Pemberitaan Kasus Pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen Di Majalah Mingguan Tempo (Analisis Wacana Pemberitaan Kasus Pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen dalam majalah mingguan Tempo).

(1)

PEMBERITAAN KASUS PEMBUNUHAN NASRUDIN

ZULKARNAEN DI MAJALAH MINGGUAN TEMPO

(Analisis Wacana Pemberitaan Kasus Pembunuhan Nasrudin

Zulkarnaen dalam majalah mingguan Tempo)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan Pendidikan Sarjana (S-1) pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Departemen Ilmu Komunikasi Diajukan Oleh:

ROBIN PANGARIBUAN

070922070

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

PROGRAM STUDI EKSTENSION

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

Abstraksi

Skripsi ini merupakan sebuah penelitian yang dilakukan untuk menganalisis berita kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen di Majalah Mingguan Tempo yang terbit pada tanggal 4 Mei – 7 Juni 2009. Adapun analisis tersebut dilakukan dengan menggunakan metode anallsis wacana kritis dengan kerangka atau model penelitian dari Theo Van Leeuwen sebagai alat analisis.

Model ini digunakan terutama, untuk melihat bagaimana seseorang atau kelompok (aktor) ditampilkan dalam pemberitaan, apakah sebagai pihak dominan atau marjinal. Model ini berdasarkan pada dua konsep utarna dalam pembedahan teks berita, yaitu eksklusi den inklusi, Eksklusi adalah cara atau strategi yang digunakan, media untuk mengeluarkan aktor dari pemberitaan yang bertujuan untuk menyembunyikan atau menyamarkan aktor tersebut. Eksklusi dilakukan dengan cara pasivasi, nominalisasi dan penggantian anak kalimat. Sementara inklusi adalah cara yang dipakai untuk memasukkan aktor atau pelaku kedalam pernbritaan. Proses inklusi dilakukan dengan cara antara lain diferensiasi-indeferensiasi, objektifikasi-abstraksi, kategorisasi, nominasi-identifikasi, determinasi-indeterminasi, asimilasi-Individualisasi dan asosiasi-disosiasi.

Analisis ini meliputi sepuluh teks berita yaitu pemberitan-pemberitaan kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen dari berita Antasari yang menjadi tersangka dalam pembunuhan sampai dengan proses penyidikan kasus tersebut. Selain itu juga terdapat berita mengenai penelisikan rekening para tersangka karena diduga kasus pembunuhan Nasrudin tersebut terkait dengan kasus korupsi.

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah dua proses eksklusi yang terjadi dilakukan terhadap Antasari Azhar. Proses pengeluaran ini tentu saja sangat menguntungkan karena dengan cara eksklusi Antasari Azhar dapat terlindungi dari pemberitaan. Sementara itu proses inklusi yang terjadi dilakukan terhadap Rhani Juliani, Nasrudin, Antasari dan para tersangka lain seperti Sigid, Wiliardi Wizar serta para eksekutor lain. Pengeksklusian terjadi untuk menampilkan setiap karakter para tersangka dan melakukan perbandingan Antara sikap Antasari Azhar dengan para tersangka lain.


(3)

KATA PENGANTAR

Dengan segala kerendahan hati, peneliti mengucapkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yesus Kristus, yang telah memberikan rahmat dan kasih-Nya kepada peneliti, sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Pemberitaan Kasus Pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen Di Majalah Mingguan

TEMPO (Analisis Wacana Pemberitaan Kasus Pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen

dalam majalah mingguan Tempo)

Skripsi ini disusun guna memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan Sarjana (S-1) pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Departemen Ilmu Komunikasi.

Peneliti menyadari masih banyak kekurangan yang terdapat dalam penulisan skripsi ini mengingat terbatasnya waktu, pengetahuan, dan kemampuan peneliti. Oleh karena itu, dengan hati yang tulus dan ikhlas peneliti menerima kritik dan saran yang membangun dari pembaca yang nantinya berguna kelak di hari yang akan datang.

Dalam menyelesaikan skripsi ini peneliti banyak mendapat bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Ucapan terimakasih dari dasar hati yang terdalam, peneliti persembahkan kepada Ayahanda T Pangaribuan dan Ibunda M. Sipahutar S.Pd yang selalu memberikan dukungan moril dan materil, serta kasih sayang yang selalu dicurahkan kepada peneliti, juga Adinda Frengki Pangaribuan, Ririn Pangaribuan dan Willi Pangaribuan yang telah memberikan semangat dan pelipur ketika jenuh.


(4)

Tidak lupa pula pada kesempatan ini peneliti ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution, M.A selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Amir Purba, M.A selaku Ketua Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Dra. Dayana, Msi selaku Dosen Pembimbing yang banyak memberikan masukan, bimbingan, dan dorongan kepada peneliti. Terimakasih atas pengetahuan dan wawasan baru yang diberikan kepada peneliti, semua itu sangat berarti bagi peneliti.

4. Seluruh Dosen/Staf pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, khususnya para Dosen Departemen Ilmu Komunikasi. Terimakasih yang tulus peneliti sampaikan atas jasa-jasa yang telah diberikan selama perkuliahan.

5. Ibu Dra. Dewi Kurniawati, M.Si, Kak Icut, Maya yang selalu ada di Departemen yang membantu peneliti dalam urusan Administrasi.

6. Kepada sahabat-sahabatku di Paduan suara Consolatio dan Nova terimakasih atas semua waktu, dukungan, dan bantuan dalam pengerjaan skripsi ini.

7. Teman-teman seperjuanganku, Fransyah, Risky Barus, Riie, Eriiie, Rhe, dan Titin terimakasih atas kerjasamanya selama ini dan teman-teman yang masih, dan terus berjuang dalam menyelesaikan tugas akhir. Peneliti bersyukur bisa mengenal kalian, semoga kita semua menjadi orang yang berhasil dan berguna.


(5)

Akhir kata peneliti mengucapkan terimakasih atas bantuan yang telah diberikan oleh semua pihak, semoga Tuhan Yesus Kristus akan membalasnya dengan limpahan rahmat kepada kita semua. Harapan peneliti semoga skripsi ini kelak dapat berguna dan jika terdapat kesalahan, peneliti memohon maaf serta menerima kritik dan saran yang bersifat membangun.

Medan, September 2009 Peneliti


(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAKSI

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang ... 1

I.2. Perumusan Masalah ... 8

I.3. Pembatasan Masalah ... 9

I.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

I.5. Kerangka Teori ... 11

I.6. Kerangka Konsep ... 14

I.7. Model Teoritis ... 16

I.8. Operasional Variabel ... 17

I.9. Definisi Operasional ... 19

BAB II : URAIAN TEORITIS II.1. Analisis Wacana Kritis ... 22

II.2. Hegemoni ... 42

II.3. Analisis Wacana Versi Theo Van Leeuwen ... 64

II.4. Berita ... 65

II.5. Ideologi ... 70

BAB III : METODELOGI PENELITIAN ... 72

III.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 72

III.2. Metode Penelitian ... 79

III.3. Populasi dan Sampel ... 79

III.4.1. Populasi ... 79

III.4.2. Sampel ... 80

III.4. Teknik Pengumpulan Data ... 81

III.5. Unit dan Tingkat Analisa ... 82


(7)

BAB IV : PEMBAHASAN

IV.1. Analisis Berita Majalah Mingguan Tempo ... 88 IV.2. Pembahasan ...124

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

V.1. Kesimpulan ...126 V.2. Saran ...127

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(8)

Abstraksi

Skripsi ini merupakan sebuah penelitian yang dilakukan untuk menganalisis berita kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen di Majalah Mingguan Tempo yang terbit pada tanggal 4 Mei – 7 Juni 2009. Adapun analisis tersebut dilakukan dengan menggunakan metode anallsis wacana kritis dengan kerangka atau model penelitian dari Theo Van Leeuwen sebagai alat analisis.

Model ini digunakan terutama, untuk melihat bagaimana seseorang atau kelompok (aktor) ditampilkan dalam pemberitaan, apakah sebagai pihak dominan atau marjinal. Model ini berdasarkan pada dua konsep utarna dalam pembedahan teks berita, yaitu eksklusi den inklusi, Eksklusi adalah cara atau strategi yang digunakan, media untuk mengeluarkan aktor dari pemberitaan yang bertujuan untuk menyembunyikan atau menyamarkan aktor tersebut. Eksklusi dilakukan dengan cara pasivasi, nominalisasi dan penggantian anak kalimat. Sementara inklusi adalah cara yang dipakai untuk memasukkan aktor atau pelaku kedalam pernbritaan. Proses inklusi dilakukan dengan cara antara lain diferensiasi-indeferensiasi, objektifikasi-abstraksi, kategorisasi, nominasi-identifikasi, determinasi-indeterminasi, asimilasi-Individualisasi dan asosiasi-disosiasi.

Analisis ini meliputi sepuluh teks berita yaitu pemberitan-pemberitaan kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen dari berita Antasari yang menjadi tersangka dalam pembunuhan sampai dengan proses penyidikan kasus tersebut. Selain itu juga terdapat berita mengenai penelisikan rekening para tersangka karena diduga kasus pembunuhan Nasrudin tersebut terkait dengan kasus korupsi.

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah dua proses eksklusi yang terjadi dilakukan terhadap Antasari Azhar. Proses pengeluaran ini tentu saja sangat menguntungkan karena dengan cara eksklusi Antasari Azhar dapat terlindungi dari pemberitaan. Sementara itu proses inklusi yang terjadi dilakukan terhadap Rhani Juliani, Nasrudin, Antasari dan para tersangka lain seperti Sigid, Wiliardi Wizar serta para eksekutor lain. Pengeksklusian terjadi untuk menampilkan setiap karakter para tersangka dan melakukan perbandingan Antara sikap Antasari Azhar dengan para tersangka lain.


(9)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. LATAR BELAKANG MASALAH

Kasus Pembunuhan Direktur Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen telah menjadi sorotan masyarakat Indonesia. Pemberitaan Kasus Pembunuhan yang melibatkan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai tersangka utama yaitu Antasari Azhar, ditampilkan dalam media massa dengan terbuka dan transparan.

Kasus pembunuhan Nasrudin diduga dipicu oleh cinta segitiga antara Antasari Azhar, Rani Juliani, dan Nasrudin, sedangkan seorang pengacara yang melakukan advokasi kasus ini meyakini bahwa pembunuhan Nasrudin bukan sekadar urusan perempuan melainkan keinginan Nasrudin membongkar kasus korupsi di PT. Rajawali Nusantara Indonesia.

Nasrudin, Direktur Utama PT Putra Rajawali Banjaran, tewas dengan dua peluru bersarang di kepala dan lehernya, pada sabtu 14 Maret 2009, sepulang dari bermain golf di Lapangan Golf Modernland, Kota Tangerang,

ditembak di dalam mobil BMW warna silver bernomor polisi B 191 E.

Antasari Azhar dijadikan tersangka setelah diperiksa di ruang Direktorat Reserse Kriminal Umum pada tanggal 4 Mei 2009. Berikut merupakan kronologis penangkapan Antasari Azhar dimulai pada tanggal 14 Maret 2009, dimana Nasrudin Zulkarnaen Direktur PT Putra Rajawali Banjaran, ditembak di kawasan Danau Modernland, Tanggerang. Sehari kemudian ia meninggal di


(10)

RSPAD Gatot Subroto, Jakarta. 17-18 maret 2009, Polisi memeriksa istri Nasrudin, Irawati Arienda; mantan istrinya, Sri Martuti; dan Rani Juliani atau Tika, caddy yang juga dekat Nasrudin. 23 Maret 2009, Keluarga Nasrudin mengirim surat ke Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), meminta lembaga ini membantu mengungkap kasus Nasrudin. 14 April 2009, Kepolisian Resor Tangerang mengaku kesulitan mendapatkan saksi mata. Polisi membuka hotline di tempat kejadian agar masyarakat yang memiliki informasi atau mengetahui peristiwa itu mengirim SMS atau menelepon polisi. 29 April 2009, Tim Markas Besar Polri dan polda Jaya menetapkan sembilan tersangka. Tujuh diantaranya ditahan, antara lain Sigid Haryo Wibisono, Komisaris Utama PT. Pers Indonesia merdeka.

Pada 30 April 2009, Kepala Badan Reserse dan Kriminal Polri, Komisaris Jenderal Susno Duadji, membenarkan ada pejabat negara yang terlibat dalam pembunuhan Nasrudin. Mabes Polri mengeluarkan surat permintaan cekal (cegah-tangkal) terhadap Antasari. 1 Mei 2009, Kejaksaan menyatakan telah melakukan cekal terhadap Antasari. Pimpinan KPK menonaktifkan Antasari. Ari Yusuf Amir, pengacara Antasari, membantah kliennya telah berstatus tersangka.

Pada tanggal 4 Mei 2009, Oleh polisi, akhirnya Antasari Azhar dijadikan tersangka dalam kasus pembunuhan terhadap Direktur PT Putra Rajawali Banjaran (PRB) Nasrudin Zulkarnaen Iskandar. Ketua KPK yang sudah dinonaktifkan itu dijadikan tersangka setelah menjalani pemeriksaan tahap kedua setelah pemeriksaan sempat diskors selama 1 jam.


(11)

Berdasarkan pemberitaan diatas, dapat dilihat bahwa media bukanlah sekedar saluran yang bebas, ia juga subjek yang mengkonstruksikan realitas, lengkap dengan pandangan, dan pemihakannya. Seperti dikatakan Benneth dalam Eriyanto (2001: 35), media dipandang sebagai agen konstruksi sosial yang mendefenisikan realitas sesuai dengan kepentingannya. Penting dalam memahami media menurut paradigma kritis adalah bagaimana media malakukan politik pemaknaan.

Makna, tidaklah secara sederhana dapat dianggap sebagai reproduksi dalam bahasa, tetapi sebuah pertentangan sosial (social struggle), perjuangan dalam memenangkan wacana. Oleh karena itu, pemaknaan yang berbeda merupakan arena pertarungan dimana memasukkan bahasa di dalamnya. Ideologi wartawan, kondisi, serta konteks politik, sosial, dan ekonomi sangat mempengaruhi ketika dilakukan penafsiran, media bukan entitas murni dalam menjalankan tugasnya, dia tidak dapat bersifat objektif karena masing-masing media dalam hal ini keseluruhan pihak yang ada di dalamnya seperti wartawan, redaksi, pemilik modal, tidak dapat terlepas dari subjektifitasnya. Kecendrungan media-media ini dipahami dapat memunculkan pemikiran-pemikiran yang beragam dari setiap masyarakat yang membacanya.

Media dan berita yang diproduksinya dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Kaum pluralis melihat media sebagai saluran yang bebas dan netral, dimana semua pihak dan kepentingan dapat menyampaikan posisi dan pandangannya secara bebas. Sedangkan pandangan kritis melihat media bukan hanya alat kelompok dominan, tetapi juga memproduksi ideologi dominan. (Eriyanto, 2001: 36). Berita yang diproduksi media tidak dihasilkan dalam sebuah


(12)

ruang hampa. Ada orang-orang atau pihak-pihak yang terlibat dalam proses melahirkan sebuah berita aspek kepentingan dan konflik yang menyertainya.

Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti merasa tertarik untuk meneliti bagaimana pemberitaan kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen di Majalah Mingguan Tempo. Dalam penelitian ini, peneliti memilih majalah mingguan Tempo sebagai bahan penelitian karena majalah mingguan ini, merupakan majalah mingguan berskala nasional dan memiliki khalayak pembaca tersebar luas di seluruh Indonesia.


(13)

I.2. PERUMUSAN MASALAH

Permasalahan penelitian yang dapat disimpulkan dari uraian latar belakang masalah adalah sebagai berikut :

” Bagaimana pemberitaan kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen ditampilkan dalam majalah mingguan Tempo ?”

I.3. PEMBATASAN MASALAH

Untuk menghindari ruang lingkup penelitian yang terlalu luas dan agar penelitian lebih fokus terhadap permasalahan yang sedang diteliti, maka perlu dibuat pembatasan permasalahan sebagai berikut :

1. Penelitian hanya dilakukan pada majalah mingguan Tempo.

2. Penelitian hanya dilakukan pada pemberitaan mengenai kasus Pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen.

3. Penelitian dilakukan pada majalah mingguan Tempo yang terbit pada tanggal 5 Mei - 7 Juni 2009.

I.4. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

I.4.1. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui dan menganalisis isi teks berita dalam pemberitaan kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen di majalah mingguan Tempo. 2. Untuk mengetahui makna yang tersirat atau laten yang tidak ditampilkan

secara nyata dalam pemberitaan kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen. 3. Untuk melihat posisi media dalam memberitakan kasus pembunuhan


(14)

I.4.2. Manfaat Penelitian

1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan mampu memperluas atau menambah khasanah penelitian komunikasi dan menambah pengetahuan dan pengalaman ilmu bagi peneliti tentang bidang jurnalistik.

2. Secara teoritis, untuk menerapkan ilmu yang didapat selama menjadi mahasiswa Ekstensi Ilmu Komunikasi FISIP USU.

3. Secara praktis, menjadi bahan masukan untuk perbaikan serta meningkatkan kualitas isi berita majalah sebagai objek penelitian.

I.5. KERANGKA TEORI

Sebelum melakukan penelitian, seorang peneliti perlu menyusun suatu kerangka teori, kerangka teori merupakan landasan berfikir untuk menggambarkan dari sudut mana peneliti menyoroti masalah yang akan diteliti.

Menurut Singarimbun (1995), Teori adalah serangkaian asumsi, konsep, kontrak, defenisi dan posisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan merumuskan hubungan antara konsep.

Sedangkan Kerlinger dalam Jalaludin Rakhmat (2002, 6) menyebutkan teori adalah himpunan konstruk (konsep), detenisi, dan proposisi yang mengemukakan pandangan sistematis tentang gejala menjabarkan relasi diantara variabel, untuk menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut.

Dalam penelitian ini, bebarapa teori yang digunakan antara lain adalah :

I.5.1 Analisis Wacana Kritis

Analisis wacana (discourse analysis) merupakan bagian dari paradigma oleh karena itu disebut dengan istilah analisis wacana kritis (critical discourse


(15)

anlysis). Melalui analisis wacana kita bukan hanya melihat bagaimana isi teks

berita tetapi juga bagaimana pesan itu disampaikan. Lewat kata, frasa, kalimat metafora macam apa suatu berita disampaikan (Eriyanto, 2001:xv).

Paradigma kritis melihat bagaimana media dijadikan sebagai alat bagi kelompok dominan untuk melegitimasikan kekuasaannya. Oleh karena itu wacana tidak hanya dipahami sebagai studi bahasa, tetapi harus dikaitkan dengan konteks yang berada disekitarnya ketika wacana itu dibentuk. Paradigma ini memandang bagaimana media, dan pada akhirnya berita harus dipahami dalam keseluruhan proses produksi dan konstruk sosial (Eriyanto, 2001:21)

Apa yang disajikan media, pada dasarnya adalah akumulasi dari pengaruh yang beragam. Pamela J. Shoemaker dan Stephen d.Reese, meringkas berbagai faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan dalam ruang pemberitaan. Lima faktor yang mempengaruhi kebijakan redaksi adalah faktor individual, level rutinitas media, level organisasi, level ekstramedia diantaranya sumber berita, sumber penghasilan media, pihak eksternal seperti pemerintah dan juga ideologi dari media tersebut.

Menurut A.S Hikam, analisis wacana dalam paradigma kritis menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Individu tidak dianggap sebagai subjek bebas dan netral dalam menafsirkan makna, tetapi dipengaruhi oleh kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat. Begitu juga, bahasa dalam pandangan kritis dipahami sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema wacana tertentu, serta strategi didalamnya (Eriyanto 2001:6)


(16)

Analisis wacana dipakai untuk membongkar kuasa yang ada dalam tiap proses bahasa. Oleh karena itu dapat digunakan untuk membongkar masalah ketidakseimbangan yang terjadi dalam masyarakat.

I.5.2 Hegemoni

Mengenai hegemoni, Gramsci (Roger, 1999: 19) menyebutkan bahwa hegemoni bukan merupakan suatu hubungan dominasi antara penguasa dan yang dikuasai dengan menggunakan kekuasaan, melainkan suatu hubungan persetujuan yang dilakukan melalui kepemimpinan politik dan ideologis. Hegemoni tak dapat dilakukan dengan menggunakan coercive power, tapi dilakukan melalui wacana sistematik (bahasa) yang terarah dan berkelanjutan untuk memenangkan penerimaan dan persetujuan publik mengenai suatu ide atau gagasan tertentu secara sukarela. Dalam hal ini publik diarahkan untuk melakukan penilaian terhadap suatu realitas sosial tertentu dalam kerangka yang telah ditentukan oleh penguasa.

Menurut Latif dan Ibrahim (1996, 16), Gramsci memperhadapkan antara istilah hegemoni sebagai satu kebalikan dari kekuasaan, yaitu jika kekuasaan diartikan sebagai penggunaan daya paksa untuk membuat orang banyak mengikuti dan mematuhi syarat-syarat dan cara produksi tertentu, maka hegemoni berarti perluasan dan pelestarian ‘kepatuhan aktif’ dari kelompok-kelompok yang didomisili oleh kelas berkuasa lewat kepemimpinan intelektual, moral, dan politik yang mewujud dalam bentuk-bentuk kooptasi institusional dan manipulasi sistematis atas teks dan tafsirannya.


(17)

mengukuhkan posisinya dan merendahkan kelompok lain, dalam hal tersebut berlangsung secara wajar, apa adanya, dan dihayati bersama. Singkatnya publik tidak terbodohi atau dimanipulasi oleh media. (Eriyanto, 2001: 103).

I.5.3 Analisis Wacana versi Theo Van Leeuwen

Menurut Van Leeuwen, istilah wacana sering digunakan sebagai bidang yang merupakan perluasan dari tuturan atau tulisan yang berhubungan, yaitu sebuah teks. la juga menegaskan bahwa wacana adalah pengetahuan yang dibangun oleh masyarakat dari berbagai aspek realitas.

Penelitian ini menggunakan model analisis wacana Theo Van Leeuwen. Model ini dapat digunakan untuk mendeteksi dan meneliti bagaimana suatu kelompok atau seseorang dimarjinalkan posisinya dalam pemberitaan. Dan bagaimana suatu kelompok dominan lebih memegang kendali dalam menafsirkan suatu peristiwa atau pemaknaan, sementara kelompok lain hanya menjadi objek dari pemaknaan dan selalu digambarkan secara buruk.

Dalam analisisnya, Van Leeuwen memusatkan perhatian pada dua hal, yaitu eksklusi dan inklusi. Eksklusi melihat apakah dalam suatu teks ada kelompok atau aktor yang dikeluarkan dari pemberitaan dan strategi wacana apa yang dipakai dalam melakukan hal tersebut. Tataran eksklusi meliput i ;

a. Pasivasi, yaitu suatu cara menghilangkan aktor/ pelaku dengan pemakaian kalimat pasif.

b. Nominalisasi, yaitu menghilangkan aktor dengan cara mengubah kata kerja (verbal) menjadi kata benda (nominal) yaitu dengan memberi imbuhan pe-an.


(18)

c. Penggantian anak kalimat, yaitu penggantian subjek dengan memakai anak kalimat yang sekaligus bertungsi sebagai pengganti aktor.

Sementara inklusi, melihat bagaimana masing-masing pihak atau kelompok dimunculkan dalam pemberitaan atau bagaimana cara penggambarannya. lnklusi meliputi beberapa indikator yaitu;

a. Diferensiasi-Indeferensiasi, yaitu bagaimana aktor sosial bila ditampilkan dalam teks secara mandiri - Suatu kelompok disudutkan dengan menghadirkan kelompok atau wacana lain yang dipandang lebih dominan atau lebih bagus. b. Objektivasi-Abstraksi, yaitu bagaimana aktor sosial ditampilkan dengan

memberi petunjuk yang konkret dan aktor sosial di tampilkan dengan memberi petunjuk yang abstrak.

c. Nominasi-Kategorisasi, yaitu bagaimana aktor tersebut ditampilkan apa adanya - yang ditampilkan adalah kategori yang menunjukkan ciri penting dari seseorang.

d. Nominasi-Identifikasi, yaitu bagaimana aktor ditampilkan apa adanya dengan memberi anak kalimat sebagai penjelas.

e. Determinasi-Indeterminasi, yaitu apakah aktor disebutkan secara jelas atau aktor disebutkan secara anonim.

f. Asimilasi-Individualisasi, yaitu adanya kategori aktor sosial yang spesifik yang disebut dalam berita-komunitas atau kelompok sosial dimana seseorang itu berada.

g. Asosiasi-Disasosiasi, yaitu apakah aktor ditampilkan sendiri atau aktor di tampilkan dengan menghubungkan kelompok lain yang lebih besar.


(19)

I.5.4 Berita

Berita adalah elemen utama yang terdapat dalam media massa dalam hal ini khususnya media massa cetak yaitu harian atau Surat kabar. Beberapa defenisi berita diungkapkan oleh beberapa ahli diantaranya menurut Henshall dan Ingram berita adalah susunan kejadian setiap hari, sehingga masyarakat menerimanya dalam bentuk yang tersusun dan dikemas rapi menjadi cerita, pada hari yang sama di radio atau televisi dan keesokan harinya di berbagai media.

Unsur yang harus terdapat dalam sebuah berita adalah adanya konflik, kemajuan dan bencana, konsekuensi, kemasyuran dan terkemuka, saat yang tepat dan kedekatan, keganjilan, human interest, seks dan aneka nilai. Unsur ini kemudian akan menentukan apakah suatu berita dinilai layak atau tidak untuk dimuat dalam media.

Pada awalnya pekerjaan pers atau wartawan lebih mengedepankan prinsip, objektivitas dalam penulisan beritanya. Yaitu bagaimana wartawan memandang dan menulis berita seperti apa yang di lihat, bukan yang diinginkannya. Namun pada akhirnya pandangan ini bergeser ke arah prinsip interpretasi. Sebab objektivitas dapat melahirkan kedangkalan tentang berita itu sendiri sementara pembaca menginginkan kedalaman agar mereka mampu mengetahui dan memahami kejadian-kejadian yang ada di belakang setiap peristiwa.

1.5.5 Idiologi

Ideologi menurut James Lull (Abadi, 1998 : 1-1) adalah pikiran yang terorganisir, yakni nilai, orientasi, dan kecenderungan yang paling melengkapi, sehingga membentuk persepektif-persepektif ide yang diungkapkan melalui komunikasi dengan media teknologi dan komunikasi antar pribadi. Ideologi


(20)

bisa jadi berlandaskan pada fakta yang dapat di cek kebenarannya dalam sejarah atau secara empiris, tetapi bisa juga tidak. Ideologi bisa tersusun ketat, bisa juga longgar. Ideologi banyak dipengaruhi dari asal-usulnya, asosiasi kelembagaannya maupun tujuannya.

Secara etimologis, ideologi berasal dari bahasa Greek, terdiri dari atas kata

idea dan logia. Idea berasal kata idein yang berarti melihat. Idea dalam Webster's New Colligiate Dictionary berarti "somethinng existing in the mind as a result of the formulation of an opinion, a plan or the like" (sesuatu yang ada di

dalam pikiran sebagai hasil perumusan sesuatu pemikiran atau rencana). Sedangkan logis berasal dari kata logos yang berarti word. Kata ini berasal dari

legein yang berarti speak (berbicara). Selanjutnya kata logia berarti science

(pengetahuan) atau teori.

Ideologi atau level suprastruktur dalam konsep Althusser adalah dialektika yang dikarakteristikkan dengan kekuasaan yang tidak seimbang atau dominasi. Althusser lebih jauh mendefenisikan konsep ideologi sebagai praktik ketimbang ide atau gagasan.

Ideologi merupakan konsep yang sentral dalam analisis wacana yang bersifat kritis. Hal ini karena teks, percakapan, dan lainnya adalah bentuk dari praktik ideologi atau pencerminan dari ideologi tertentu. Oleh karena itu, analisis wacana tidak bisa menempatkan bahasa secara tertutup, tatapi hares memiliki konteks terutaina bagaimana ideologi dari kelompok-kelompok yang ada tersebut berperan dalam membentuk wacana. Dalam teks berita misalnya, dapat dianalisis apakah teks yang muncul tersebut pencerminan dari ideologi seseorang, apakah dia feminis, antifeminis, kapitalis, sosialis, dan sebagainya.


(21)

I.6. KERANGKA KONSEP

Dalam menyusun kerangka konsep diperlukan hasil pemikiran rasional yang bersifat kritis dalam memperkirakan kemungkinan hasil penelitian yang akan dicapai (Nawawi 2001:40). Menurut Jallaludin Rakhmat, konsep adalah abstraksi yang dibentuk dengan menggeneralisasikan hal-hal khusus. (Rakhmat, 2002.12)

Kerangka konsep dalam penelitian ini menggunakan analisis wacana kritis dengan memakai model analisis Theo Van Leewen. Model ini secara umum digunakan untuk mendeteksi dan meneliti bagaimana suatu kelompok atau seseorang dimarjinalkan posisinya dalam suatu wacana serta menggambarkan bagaimana aktor ditampilkan dalam pemberitaan.(Eriyanto, 2001)

Menurut Van Leeuwen, ada 2 haI yang perlu diperhatikan ketika kita memeriksa aktor sosial dalam pemberitaan tersebut. Pertama, eksklusi : apakah dalam teks berita itu aktor sosial dihilangkan atau disembunyikan dalam pemberitaan? kalau ya, bagaimana strategi yang dilakukan oleh media dalam menyembunyikan atau mengeluarkan aktor sosial tersebut? pengeluaran/ penghilangan aktor ini berakibat macan-macam diantaranya dapat melindungi subjek/pelaku dalam satu proses pemberitaan. Kedua, inklusi : bagaimana aktor yang disebut itu ditampilkan dalam pemberitaan. Dalam inklusi, aktor (seseorang/kelompok dimasukkan/ disebut dalam pemberitaan, lalu bagaimana cara penggambarannya? Meskipun aktor tidak dihilangkan, proses marjinalisasi seseorang atau kelompok tertentu tetap bisa dilakukan.


(22)

I.7. MODEL TEORITIS

Bentuk model teoritis/desain penelitian ini yaitu sebagai berikut :

1. Eksklusion, yaitu apakah dalam suatu teks berita ada kelompok atau aktor

yang dikeluarkan dalam pemberitaan.

2. Inklusion, yaitu bagaimana masing-masing pihak atau kelompok

ditampilkan pemberitaan.

I.8. OPERASIONAL KONSEP

Variabel Teoritis Variabel Operasional 1. Eksklusion a. Pasipasi

b.Nominalisasi

c. Penggantian anak kalimat 2. Inklusion a. Diferensiasi-Indiferensiasi

b.Objektivasi-Abstraksi c. Nominasi- Kategorisasi d.Nominasi-Identifikasi e. Determinasi-Indeterminasi f. Asimilasi-Individualisasi g.Asosiasi-Disasosiasi


(23)

I.9. DEFENISI OPERASIONAL

Eksklusion, yaitu apakah dalam suatu teks berita ada kelompok atau aktor

yang dikeluarkan dalam pemberitaan.

a. Pasivasi, yaitu suatu cara menghilangkan aktor/ pelaku dengan pemakaian

kalimat pasif.

b. Nominalisasi, yaitu menghilangkan aktor dengan cara mengubah kata kerja

verbal menjadi kata benda (nominal) yaitu dengan memberi imbuhan pe-an. c. Penggantian anak kalimat, yaitu penggantian subjek dengan memakai anak

kalimat sekaligus berfungsi sebagai pengganti aktor.

Inklusion, yaitu bagaimana masing-masing pihak atau kelompok itu

ditampilkan lewat pemberitaan.

a. Deferensiasi-Indeferensiasi, yaitu bagaimana aktor sosial bila ditampilkan

dalam teks secara mandiri - Suatu kelompok disudutkan dengan menghadirkan kelompok atau wacana lain yang dipandang lebih dominan atau lebih bagus. b. Objektivasi-Abstraksi, yaitu bagaimana aktor sosial ditampilkan dengan

memberi petunjuk yang konkret dan aktor sosial di tampilkan dengan memberi petunjuk yang abstrak.

c. Nominasi-Identifikasi, yaitu bagaimana aktor tersebut ditampilkan apa

adanya dengan memberi anak kalimatsebagai penjelas.

d. Determinasi-Indeterminasi, yaitu apakah aktor disedutkan secara jelas atau

aktor disebutkan secara anonim.

e. Asimilasi-Individualisasi, yaitu adanya kategori aktor sosial yang spesifik

yang disebut dalam berita-komunitas atau kelompok sosial dimana seseorang itu berada.


(24)

f. Asosiasi-Disasosiasi, yaitu apakah aktor ditampilkan sendiri atau aktor di


(25)

BAB II

URAIAN TEORITIS

Menurut Nawawi (1995: 39-40), sebelum melakukan sebuah penelitian yang lebih lanjut, setiap penelitian memerlukan kejelasan. Titik tolak atau landasan berpikir dalam memecahkan atau menyoroti masalah yang telah dipilih. Untuk itu perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran dari sudut mana masalah penelitian akan diteliti.

Teori digunakan oleh peneliti untuk menjustifikasi dan memandu penelitian mereka (Mulyana, 2004:16). Berikut merupakan teori-teori yang dianggap relevan dengan penelitian ini:

II.1 Analisis Wacana Kritis

Analisis wacana kritis (critical discourse analysis/ CDA) merupakan bagian dari pendekatan kritis, pada awal perkembangannya yaitu ditahun 1980-an analisis kritis terhadap wacana (critical discourse analysis) sebenarnya merupakan bagian dari upaya untuk mengembalikan studi-studi budaya kedalam akar-akar tradisinya sebagai studi kritis (critical studies) karena pada saat itu, khususnya pada awal dekade 1980-an studi-studi budaya semakin berpaling dari tradisi teori-teori kritis. Analisis wacana kritis terutama bersumber dari beberapa intelektual dan. pemikir, Michel Foucult, Antonio Gramsci, Sekolah Frankfurt, dan Louis Althusser.


(26)

Salah satu yang memperkenalkan konsep mengenai wacana adalah Michel Foucult, menurutnya wacana atau discourse itu sendiri adalah : kadang kala sebagai bidang dari semua pernyataaan (statement), kadangkala sebagai sebuah individualisasi kelompok pernyataan, dan kadang kala sebagai praktik regulatif yang dilihat dari sejumlah pernyataan. (Eriyanto, 2001).

Wacana memberikan perhatian pada bahasa dan praktik, dan mengacu pada produksi pengetahuan yang tertata melalui bahasa yang memberi makna pada objek dan praktik sosial. Foucult juga mengidentifikasi berbagai kondisi historis dan aturan yang menentukan pembentukan cara yang teratur dalam membicarakan tentang objek. Foucult sangat historis dalam argumentasinya menurutnya bahasa berkembang dan membangun makna pada kondisi material dan historis spesifik. Dia mengeksplorasi berbagai kondisi historis yang pasti dan khas dimana berbagai pernyataan dipadukan dan ditata untuk membentuk dan mendefenisikan bidang pengetahuan atau objek yang khas memerlukan seperangkat konsep dan membongkar ‘rezim kebenaran’ yaitu apa yang dipandang sebagai kebenaran. (Barker, 2004).

Norman Fairclough dalam Media Discourse, menjelaskan bahwa wacana merujuk kepada pemakaian bahasa baik tertulis atau ucapan, tidak hanya dari aspek kebahasaannya saja tetapi juga bagaimana bahasa itu diproduksi dan ideologi dibaliknya. Memandang bahasa seperti ini berarti menempatkan bahasa sebagai bentuk praktek sosial. Bahasa adalah suatu bentuk tindakan, Cara bertindak tertentu dalam hubungannya dengan realitas sosial.

Oleh karena itu, analisis wacana terutama menyerap pemikiran sumbangan dari studi linguistik, studi untuk menganalisis bahasa. Berbeda dengan analisis


(27)

linguistik, analisis bahasa tidak berhenti pada aspek tekstual, tetapi juga konteks dan proses dan konsumsi dari suatu teks. Analisis wacana kritis digunakan untuk melihat bagaimana teks berita tidak dapat dipisahkan dari relasi-relasi kuasa. Kuasa adalah aspek yang inheren dalam teks berita: untuk mendefenisikan dan mempresentasikan sesuatu, bahkan memarjinalkan sesuatu (gagasan, kelompok, atau seseorang). (Eriyanto, 2001)

Analisis wacana pada paradigma kritis melihat bagaimana media dijadikan sebagai alat bagi kelompok dominan untuk melegitimasikan kekuasaannya. Oleh karena itu wacana tidak hanya dipahami sebagai studi bahasa, tetapi harus dikaitkan dengan konteks yang berada disekitarnva ketika wacana itu dibentuk. Paradigma ini memandang bagaimana media, dan pada akhirnya berita harus dipahami dalam keseluruhan proses produksi dan konstruk sosial (Eriyanto, 2001:21)

Produksi makna khususnya pada analisis wacana kritis isi teks media sangat erat kaitannya dengan bagaimana sebuah media memproduksi teks berita. Proses produksi berita yang terjadi didalam ruang pemberitaan (newsroom) tidaklah dipandang sebagai ruang yang hampa, netral, dan seakan-akan hanya menyalurkan informasi yang didapat. Agus sudibyo menjelaskan newsroom bukanlah ruang yang hampa karena banyak kepentingan dan pengaruh yang dapat mengintervensi media, sehingga niscaya akan terjadi pertarungan dalam memaknai realitas dan presentasi media.


(28)

Apa yang disajikan media, pada dasarnya adalah akumulasi dari pengaruh yang beragam. Pamela J. Shoemaker dan Stephen d.Reese, meringkas berbagai faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan dalam ruang pemberitaan (Sudibyo, 2001:7). Lima faktor yang mempengaruhi kebijakan redaksi.

1. Faktor individual. Faktor ini berhubungan dengan latar belakang profesional dari pengelola media, bagaimana aspek-aspek personal pengelola media mempengaruhi pemberitaan yang akan ditampilkan kepada khalayak.

2. Rutinitas media. Rutinitas media sangat erat kaitannya mekanisme dan proses penentuan berita karena setiap media mempunyai pandangan tertentu dengan apa yang disebut berita, ciri-ciri dan juga kelayakannya. 3. Organisasi. Level organisasi berkaitan dengan struktur organisasi yang

secara hipotetik mempengaruhi pemberitaan. Pengelola media bukan orang tunggal didalam organisasi berita melainkan mereka merupakan bagian kecil didalam organisasi media dimana masing-masing komponen memiliki kepentingan.

4. Ekstramedia. Level ini berhubungan dengan faktor lain diluar media. Ada beberapa faktor yang yang termasuk dalam lingkungan luar media yaitu: Pertama, Sumber berita. Sumber berita bukanlah dipandang sebagai pihak yang netral dalam memberikan informasi, dia juga memiliki banyak kepentingan mempengaruhi isi media.

Kedua, Sumber penghasilan media. Media harus survive, dan untuk bertahan hidup kadangkala media harus harus berkompromi dengan sumber daya yang menghidupi mereka.


(29)

Ketiga, pihak eksternal seperti pemerintah dan lingkungan bisnis, pengaruh ini sangat ditentukan oleh corak dan masing-masing lingkungan eksternal media. Keempat, level ideologi. Ideologi disini diartikan kerangka berfikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai individu untuk melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya.

Menurut A.S Hikam, analisis wacana dalam paradigma kritis menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Individu tidak dianggap sebagai subjek bebas dan netral dalam menafsirkan makna, tetapi dipengaruhi oleh kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat. Begitu juga, bahasa dalam pandangan kritis dipahami sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema wacana tertentu, serta strategi didalamnya. (Eriyanto, 2001: 6)

Eriyanto memaparkan beberapa karakteristik analisis wacana kritis sebagai berikut:

a. Tindakan; wacana dipahami sebagai bentuk interaksi, bukan ditempatkan dalam ruang tertutup dan internal. Karena itu wacana dipandang sebagai sesuatu yang memiliki tujuan dan diekspresikan secara sadar dan terkontrol.

b. Konteks; yaitu latar, situasi, peristiwa dan kondisi. Artinya, wacana dibentuk sehingga harus ditafsirkan dalam kondisi dan situasi yang khusus.

c. Historis; yang merupakan salah satu aspek penting dalam memahami teks. Sebab ketika wacana, ditempatkan dalam konteks sosial tertentu berarti


(30)

harus disertakan konteks lain yang menyertainya, dalam hal ini aspek historis ketika wacana dibentuk.

d. Kekuasaan; di sini setiap wacana yang muncul pada dasarnya tidak terjadi secara alamiah melainkan merupakan wujud dari sebuah pertarungan kekuasaan.

e. Ideologi; yang juga merupakan konsep sentral dalam analisis wacana kritis. Hal ini karena teks, percakapan, dan lainnya adalah bentuk dari praktik ideologi atau pencerminan dari ideologi tertentu.

Menurut Gunter Kress, analisis wacana kritis bertujuan untuk menyediakan laporan/catatan mengenai produksi, struktur internal, dan keseluruhan organisassi dari teks. Kress menambahkan bahwa analisis wacana kritis menempatkan bahasa sebagai suatu jenis praktik sosial di antara berbagai penggunaan untuk representasi dan pengertian (Dellingger :1995).

Paradigma kritis dalam hal ini terhadap teks berita, melihat media sebagai kekuatan besar yang berperan dalam membentuk kesadaran palsu dan memanipulasi realitas. Media merupakan alat bagi pemilik atau penguasanya untuk mengokohkan keberadaannya, sekaligus melakukan dominasi terhadap kelompok yang lain. Prinsip-prinsip objektivitas, indepedensi merupakan hal yang tidak mungkin ada dalam paradigma kritis. Oleh karena itu, analisis wacana kritis digunakan untuk membongkar makna-makna tersembunyi yang terdapat pada setiap teks berita yang disampaikan oleh suatu media.


(31)

Mengenai hegemoni, Gramsci dalam (Roger, 1999: 19) menyebutkan bahwa hegemoni bukan merupakan suatu hubungan dominasi antara penguasa dan yang dikuasai dengan menggunakan kekuasaan, melainkan suatu hubungan persetujuan yang dilakukan melalui kepimpinan politik dan ideologis. Hegemoni tak dapat dilakukan dengan menggunakan coercive power, tapi dilakukan melalui wacana sistematik (bahasa) yang terarah dan berkelanjutan untuk memenangkan penerimaan dan persetujuan publik mengenai suatu ide atau gagasan tertentu secara sukarela. Dalam hal ini publik diarahkan untuk melakukan penilaian terhadap suatu realitas sosial tertentu dalam kerangka yang telah ditentukan oleh penguasa.

Ketika cara hidup, cara berpikir dan pandangan masyarakat banyak telah meniru cara berfikir dan gaya hidup dari kelompok penguasa yang mendominasinya, maka proses hegemoni telah terjadi. Atau dengan kata lain hegemoni telah terjadi jika ideologi dari golongan yang mendominasinya telah diterima secara sukarela oleh golongan yang didominasi.

Teori mengenai hegemoni yang dikembangkan oleh Gramsci tersebut secara lugas telah mengambarkan pada kita semua mengenai bagaimana penerimaan kelompok yang didominasi terhadap kehadiran kelompok yang mendominasi berlangsung dalam suatu proses yang damai dan tanpa adanya tindakan kekerasan.

Menurut Latif dan Ibrahim (1996, 16), Gramsci memperhadapkan antara istilah, hegemoni sebagai satu kebalikan dari kekasaan. Yaitu jika kekuasaan diartikan sebagai penggunaan daya paksa untuk membuat orang banyak mengikuti dan mematuhi syarat-syarat dan cara produksi tertentu, maka hegemoni berarti


(32)

perluasan dan pelestarian ‘kepatuhan aktif’ dari kelompok-kelompok yang didominasi oleh kelas berkuasa lewat kepemimpinan intelektual, moral, dan politik yang mewujud dalam bentuk-bentuk kooptasi institusional dan manipulasi sistematis atas teks dan tafsirnya.

Dalam proses tersebut media dapat menjadi sarana dimana suatu kelompok mengukuhkan posisinya dan merendahkan kelompok lain, dalam hal tersebut berlangsung secara wajar, apa adanya, dan dihayati bersama. Singkatnya publik tidak merasa terbodohi atau dimanipulasi oleh media. (Eriyanto, 2001: 103).

Sobur menambahkan bahwa media bisa menjadi alat untuk membangun kultur dan ideologi dominan, sekaligus juga bisa menjadi instrumen perjuangan bagi kaum tertindas untuk membangun kultur dan ideologi tandingan. (Sobur, 2004:103).

II.3 Analisis Wacana Versi Theo Van Leeuwen

Menurut Van Leeuwen, istilah wacana sering digunakan sebagai bidang yang merupakan perluasan dari tuturan atau tulisan yang berhubungan, yaitu sebuah teks. la juga menegaskan bahwa wacana adalah pengetahuan yang dibangun oleh masyarakat dari berbagai aspek realitas.

Model analisis wacana versi Theo Van Leeuwen digunakan untuk mendeteksi dan meneliti bagaimana suatu kelompok atau seseorang dimarjinalkan posisinya dalam pemberitaan. Dan bagaimana suatu kelompok dominan lebih memegang kendali dalam menafsirkan suatu peristiwa atau pemaknaan, sementara kelompok lain hanya menjadi objek dari pemaknaan dan selalu digambarkan secara buruk.


(33)

Beberapa kesimpulan utama mengenai wacana menurut Van Leeuwen (Van Leeuwen: 2005):

• Wacana merupakan sumber utama representasi, pengetahuan tentang beberapa aspek dari realitas, yang dapat digunakan ketika aspek realitas tersebut harus ditampilkan. Wacana tidak dapat membatasi apa yang ingin disampaikan mengenai aspek tertentu dari realitas, sebaliknya kita juga tidak akan menampilkan apa pun tanpa wacana. Kita memerlukan wacana sebagai ‘frameworks’ untuk membuat kesan atas berbagai hal.

• Wacana bersifat jamak (plural). Bisa jadi terdapat perbedaan wacana, perbedaan dalam menciptakan kesan atas aspek yang sama dari realitas, yang memasukkan dan mengeluarkan hal-hal yang berbeda, serta menyajikan minat yang berbeda pula.

• Fakta untuk keberlangsungan atas wacana tertentu berasal dari teks, dari apa yang telah dikatakan dan ditulis sebelumnya. Lebih khusus lagi, fakta tersebut berasal dari kesamaan antara hal-hal dikatakan dan ditulis dalam teks yang berbeda mengenai aspek yang sama tentang realitas.

Sebagaimana halnya Fairclough dan Wodak, Leeuwen juga beranggapan bahwa wacana merupakan perwujudan atau realisasi dari praktik sosial. Menurutnya, wacana dan pengetahuan kita tentang dunia secara mutlak diperoleh dari apa yang kita kerjakan. Dengan kata lain, tindakan-tindakan kita memberikan kita alat untuk memahami dunia disekeliling kita.

Leeuwen memaparkan elemen-elemen yang ‘harus’ terdapat dalam setiap praktik sosial, yaitu:


(34)

• Tindakan; yaitu hal-hal yang dikerjakan oleh orang-orang, atau kegiatan yang menyusun praktik sosial atau urutan kronologisnya.

• Sikap, yaitu cara bagaimana suatu tindakan dipertunjukkan, misalnya: dengan ramah, secara tepat guna, penuh energi, dsb.

• Aktor (pelaku), orang atau kadang-kadang hewan yang terlibat dalam praktik (sosial), dan peran-peran berbeda dimana mereka terlibat, apakah peran aktif maupun pasif.

• Presentasi; cara bagaimana para aktor atau pelaku ‘dikemas’ atau ‘didandani’. Setiap praktik sosial memiliki aturan presentasi, meskipun mereka berbeda dalam jenis dan derajat kekerasannya.

• Sumber; yaitu peralatan dan material yang diperlukan dalam membuat praktik sosial.

• Waktu; praktik sosial yang tidak dapat dihindari adalah waktu yang pasti, dan bertahan untuk sejumlah waktu yang pasti pula.

• Ruang; elemen nyata yang paling akhir dari sosial praktik adalah ‘ruang’ dimana tindakan mengambil tempat, termasuk cara bagaimana mereka harus disusun untuk membuat praktik tersebut menjadi mungkin.

Dalam realitasnya, elemen-elemen diatas harus terdapat dalam sebuah praktik sosial. Tetapi, teks-teks khusus mungkin hanya memasukkan beberapa elemen saja. Pengetahuan bersifat selektif, apa yang diseleksi tergantung pada maksud dan keinginan institusi yang membantu perkembangan pengetahuan tersebut.

Kemudian bagaimana suatu realitas diubah ke dalam sebuah wacana? Leeuwen mengajukan 4 tipe dasar transformasi, yaitu:


(35)

1. Ekslusi: wacana dapat mengeluarkan unsur-unsur praktik sosial, misalnya beberapa jenis pelaku (aktor). Hal ini dapat menimbulkan efek distorsi. Misalnya dalam wacana tentang perang, yang mengeluarkan atau tidak menyebutkan para, korbannya.

2. Penyusunan kembali: wacana dapat menyusun elemen-elemen dari praktik sosial. Misalnya, ketika wacana mengadakan atau memaksakan urutan khusus dalam suatu tindakan, padahal dalam realitasnya tindakan tersebut tidak diperlukan.

3. Penambahan: wacana dapat menambahkan elemen-elemen kedalam representatif.

4. Subtitusi (penggantian): substitusi merujuk kepada fakta bahwa wacana, dapat mengantikan konsep bagi elemen nyata dari praktik sosial. Dalam prosesnya, konkret dapat diubah menjadi abstrak dan hal-hal khusus diubah kedalam hal-hal umum.

Dalam analisisnya, Van Leeuwen memusatkan perhatian pada dua. hal, yaitu eksklusi dan inklusi. Eksklusi, melihat apakah dalam suatu teks ada kelompok atau aktor yang dikeluarkan dari pemberitaan dan strategi wacana apa yang dipakai dalam melakukan hal tersebut. Inklusi, melihat bagaimana masing-masing pihak atau kelompok dimunculkan dalam pemberitaan atau bagaimana cara penggambarannya.

• Eksklusion, yaitu apakah dalam suatu teks berita ada kelompok atau aktor yang dikeluarkan dalam pemberitaan.

a. Pasivasi, yaitu suatu cara menghilangkan aktor/ pelaku dengan pemakaian kalimat pasif.


(36)

b. Nominalisasi, yaitu menghilangkan aktor dengan cara mengubah kata kerja (verbal) menjadi kata benda (nominal) yaitu dengan memeberi imbuhan pe-an.

c. Penggantian anak kalimat, yaitu penggantian subjek dengan memakai anak kalimat yang sekaligus berfungsi sebagai pengganti aktor.

• Inklusion, yaitu bagaimana masing-masing pihak atau kelompok itu ditampilkan lewat pemberitaan.

a. Diferensiasi-Indeferensiasi, yaitu bagaimana aktor sosial bila ditampilkan dalam teks secara mandiri – Suatu kelompok disudutkan dengan menghadirkan kelompok atau wacana lain yang dipandang lebih dominan atau lebih bagus.

b. Objektivasi-Abstraksi, yaitu bagaimana aktor sosial ditampilkan dengan memberi petunjuk yang konkret dan aktor sosial di tampilkan dengan memberi petunjuk yang abstrak.

c. Nominasi-Kategorisasi, yaitu bagaimana aktor tersebut ditampilkan apa adanya - yang ditampilkan adalah kategori yang menunjukkan ciri penting dan seseorang.

d. Nominasi-Identifikasi, yaitu bagaimana aktor ditampilkan apa adanya dengan memberi anak kalimat sebagal penjelas.

e. Determinasi-Indeterminasi, yaitu apakah aktor disebutkan secara jelas atau aktor disebutkan secara anonim.

f. Asimilasi-Individualisasi, yaitu adanya kategori aktor sosial yang spesifik, disebut dalam berita-komunitas atau kelompok sosial dimana seseorang itu berada.


(37)

g. Asosiasi-Disasosiasi, yaitu apakah aktor ditampilkan sendiri atau aktor di tampilkan dengan menghubungkan kelompok lain yang lebih besar.

II.4 Berita

Berita (news) berasal dari kata Bahasa Latin, yaitu NOVUS (nova) yang berarti "Baru" (new). Dari pengertian itu jelaslah bahwa berita selalu merupakan kejadian yang memiliki sifat baru. Artinya baru diketahui oleh penerima berita. Prof Mitchel V. Charnley mendefenisikan berita sebagai laporan tercepat mengenai fakta atau opini yang mengandung hal-hal yang menarik minat atau penting, atau kedua-duanya, bagi sejumlah besar orang. Sementara Henshall dan Ingram mengartikan berita adalah susunan kejadian setiap hari, sehingga masyarakat menerimanya dalam bentuk yang, tersusun dan dikemas rapi menjadi cerita, pada hari yang sama di radio atau televisi dan keesokan harinya di berbagai surat kabar (Hadiyanto, 2001: 80).

1. Jenis Berita

Luwi Ishwara mengemukakan ada dua jenis berita yaitu

Pertama, berita yang terpusat pada peristiwa (event-centered news) yang khas menyajikan peristiwa hangat yang baru terjadi, dan umumnya tidak diinterpretasikan, dengan konteks yang minimal, tidak dihubungkan dengan situasi dan peristiwa yang lain. Di sini, gagasan utamanya adalah bahwa sebuah topik belum layak untuk menjadi sebuah berita sampai “terjadi” sesuatu.

Kedua, berita yang berdasarkan pada proses (process-centered

news) yang disajikan dengan interpretasi tentang kondisi dan situasi dalam


(38)

Berita semacam ini muncul di halaman opini berupa editorial, artikel, dan surat pembaca, sedangkan di halaman lain berupa komentar, laporan khusus, atau tulisan feature.

2. Nilai berita

Suatu peristiwa dikatakan mempunyai nilai berita jika mengandung:

a. Keluarbiasaan (unusualness). Berita adalah sesuatu yang luar biasa. Nilai berita peristiwa, luar biasa, paling tidak dapat dilihat dari lima aspek; lokasi, waktu, jumlah korban, daya kejut peristiwa, dan dampak yang ditimbulkan peristiwa tersebut.

b. Kebaruan (newness). Berita adalah semua apa, yang terbaru. Semua hal yang baru, apa pun namanya, pasti memiliki nilai berita.

c. Akibat (impact). Berita adalah segala sesuatu yang berdampak luas. Dampak suatu pemberitaan bergantung pada beberapa hal: seberapa banyak khalayak terpengaruh, pemberitaan itu langsung mengena kepada khalayak atau tidak, dan segera tidaknya efek berita itu menyentuh khalayak media surat kabar, radio, atau televisi yang melaporkannya.

d. Aktual (timeliness). Berita adalah apa yang terjadi hari ini, apa yang masih belum diketahui tentang apa yang akan terjadi hari ini, atau adanya opini berupa pandangan dan penilaian yang berbeda, dengan opini sebelumnya sehingga opini itu mengandung informasi penting dan berarti.

e. Kedekatan (proximity). Kedekatan mengandung dua arti. Pertama, kedekatan geografis menunjuk kepada suatu peristiwa atau berita yang


(39)

terjadi di sekitar tempat tinggal kita. Kedua, kedekatan psikologis yang lebih banyak ditentukan oleh tingkat keterkaitan pikiran, perasaan, atau kejiwaan seseorang dengan suatu objek peristiwa atau berita.

f. Informasi (information). Hanya informasi yang memiliki nilai berita, atau, memberi banyak manfaat kepada publik yang patut mendapat perhatian media.

g. Konflik (conflict). Konflik atau pertentangan merupakan sumber berita yang tak pernah kering dan tak kan pernah habis.

h. Orang penting (prominence). Berita adalah tentang orang-orang penting, orang-orang ternama, pesohor, selebriti, figur publik. Teori jurnalistik menegaskan, nama menciptakan berita.

i. Ketertarikan manusiawi (human interest). Cerita human interest, lebih banyak mengaduk-aduk perasaan daripada mengundang pemikiran. Apa saja yang dinilai mengundang minat insani, menimbulkan ketertarikan manusiawi, mengembangkan hasrat dan naluri ingin tabu dapat digolongkan ke dalam cerita human interest

j. Kejutan (suprising). Nilai berita kejutan, ditentukan oleh subjek pelaku, situasi saat itu, peristiwa sebelumnya, bidang perhatian, pengetahuan, serta pengalaman orang-orang atau masyarakat di sekitarnya.

k. Seks (sex). Seks ini umum dipertimbangkan oleh para editor sebagai nilai berita. Hal ini akan terasa benar bila dihubungkan dengan orang-orang terkenal. Misalnya heboh kisah cinta Raja Edward VIII


(40)

(1894-1972) dari Inggris, yang rela melepaskan takhta kerajaannya demi seorang janda.

II.5. Ideologi

Istilah. 'idelogi' pertama kali digunakan oleh filsuf Prancis Destut de Tracy pada tahun 1796 untuk menjelaskan ilmu baru yang dia rancang mengenai analisa sistematik tentang ide dan sensasi, tentang makna turunannya, kombinasinya, dan akibat yang ditimbulkannya (Thompson, 2004:51). Destut de Tracy, pemikir Prancis yang pertama kali menggunakan istilah ideologi di dalam bukunya elements d'ideologie pada tahun 1827. ideologi versi de Tracy ini berkarakter positivistic yang bertujuan untuk menemukan “kebenaran” di luar otoritas agama (Adams, 2004:viii).

Sejak masa itu, idologi menurut defenisi manapun, menjadi perhatian utama para sejarawan, kritikus sastra, filsuf, ahli semiotika, para teoritikus yang dapat dikatakan mewakili semua bidang dalam ilmu-ilmu kemanusiaan dan ilmu--ilmu sosial. Kaum intelektual Eropa khususnya, telah memberikan konsep itu suatu sisi kritis yang tajam. Para teoritikus sosial Inggris misalnya hidup dalam sebuah masyarakat yang amat terpecah belah dalam kelas, yang terkenal akan raja dan ratunya, pangeran dan putrinya, bangsawan dan nyonyanya - sering mendefenisikan ideologi menurut bagaimana informasi dipergunakan oleh suatu kelo mpok sosial eko no mi ("kelas berkuasa" dalam ist ilah Marxis) untuk mendominasi kelompok lainnya (Lull, 1998:2-3).

Marx sendiri t idak menggunakan ist ilah 'ideologi' dala m ko nteks pemunculan konsepsi laten ini. Tapi dia membicarakan sebagai 'ilusi' dan 'ide


(41)

yang menipu', sebagai 'arwah dan hantu' yang membuntuti masyarakat dan mengajak mereka untuk membuat takhayul dan prasangka. Dengan demikian kita membicarakan konsepsi Marx tentang ideologi ini hanya berdasarkan pengakuan bahwa kita memahami istilah 'ideologi' untuk mengacu rangkaian fenomena -sosial yang oleh Marx tidak digambarkan dengan jelas (Thompson, 2004:68).

Menurut Althusser, ideologi atau level suprastruktur adalah dialektika yang dikarakteristikkan dengan kekuasaan yang tidak seimbang atau dominasi. Althusser mengatakan ada dua dimensi hakiki negara : Represif (Represif State Aparatus / RSA) dan Ideologi (Ideological State Aparatus / ISA). Kedua dimensi ini erat dengan eksistensi negara sebagai alat perjuangan kelas. Yang satu masuk degan jalan memaksa, sedangkan yang lain dengan jalan mempengaruhi. Meskipun berbeda, kedua perangkat tersebut mempunyai fungsi yang sama, yakni melanggengkan penindasan yang tampak dalam relasi produksi masyarakat. Dalam konsep ini, media ditempatkan oleh Althusser sebagai ISA. Media memberikan dasar pembenaran atas tindakan fisik yang dilakukan RSA (Eriyanto, 001:98-99).

Seperti ditulis Hari Cahyadi (dalam Eriyanto, 2001:99-100), ideologi dalam pengertian Althusser selalu memerlukan subjek, ideologi juga menciptakan subjek. Usaha inilah yang dinamakan interpelasi. Dalam interpelasi ini, individu konkret direkrut menjadi subjek ideologi. sebagai seorang Marxis strukturatis, Althusser berpandangan bahwa kehidupan manusia sebagai subjek, identik dengan subjek sebagai struktur, dimana struktur tadi bukan ciptaannya melainkan ciptaan kelompok atau kelas tertentu. Karena struktur itu diciptakan dan identik untuk kepentingan kelompok penciptanya, individu-individu disini dikatakan sebagai


(42)

subjek bagi struktur tidak lain adalah pelayanan kepentingan-kepentingan dari kelas tertentu yang menciptakan struktur tersebut.

Kendati sering kali merasakan diri sebagai subjek bebas, kebebasan atau kesadaran hanyalah hasil interpelasi dan diciptakan oleh struktur atau perangkat-perangkat (RSA maupun ISA). Berkenaan dengan pemikiran ini, ideologi atau perangkat negara tidak lain hanyalah suatu alat untuk menciptakan manusia sebagai subjek kepentingan negara yang identik dengan intervensi bagi perjuangan kelas.

Menurut Soerjanto Poespowardojo (dalam Thompson, 2004:70), ada 6 fungsi ideologi yakni:

1. Sturktur Kognitif, ialah keseluruhan pengetahuan yang dapat merupakan landasan untuk memahami dan menafsirkan dunia dan kejadian-kejadian alam sekitarnya.

2. Orientasi dasar dengan membuka wawasan yang memberikan makna serta menunjukkan tujuan dalam kehidupan manusia.

3. Norma-norma yang menjadi pedoman bagi seseorang untuk melangkah dan bertindak.

4. Bekal dan jalan bagi seseorang untuk menemukan identitasnya.

5. Kekuatan yang mampu menyemangati dan mendorong seseorang untuk menjalankan kegiatan dan mencapai tujuan.

6. Pendidikan bagi seseorang atau masyarakat untuk memahami, menghayati, serta memolakan tingkah lakunya sesuai dengan orientasi dan norma-norma yang terkandung di dalamnya.


(43)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Deskripsi Subjek Penelitian

Tempo didirikan Pada tahun 1971 oleh sejumlah intelektual muda yang waktu itu gelisah melihat situasi sosial potitik yang kian tak menentu, salah satu gejala yang paling mencolok ialah politisasi pers untuk mendukung ideologi kelompok. Melihat gejala yang tak sehat ini beberapa intelektual muda. Goenawan Mohammad, Nono Anwar Makarim dan Fikri Jufri tergerak mendirikan media yang bebas dari politik dan menyuarakan informasi yang objektif.

Pada Mei 1970, mereka menerbitkan majalah Ekspres. Tapi eksperimen itu gagal karena intervensi penguasa. Goenawan keluar dari ekspres, diikuti oleh kawan-kawannya, Fikri Jufri dan Christanto Wibisono. Setelah menunggu hampir setahun, mereka akhirnya sepakat untuk menerbitkan Tempo.

Pada tanggal 6 Maret 1971, majalah Tempo terbit untuk pertama kalinya dengan cover pebulu tangkis Minarni yang tengah beraksi di Asian Games di Bangkok. Tampilan cover terbitan perdana ini masih hitam putih dan dibagikan dibagikan secara gratis. Setelah itu, pada edisi kedua Tempo mulai dijual kepada khalayak. Sepanjang tahun 1971 penjualan Tempo mampu mencapai 10 ribu eksemplar, hal ini dikarenakan gaya penulisan majalah Tempo yang berbeda dengan majalah lain. Muhammad Al-FayyadI mengatakan bahwa yang


(44)

membedakan Tempo dari media lainnya adalah kepandaian mengemas kritik dengan bahasa yang renyah dan nyaman.

Pemberian nama Tempo untuk majalah tersebut dilandasi oleh beberapa alasan, pertama kata Tempo mudah diucapkan oleh lidah orang Indonesia. Kedua, nama ini dinilai cukup netral. Dan ketiga, kata Tempo bisa juga diartikan waktu, sebuah pengertian yang dengan segala variasinya banyak digunakan oleh penerbitan jurnalistik di seluruh dunia. Namur penggunaan nama Tempo inilah yang agaknya membuat majalah Time yang didirikan oleh Henry Luce melakuka n gugatan kepada majalah Tempo pada tahun 1973. Majalah time waktu itu menganggap majalah Tempo telah menirukan bentuk dan gaya penebitannya. Namun, tuntutan hukum ini pada akhirnya dibatalkan oleh pihak majalah time sendiri dengan alasan gugatan itu dilakukan tanpa seizin Time inc.

Tempo sangat berani mengangkat isu-isu Yang kontroversial yang pada masa orde baru dianggap tabu untuk diangkat. Tempo menyajikan kritik dengan renyah dan nyaman, sesuai dengan mottonya “enak dibaca dan perlu.” Menurut Steele Tempo mengusung gaya jurnalisme yang ingin mendobrak kebekuan bahasa pada masa itu yang terlalu kental dengan slogan dan bombasme (Steele,2005)

Keahlian Tempo yang mencoba menyajikan berita secara berimbang dan objektif bukannya tanpa tekanan. Pada peristiwa malaria ditahun 1974 dimana untuk pertama kalinya terjadi demontrasi massal di zaman orde baru, Tempo juga berusaha untuk menyajikan berita secara imbang. Kedua belah pihak yang ‘bermain’ dibalik peristiwa itu sama-sama dimuat opininya, yaitu antara pihak Widjojo yang pro-Jepang dan Ali Moertopo yang anti-Jepang. Pemberitaan yang


(45)

relatif objektif ini diakui oleh Steele sebagai faktor yang menyelamatkan Tempo dari bredel rezim kala itu.

Perjuangan Tempo tidak berhenti disitu. Dalam hubungannya dengan rezim Soeharto, Tempo memang tak mudah ditundukkan. Karena pemberitaannya yang relatif imbang, rezim tak gampang menuduh Tempo dengan alasan yang masuk akal. Walaupun demikian, dimata sebagian pejabat, Tempo tetaplah “duri dalam daging.” Di satu sisi, Tempo diakui kredibilitas pemberitaannya. Di sisi lain, ia tetap perlu diawasi. Pemerintah merasa was-was majalah ini terlalu kritis terhadap rezim.

Tempo sendiri menyadari posisinya. Karena itu, agar tetap survive, ia barus menggunakan trik dan strategi. Steele menyebut beberapa diantaranya, seperti mengganti kalimat, aktif menjadi pasif atau mengutip komentar dari pejabat asing terhadap situasi dalam negeri. Strategi ini biasa disebut pinjam mulut (Steele, 2005). Semua strategi itu dipakai untuk menjamin kelangsungan Tempo sebagai media vang independen dan terbuka. Tekanan bertubi-tubi dari rezim tidak meluluhkan semangat wartawan Tempo untuk menghadirkan fakta lebih jernih kehadapan public.

Pada akhir Maret 1982, Tempo memang sempat dibekukan karena berani melaporkan situasi pemilu waktu itu yang ricuh. Tetapi dua minggu kemudian, Tempo kembali diizinkan terbit. Usaha pemerintah untuk menekan Tempo selalu menemui batu sandungan karena keberhasilan strategi Tempo untuk mengambil jarak dengan kekuasaan, sekaligus melobi kekuasaan untuk memberi jaminan.

Istirahat terpanjang Tempo terjadi setelah pembredelan 21 Juni 1994. Sejak itu wartawan Tempo melakukan gerilya, seperti dengan mendirikan


(46)

Tempointeraktif secara klandestin, atau mendirikan ISAI (Institut Studi Arus Informasi) pada 1995. Tempo interaktif memuat berita-berita dengan konsep

breaking news dan up dating data yang berlangsung secara terns menerus.

Setelah terbit kembali pada 6 Oktober 1998, Tempo banyak melakukan perbaikan dan menyesuaikan dengan dinamika pasar. Tempo mulai membidik pasar Internasional dengan menerbitkan majalah Tempo edisi Bahasa Inggris, kini selain memiliki beberapa media seperti majalah Tempo, Koran Tempo, Tempo news Room (semacam kantor berita sendiri) maupun tempointeraktif namun juga menjadi pusat data dan analisis data.

3.2. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Metode Analisis Wacana Kritis. Dalam penelitian kritis peneliti bukanlah subjek yang bebas nilai ketika melakukan penelitiannya, karena subjektivitas tidak dapat dihindarkan dalam penelitian kritis. Pengalaman subjektif peneliti turut berperan dalam memberi penafsiran (Eriyanto, 2001), oleh karena itu penelitian terhadap kasus yang sama bisa mendapatkan temuan dan hasil yang berbeda.

Menurut Kasiyanto (Bungin, 2003), hal yang paling mendasar dalam analisis wacana adalah interpretasi, karena analisis wacana merupakan bagian dari metode interpretatif yang mengandalkan interpretasi dan penafsiran dari penelitinya. Adapun alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kerangka analisis wacana yang dikemukakan oleh Theo Van Leeuwen.

Eksklusion, apakah dalam suatu teks berita ada kelompok atau aktor yang


(47)

g. Pasivasi, yaitu suatu cara menghilangkan aktor/ pelaku dengan pemakaian

kalimat pasif.

h. Nominalisasi, yaitu menghilangkan aktor dengan cara mengubah kata

kerja verbal menjadi kata benda (nominal) yaitu dengan memberi imbuhan pe-an.

i. Penggantian anak kalimat, yaitu penggantian subjek dengan memakai

anak kalimat sekaligus berfungsi sebagai pengganti aktor.

Inklusion, bagaimana masing-masing pihak atau kelompok itu

ditampilkan lewat pemberitaan.

a. Deferensiasi-Indeferensiasi, yaitu bagaimana aktor sosial bila ditampilkan dalam teks secara mandiri - Suatu kelompok disudutkan dengan menghadirkan kelompok atau wacana lain yang dipandang lebih dominan atau lebih bagus.

b. Objektivasi-Abstraksi, yaitu bagaimana aktor sosial ditampilkan dengan

memberi petunjuk yang konkret dan aktor sosial di tampilkan dengan memberi petunjuk yang abstrak.

c. Nominasi-Kategorisasi, yaitu bagaimana aktor tersebut ditampilkan apa

adanya –yang ditampilkan adalah kategori yang menunjukkan ciri penting dari seseorang.

d. Nominasi-Identifikasi, yaitu bagaimana aktor tersebut ditampilkan apa

adanya dengan memberi anak kalimat sebagai penjelas.

e. Determinasi-Indeterminasi, apakah aktor disebutkan secara jelas atau


(48)

f. Asimilasi-Individualisasi, adanya kategori aktor sosial yang spesifik yang

disebut dalam berita-komunitas atau kelompok sosial dimana seseorang itu berada.

g. Asosiasi-Disasosiasi, apakah aktor ditampilkan sendiri atau aktor di

tampilkan dengan menghubungkan kelompok lain yang lebih besar.

3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1.

Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian yang dapat terdiri dari manusia, benda-benda, hewan, tumbuh-tumbuhan, gejala-gejala, nilai tes atau peristiwa sebagai sumber data yang memiliki karakteristik tertentu di dalam suatu penelitian. (Nawawi 2001:141). Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah keseluruhan pemberitaan mengenai kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen pada majalah mingguan Tempo yang terbit pada 5 Mei – 7 Juni 2009. Alasan peneliti mengambil rentang waktu tersebut dikarenakan pemberitaanya masih baru dan masih hangat dibicarakan sehingga data-data tentang kasus kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen mudah diperoleh. Dari penelitian yang dilakukan didapatkan 10 berita yang menjadi populasi dalam penelitian ini.

3.3.2. Sampel

Sampel adalah sebagian dari populasi yang dianggap mampu mewakili dari keseluruhan populasi dengan cara tertentu (Nawawi, 1996:144). Teknik sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah total sampling, dimana sampel


(49)

yang digunakan dalam penelitian ini sama dengan populasi. Dalam penelitian ini jenis berita yang diamati hanyalah berita kasus kasus Pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen yang terbit pada 5 Mei – 7 Juni 2009. Dari penelitian yang dilakukan didapatkan 10 berita yang menjadi sampel dalam penelitian ini.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah:  Studi dokumen, yaitu mengumpulkan berita-berita mengenai pemberitaan

kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen, yang telah dimuat di Majalah Mingguan Tempo.

 Studi kepustakaan, yaitu mengumpulkan data sebagai referensi dari buku-buku, majalah, dan internet yang relevan dengan penelitian ini.

3.5 Unit dan Tingkat Analisa

Unit analisa adalah data yang dapat diamati langsung. Unit analisa dalam penelitian ini adalah seluruh isi berita pada majalah mingguan Tempo yang memuat pemberitaan mengenai kasus prmbunuhan Nasrudin Zulkarnaen mulai dari judul, lead, sampai badan berita dengan menggunakan model Theo Van Leeuwen. Unit tersebut akan dianalisispada level inklusi dan eksklusi. Pada level inklusi, akan melihat bagaimana aktor ditampilkan dalam pemberitaan, sedangkan eksklusi, apakah ada aktor yang dihilangkan dari pemberitaan. Sedangkan tingkat analisisnya adalah wacana yang dipakai dalam menganalisis pemberitaan mengenai kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen.


(50)

3.6 Metode Analisis Data

Analisis data menunjukkan kegiatan penyederhanaan data kedalam susunan tertentu yang lebih mudah dibaca sehingga bisa digunakan untuk mengambil kesimpulan. Penelitian ini menganalisis berita kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen di majalah mingguan Tempo dengan menggunakan model analisis Theo Van Leeuwen. Metode analisis data yang digunakan adalah sebagai berikut :

1. Eksklusi, apakah dalam suatu teks berita ada kelompok atau aktor yang dikeluarkan dalam pemberitaan.

2. Inklusi, bagaimana masing-masing pihak atau kelompok ditampilkan lewat pemberitaan.


(51)

BAB IV

PEMBAHASAN

Penelitian ini menggunakan analisis wacana kritis dengan memakai model analisis Theo Van Leeuwen. Model ini secara umum untuk mendeteksi dan meneliti bagaimana suatu kelompok atau seseorang dimarjinalkan posisinya dalam suatu wacana serta menggambarkan bagaimana aktor ditampilkan dalam pemberitaan.

Menurut Theo Van Leeuwen, ada 2 hal yang perlu diperhatikan ketika kita memeriksa aktor sosial dalam pemberitaan tersebut. Pertama, eksklusi : apakah dalam suatu teks berita ada kelompok atau aktor sosial yang dihilangkan atau disembunyikan dalam pemberitaan? kalau ya, bagaimana strategi yang dilakukan oleh media dalam menyembunyikan atau mengeluarkan aktor sosial tersebut? Pengeluaran/Penghilangan aktor ini berakibat macam-macam diantaranya dapat melindungi subjek/pelaku dalam suatu proses pemberitaan. Kedua, inklusi: bagaimana aktor atau kelompok yang disebut itu ditampilkan dalam pemberitaan. Meskipun aktor tidak dihilangkan, proses marjinalisasi seseorang atau kelompok tertentu tetap bisa dilakukan.

Dalam proses penelitian, peneliti menemukan ada 3 aktor sosial yang ditampilkan lebih spesifik dibandingkan dengan beberapa aktor sosial pada pemberitaan kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen, aktor sosial tersebut adalah Antasari Azhar, Rhani Juliani, dan Nasrudin Zulkarnaen. Aktor sosial tersebut ditampilkan dengan proses Inklusi dan proses eksklusi.


(52)

Proses Eksklusi tersebut dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu.

a. Pasivasi yaitu suatu cara menghilangkan aktor/ pelaku dengan pemakaian kalimat pasif.

b. Nominalisasi, yaitu suatu cara menghilangkan aktor dengan mengubah kata kerja (verbal) menjadi kata benda (nominal) yaitu dengan memberi imbuhan pe-an.

c. Pengganti anak kalimat, yaitu penggantian subjek dengan memakai anak kalimat yang sekaligus berfungsi sebagai pengganti aktor.

Sementara proses inklusi dengan cara:

a. Diferensiasi-Indeferensiasi, yaitu aktor sosial bisa ditampilkan dalam teks secara mandiri atau disudutkan dengan menghadirkan kelompok atau wacana lain yang dipandang lebih dominan atau lebih bagus.

b. Objektivasi-Abstraksi, yaitu aktor sosial ditampilkan dengan memberi petunjuk yang konkret atau aktor sosial ditampilkan dengan memberi petunjuk yang abstrak.

c. Nominasi-Kategorisasi, yaitu aktor tersebut ditampilkan apa adanya atau yang ditampilkan adalah kategori yang menunjukkan ciri penting dari seseorang.

d. Nominasi-Identifikasi, yaitu aktor ditampilkan apa adanya dengan memberi anak kalimat sebagai penjelas.

e. Determinasi-Indeterminasi, yaitu aktor disebutkan secara jelas atau aktor disebutkan secara anonim.

f. Asimilasi-Individualisasi, yaitu kategori sosial yang spesifik disebut dalam berita dan komunitas atau kelompok sosial dimana seseorang itu berada.


(53)

g. Asosiasi-Disasosiasi, yaitu aktor ditampilkan sendiri atau aktor di tampilkan dengan menghubungkan kelompok lain yang lebih besar.

4.1 Data dan Analisis Majalah Mingguan Tempo

4.1.1 Edisi : 4-10 Mei 2009

AKIBAT PESONA GADIS GOLF

Ketua komisi pemberantasan korupsi, Antasari Azhar, diperiksa karena terkait kasus pembunuhan terhadap direktur PT. Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen. Selain dicekal, ia juga dinonaktifkan dari kpk.

DUA kendaraan itu melaju ke Tangerang, Banten. Sore itu, Jumat pekan lalu, sekitar pukul 15.00, empat penumpangnya, para pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, memiliki janji bertemu dengan orang yang pekan-pekan ini paling banyak mendapat sorotan media: Antasari Azhar, ketua mereka sendiri. Tiba di rumah Antasari, di kompleks Giri Loka II di Jalan Gunung Bromo, Bumi Serpong, empat orang tersebut, Chandra Hamzah, Muhammad Yasin, Bibit Samad Riyanto, dan Haryono Umar, segera menuju salah satu ruang di lantai satu, tempat pertemuan itu digelar.

Hari itu tuan rumah tengah terkena flu berat. Mengenakan kaus berkerah cokelat, Antasari segera memimpin pertemuan itu. Sesekali ia menyeka hidungnya. Matanya sembap. “Intinya, dia menyatakan untuk sementara tidak bisa meneruskan pekerjaannya di KPK,” ujar sumber Tempo yang mengikuti pertemuan itu. Sejumlah kerabat Antasari juga ikut dalam pertemuan. Wajah mereka terlihat tegang.

Rapat itu tak berlangsung lama. Tak lebih dari dua jam. Para tamu itu juga menanyakan perihal keterlibatan Antasari dalam kasus pembunuhan terhadap Nasrudin Zukarnaen, Direktur Utama PT Putra Rajawali Banjaran, anak perusahaan PT Rajawali Nusantara Indonesia. “Tapi ketua membantah semua,” kata Johan Budi, juru bicara Komisi. Akhirnya rapat yang berlangsung sekitar dua jam sejak pukul 16.00 menyepakati penonaktifan Antasari sebagai ketua Komisi.

Sore itu KPK langsung menggelar konferensi pers. Wakil Ketua KPK Chandra Hamzah mengumumkan, sejak hari itu Antasari berstatus nonaktif. “Pelaksana harian pimpinan KPK akan diemban oleh empat pimpinan KPK secara periodik,” ujar Chandra. Menurut Chandra, untuk sementara, Antasari tidak akan ikut dalam pengambilan keputusan dan kebijakan di KPK. “Apa yang menimpa Ketua KPK kami serahkan kepada penyidik kepolisian untuk mengungkapkan apa sebenarnya terjadi.”

Sementara itu, sekitar satu jam sebelumnya, berita penting muncul dari juru bicara Kejaksaan Agung, Jasman Panjaitan. Kepada para wartawan, Jasman menyatakan status Antasari sudah menjadi tersangka. Kejaksaan, kata Jasman, telah menerima surat pemberitahuan bersifat rahasia dari Markas Besar Kepolisian, yang menyatakan polisi sedang melakukan penyidikan terhadap kasus pembunuhan Zulkar-naen, dengan salah satu tersangkanya Antasari Azhar.


(54)

menurut permintaan polisi, sudah meminta Direktorat Imigrasi mencekal Antasari: Menurut Direktur Penindakan dan Penyidikan Keimigrasian, R. Muchdor, pencekalan Antasari dilakukan sejak Kamis pekan lalu. “Kami langsung memerintahkan petugas lapangan menutup semua check point,” kata Muchdor.

Namun perihal status Antasari itu dibantah keras Ari Yusuf Amir, pengacara Antasari. “Status Antasari masih saksi,” ujarnya. Status itu, menurut Ari, tertera dalam surat panggilan Antasari ke Polda Metro Jaya untuk pemeriksaan pada Senin pekan ini. Direktur Kriminal Umum Polda Metro Jaya, Komisaris Besar M. Irawan, juga menyatakan hal serupa. “Masih saksi.”

Tersangkutnya nama Antasari dalam kasus pembunuhan Nasrudin meruyak setelah polisi, pekan lalu, secara berturut-turut menangkap Sembilan tersangka pelakunya. Pembunuhan yang terjadi pada pertengahan Maret lalu itu diyakini polisi dilakukan para penembak jitu. Dua tembakan yang dimuntahkan di tengah keramaian di kawasan Modernland, Tangerang-saat Nasrudin baru pulang bermain golf tepat mengenai kepala pria 41 tahun itu.

Tersangka pertama dibekuk di Tanjung Priuk, Rabu pekan lalu, ketika hendak pulang ke Ambon. Dari tangan pria berbadan gelap yang mengaku sehari-hari tukang ojek itu, polisi menemukan sepucuk pistol jenis revolver. Dari sinilah, terungkap anggota lain “tim” pembantai itu. Hari itu juga tim buru sergap Polda Metro membekuk empat tersangka lainnya. Mereka dua eksekutor yang mengendarai sepeda motor Yamaha Scorpio dan “tim penghalang” mobil Nasrudin yang mengendarai Toyota Avanza. Menurut sumber Tempo, dua eksekutor itu sudah sangat terlatih.

Dari keterangan para pelaku lapangan inilah polisi memperoleh informasi siapa pemberi order dan dananya. Dari sanalah terendus peran sejumlah tokoh penting seperti Sigid Haryo Wibisono, Komisaris Utama PT Pers Indonesia Merdeka, yang menerbitkan harian Merdeka. Sigid ditangkap di kediamannya di Jalan Patiunus 16, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu dini hari pekan lalu. Menurut seorang polisi, pengusaha ini diduga sebagai penyandang dana.

Selain menangkap Sigid, polisi kemudian juga memeriksa seorang perwira menengah yang diduga ikut berperan sebagai perekrut pelaku sekaligus pembagi dananya. Tapi sumber Tempo membantah pemberitaan yang menyebut perwira tersebut ditangkap. “Dia dipanggil dan menghadap,” ujarnya perihal perwira yang disebut-sebut pernah menjabat Kapolres Jakarta Selatan dan Tangerang itu. Menurut sumber itu, upah pembayarannya sebenarnya sekitar Rp 500 juta. “Tapi yang dibagikan Rp 250 juta.”

Polisi sendiri tampaknya menutup mulut rapat-rapat perihal nama perwira ini. Ketika Tempo menyebut nama perwira berinisial W berpangkat komisaris besar itu. Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Inspektur Jenderal Oegroseno mengunci mulutnya. “Semua masih di Badan Reserse Kriminal,” katanya pendek.

Selama dua hari polisi memeriksa para tersangka yang kini mendekam di tahanan Polda Metro itu. Dari sinilah, menurut seorang polisi, muncul nama “AA”: Antasari Azhar.

SUMBER Tempo lain menyebut, nama “AA” sebenarnya sudah muncul pada Maret lalu, sekitar sepekan setelah tewasnya Nasrudin. “Itu dari pengakuan dalam berita acara pemeriksaan Rani Juliani,” ujar sumber Tempo yang dekat dengan polisi tersebut. “Polisi saat itu sudah mulai curiga, ini soal perempuan,” ujar sumber itu.


(55)

An-tasari terhadap Nasrudin. Sebelumnya, Nasrudinlah yang memperkenalkan Tika, panggilan akrab Rani Juliani, perempuan yang sehari-hari sebagai caddy di Padang Golf Modernland ini, kepada Antasari. Antasari dan Nasrudin sama-sama

member di sana. Belakangan Nasrudin marah karena Tika, perempuan yang sudah

dinikahinya secara siri itu, dilecehkan Antasari. “Atas gangguan itu, Nasrudin berencana mem-blow up ke masyarakat,” ujar Jeffry Lumempouw, pengacara keluarga Nasrudin. Soal nikah siri ini, Andi Syamsudin, adik Nasrudin, mengata-kan dirinya tidak tahu.

Menurut Jeffry, pada Februari lalu, Nasrudin menunjukkan sebuah SMS dari Antasari. Isinya meminta Nasrudin tidak melakukan hal itu. “Adanya SMS itu mengarah ke peringatan buat Nasrudin,” kata Jeffry. Anggota tim advokasi kasus Nasrudin, Boyamin Saiman, membenarkan soal perempuan sebagai pemicu perselisihan antara Antasari dan Nasrudin. Ia juga mengakui ada SMS yang dikirim Antasari. Isinya memang bernada ancaman. Di antaranya, “Jika dibeberkan, risiko tahu sendiri,” kata Boyamin mengutip bunyi SMS itu. Menurut dia, dari sini Antasari lantas mengeluhkan kelakuan Nasrudin ke temannya. Nah, di sini, menurut dia, ada dua kemungkinan: Antasari memang menyuruh melakukan pem-bunuhan itu atau temannya bertindak “terlalu jauh”.

Tapi sumber Tempo lain menyatakan, sebenarnya pelecehan tersebut tidak ada. Menurutnya, pokok pangkalnya adalah pemerasan yang dilakukan Nasrudin. Nasrudin, yang mengetahui Antasari “berminat” terhadap Tika, justru. sengaja “mengumpankan” perempuan 22 tahun berkulit putih dan berhidung bangir ini ketika Antasari menginap di sebuah hotel. “Nasrudin mendobrak kamar itu dan menemukan bukti tentang mereka,” ujar sang sumber.

Berbekal bukti inilah Nasrudin “mengganggu” Antasari. Selain meminta Antasari membantu menaikkan kariernya di Rajawali Nusantara Indonesia (RNI), Nasrudin juga memeras Ketua KPK itu. Ini yang membuat Antasari jengkel dan mengeluhkan kelakuan Nasrudin kepada orang-orang dekatnya, termasuk Sigid. “Di situlah kemudian muncul rencana pembunuhan terhadap Nasrudin,” ujar sumber. Tapi sumber itu memastikan, sebenarnya dana operasi itu bukan dari Sigid. “Ada pengusaha lain yang memberinya.”

Benarkah Antasari bakal terjungkal lantaran kasus seperti ini? Kepada wartawan yang menyerbu rumahnya pada Kamis malam pekan lalu, Antasari menegaskan semua itu tak benar. Ia menyebut sudah mengetahui tuduhan dirinya terlibat urusan perempuan dari Internet dan SMS. “Semua itu tidak benar,” ujarnya. Soal Nasrudin, ia mengakui mengenalnya sebagai sumber pemasok informasi kasus korupsi di RNI. “Kami justru melindunginya,”katanya.

Pengacara. Antasari, Ari Yusuf Amir, juga menegaskan semua ini hanya fitnah. Dia juga membantah adanya SMS ancaman dari Antasari. “Itu bisa dikirim siapa saja.” Ari menduga ada upaya pihak tertentu di balik ini untuk melakukan pembunuhan karakter Antasari. “Mungkin ada orang yang merasa terusik atau terganggu dengan upayanya menegakkan hukum,” ujar Ari.

Adapun Rani kini lenyap bak ditelan bumi. Saat Tempo mendatangi ke-diamannya di Kampung Kosong, Tangerang, Kamis pekan lalu, rumahnya kosong melompong. Menurut sejumlah tetangga, Rani dan orang tuanya sudah pindah ke Serang.

Polisi sendiri masih menutup rapat-rapat perihal kaitan Antasari dalam pusaran kasus ini. Tapi Kepala Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian


(56)

RI, Komisaris Jenderal Susno Duaji, sudah memberikan tanda-tanda soal latar belakang kasus ini. “Berlatar belakang pribadi,” katanya. Polisi memang terlihat superhati-hati menangani kasus ini. Menurut sumber Tempo, Kepala Polri Bambang Hendarso Danuri baru memutuskan memeriksa dan mencekal Antasari setelah pekan lalu mengadakan pertemuan khusus dengan Kepala Polda Metro Jaya.

Sumber Tempo di Markas Besar Kepolisian menyebutkan, kasus pem-bunuhan Nasrudin ini telah menjadi pertarungan sejumlah kepentingan. Sumber Tempo itu menyatakan, dalam hitungan hari aktor pembunuhan sebenarnya telah tercium polisi. Ini berkat informasi yang terekam dalam telepon genggam Nasrudin yang diamankan polisi. Namun kasus tersebut tak segera terungkap karena ada upaya pihak tertentu untuk meredamnya.

Belakangan, menurut sumber itu, pihak yang selama ini mendapat bantuan dana dari Nasrudin mendesak pihak Polda Jaya agar mengungkap kasus ini. Mereka bahkan juga memasok informasi dan menerjunkan anggotanya membantu polisi, hingga akhirnya kasus ini pun berputar kencang kembali dan memunculkan kabar mengejutkan itu: Antasari tersangkut.

Pekan lalu, tatkala Tempo menanyakan kebenaran informasi ini, Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Mabes Polri, Inspektur Jenderal (Pol.) Abubakar Nataprawira, menggelengkan kepala. “Saya belum tahu soal itu,” katanya. Yang pasti, ujarnya, polisi tidak pernah berniat menghentikan kasus ini. (LRB, Ramidi, Rini Kustiani, Ismi Wahid, Ukky Primatantyo, Munawaroh).

Analisis

Pada edisi ini Tempo memuat berita tentang Ketua komisi pemberantasan korupsi, Antasari Azhar, terkait kasus pembunuhan terhadap direktur PT. Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen. Narasumber pada pemberitaan tersebut yaitu juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi, Johan Budi, Jaksa Agung Muda Intelijen, Wisnu Subroto, Wakil Ketua KPK, Chandra Hamzah, juru bicara Kejak-saan Agung, Jasman Panjaitan, Direktur Penindakan dan Penyidikan Keimigrasian, R. Muchdor, pengacara Antasari, Ari Yusuf Amir, para pelaku lapangan, pengacara keluarga Nasrudin, Jeffry Lumempouw, Anggota tim advokasi kasus Nasrudin, Boyamin Saiman.


(1)

Zulkarnaen. Sedangkan inklusi terhadap Antasari dengan strategi kategorisasi bertujuan untuk menggambarkannya secara baik, penuh dengan Nasionalisme, seolah menggambarkan bahwa tidak mungkin Antasari melakukan perbuatan sekeji itu, dilihat dari penampilan tidak ada mencerminkan sesuatu yang buruk.

Proses inklusi pada pemberitaan Terimbas Misi Pelenyapan terhadap Sigid dengan strategi deferensiasi bertujuan untuk mengasosiasikan ke dalam benak khalayak bahwa Sigid terlibat dalam pelenyapan Nasrudin dalam urusan penyediaan dana operasi.

Proses inklusi terjadi pada pemberitaan Golf Penghabisan para eksekutor Heri Santoso dengan strategi Kategorisasi bertujuan untuk mengasosiasikan ke dalam benak khalayak bahwa seorang pengangguran sangat dekat dengan kriminalitas dan kejahatan.

Sementara itu dilihat dari proses eksklusi yang terjadi, aktor yang dikeluarkan hanya dua yaitu terjadi pada pemberitaan Bukan Sekedar Gadis Caddy dan Lakon Rhani, Si Kembang Desa dengan aktor yang dikeluarkan merupakan para pemberi order dan ancaman pembunuhan yang diduga dari pelaku utama pembunuhan Nasridin. Hal ini tentu saja menguntungkan karena proses pengeluaran ini dapat melindungi mereka dari pemberitaan.

Dengan hanya ada dua proses eksklusi yang terjadi hal tersebut menandakan bahwa dilihat dari proses penanganan kasus pembunuhan Nasrudin pemerintah sangat perduli dan akan menindak lanjuti kasus pembunuhan tersebut


(2)

Hal tersebut juga terlihat jelas pada majalah mingguan Tempo yang sangat sedikit untuk membuat suatu proses eksklusi dimana proses eksklusi adalah sutu proses mengfhilangkan suatu aktor atau peristiwa dari suatu pemberitaan. Pihak kepolisian saat ini juga sedang menindak lanjuti kasus pembunuhan Nasrudin, membuat kronologis kejadian di tempat kejadian perkara, mengadakan persidangan, dan diharapkan dengan kerja keras dan usaha yang dijalankan oleh Kepolisian Republik Indonesia, pelaku utama kasus pembunuhan Nasrudin dapat diketahui dan ditindak lanjuti kepada ketentuan hukum yang berlaku.


(3)

BAB V

PENUTUP

V.1 Kesimpulan

Majalah mingguan Tempo dalam setiap pemberitaannya selalu mencoba untuk menghadirkan berita secara objektif dan berimbang. Tersangka, penyidik, pengacara baik dari korban pembunuhan maupun tersangka pada kasus pembunuhan Nasrudin ini sama-sama dimuat opininya, yaitu diantaranya Antasari Azhar, Rhani Juliani, Nasrudin Zulkarnaen, Kepolisian RI serta pengacara Nasrudin Jeffry Lumempouw dan pengacara Antasari, Magdir Ismail. Tetapi mungkin sudah merupakan suatu keniscayaan bahwa tak ada media yang objektif dalam pemberitaannya, karena media bukanlah ranah yang netral, media lahir ke hadapan khalayak dengan berbagai kepentingan yang menyertainya.

Hal ini juga yang terjadi pada majalah Tempo setelah melakukan penetitian terhadap sepuluh berita di Majalah Mingguan Tempo yang terbit pada tanggal 5 Mei – 7 Juni 2009 ditemukan delapan dari sepuluh berita terjadi proses inklusi atau penghadiran aktor baik dari pihak korban Nasrudin Zulkarnaen maupun para tersangka kasus pembunuhan Nasrudin. Seperti Akibat Pesona Gadis Golf, Kisah Tragis Jaksa Necis, Terimbas Misi Pelenyapan, Golf Penghabisan, Tiga di Pusaran Kasus, Dari Baramo ke Rajawali, Giliran Menelisik Rekening, dan Penasaran Lama Tak Bertemu Rhani. Penghadiran aktor dari para tersangka


(4)

Sementara itu di sisi lain, dari sepuluh berita terdapat hanya dua berita yang melakukan proses eksklusi. Proses eksklusi semuanya dilakukan terhadap Antasari Azhar, hal ini tentu saja bertujuan untuk melindungi Antasari dari pemberitaan.

V.2 Saran

Kesimpulan yang telah disampaikan sebenarnya telah menyiratkan juga saran-saran yang perlu diperhatikan oleh majalah mingguan Tempo dalam pemberitaan-pemberitaannya dimasa yang akan datang. Diharapkan Tempo dalam setiap pemberitaannya selain berimbang juga lebih kritis dalam menghadirkan aktor-aktor yang terlibat, dengan demikian tidak ada suatu kelompok yang dirugikan dalam suatu pemberitaan.

Selain itu, diharapkan Tempo juga diharapkan dapat menyampaikan suatu berita secara mendalam dan komprehensif. Dengan format majalah, Tempo lebih memiliki ruang dibandingkan dengan koran harian, karena media tidak bisa melakukan judgement pada suatu peristiwa atau aktor hanya pada saat peristiwa itu terjadi.

Dalam paradigma kritis, media tidak semata dilihat sebagai instrument yang netral dalam memberikan informasi, ada nilai-nilai yang ingin disampaikan kepada khalayak untuk menciptakan suatu konsesus bersama. Oleh larena itu, media hendaklah berpihak dan selalu memperjuangkan kebenaran dan melawan setiap penindasan dan kelaliman.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Barker, Chris.2004. Critical studies : Teori dan Praktik. Kreasi Wacana. Yogyakarta

Bungin, Burhan. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif : Pemahaman Filosofis dan metodologi Arah penguasaan Model Aplikasi . Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Dellinger, Bret. 1995. Finnish view of CNN Television News. Eriyanto. 2001. Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media.

Yogyakarta. LKIS. Cetakan Pertama.

Hadiyanto, 2001 Membudayakan kebiasaan menulis. Jakarta: PT. Fikahati Aneska Latif, Yudi dan Ibrahim, Idi Subandi. 1996. Bahasa dan Kekuasaan. Mizan. Bandung.

Lull, James. 1998. Media, Komunikasi, Kebudayaan Suatu Pengantar Pendekatan Global. Penterjemah A. Setiawan Abadi. Jakarta : Yayasan Bogor Indonesia.

Mulyana, Deddy. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT. Remaja Rosdakarya Offset. Bandung

Nawawi, Hadari. 1991. Instrumen Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

---. 2001. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.


(6)

Simon, Roger. 1999. Gagasan-Gagasan Politik Gramsci. Pustaka Pelajar INSIST. Yogyakarta.

Singarimbun, Masri. 1995. Metode Penelitian Survey, LP3ES. ---. 2006. Metode Penelitian Survey, LP3ES.

Sobur Alex. 2004. Analisis Teks Media.PT. Remaja Rosdakarya Offset. Bandung. Steele, Janet. 2005 Wars Within : The story of Tempo, an independent magazine

in Soeharto’s Indonesia. Equinox & ISEAS. Singapura. Sudibyo, Agus. 2001. Politik Media dan Pertarungan Wacana.

Yogyakara. LKIS. Cetakan Pertama.

Thompson, John B. 2004. kritik Ideologi Global, Teori Sosial Kritis Tentang Relasi ideologi dan komunikasi massa. Yogyakarta

Majalah

Majalah Tempo Edisi 4 - 10 Mei 2009 Majalah Tempo Edisi 11 - 17 Mei 2009 Majalah Tempo Edisi 18 - 24 Mei 2009 Majalah Tempo Edisi 25 - 31 Mei 2009 Majalah

Majalah Tempo Edisi 5 Mei 2009

Situs: