1972 dari Inggris, yang rela melepaskan takhta kerajaannya demi seorang janda.
II.5. Ideologi
Istilah. idelogi pertama kali digunakan oleh filsuf Prancis Destut de Tracy pada tahun 1796 untuk menjelaskan ilmu baru yang dia rancang mengenai analisa
sistematik tentang ide dan sensasi, tentang makna turunannya, kombinasinya, dan akibat yang ditimbulkannya Thompson, 2004:51. Destut de Tracy, pemikir
Prancis yang pertama kali menggunakan istilah ideologi di dalam bukunya elements dideologie pada tahun 1827. ideologi versi de Tracy ini berkarakter
positivistic yang bertujuan untuk menemukan “kebenaran” di luar otoritas agama Adams, 2004:viii.
Sejak masa itu, idologi menurut defenisi manapun, menjadi perhatian utama para sejarawan, kritikus sastra, filsuf, ahli semiotika, para teoritikus yang
dapat dikatakan mewakili semua bidang dalam ilmu-ilmu kemanusiaan dan ilmu-- ilmu sosial. Kaum intelektual Eropa khususnya, telah memberikan konsep itu
suatu sisi kritis yang tajam. Para teoritikus sosial Inggris misalnya hidup dalam sebuah masyarakat yang amat terpecah belah dalam kelas, yang terkenal akan raja
dan ratunya, pangeran dan putrinya, bangsawan dan nyonyanya - sering mendefenisikan ideologi menurut bagaimana informasi dipergunakan oleh suatu
kelo mpok sosial eko no mi kelas berkuasa dalam ist ilah Marxis untuk mendominasi kelompok lainnya Lull, 1998:2-3.
Marx sendiri t idak menggunakan ist ilah ideologi dala m ko nteks pemunculan konsepsi laten ini. Tapi dia membicarakan sebagai ilusi dan ide
Universitas Sumatera Utara
yang menipu, sebagai arwah dan hantu yang membuntuti masyarakat dan mengajak mereka untuk membuat takhayul dan prasangka. Dengan demikian kita
membicarakan konsepsi Marx tentang ideologi ini hanya berdasarkan pengakuan bahwa kita memahami istilah ideologi untuk mengacu rangkaian fenomena -
sosial yang oleh Marx tidak digambarkan dengan jelas Thompson, 2004:68. Menurut Althusser, ideologi atau level suprastruktur adalah dialektika
yang dikarakteristikkan dengan kekuasaan yang tidak seimbang atau dominasi. Althusser mengatakan ada dua dimensi hakiki negara : Represif Represif State
Aparatus RSA dan Ideologi Ideological State Aparatus ISA. Kedua dimensi ini erat dengan eksistensi negara sebagai alat perjuangan kelas. Yang satu masuk
degan jalan memaksa, sedangkan yang lain dengan jalan mempengaruhi. Meskipun berbeda, kedua perangkat tersebut mempunyai fungsi yang sama, yakni
melanggengkan penindasan yang tampak dalam relasi produksi masyarakat. Dalam konsep ini, media ditempatkan oleh Althusser sebagai ISA. Media
memberikan dasar pembenaran atas tindakan fisik yang dilakukan RSA Eriyanto, 001:98-99.
Seperti ditulis Hari Cahyadi dalam Eriyanto, 2001:99-100, ideologi dalam pengertian Althusser selalu memerlukan subjek, ideologi juga menciptakan
subjek. Usaha inilah yang dinamakan interpelasi. Dalam interpelasi ini, individu konkret direkrut menjadi subjek ideologi. sebagai seorang Marxis strukturatis,
Althusser berpandangan bahwa kehidupan manusia sebagai subjek, identik dengan subjek sebagai struktur, dimana struktur tadi bukan ciptaannya melainkan ciptaan
kelompok atau kelas tertentu. Karena struktur itu diciptakan dan identik untuk kepentingan kelompok penciptanya, individu-individu disini dikatakan sebagai
Universitas Sumatera Utara
subjek bagi struktur tidak lain adalah pelayanan kepentingan-kepentingan dari kelas tertentu yang menciptakan struktur tersebut.
Kendati sering kali merasakan diri sebagai subjek bebas, kebebasan atau kesadaran hanyalah hasil interpelasi dan diciptakan oleh struktur atau perangkat-
perangkat RSA maupun ISA. Berkenaan dengan pemikiran ini, ideologi atau perangkat negara tidak lain hanyalah suatu alat untuk menciptakan manusia
sebagai subjek kepentingan negara yang identik dengan intervensi bagi perjuangan kelas.
Menurut Soerjanto Poespowardojo dalam Thompson, 2004:70, ada 6 fungsi ideologi yakni:
1. Sturktur Kognitif, ialah keseluruhan pengetahuan yang dapat merupakan
landasan untuk memahami dan menafsirkan dunia dan kejadian-kejadian alam sekitarnya.
2. Orientasi dasar dengan membuka wawasan yang memberikan makna serta
menunjukkan tujuan dalam kehidupan manusia. 3.
Norma-norma yang menjadi pedoman bagi seseorang untuk melangkah dan bertindak.
4. Bekal dan jalan bagi seseorang untuk menemukan identitasnya.
5. Kekuatan yang mampu menyemangati dan mendorong seseorang untuk
menjalankan kegiatan dan mencapai tujuan. 6.
Pendidikan bagi seseorang atau masyarakat untuk memahami, menghayati, serta memolakan tingkah lakunya sesuai dengan orientasi dan norma-
norma yang terkandung di dalamnya.
Universitas Sumatera Utara
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Deskripsi Subjek Penelitian