Penduduk dan Mata Pencaharian

24 diolah tetapi kemudian ditinggalkan dalam jangka waktu yang sangat lama, ataupun tanah yang berasal dari hak kullah yaitu tanah yang berasal dari ulayat suku yang menurut garis keturunan matrilinealnya telah punah, yang disebut juga dengan istilah samparono habis. 2. Ulayat Suku, merupakan wilayah yang dikuasai oleh semua anggota suku yang dipimpin oleh panghulu andiko. Ulayat suku berasal dari ulayat nagari yang ditaruko oleh anggota suku. Ulayat suku ini juga diwariskan secara turun temurun. 3. Ulayat Kaum, adalah wilayah yang dimiliki dan dikuasai oleh suatu kaum, bersifat turun temurun dan dipimpin oleh seorang penghulu atau mamak suatu kaum. Ulayat kaum berasal dari ulayat nagari yang ditaruko oleh anggota kaum. 4. Ulayat Paruik, biasanya berupa sebidang tanah yang dikuasai oleh suatu paruik. Tanah ini berasal dari ulayat kaum, maupun dari pencaharian. 5. Ulayat Keluarga Inti, adalah wilayah yang biasanya berupa sebidang tanah yang dikuasai oleh keluarga inti mamak, kemenakan, ibu atau saudara perempuan yang diperoleh dari taruko, maupun dari harta pencaharian. Status penguasaan komunal ini kemudian membentuk ikatan kekerabatan matrilineal dalam penguasaan ulayat, mulai dari paruik, kaum, suku, dan nagari. Sehingga aturan nagari tidak membolehkan perpindahan dan pelepasan hak kepemilikan bersamakomunal menjadi kepemilikan individu. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan hidup diberikan hak ganggam bauntuak bagi anggota kaum, suku atau nagari, tetapi hak ini hanya memperbolehkan mengolah dan memanfaatkan saja, kepemilikannya tetap milik bersama seluruh anggota kaum dan suku. Sebagai hutan adat atau hutan nagari, pengelolaan sumber daya hutan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pola penguasaan ulayat. Karena hutan nagari merupakan kesatuan ekosistem hutan yang berada di atas ulayat, maka timbulah istilah hutan ulayat nagari, hutan ulayat suku dan hutan ulayat kaum. Sedangkan pada ulayat paruik dan ulayat keluarga inti lebih banyak fungsinya sebagai lahan pekarangan, perumahan, persawahan ataupun lahan pertanian yang secara ekologi sudah tidak berupa hutan lagi. Berdasarkan pola pengelolaan sumber daya hutan, masyarakat Nagari Simanau membagi hutan atas 3 tiga kategori, yaitu : 1. Hutanrimbo larangan, adalah hutan yang tidak boleh atau dilarang untuk dikelola, baik untuk pemanfaatan kayu secara langsung, maupun untuk dibuka dan diolah menjadi parak dan ladang. Larangan ini merupakan salah satu bentuk perlindungan masyarakat terhadap daerah sekitarnya. Tujuannya adalah untuk melindungi dan menjaga sumber mata air yang sangat dibutuhkan sebagai sumber air bersih maupun untuk pengairan sawah dan pertanian. 2. Hutan simpanan merupakan hutan yang dipersiapkan sebagai cadangan bagi generasi yang akan datang. Bisa dimanfaatkan apabila hutan olahan telah habis. tetapi harus mendapatkan izin dari panghulu suku yang kebetulan tanah ulayat tersebut berada pada hutan simpanan tersebut 3. Hutan ulahanolahan, adalah wilayah hutan yang dapat dikelola untuk tujuan pemenuhan kebutuhan warga masyarakat. Hasil hutan yang bisa diolah adalah hasil hutan kayu maupun hasil hutan non-kayu. Hutan olahan ini juga bisa dimanfaatkan menjadi parak atau ladang. Biasanya letak hutan olahan ini tidak jauh dari pemukiman masyarakat. Jika dikaitkan dengan hak kepemilikan property right, maka hutan larangan dan hutan simpanan dikategorikan termasuk dalam hak milik komunal. Karena merupakan milik komunal, maka kedua pengelolaan hutan tersebut diatur oleh nagari, sehingga warga tidak bisa bebas memanfaatkannya. Pemanfaatannya harus sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditentukan nagari dan telah disepakati bersama. Dengan adanya pengaturan pengelolaan oleh nagari tersebut maka pemanfaatan sumber daya hutan secara berlebihan bisa dihindari. Pada hutan olahan pengelolaannya secara perorangan atau paruik, karena dimiliki oleh individukeluarga yang mengolah lahan tersebut serta ada batas yang diketahui dan diakui oleh warga. Pengelolaan sumber daya hutan Nagari Simanau memiliki normaaturan- aturan tertentu yang harus ditaati warga masyarakat. Normaaturan-aturan tersebut telah ada sejak dahulu dan diwariskan secara turun temurun. Beberapa normaaturan yang berkaitan dengan pengelolaan hutan adalah : 1. Hutan UlahanOlahan : Gambar 5.1 Hutan olahan  Apabila hutan yang akan dibuka merupakan hutan yang masih asli, belum pernah diolah, maka ketentuan pembagian hasil antara pengelola dengan sukukaum pemilik ulayat adalah ¾ bagian dari lahan hutan yang dibuka menjadi hak milik pengolah, sementara sisanya yang ¼ lagi tetap menjadi milik kaum atau suku pemilik ulayat. Namun, apabila yang dibuka atau yang akan diolah merupakan hutan lunak atau hutan yang sudah pernah diolah sebelumnya, maka dari lahan yang dibuka menjadi hak pengolah dan lagi tetap menjadi hak pemilik ulayat.  Tanah yang dikelola statusnya hanya sementara, maksudnya menjadi hak yang mengolah tanah tersebut selama pengolah memiliki ahli waris. Apabila pengolah tidak memiliki ahli waris lagi maka tanah tersebut dikembalikan kepada yang memiliki ulayat tanah tersebut.  Warga yang mengolah lahan wajib menanam perladangan yang terletak di lereng-lereng bukit dengan tanaman berkayu untuk mencegah terjadinya longsor, misalnya kulit manis, kopi.