Latar Belakang Efektifitas Kelembagaan Lokal Dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan Pada Masyarakat Nagari Simanau.

4 nilai, norma sosial, dan budaya yang dimiliki masyarakat sebagai wujud eratnya hubungan masyarakat dengan sumber daya hutannya. Masyarakat memiliki kemampuan menghadapi perubahan-perubahan yang disebabkan oleh pengaruh eksternal dan memiliki cara-cara baru untuk bertahan dalam situasi yang baru pula Yami et al. 2008. Kelembagaan lokal tumbuh pada suatu teritori karena melekat dengan sejarah wilayah, dan mengandung nilai budaya tradisional dalam hubungan sosial dan kewenangan. Hasil kajian Noer 2008 dinyatakan bahwa kelembagaan yang tumbuh dari bawah akan selalu hidup dan berkembang karena melekat dengan sejarah wilayah dan masyarakat. Ditambahkan oleh Marothia 2003, berhasilnya suatu lembaga dalam pengelolaan sumber daya tergantung pada kemampuan kelompok penggunanya dalam merancang aturan-aturan untuk mengakses dan memelihara sumber daya hutan, serta adanya sistem penegakan aturan. Pengelolaan hutan di Sumatera Barat tidak bisa dipisahkan dengan ulayat sebagai objek dan nagari sebagai subjek. Hak ulayat menunjukan kepemilikan tertinggi masyarakat adat Minangkabau terhadap sumber daya alamnya. Ulayat bukan saja bernilai ekonomis, tetapi sekaligus punya nilai sosial, budaya, dan ekologis Firmansyah et al. 2007; Rijal 2012. Selanjutnya, Firmansyah et al. 2007 menyatakan bahwa lembaga masyarakat lokal berperan penting dan strategis dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam. Disamping membuat aturan-aturan, lembaga lokal tersebut juga berperan sebagai kontrol masyarakat dalam memanfaatkan sumber daya alamnya.

2.2 Konsep Pengelolaan Hutan oleh Masyarakat Community Forest Management

Terdapat beberapa istilah-istilah yang digunakan untuk pengelolaan hutan oleh masyarakat, seperti community forestry, farm forestry, social forestry, partisipatory forestry, agroforestry, dan lain-lain. Suhardjito et al. 2000 mendefinisikan kehutanan masyarakat sebagai suatu sistem pengelolaan hutan oleh individu, komunitas atau kelompok, apakah di lahan negara, komunal, adat atau lahan milik bertujuan untuk memenuhi kebutuhan individu, rumah tangga, dan masyarakat, yang diusahakan untuk tujuan komersial maupun untuk pemenuhan kebutuhan. Terkait istilah tersebut diatas, Wiersum 1997 membagi social forestry tiga bentuk yaitu : 1 community or communal forestry yaitu hutan yang dikelola oleh masyarakat secara kolektif, dapat dilaksanakan pada lahan komunal, lahan milik perorangan maupun lahan negara; 2 farm forestry, yaitu hutan yang dikelola oleh individu atau perorangan, dapat dilaksanakan pada lahan yang dikuasai oleh masyarakat secara kolektif, lahan milik perorangan maupun lahan negara; dan 3 public managed forestry for local community development, yaitu hutan yang dikelola oleh negara untuk pembangunan masyarakat lokal yang dapat dilaksanakan pada lahan komunal, lahan milik perorangan, maupun lahan negara. Pada negara-negara berkembang community forestry ditujukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Glasmier dan Farrigan 2005. Menurut Wiersum 1997, pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya hutan membutuhkan teknologi dan aturan-aturan sosial. Bentuk pengelolaan sumber daya hutan yaitu : kontrol pemanfaatan hasil hutan, perlindungan dan pemeliharaan tegakan hutan, dan tujuan regenerasi. Menurut Suharjito 2008, orientasi nilai akan menentukan tindakan individu dalam pengelolaan sumber daya hutannya. Terdapat dua orientasi nilai, yaitu orientasi ekonomi dan orientasi ekologi atau orientasi antroposentrisme dan orientasi ekosentrisme. Orientasi ekosentrisme menilai alam untuk alam itu sendiri dan mempercayai bahwa alam harus dilindungi karena nilai-nilai intrinsiknya. Sedangkan orientasi antroposentrisme mempercayai bahwa alam harus dilindungi karena adanya nilai-nilai yang dapat meningkatkan kualitas hidup manusia. Orientasi nilai bangsa Indonesia terhadap sumber daya hutan termasuk kategori antroposentrisme.

2.3 Konsep Property dan Common Property Resources

Machperson 1978 mendefinisikan properti sebagai hak memiliki, menggunakan, atau memanfaatkan sesuatu, apakah itu hak untuk berbagi beberapa sumber daya atau hak individu dalam beberapa hal tertentu. Definisi tersebut menunjukkan hubungan seseorang dengan orang lain. Dalam hubungan tersebut ada aturan main yang telah disepakati bersama, apakah itu dalam bentuk kebiasaan, konvensi ataupun undang-undang. Ostrom 1990 merujuk common property resources CPR kedalam sistem sumber daya alam atau sumber daya buatan manusia yang terbagi dalam dua karakteristik penting, yaitu : excludability mengeluarkan dan subtractability mengurangi. Kesulitan dari excludability adalah biaya pengelolaan yang sangat tinggi, sedangkan subtractability kesulitannya adalah adanya persaingan antara pengguna yang berbeda. Hal ini menyebabkan setiap pengguna bisa mengurangi manfaat pengguna lain dan sumber daya alam tersebut dieksploitasi secara berlebihan. Menurut Hanna et al. 1996 diacu dalam Ayunda 2014, pengaturan hak kepemilikan dapat dibedakan menjadi empat kelompok, yaitu : 1 milik umum open accses, 2 milik negara state, 3 milik pribadi atau perorangan private dan 4 milik bersama communal. Pada sumber daya alam milik umum, status kepemilikannya tidak jelas, sehingga setiap orang bebas mengakses dan mengambil manfaatnya secara berlebihan, tanpa ada pihak yang merasa bertanggungjawab terhadap kerusakan yang terjadi tragedy of common. Menurut Hardin 1968, tragedy of common terjadi hampir pada semua sumber daya alam, baik di hutan, laut, sungai, dan air. Sumber daya milik negara merupakan sumber daya yang dikuasai dan dikontrol oleh negara, pemerintah sebagai pemilik hak dan kewenangan terhadap sumber daya alam tersebut. Sedangkan sumber daya milik pribadi merupakan sumber daya yang dimiliki secara perorangan, ada pembatasan terhadap orang, wilayah, dan jumlah yang dimanfaatkan. Sumber daya milik bersamakomunal, merupakan sumber daya yang diklaim dan dikelola oleh komunitas tertentu disekitarnya. Keberhasilan pengelolaan sumber daya milik bersama common property resources menurut Ostrom 1990 adalah adanya batas-batas yang jelas, aturan-aturan yang cocok dengan kondisi lokal, pengaturan pilihan kolektif, monitoring, adanya sanksi yang adil, mekanisme resolusi konflik, dan pengakuan hak-hak untuk berorganisasi.