Peran Ulama sebagai pengayom dan panutan masyarakat

76 Di bagian lain, UU No.112006 tentang UUPA tersebut menyebutkan: Penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan secara adat ditempuh melalui lembaga adat Pasal 98 ayat 2. Lembaga adat berfungsi dan berperan sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupatenkota di bidang keamanan, ketenteraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat Pasal 98 ayat 1. Lebih lanjut, pasal 98 ayat 3 UUPA menyebutkan beberapa lembaga adat yang diantaranya imuem mukim poin b, imeum syik poin c dan imeum meunasah poin g. Selain itu tidak didapat pasal yang mengatur tentang peran sosial ulama. Kendati demikian Ulama tetap eksis sebagai tokoh yang melakukan tindakan penyadaran.

4.7.6. Peran Ulama sebagai pengayom dan panutan masyarakat

Hampir semua orang sepakat bahwa seiring berdirinya Negara Indonesia berakhirnya Kerajaan Aceh Darussalam, peran dan kedudukan ulama sebagai pengayom dan panutan masyarakat sedikit demi sedikit mulai terkikis dan hambar. Meminjam istilah yang digunakan Drs. Amiruddin al Rahab dalam tulisannya Ulama, Dendam Dan Kebenaran yang dikutip dari karya Tim Kell, menyebutkan ulama sekarang berperan sebagai kolaborator kekuasaan. Ulama menjadi agent of change yang selalu mendukung kebijakan pemerintah. acehinstitute.org240907. Segala tindak tanduk yang dilakukan oleh para ulama akan menjadi pantauan bagi setiap masyarakat sebagai sosok yang dihormati. Sedikit saja perilakunya bertentangn denga norma yang berlaku maka akibatnya akan fatal. Dalam member arahan meraka juga tidak memandang Universitas Sumatera Utara 77 bulu setiap yang tidak sesuai denga ajaran agama dan adat istiadat akan ditindak tegas. Sebagai mana yang dikatakan oleh Teungku Miswar sebagai berikut: “satu tahun yang lalu saya baru saja menikahkan putri pertama saya dengan seorang pria yang berasal dari daerah sigli. Acara pernikahan dilaksanakan tidak dibarengi dengan peresmian pesta Intat linto antara pengantin laki ke rumah pengantin wanita berselang satu minggu kemudian sehingga saya belum dapat mengizinkan menantu saya menginap dirumah pada malam pertama. Hal ini saya lakukan karena menghormati adat aceh yang telah berlaku sejak zaman dulu. Secara hokum kedua mempelai telah sah untuk bermalam bersama sementara secara adat belum sehingga saya terpaksa untuk memulangkan menantu pertama saya. Kemudian karena kemalaman dia terpaksa menginap di Meunasah suarau sampai esok hari untuk pulang ke sigli. Saya tidak mau dikatan melanggar adat oleh masyarakat”. Wawancara 12 january 2010 Prilaku teungku miswar menunjukkan sikap tegas beliau dimana sebagai seorang ulama beliau mampu menunjukkan yang mana haq dan batil. Tindakan tersebut dilakukan sebagai peran untuk mengayom dan member panutan kepada masyarakat bahwa seorang teungku harus berlaku adil dan tanpa memandang bulu. Sementara Undang-undang baru tentang Pemerintah Aceh UUPA kini telah disahkan. Dari sekian banyak poin, tidak ditemukan ketetapan khusus tentang wewenang ulama. Bab XIX, UUPA Pasal 138 ayat 1 menyatakan: MPU dibentuk di Acehkabupatenkota yang anggotanya terdiri atas ulama dan cendekiawan muslim yang memahami ilmu agama Islam dengan memperhatikan keterwakilan perempuan. Jelas terlihat disini bahwa MPU hanya lembaga keterwakilan lembaga ulama di tingkat propinsikabupatenkota yang mempunyai fungsi menetapkan fatwa yang menjadi salah satu pertimbangan terhadap kebijakan pemerintahan daerah dalam bidang pemerintahan, pembangunan, pembinaan masyarakat, dan ekonomi UUPA Pasal 139, poin 1. MPU tidak menyentuh masyarakat bawah dan fungsi menganyomi dan membimbing serta Universitas Sumatera Utara 78 mengambil tindakan terhadap persoalan masyarakat tidak diatur sama sekali sebagaimana dalam Qanun Mukuta Alam.

4.7.7. Peran Ulama dalam penyelesaian sengketa