilakukan musyawarah berikutnya dengan mengundang Teungku Dayah.
Persoalan seperti diatas telah selazimnya berjalan di Aceh sejak dulu sampai sekarang. Apalagi kasus tersebut belum ada qanun yang mengatur sehingga persoalan ini perlu
dicermati dan mampu membuat rancangan qanun pada waktu yang akan datang.
4.7.8. Peran Ulama dalam mempersatukan rakyat Banyak literatur sejarah yang menggambarkan peristiwa pertumpahan darah di
tanah bumi serambi mekah. Peristiwa tersebut sudah dimulai sejak masa kolonialisme belanda hingga masa pemerintahan era referormasi. Tidak sedikit para syuhada dan
pahlawan yang telah mengorbankan jiwa dan raganya guna mempertahankan tanah peninggalan “endatu” atau nenek moyang. Sebut saja Teungku Umar yang berhasil
melakukan strategi penyusupan ketubuh tentara Belanda. Tidak hanya itu para tokoh srikandi wanita atau “Inong bale” seperti Laksamana Malahayati atau Tjut Nyak Dhuen
juga lahir di bumi serambi mekah dalam membela bangsa. Menjelang akhir pendudukan belanda di Nusantara wilayah aceh sangat sulit
ditaklukka n oleh Belanda. Dimana aceh menerapkan politik perang sabil atau perang
Universitas Sumatera Utara
81
suci. Rakyat pun berbondong- bondong berlomba untuk mendapatkan fahala syahid berjuang melawan belanda hingga tetes darah penghabisan. Dalam sejarah peperangan
yang berkobar di Aceh para pejuang termotivasi oleh sebuah hikayat yang berjudul hikayat perang sabi. Dalam hikayat tersebut di ceritakan bahwa berjuang membela tanah
air hukumnya wajib dan apabila gugur maka akan mendapatkan pahala syahid. Tokoh ulama yang paling terkenal pada saat itu adalah Teungku chik Pante kulu yang juga
seorang pujangga yang telah mengarang Hikayat perang Sabi. Dengan hasil karya kitab yang dikarang nya beliau mampu membakar amarah para pejuang sehingga perlawanan
terhadap Belanda tidak dapat dihentikan kendali pusat konsentrasi dapat direbut musuh sampai memasuki masa kemerdekaan RI.
Sejak awal pemerintahan orde baru provinsi paling barat Indonesia tersebut terus berkecamuk dengan konflik pemberontakan daerah. Sejak perang cumbok kaum ulama
melawan kaum raja yang terjadi dipidie hingga pemberontakan DITII . Hingga akhir dari peperangan antara pemerintahan RI denga pihak GAM Ulama
terutama teungku dayah dapat mempersatukan masyarakat. Berikut petikan wawancara dengan Teungku Ibrahim terkait masalah tersebut:
“Wate masa karu thon 1998 doh an 2005 cukop hek teuh. Geutanyo suah ta meulaku lage dua ulee. Seubago teungku dayah lon tuan kayem
meurusan ngon ureung nanggro GAM nyang meutanyong urusan hukom meujuang. Lheuh nya di teuntra RI meurusan cit ngon lon kadang-
kadang wate jiwo operasi awaknyo jipiyoh u dayah di jak beut dan awajknyan le chit nyang got akai. Jadi di lon tuan hana meudong saho
tapi ho nyang beutoi. Bak saboh malam GAM ngon TNI meuadu pah dirumoh lom tuan tinggai jiteumimbak laju abeh. Watenyan keuh dengon
nekat lon kheun bak awaknyo kalau kalian ingin berperang disini maka bunuhlah saya terlebih dahulu. Dan hana kejadian sapue lon peudame.
Menyo na ureung tanyong so salah TNI atau GAM lon tuan puwo bak hukom. Menyo tanging secara hukom maseng- maseng nasalah dan
maseng-maseng na cit betoi. Teuma lon himbau kepada oreung gampong “
ketika masa konflik RI dan GAM dari tahun 1998- 2005 sangat rumit
Universitas Sumatera Utara
82
persoalannya. Kita dihadapkan pada dua sisi perbedaan kepentingan. Sebagai seorang Teungku saya sering berurusan dengan orang GAM
mereka sering berkonsultasi masalah hukum islam menyangkut perjuangan secara Islam . kemudian dari pihak RI juga sering berurusan
dengan saya untuk bersilaturahmi shalat dan berbincang-bincang masalah agama. Pada satu malam secara bersamaan mereka berpas- pasan di depan
rumah saya, semua orang sudah panik sehingga dengan nekat saya berkata kalau kalian ingin berperang disini maka bunuhlah saya terlebih dahulu.
Maka dengan serta merta merekapun terdiam. Sejak saat itulah wilayah kami aman sampai beberapa waktu lamanya. Jadi saya melihat juga
banyak dari anggota TNI yang beretika sopan serta taat. Dalam hal ini saya tidak memihak kemana pun namun saya melihat sesuai dengan
anjuran kebenaran islam tanpa melihat aspek politik .Wawancara 12 january 2010
Walau banyak isu yang diembuskan bahwa para teugku lebih condong membela GAM namun tidak semuanya demikian. Dan pada hakikatnya para teungku lebih melihat
kepada kemaslahatan umat. Sebagian masyarakat menilai bahwa tujuan GAM untuk merdeka agar mencapai kemakmuran. Namun relitas kita lihat sekarang banyak pentolan
GAM yang menikmati kesenangan sementara sebagian lainnya masih hidup susah khususnya GAM bawahan. Sementara tidak semua TNI yang bertugas di Aceh berprilaku
sadis sebagaimana yang sering di isukan. Banyak juga diantara anggota TNI yang bertugas di Aceh berprilaku santun sesuai dengan masayarakat aceh umumnya. Tidak
jarang kejadian yan terjadi justru saling bertikai sesama kawan. Peran teungku disini mencoba untuk meleraikan kendati mereka hanya mampu
pada kadar yang lebih kecil kelompok bersenjata yang beroperasi disekitar krueng pase. Ketika kondisi dalam ketidak pastian namun masih ada orang yang mampu menjadi
penengah. Bagaimana tidak dalam masa-masa pemberlakuan operasi militer di aceh, hukum yang berlaku tidak jelas nyawa manusia tidaklah berharga. Karena disana yang
berharga justru kekuasaan dan kepentingan kelompok.
Universitas Sumatera Utara
83
Kendati aceh kini memasuki masa perdamaian sosok pemersatu rakyat juga masih diperlukan. Pada tataran skup yang lebih kecil sebagai pemersatu umat rakyat, teungku
masih diperlukan sebagaimana kasus yang telah kita bahas pada poin peran ulama dalam menyelesaikan sengketa.
4.7.9. Peran Ulama Dayah dalam pelaksanaan syari’at