Efektifitas Kelembagaan Lokal Dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan Pada Masyarakat Nagari Simanau.

(1)

EFEKTIFITAS KELEMBAGAAN LOKAL DALAM

PENGELOLAAN SUMBER DAYA HUTAN PADA

MASYARAKAT NAGARI SIMANAU

HAMZAH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Efektifitas Kelembagaan Lokal dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan pada Masyarakat Nagari Simanau adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015 Hamzah NIM E151110131


(4)

RINGKASAN

HAMZAH. Efektifitas Kelembagaan Lokal dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan pada Masyarakat Nagari Simanau. Dibimbing oleh DIDIK SUHARJITO dan ISTOMO.

Topik pengelolaan sumber daya hutan maupun masyarakat lokal sekitar hutan tetap menarik untuk dikaji dan dikembangkan di Indonesia terkait dengan kebijakan pengelolaan hutan berkelanjutan dan masyarakat sekitar hutan. Fokus kajian ini menjelaskan kelembagaan lokal dalam pengelolaan sumber daya hutan pada masyarakat Nagari Simanau dan implikasinya terhadap performansi hutan. Tujuan penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan nilai-nilai dan norma masyarakat Nagari Simanau dalam pengelolaan sumber daya hutan, (2) menjelaskan efektifitas pengelolaan sumber daya hutan di Simanau, dan (3) mendeskripsikan performansi hutan dengan pola pengelolaan sumber daya hutan di Nagari Simanau.

Konsep yang digunakan dalam kajian ini adalah konsep kelembagaan dari Uphoff (1986), yang mendefinisikan kelembagaan sebagai tatanan norma-norma dan tingkah laku yang biasa berlaku untuk tujuan kolektif yang menjadi nilai bersama. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September sampai dengan bulan Nopember 2014 dengan menggunakan metode studi kasus yang didukung dengan metode survey. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, pengamatan terlibat, dan pengukuran. Wawancara mendalam dilakukan terhadap niniak mamak, anggota masyarakat, orang atau tokoh adat atau tokoh nagari yang berpengaruh ditengah masyarakat. Wawancara terstruktur dilakukan pada responden yang dipilih secara acak dengan mempertimbangkan keterwakilan kelompok dan masyarakat di nagari. Analisis yang digunakan adalah analisis kelembagaan dan analisis performansi hutan.

Dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya hutannya, masyarakat Nagari Simanau masih terikat oleh nilai-nilai dan norma/aturan adat yang sudah ada secara turun temurun. Masyarakat Nagari Simanau menjaga sumber daya hutannya dengan keyakinan hutan bermanfaat bagi kehidupan, sehingga timbul pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan olahan, hutan simpanan, dan hutan larangan.

Pengelolaan sumber daya hutan Simanau diatur secara komunal oleh nagari tidak bisa dipisahkan dari sistem kekerabatan dan kepemimpinan tradisional. Di dalam aturan tersebut terdapat hak penguasaan, pemanfaatan dan sanksi. Pemegang hak utama adalah panghulu yang mengatur dan mengawasi pemanfaatan sumber daya hutan bersama dengan dubalang. Pelanggaran terhadap aturan nagari akan dikenakan sanksi berupa teguran, denda ataupun dibuang sepanjang adat.

Nilai dan norma/aturan di Nagari Simanau turut mengendalikan tindakan dan perilaku masyarakat dalam mengelola sumber daya hutan dan berimplikasi baik terhadap performa hutan. Performa hutan ini ditunjukkan dengan tingginya kerapatan, jumlah jenis, keanekaragaman dan volume pohon, serta terjaganya fungsi ekonomi sumber daya hutan di nagari sebagai sumber mata pencaharian tambahan bagi masyarakat.


(5)

Kelembagaan lokal yang masih dipercaya dan dipatuhi masyarakat efektif menunjang pengelolaan sumber daya hutan yang baik. Hal ini ditunjukkan dengan adanya batas pengelolaan antara hutan olahan, simpanan, dan larangan yang telah disepakati bersama; adanya aturan main kewenangan pemanfaatan dan sanksi yang jelas dalam penegakkan aturan nagari.


(6)

SUMMARY

HAMZAH. The Effectiveness of Local Institution in Forest Resources Management in Simanau Community. Supervised by DIDIK SUHARJITO and ISTOMO.

Topic of forest resources management and the people who live around the forests remain attractive to be studied and developed in Indonesia related to sustainable forest management and forest communities. The focus of this study was to explain about local institution in forest resources management to Simanau community and its implications to forest performance. The purposes of this study is to (1) describes the values and norms that exist in Simanau community in forest resource management, (2) explain the effectiveness of forest resource management in Nagari Simanau, and (3) describe the forest performance with forest resource management patterns in Nagari Simanau.

This study uses Uphoff’s institutional concept (1986) which defines the institution as an arrangement of norms and attitude applied for collective goals and collective value. The research was carried out from September to November 2014 by using case study and supported by survey method. The data was collected throught interviews, direct observations and measurement. In-depth interviews are purposed to ninik mamak, community members, custom figure or respected figures in nagari. Structured interviews was aimed to respondents who are chosen randomly by considering the presentation of community members and all people in nagari. This research used institutional and forest performance analysis.

Forest resources management of Simanau community still stick to values and norms values hereditarily. The people of Simanau community awareness that forests give benefits in life, thus there comes the pattern of management and resources utilization of processed, reserved, and restricted forest.

The regulation of ownership and forest resources management in Simanau are applied communally by nagari, which must not be separated from kinship and traditional leadership system. The regulation contains property rights, utilization rights and sanction enforcement. The major right holder is panghulu, the chieftain who is responsible to regulate and watch the utilization of forest resources management together with dubalang. Those who break the rules in nagari will get sanctions such as warning, custom fine or being separated from community.

The social values and norms applied to Nagari Simanau gives support in taking control of people’s attitude in forest resources management and gives a good implications to forest performance. It is shown from high density, number of species, diversity and volume of trees. It can also keeps economy utility of forest in nagari as additional income for local people.

Local institution that believed, and obeyed by the people, is effective in supporting forest resources management. It is shown from a boundaries of management to processed, reserved, and restricted forests which have been approved together, there are a rule in utilization rights and strict sanctions of implementing rules of nagari.


(7)

©

Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(8)

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

EFEKTIFITAS KELEMBAGAAN LOKAL DALAM

PENGELOLAAN SUMBER DAYA HUTAN PADA

MASYARAKAT NAGARI SIMANAU

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015


(10)

(11)

Judul Tesis : Efektifitas Kelembagaan Lokal dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan pada Masyarakat Nagari Simanau

Nama : Hamzah NIM : E151110131

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Didik Suharjito, MS Ketua

Dr Ir Istomo, MS Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

Dr Tatang Tiryana, SHut MSc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr


(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2014 ini ialah Efektifitas Kelembagaan Lokal dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan pada Masyarakat Nagari Simanau.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Didik Suharjito, MS dan Bapak Dr Ir Istomo, MS selaku pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Thamrin Dt Rajo Sampono selaku Ketua KAN Simanau, Bapak Hendrianus selaku Wali Nagari Simanau, serta Bapak Misna beserta masyarakat Nagari Simanau, Kabupaten Solok yang telah banyak membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada isteri dan anak-anak penulis, ayah, ibu, serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2015 Hamzah


(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vii

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Perumusan Masalah 2

1.3 Tujuan Penelitian 3

1.4 Manfaat Penelitian 3

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Kelembagaan 4

2.2 Konsep Pengelolaan Hutan Oleh Masyarakat 4

2.3 Konsep Property dan Common Property Resources 5 3. METODE

3.1 Kerangka Pikir 6

3.2 Definisi Operasional 8

3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian 8

3.4 Alat dan Objek Penelitian 9

3.5 Pengumpulan Data 9

3.5.1 Wawancara Mendalam 10

3.5.2 Wawancara Terstruktur 10

3.5.3 Pengamatan terlibat 11

3.5.4 Pengukuran Lapangan 11

3.6 Analisis Data 12

4. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Letak dan Kondisi Fisik Nagari Simanau 14

4.2 Tata Guna Lahan 14

4.3 Nagari dan Sejarah Nagari Simanau 15

4.4 Sistem Kekerabatan 17

4.5 Struktur Kelembagaan Lokal Masyarakat 18

4.6 Sarana dan Prasarana Pendidikan 21

4.7 Penduduk dan Mata Pencaharian 21

4.8 Aksesibilitas 22

4.9 Kegiatan Ekonomi Masyarakat 23

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Kelembagaan Penguasaan dan Pengelolaan Sumber Daya Hutan 23 5.2 Efektifitas Aturan Nagari Dalam Mengatur Penguasaan dan

Pemanfaatan Sumber Daya Hutan 28

5.3 Performansi Hutan 33

5.3.1 Kerapatan dan Jumlah Jenis 34

5.3.2 Indeks Keanekaragaman Jenis (H’) 34

5.3.3 Struktur Tegakan Horizontal 36


(14)

6. KESIMPULAN DAN SARAN 39

DAFTAR PUSTAKA 40

LAMPIRAN 43

RIWAYAT HIDUP 53

DAFTAR TABEL

3.1 Kategori modal sosial 6

3.2 Tingkat kepercayaan informan 12

3.3 Tingkat pemahaman terhadap aturan nagari dalam pengelolaan sumber

daya hutan 12

3.4 Tingkat pelanggaran terhadap aturan nagari dalam pengelolaan sumber

daya hutan 12

4.1 Tata guna lahan nagari Simanau 15

4.2 Komposisi penduduk nagari Simanau menurut umur 21 4.3 Komposisi penduduk nagari Simanau berdasarkan mata pencaharian 22 5.1 Bentuk hak pengelolaan sumber daya hutan nagari Simanau 27 5.2 Aturan nagari Simanau dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber

daya hutan dan tingkatan sanksinya 30

5.3 Tingkat kepercayaan masyarakat nagari terhadap pengelolaan sumber

daya hutan nagari 31

5.4 Tingkat pemahaman terhadap aturan nagari dalam pengelolaan sumber

daya hutan nagari 32

5.5 Tingkat pelanggaran terhadap aturan nagari dalam pengelolaan sumber

daya hutan nagari 33

5.6 Komposisi jenis tumbuhan, nilai kerapatan dan indeks nilai penting 34

DAFTAR GAMBAR

3.1 Alur pikir penelitian 7

3.2 Lokasi penelitian 8

3.3 Disain jalur pengamatan 11

4.1 Struktur kelembagaan adat di Nagari Simanau 19 4.2 Struktur kelembagaan pemerintahan Nagari Simanau 20

5.1 Hutan olahan 25

5.2 Hutan simpanan 26

5.3 Hutan larangan 26

5.4 Indeks keanekaragaman jenis (H’) berbagai tingkat pertumbuhan pada

hutan olahan, simpanan dan larangan 36

5.5 Jumlah pohon per satuan luas (hektar) pada berbagai tingkat pertumbuhan pada hutan olahan, simpanan dan larangan 37 5.6 Volume pohon per kelas diameter pada hutan olahan, simpanan dan


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Peta plot analisis vegetasi pada masing-masing hutan olahan, simpanan, dan larangan di Nagari Simanau, Kabupaten Solok 444

2 Titik koordinat letak plot analisis vegetasi 45

3 Lima nilai INP tertinggi pada tingkat semai di hutan olahan, simpanan,

dan larangan 45

4 Lima nilai INP tertinggi pada tingkat pancang di hutan olahan, simpanan,

dan larangan 46

5 Lima nilai INP tertinggi pada tingkat tiang di hutan olahan, simpanan, dan

Larangan 46

6 Lima nilai INP tertinggi pada tingkat pohon di hutan olahan, simpanan,

dan larangan 47

7 Nama jenis tumbuhan pada hutan olahan 47

8 Nama jenis tumbuhan pada hutan simpanan 48

9 Nama jenis tumbuhan pada hutan larangan 50


(16)

(17)

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kajian tentang pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat lokal terus berkembang di Indonesia (Suharjito et al. 2000). Pentingnya peran kelembagaan lokal menjadi kajian yang menarik bagi peneliti-peneliti kehutanan masyarakat. Menurut Ostrom (1990), kelembagaan yang baik dan efektif akan menjamin keberlanjutan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam. Selain itu keberhasilan pengelolaan hutan oleh masyarakat erat kaitannya dengan kekuatan nilai dan norma yang telah mengakar dan diterima secara luas oleh masyarakat (Meinzen-Dick R 2007; Ostrom 1990, 2005; Mysyahrawati 2002; Murray et al. 2006; Nursidah 2012; Krey 2012; NRC 2002; Nurjanah 2009; Ohorella et al. 2011).

Pelibatan masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan dalam desain kelembagaan lokal ternyata tidak selalu menjamin keberlanjutan pengelolaan sumber daya hutan. Masih ada beberapa kelompok masyarakat belum mampu mewujudkan performansi hutan yang lebih baik, bahkan cadangan potensi hutan (seperti kayu) menjadi semakin menurun (Meilby et al. 2014). Berbagai bentuk kelembagaan lokal yang telah dirancang oleh tenaga pemberdayaan masyarakat atau oleh masyarakat itu sendiri menghasilkan kinerja pengelolaan sumber daya hutan yang berbeda secara signifikan (Pokharel et al. 2014). Hal ini menunjukkan bahwa masih dibutuhkannya kajian-kajian yang lebih mendalam terkait dengan desain kelembagaan lokal yang menjamin performansi sumber daya hutan yang lebih baik.

Pemahaman terhadap bentuk-bentuk kelembagaan lokal yang menjamin performansi sumber daya hutan yang lebih baik sebenarnya telah banyak ditunjukkan dari berbagai praktek-praktek pengelolaan hutan berbasis masyarakat di Indonesia, seperti mamar di Nusa Tenggara Timur, limbo di Kalimantan Timur, tembawang di Kalimantan Barat, repong di Lampung, dan tombak di Tapanuli Utara (Suharjito et al. 2002). Praktek-praktek yang dilakukan oleh masyarakat tersebut menjadi bukti pentingnya sumber daya hutan bagi masyarakat sehingga banyak area yang dikelola masyarakat tersebut dijadikan sebagai bentuk implementasi hutan adat. Peraturan pengelolaan dan pemanfaatan hutan adat dibuat dan ditetapkan oleh hukum-hukum adat (Awang 2003).

Didalam Undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan, dinyatakan bahwa hutan adat merupakan hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Hutan nagari di Sumatera Barat adalah salah satu hutan adat, merupakan satu kesatuan ekosistem nagari berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan, dimiliki dan dikuasai oleh persekutuan masyarakat nagari (Firmansyah et al. 2007). Kelembagaan penguasaan dan pengelolaan sumber daya hutan oleh masyarakat nagari cukup unik, karena masih diatur secara komunal oleh nagari yang erat kaitannya dengan sistem kekerabatan dan kepemimpinan masyarakat adat setempat. Hal ini mendorong terbentuknya hubungan/interaksi yang kuat antara masyarakat nagari dengan sumber daya hutannya.


(18)

2

Masyarakat Nagari Simanau menjaga kelestarian sumber daya hutannya untuk menjaga tersedianya kebutuhan air sepanjang tahun bagi warga masyarakat nagari, baik untuk kebutuhan sehari-hari maupun untuk kebutuhan pertanian dan kebutuhan lainnya (Warman et al. 2007). Berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan nomor SK.572/Menhut─II/2011 tanggal 3 Oktober 2011 tentang penetapan kawasan hutan lindung sebagai areal kerja hutan Nagari Simanau, maka Gubernur Sumatera Barat mengeluarkan Surat Keputusan nomor 522/44/2012 tanggal 19 Januari 2012 tentang pemberian hak pengelolaan hutan nagari bagi pemerintahan Nagari Simanau, Kecamatan Tigo Lurah Kabupaten Solok seluas 1.088 hektar. Hal ini dipandang sebagai salah satu pendorong dan pengakuan peranan kelembagaan nagari dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan.

Pemberian hak pengelolaan hutan nagari tersebut merupakan salah satu bentuk pengakuan pemerintah terhadap peran kelembagaan lokal masyarakat dalam pengelolaan sumber daya hutan. Pemberian hak pengelolaan hutan ini menjadi salah satu terobosan penting dalam sejarah pengelolaan hutan di Sumatera Barat, karena Nagari Simanau menjadi nagari pertama di Sumatera Barat yang mendapatkan hak pengelolaan hutan nagari/desa dari pemerintah. Hal ini menjadi fenomena yang menarik untuk dikaji, terutama untuk mengetahui peran kelembagaan lokal dalam hubungannya dengan kinerja atau performansi sumber daya hutan. Disamping itu, kajian peran kelembagaan lokal dalam pengelolaan sumber daya hutan di nagari masih belum banyak dilakukan. Peran kelembagaan lokal ini penting untuk menjamin keberlanjutan pengelolaan hutan berbasis masyarakat melalui skema hutan desa (hutan nagari) yang sedang dikembangkan oleh pemerintah.

Berdasarkan beberapa uraian tersebut di atas maka dilakukanlah penelitian ini dengan fokus untuk mengkaji pengelolaan sumber daya hutan pada masyarakat Nagari Simanau dan implikasinya terhadap performansi hutan. Penelitian dilakukan dengan menggunakan konsep kelembagaan lokal yang dikemukakan oleh Uphoff (1986).

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penelitian ini akan menjelaskan kelembagaan lokal dalam pengelolaan sumber daya hutan pada masyarakat Nagari Simanau. Penelitian ini menjawab beberapa pertanyaan sebagai berikut :

1. Nilai-nilai dan norma apa saja yang ada pada masyarakat Nagari Simanau dalam pengelolaan sumber daya hutan?

2. Bagaimana efektifitas kelembagaan lokal dalam mengatur pengelolaan sumber daya hutan di Nagari Simanau?

3. Bagaimana hubungan antara kelembagaan dengan performansi hutan di Nagari Simanau?

Kelembagaan lokal yang dimaksudkan adalah nagari dan nilai-nilai, norma/aturan yang ada didalam masyarakat Nagari Simanau untuk mengatur pengelolaan sumber daya hutan yang telah ada dan berkembang secara turun temurun. Efektifitas kelembagaan lokal adalah kepatuhan masyarakat terhadap


(19)

norma/aturan nagari. Sedangkan performansi hutan adalah capaian kinerja pengelolaan hutan.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan utama kajian ini adalah untuk menjelaskan kelembagaan lokal dalam pengelolaan sumber daya hutan pada masyarakat Nagari Simanau, sedangkan tujuan khususnya adalah untuk :

1. Mendeskripsikan nilai-nilai dan norma yang ada pada masyarakat Nagari Simanau dalam pengelolaan sumber daya hutan

2. Menjelaskan efektifitas pengaturan pengelolaan sumber daya hutan di Nagari Simanau

3. Mendeskripsikan performansi hutan dengan pola pengelolaan sumber daya hutan di Nagari Simanau

1.4 Manfaat Penelitian

Adanya pengetahuan dan pemahaman tentang bagaimana kelembagaan lokal masyarakat yang berkaitan dengan nilai-nilai, norma, dan aturan dalam mengelola sumber daya hutannya bisa menjadi alternatif pengembangan pengelolaan sumber daya hutan berbasiskan masyarakat lokal dimasa yang akan datang.

2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Kelembagaan

Terdapat beberapa pengertian dan definisi tentang kelembagaan. Menurut Uphoff (1986), kelembagaan merupakan himpunan atau tatanan norma-norma dan tingkah laku yang biasa berlaku untuk tujuan kolektif bersama yang menjadi nilai bersama. Definisi tersebut labih banyak kaitannya dengan norma-norma perilaku, nilai budaya, dan adat istiadat. Sedangkan menurut Ostrom (1990) kelembagaan merupakan aturan dan rambu-rambu yang dijadikan sebagai pedoman yang mengatur hubungan yang mengikat antar manusia satu dengan lainnya. Pakpahan (1990) diacu dalam Ayunda (2014) mendefinisikan kelembagaan sebagai aturan main dan organisasi. Sebagai aturan main kelembagaan merupakan sistem organisasi dan pengawasan terhadap sumber daya, sedangkan sebagai organisasi, kelembagaan bentuk konkrit dari aturan main tersebut. Terkait pengertian kelembagaan, Koenjtaraningrat (2009), menjelaskan nilai budaya merupakan konsep pikiran manusia yang penting dan berharga sebagai pedoman yang menentukan arah dan orientasi dalam kehidupan manusia. Wujud nilai budaya adalah bentuk aturan-aturan yang menciptakan stabilitas ditengah masyarakat. Sedangkan adat merupakan norma umum yang berada diatas individu yang mantap, kontinyu dan bersifat memaksa.

Dalam beberapa kajian, kelembagaan lokal mampu mengelola dan memanfaatkan sumber daya hutan berkelanjutan. Hal ini berkaitan dengan


(20)

nilai-4

nilai, norma sosial, dan budaya yang dimiliki masyarakat sebagai wujud eratnya hubungan masyarakat dengan sumber daya hutannya. Masyarakat memiliki kemampuan menghadapi perubahan-perubahan yang disebabkan oleh pengaruh eksternal dan memiliki cara-cara baru untuk bertahan dalam situasi yang baru pula (Yami et al. 2008). Kelembagaan lokal tumbuh pada suatu teritori karena melekat dengan sejarah wilayah, dan mengandung nilai budaya tradisional dalam hubungan sosial dan kewenangan. Hasil kajian Noer (2008) dinyatakan bahwa kelembagaan yang tumbuh dari bawah akan selalu hidup dan berkembang karena melekat dengan sejarah wilayah dan masyarakat.

Ditambahkan oleh Marothia (2003), berhasilnya suatu lembaga dalam pengelolaan sumber daya tergantung pada kemampuan kelompok penggunanya dalam merancang aturan-aturan untuk mengakses dan memelihara sumber daya hutan, serta adanya sistem penegakan aturan.

Pengelolaan hutan di Sumatera Barat tidak bisa dipisahkan dengan ulayat sebagai objek dan nagari sebagai subjek. Hak ulayat menunjukan kepemilikan tertinggi masyarakat adat Minangkabau terhadap sumber daya alamnya. Ulayat bukan saja bernilai ekonomis, tetapi sekaligus punya nilai sosial, budaya, dan ekologis (Firmansyah et al. 2007; Rijal 2012). Selanjutnya, Firmansyah et al. (2007) menyatakan bahwa lembaga masyarakat lokal berperan penting dan strategis dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam. Disamping membuat aturan-aturan, lembaga lokal tersebut juga berperan sebagai kontrol masyarakat dalam memanfaatkan sumber daya alamnya.

2.2 Konsep Pengelolaan Hutan oleh Masyarakat (Community Forest Management)

Terdapat beberapa istilah-istilah yang digunakan untuk pengelolaan hutan oleh masyarakat, seperti community forestry, farm forestry, social forestry, partisipatory forestry, agroforestry, dan lain-lain. Suhardjito et al. (2000) mendefinisikan kehutanan masyarakat sebagai suatu sistem pengelolaan hutan oleh individu, komunitas atau kelompok, apakah di lahan negara, komunal, adat atau lahan milik bertujuan untuk memenuhi kebutuhan individu, rumah tangga, dan masyarakat, yang diusahakan untuk tujuan komersial maupun untuk pemenuhan kebutuhan. Terkait istilah tersebut diatas, Wiersum (1997) membagi social forestry tiga bentuk yaitu : (1) community or communal forestry yaitu hutan yang dikelola oleh masyarakat secara kolektif, dapat dilaksanakan pada lahan komunal, lahan milik perorangan maupun lahan negara; (2) farm forestry, yaitu hutan yang dikelola oleh individu atau perorangan, dapat dilaksanakan pada lahan yang dikuasai oleh masyarakat secara kolektif, lahan milik perorangan maupun lahan negara; dan (3) public managed forestry for local community development, yaitu hutan yang dikelola oleh negara untuk pembangunan masyarakat lokal yang dapat dilaksanakan pada lahan komunal, lahan milik perorangan, maupun lahan negara.

Pada negara-negara berkembang community forestry ditujukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat (Glasmier dan Farrigan 2005). Menurut Wiersum (1997), pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya hutan membutuhkan teknologi dan aturan-aturan sosial. Bentuk pengelolaan sumber daya hutan yaitu :


(21)

kontrol pemanfaatan hasil hutan, perlindungan dan pemeliharaan tegakan hutan, dan tujuan regenerasi.

Menurut Suharjito (2008), orientasi nilai akan menentukan tindakan individu dalam pengelolaan sumber daya hutannya. Terdapat dua orientasi nilai, yaitu orientasi ekonomi dan orientasi ekologi atau orientasi antroposentrisme dan orientasi ekosentrisme. Orientasi ekosentrisme menilai alam untuk alam itu sendiri dan mempercayai bahwa alam harus dilindungi karena nilai-nilai intrinsiknya. Sedangkan orientasi antroposentrisme mempercayai bahwa alam harus dilindungi karena adanya nilai-nilai yang dapat meningkatkan kualitas hidup manusia. Orientasi nilai bangsa Indonesia terhadap sumber daya hutan termasuk kategori antroposentrisme.

2.3 Konsep Property dan Common Property Resources

Machperson (1978) mendefinisikan properti sebagai hak memiliki, menggunakan, atau memanfaatkan sesuatu, apakah itu hak untuk berbagi beberapa sumber daya atau hak individu dalam beberapa hal tertentu. Definisi tersebut menunjukkan hubungan seseorang dengan orang lain. Dalam hubungan tersebut ada aturan main yang telah disepakati bersama, apakah itu dalam bentuk kebiasaan, konvensi ataupun undang-undang.

Ostrom (1990) merujuk common property resources (CPR) kedalam sistem sumber daya alam atau sumber daya buatan manusia yang terbagi dalam dua karakteristik penting, yaitu : excludability (mengeluarkan) dan subtractability (mengurangi). Kesulitan dari excludability adalah biaya pengelolaan yang sangat tinggi, sedangkan subtractability kesulitannya adalah adanya persaingan antara pengguna yang berbeda. Hal ini menyebabkan setiap pengguna bisa mengurangi manfaat pengguna lain dan sumber daya alam tersebut dieksploitasi secara berlebihan.

Menurut Hanna et al. (1996) diacu dalam Ayunda (2014), pengaturan hak kepemilikan dapat dibedakan menjadi empat kelompok, yaitu : (1) milik umum (open accses), (2) milik negara (state), (3) milik pribadi atau perorangan (private) dan (4) milik bersama (communal). Pada sumber daya alam milik umum, status kepemilikannya tidak jelas, sehingga setiap orang bebas mengakses dan mengambil manfaatnya secara berlebihan, tanpa ada pihak yang merasa bertanggungjawab terhadap kerusakan yang terjadi (tragedy of common). Menurut Hardin (1968), tragedy of common terjadi hampir pada semua sumber daya alam, baik di hutan, laut, sungai, dan air. Sumber daya milik negara merupakan sumber daya yang dikuasai dan dikontrol oleh negara, pemerintah sebagai pemilik hak dan kewenangan terhadap sumber daya alam tersebut. Sedangkan sumber daya milik pribadi merupakan sumber daya yang dimiliki secara perorangan, ada pembatasan terhadap orang, wilayah, dan jumlah yang dimanfaatkan. Sumber daya milik bersama/komunal, merupakan sumber daya yang diklaim dan dikelola oleh komunitas tertentu disekitarnya. Keberhasilan pengelolaan sumber daya milik bersama (common property resources) menurut Ostrom (1990) adalah adanya batas-batas yang jelas, aturan-aturan yang cocok dengan kondisi lokal, pengaturan pilihan kolektif, monitoring, adanya sanksi yang adil, mekanisme resolusi konflik, dan pengakuan hak-hak untuk berorganisasi.


(22)

6

3

METODE

3.1 Kerangka Pikir

Kajian efektifitas kelembagaan lokal dalam pengelolaan sumber daya hutan pada masyarakat Nagari Simanau ini menggunakan konsep kelembagaan menurut Uphoff (1986), yang menyatakan bahwa kelembagaan merupakan suatu himpunan atau tatanan norma-norma dan tingkah laku yang biasa berlaku pada suatu periode tertentu untuk melayani tujuan kolektif yang menjadi nilai bersama. Uphoff menjelaskan terdapat 2 (dua) bentuk kelembagaan, yaitu organisasi dan norma. Organisasi merupakan struktur peran yang telah diakui dan diterima masyarakat, sedangkan norma merupakan nilai-nilai yang hidup didalam suatu kelompok masyarakat. Norma itulah yang digunakan untuk mengatur dan mengontrol perilaku masyarakat dalam komunitasnya.

Kapasitas masyarakat digambarkan dari konsep modal sosial, dengan adanya norma, nilai, aturan-aturan yang menjadi pedoman, bahkan memaksa anggotanya untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan (Suharjito 2013). Mengacu pada Uphoff (2000) dalam Suharjito (2008) dinyatakan kategori modal sosial ada dua, struktural dan kognitif.

Tabel 3.1 Kategori modal sosial

Struktural Kognitif Sumber dan manifestasi Peranan (role) dan aturan (rules) Norma, nilai

Jejaring dan hubungan interpersonal Sikap, kepercayaan (belief)

Prosedur dan preseden

Faktor dinamik Keterkaitan vertikal dan horizontal Kepercayaan (trust), solidaritas, kerjasama, kedermawanan

Sumber : Uphoff (2000) dalam Suharjito (2008)

Uphoff (2000) dalam Suharjito (2008) menjabarkan peranan (role) dan aturan (rules) mendukung empat fungsi dasar tindakan kolektif yaitu ; pembuatan keputusan, mobilisasi dan pengelolaan sumber daya, komunikasi dan koordinasi, serta resolusi konflik. Hubungan sosial membangun pertukaran (exchange) dan kerjasama (cooperation) yang nantinya akan membentuk jejaring (networks). Ketiga unsur tersebut (peranan, aturan dan jejaring) akan memfasilitasi tindakan kolektif yang saling menguntungkan (mutually beneficial collective action, MBCA).

Norma, nilai, sikap dan kepercayaan (belief) tersebut saling tergantung sama lainnya dan mendukung MBCA. Orientasi ke empat faktor tersebut ada dua, pertama orientasi kepada pihak lain, bagaimana seseorang berfikir dan bertindak terhadap orang lain. Kepercayaan (trust) dan balasan (reciprocation) membangun hubungan sosial dengan tujuan terbentuknya solidaritas. Kepercayaan (trust) dan solidaritas yang berlandaskan norma, nilai, sikap, dan kepercayaan (belief)


(23)

membuat kerjasama dan kedermawanan (Uphoff (2000) diacu dalam Suharjito (2008). Kedua, orientasi untuk mewujudkan tindakan (action), yaitu bagaimana sesorang itu mau bertindak. Kerjasama (cooperation) merupakan cara bertindak bersama orang lain dengan tujuan terbentuknya kedermawanan. Kerjasama berlandaskan norma, nilai, sikap, dan kepercayaan (belief) mengharapkan orang lain mau bekerjasama. Kedermawanan juga dilandasi norma, nilai, sikap, dan kepercayaan (belief) dengan harapan mendapatkan pahala.

Kelembagaan lokal terbukti mampu menjaga kelestarian sumber daya hutan. Dengan adanya norma-norma, nilai, dan lembaga yang dimiliki ternyata mampu mengelola dan memanfaatkan sumber daya hutan dengan baik. Keberlanjutan dan fungsi hutan terjamin dengan adanya pengaturan penggunaan sumber daya alam (Ohorella et al. 2011). Krey (2012) menambahkan bahwa kelembagaan yang efektif dipengaruhi oleh kekerabatan, kepercayaan, kepatuhan dan komitmen mereka melaksanakan aturan-aturan. Kemudian Suharjito (1998) menjelaskan bahwa sumber daya alam pada masyarakat Mioko di Papua tetap terpelihara dan dimanfaatkan generasi berikutnya karena adanya kelembagaan pengelolaannya yang berkaitan dengan sistem kekerabatan dan kepercayaan bahwa kelompok keturunan mereka mampu mengelola sumber daya alamnya dengan baik.

Masyarakat Nagari Simanau memiliki nilai dan norma yang didapatkan secara turun-temurun dalam pengelolaan sumber daya alamnya. Hal ini menunjukkan adanya interaksi masyarakat nagari dengan sumber daya alamnya yang diwujudkan dalam pola pengelolaan sumber daya hutan di nagari atas tiga kategori, yaitu : hutan olahan, simpanan, dan larangan. Kategorisasi tersebut berhubungan dengan orientasi masyarakat Simanau bahwa hutan memberikan manfaat bagi masyarakat sehingga hutan itu perlu dijaga.

Kajian ini menitikberatkan pada norma-norma/aturan nagari dalam pengelolaan sumber daya hutan dan implikasinya terhadap performansi hutan. Berdasarkan uraian diatas, maka alur pikir penelitian ini seperti yang disajikan pada Gambar 3.1.

Gambar 3.1 Alur pikir penelitian

Pengaturan Kelembagaan Lokal

Hutan Simpanan

Hutan Larangan Hutan Olahan Nilai, Norma/aturan

Peformansi Hutan

Struktur ; kepemimpinan, kekerabatan dan kewenangan

Pola pengelolaan sumber daya hutan


(24)

8

3.2 Definisi Operasional

1. Norma, merupakan aturan dalam bermasyarakat, yang telah disepakati bersama untuk mengatur perilaku dan tindakan masyarakat nagari termasuk dalam pengelolaan sumber daya hutannya.

2. Kelembagaan lokal yang dimaksudkan adalah adanya nilai-nilai dan norma/ aturan masyarakat Nagari Simanau yang telah ada secara turun temurun. Nilai-nilai tersebut mengatur hubungan antara individu-individu, individu-kelompok maupun hubungan antara individu, kelompok, dan lingkungannya.

3. Pengelolaan sumber daya hutan nagari merupakan upaya masyarakat dalam pengelolaan sumber daya hutannya menurut perspektif masyarakat Nagari Simanau itu sendiri.

4. Hutan/rimbo larangan merupakan hutan yang dilarang untuk ditebang dan dimanfaatkan kayunya secara langsung.

5. Hutan simpanan yaitu hutan yang dipersiapkan sebagai hutan cadangan untuk kebutuhan anak kemenakan dimasa mendatang.

6. Hutan ulahan/olahan adalah hutan yang boleh dikelola oleh masyarakat, baik kayu, non kayu maupun yang digunakan untuk parak dan ladang.

7. Performansi hutan yang adalah komposisi jenis dan struktur tegakan hutan. 8. Efektifitas yang dimaksud adalah tingkat kepercayaan, pemahaman, dan

kepatuhan warga masyarakat terhadap aturan-aturan nagari yang ditegakkan oleh dubalang bersama-sama dengan Panghulu dalam pengelolaan sumber daya hutan

3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Nagari Simanau, Kecamatan Tigo Lurah, Kabupaten Solok (lihat Gambar 3.2). Penelitian ini berlangsung selama tiga bulan, dimulai dari bulan September sampai dengan Nopember 2014.

Gambar 3.2 Lokasi penelitian (Sumber : Bappeda Kabupaten Solok) Lokasi


(25)

3.4 Alat dan Objek Penelitian

Beberapa peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah personal computer, alat tulis, kamera digital, phi band, range finder, haga meter dan alat perekam (voice recorder). Adapun objek penelitian yaitu masyarakat Nagari Simanau serta tokoh masyarakat yang memiliki pengetahuan dan wawasan tentang fokus yang dikaji.

3.5 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif karena realitasnya merupakan hasil konstruksi secara lokal dan spesifik, serta hubungan antara peneliti dan yang diteliti bersifat interaktif yang tidak bisa dipisahkan (Suharjito 2014). Metode yang digunakan adalah metode studi kasus yang ditunjang dengan metode survey. Ciri khas metode studi kasus adalah tidak mempertimbangkan berapa banyak contoh suatu populasi, mengkaji secara detail satu atau lebih program, kejadian, aktifitas. Studi kasus bukan untuk menguji teori, sehingga peneliti tidak berpegang pada suatu teori dari awal sampai dengan pengumpulan data (Suharjito 2014). Peneliti dapat berpegang pada suatu teori untuk merumuskan pertanyaan-pertanyaan. Studi kasus dapat menyajikan data-data dan temuan-temuan yang sangat berguna sebagai dasar untuk membangun latar permasalahan bagi perencanaan penelitian yang lebih mendalam dalam rangka pengembangan ilmu (Yin 1997; Aziz 2003).

Meskipun punya keunggulan, studi kasus juga memiliki kelemahan, yaitu kurang memberikan dasar yang kuat terhadap suatu generalisasi ilmiah dan adanya kecenderungan studi kasus kurang mampu mengendalikan bias subjektifitas peneliti. Untuk mengatasi kekurangan tersebut, maka yang harus diperhatikan adalah : pertama kasus yang diangkat sifatnya unik dan khas serta menyangkut kepentingan masyarakat. Kedua, studi kasus itu harus lengkap, yaitu : (1) kasus yang diteliti harus memiliki perbedaan yang jelas antara fenomena dan konteksnya ; (2) tersedianya bukti-bukti yang meyakinkan ; dan (3) mempermasalahkan ketiadaan kondisi buatan tertentu. Ketiga, studi kasus mempertimbangkan alternatif perspektif. Keempat, studi kasus harus menampilkan bukti yang memadai dan secara bijak mendukung atas kasus yang diteliti (Yin 1997).

3.6 Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer didapatkan peneliti dari informan, responden, hasil pengamatan, dan pengukuran di lapangan. Sedangkan data sekunder diperoleh dari dokumen, studi literatur, data statistik, laporan-laporan dari instansi resmi pemerintah (Dinas Kehutanan Kabupaten Solok, Kecamatan Tigo Lurah, Bappeda Kabupaten Solok) dan data pendukung lainnya yang ada di nagari.

Informan adalah subjek yang telah lama tinggal dan aktif di lokasi penelitian serta memiliki pengetahuan dan wawasan terhadap kajian. Informan tersebut


(26)

10

adalah niniak mamak, anggota masyarakat, orang atau tokoh adat maupun tokoh nagari yang berpengaruh ditengah masyarakat.

3.6.1 Wawancara Mendalam (in depth interview)

Wawancara mendalam dilakukan untuk mendapatkan informasi tentang fokus yang kita kaji. Wawancara dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara yang telah disusun. Wawancara dilakukan terhadap informan (panghulu suku, dubalang, wali nagari, ampek jiniah, ketua KAN, atau kepala keluarga) yang telah kita pilih sebelumnya. Materi yang ditanyakan berpedoman pada pertanyaan-pertanyaan pokok mengenai kelembagaan lokal dalam pengelolaan sumber daya hutan, nilai, norma/aturan, struktur sosial yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya hutan. Untuk mendapatkan informan yang tepat digunakan teknik snowball dengan tahapan sebagai berikut, yaitu a) pemilihan informan awal yang terkait dengan fokus penelitian, b) pemilihan informan lanjutan untuk memperluas deskripsi informasi dan melacak variasi informasi yang mungkin ada, dan c) menghentikan pemilihan informan lanjutan apabila dianggap sudah tidak ditemukan lagi variasi informasi.

Untuk mendapatkan data-data yang valid, apabila diperlukan dilakukan wawancara berulang terhadap informan sebagai konfirmasi terhadap data-data yang telah didapatkan sebelumnya.

3.6.2 Wawancara Terstruktur

Wawancara terstruktur dilakukan terhadap responden. Responden adalah warga masyarakat yang berada di nagari dan dipilih secara acak dengan mempertimbangkan keterwakilan individu dari kelompok pimpinan maupun warga. Responden berjumlah 30 (tiga puluh) orang. Pengumpulan data dan informasi dengan menggunakan kuisioner (daftar pertanyaan) terstruktur terhadap responden.

3.6.3 Pengamatan Terlibat

Menurut Sugiyono (2012), pengamatan langsung dilakukan dalam kehidupan masyarakat maupun kondisi di lapangan. Tujuan dari teknik ini dilakukan adalah untuk melakukan cek ulang (cross-check) dan memperoleh gambaran yang lebih mendalam terhadap jawaban dari hasil wawancara ataupun kuisioner. Pengamatan dilakukan terhadap penerapan aturan nagari serta peran dubalang dan panghulu terhadap penegakan aturan nagari dalam pengelolaan hutan. Pengamatan ini dilakukan dengan bantuan dari informan utama yang membantu peneliti dalam berinteraksi dengan masyarakat lokal dan dapat ikut dalam menjalankan aktifitas kehidupan masyarakat sehari-hari.

3.6.4 Pengukuran Lapangan

Pengukuran lapangan dimaksudkan untuk mendapatkan jenis tumbuhan yang terdapat pada masing-masing hutan larangan, hutan simpanan dan hutan olahan. Data hasil kegiatan pengukuran lapangan ini dianalisa dengan menggunakan analisis vegetasi untuk menjelaskan kondisi tegakan hutan, yaitu pohon dan permudaannya (Soerianegara dan Indrawan 1982).

Data mengenai komposisi jenis tumbuhan diperoleh dengan pengambilan contoh. Pengambilan contoh menggunakan cara garis berpetak dengan plot


(27)

pengamatan berbentuk bujursangkar. Pengambilan contoh dibuat berdasarkan prinsip keterwakilan dengan mempertimbangkan akses yang bisa dicapai, ketersediaan dana, kemampuan tenaga dan waktu (penempatan plot dan koordinat jalur analisis vegetasi lihat lampiran 1 dan 2). Petak ukur berbentuk jalur dibuat dengan ukuran lebar 20 m dan panjang 200 m sebanyak 3 jalur pada setiap kategori hutan. Jumlah anak petak ukur pada setiap jalur adalah 10 buah pada setiap tingkat pertumbuhan, sehingga jumlah petak ukur pada setiap kategori hutan adalah 30 buah dengan luas 1.2 ha. Anak petak ukur dibuat bersarang dengan 4 ukuran berdasarkan perbedaan fase pertumbuhan, yaitu :

a. Petak contoh berukuran 20 x 20 m digunakan untuk pengamatan pohon (vegetasi dengan diameter > 20 cm)

b. Petak contoh berukuran 10 x 10 m digunakan untuk pengamatan tiang (vegetasi dengan diameter 10 ─ 20 cm)

c. Petak contoh berukuran 5 x 5 m digunakan untuk pengamatan pancang (vegetasi dengan diameter < 10 cm dan tingginya ≥ 1.5 m)

d. Petak contoh berukuran 2 x 2 m digunakan untuk pengamatan semai (vegetasi dengan tinggi < 1.5 m)

Desain jalur pengamatan disajikan pada gambar berikut ini.

d

2 m 2 m

Panjang jalur 200 m

arah rintis a

20 m

5 m 10 m

5 m

10 m b

c

20 m

Gambar 3.3 Desain jalur pengamatan

3.7 Analisis Data

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis efektifitas kelembagaan dan analisis performansi hutan. Kelembagaan itu terkait dengan nilai-nilai kepercayaan, norma, dan aturan yang berlaku, sehingga kelembagaan adat Nagari Simanau dilihat dari nilai-nilai, norma, dan kepercayaan yang didapat berdasarkan persepsi informan. Norma dikaji dari aspek yang diatur, pemahaman, dan kepatuhan terhadap norma dan aturan itu. Kepemimpinan dideskripsikan berdasarkan pola kekuasaan nagari, peran dan struktur pemimpin adat. Unsur-unsur tersebut dilihat berdasarkan standar emik, menurut pandangan masyarakat maupun secara etik, menurut pandangan peneliti.

Kepatuhan orang lain sekaligus bisa memperlemah atau memperkuat kepatuhan seseorang terhadap aturan, sehingga penting meninjau kepercayaan seseorang bahwa orang lain mematuhi aturan (Suharjito dan Saputro 2008). Efektifitas kelembagaan lokal dalam pengelolaan sumber daya hutan ditentukan berdasarkan kepercayaan, pemahaman, dan kepatuhan masyarakat terhadap aturan


(28)

12

nagari dalam pengelolaan sumber daya hutan. Efektifitas aturan kelembagaan lokal dikatakan tinggi apabila masyarakat tidak pernah atau jarang melanggar aturan-aturan yang telah ditentukan oleh nagari. Sebaliknya, efektifitas kelembagaan lokal dikatakan rendah apabila masyarakat pernah dan sering melanggar aturan-aturan dalam pengelolaan sumber daya hutan yang telah ditentukan oleh nagari.

Tingkat kepercayaan diukur dengan proporsi responden yang masuk kategori percaya, ragu-ragu, dan tidak percaya terhadap aturan nagari dalam pengelolaan sumber daya hutan (lihat Tabel 3.2). Tingkat pemahaman terhadap aturan diukur dengan proporsi responden yang masuk kategori paham, cukup paham, dan tidak paham terhadap aturan nagari dalam pengelolaan sumber daya hutan (lihat Tabel 3.3). Tingkat pelanggaran terhadap aturan diukur dengan proporsi responden yang masuk kategori sering, jarang, dan tidak pernah melanggar aturan nagari dalam pengelolaan sumber daya hutan (lihat Tabel 3.4).

Tabel 3.2 Tingkat kepercayaan responden

Jumlah % Jumlah % Jumlah % 1 Hutan beranfaat bagi masyarakat

2 Peraturan tertulis 3 Peraturan tidak tertulis

4 Kemampuan dan kepatuhan masyarakat menjaga kelestarian hutan

5 Masyarakat mampu bekerjasama 6 Hubungan sosial masyarakat dapat

mempermudah pekerjaan

7 Masyarakat bersedia meningkatkan hubungan sosial

Tidak Percaya Ragu-ragu Percaya No Kepercayaan responden terhadap

Tabel 3.3 Tingkat pemahaman terhadap aturan nagari dalam pengelolaan sumber daya hutan

Tingkat pemahaman (%) Tidak paham Cukup paham Paham Responden di Nagari

Simanau

Tabel 3.4 Tingkat pelanggaran terhadap aturan nagari dalam pengelolaan sumber daya hutan

Informan di nagari Simanau Tingkat pelanggaran (%) Sering Jarang Tidak pernah Pelanggaran oleh responden sendiri

Pandangan responden terhadap pelanggaran oleh anggota masyarakat yang lain


(29)

Analisis performansi hutan dilakukan untuk mengetahui jenis tumbuhan yang terdapat pada masing-masing pola pengelolaan hutan dan untuk mengetahui implikasi kelembagaan lokal dalam mengatur pengelolaan sumber daya hutan nagari yang berbeda-beda. Identifikasi dan komposisi jenis tumbuhan menggunakan analisis vegetasi menurut Soerianegara dan Indrawan (1982). Analisis dilakukan dengan menghitung kerapatan tumbuhan (individu per hektar) pada tingkat pertumbuhan semai, pancang, tiang, dan pohon pada hutan larangan, hutan simpanan, dan hutan olahan. Jumlah kerapatan tumbuhan (individu per hektar) pada setiap tingkatan tersebut untuk menduga kecukupan jumlah tumbuhan atau kerapatan tumbuhan. Kemudian yang dianalisis adalah volume per pohon dan volume per kelas diameter pada tingkat pohon. Beberapa rumus yang digunakan dalam perhitungan analisis vegetasi adalah sebagai berikut :

a. Kerapatan suatu jenis (K)

∑ individu suatu jenis K =

luas petak contoh b. Kerapatan relatif suatu jenis (KR)

K suatu jenis

KR = x 100% K seluruh jenis

c. Frekuensi suatu jenis (F)

∑ Sub - petak ditemukan suatu jenis F =

∑ Seluruh sub - petak contoh d. Frekuensi relatif suatu jenis (FR)

F suatu jenis

FR = x 100% F seluruh jenis

e. Dominansi suatu jenis (D)

Luas bidang dasar suatu jenis D =

Luas petak contoh f. Dominansi relatif suatu jenis (DR)

D suatu jenis

DR = x 100% D seluruh jenis

g. Indeks Nilai Penting (INP) INP = KR + FR + DR (tiang dan pohon) INP = KR + FR (pancang dan semai) h. Volume, V = ¼ � D². T . f

Keanekaragaman spesies dapat digunakan untuk mengukur stabilitas komunitas, yaitu kemampuan suatu komunitas untuk menjaga dirinya tetap stabil meskipun ada gangguan terhadap komponen-komponennya (Soegianto 1994;Indriyanto 2005). Suatu komunitas dikatakan memiliki keanekaragaman spesies yang tinggi jika komunitas itu disusun oleh banyak spesies. Sebaliknya suatu komunitas dikatakan memiliki keanekaragaman spesies yang rendah jika komunitas itu disusun oleh sedikit spesies. Keanekaragaman jenis ditentukan dengan menggunakan rumus Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener :


(30)

14

dimana :

H’= Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener ni = Jumlah individu jenis ke-n

N = Total jumlah individu

Nilai H’<2 menunjukkan keanekaragaman jenis rendah, nilai H’=2–3 menunjukkan keanekaragaman jenis sedang dan nilai H>3 menunjukkan keanekaragaman tinggi.

Performansi hutan dideskripsikan berdasarkan jumlah jenis, kerapatan, INP, Indeks Keanekaragaman Jenis (H’) dan volume pohon per kelas diameter pada masing-masing pengelolaan (hutan olahan, simpanan, dan larangan).

4

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Letak dan Kondisi Fisik Nagari Simanau

Secara administratif Nagari Simanau terletak pada Kecamatan Tigo Lurah, Kabupaten Solok. Nagari Simanau terdiri dari 3 (tiga) Jorong, yaitu : Jorong Tanjuang Manjulai, Jorong Parik Batu dan Jorong Karang Putiah. Batas Nagari Simanau adalah di sebelah utara berbatasan dengan Nagari Supayang dan Nagari Air Luo. Di sebelah timur berbatasan Nagari Tanjuang Balik Simiso. Di sebelah selatan berbatasan dengan Nagari Rangkiang Luluih, dan sebelah barat dengan Nagari Sungai Nanam dan Nagari Sirukam.

Nagari Simanau terletak pada jalur pegunungan bukit barisan, dengan topografi berbukit, bergelombang dan curam. Luas keseluruhan wilayah nagari adalah 47 km², dengan ketinggian daerah 900─1 000 meter dari permukaan laut.

Secara geografis Nagari Simanau berada pada hamparan lembah yang dikelilingi perbukitan yang secara ekologis berupa hutan. Nagari Simanau memiliki sungai-sungai kecil yang barasal dari anak-anak air yang berada disekeliling perbukitan. Sungai-sungai tersebut adalah Batang Simanau, Batang Kapujan dan Batang Kipek. Muara dari sungai-sungai tersebut adalah Batang Palangki.

Simanau sendiri sering disebut sebagai pintu gerbang bagi nagari-nagari sekitarnya yang termasuk dalam Kecamatan Tigo Lurah karena sebelum menuju nagari-nagari lainnya harus melalui Nagari Simanau terlebih dahulu. Jarak Nagari Simanau dengan nagari lainnya adalah 10 km ke Rangkiang Luluih, 15 km ke Batu Bajanjang, 25 km ke Simiso, dan 40 km ke Garabak.

4.2 Tata Guna Lahan

Tata guna lahan di Nagari Simanau dapat dibedakan menjadi beberapa bagian, yaitu lahan untuk pemukiman 43 ha, persawahan 157 ha, perkebunan 410 ha, hutan 4 076 ha dan penggunaan lainnya 14 ha. Bentuk dan luas penggunaan lahan pada Nagari Simanau dapat dilihat pada Tabel 4.1.


(31)

Tabel 4.1 Tata guna lahan Nagari Simanau

No. Penggunaan Lahan Luas (ha) Persentase (%)

1 Pemukiman 43 0.91

2 Persawahan 157 3.34

3 Perkebunan 410 8.72

4 Hutan 4076 86.72

5 Penggunaan Lain 14 0.30

Sumber : Diolah dari Profil Nagari Simanau Tahun 2012

Tabel 4.1 menunjukkan bahwa dari 4 700 ha luas Nagari Simanau 4 076 ha atau 86.72% diantaranya masih berbentuk hutan. Status hutan tersebut terdiri dari hutan lindung, hutan produksi terbatas, dan areal penggunaan lain. Jika dibandingkan dengan jumlah rumah tangga pada Nagari Simanau yaitu 372 KK, maka rata-rata setiap kepala keluarga memiliki lahan untuk bercocok tanam sebesar 1─2 ha. Penggunaan lahan oleh masyarakat Nagari Simanau disesuaikan dengan kondisi fisik wilayah lahan, yaitu berdasarkan asas kepatutan seperti dataran yang bisa dialiri air dijadikan sawah, lereng dijadikan ladang atau kebun.

4.3 Nagari dan Sejarah Nagari Simanau

Menurut Arifin et al.(2008), nagari merupakan suatu kesatuan masyarakat adat tertinggi di Minangkabau. Nagari memiliki pemerintahanan adat dengan batas-batas tertentu, punya harta kekayaan nagari, penguasa adat dan anggota masyarakat adat. Nagari memiliki aturan adat tersendiri dalam mengatur kehidupan masyarakatnya. Dari wawancara dengan Bapak Thamrin Datuak Rajo Sampono dan Bapak Syahril pada tanggal 29 September 2014 dinyatakan bahwa;

Nagari itu punya pemerintahan sendiri, yang mengatur kehidupan masyarakatnya. Suatu nagari harus memiliki sawah dan ladang sebagai sumber ekonomi bagi masyarakat, punya rumah dan pemukiman mayarakat, punya balai-balai untuk kegiatan sosial, punya mesjid atau surau sebagai tempat beribadah, punya tapian (tempat pemandian), serta punya gelanggang sebagai sarana hiburan dan tanah pandam

pakuburan”.

Sejarah kenagarian Simanau merupakan hasil penuturan dari para niniak yang kemudian diceritakan dan diterima secara turun temurun ke generasi berikutnya. Berdasarkan penuturan dari Bapak Thamrin Datuak Rajo Sampono tanggal 29 September 2014;

“asal usul Nagari Simanau diawali dengan kedatangan beberapa orang niniak dari bukit Siguntang-guntang (sekarang letaknya kira-kira diantara Palembang dan Jambi), diantaranya Niak Patiah Bagindo Patiah bersama 48 orang pengikutnya. Rombongan tersebut menetap di Muaro Siuk yang terletak di sekitar Batang Palangki. Karena jumlah penduduk semakin bertambah, maka sebagian dari


(32)

16

Mukhlis (2000) menyatakan bahwa karena jumlah penduduk semakin banyak, maka dicarilah pemukiman baru yakni empat buah taratak yaitu : 1. Taratak Mundan; 2. Taratak Tabulango; 3. Taratak Pakano; dan 4. Taratak Air Hitam. Karena jumlah penduduk yang semakin berkembang, tidak memungkinkan lagi untuk tinggal di taratak-taratak tersebut, maka sebagian dari mereka pergi mencari pemukiman baru. Penduduk dari dua taratak yakni Taratak Mundan dan Taratak Tabulango menelusuri sungai-sungai kecil yaitu: Batang Kipek, Batang Kayu Lawang, dan Batang Pulau Tanjung Balik Sumiso. Sungai-sungai yang dilalui ini dinamakan Lurah Nan Tigo. Setelah menelusuri sungai-sungai tersebut niniak-niniak mencari pemukiman yang baik dan subur untuk dijadikan nagari masing-masing.

Didalam buku monografi dan sejarah kenagarian Simanau diceritakan bahwa ada pertemuaan atau permufakatan masyarakat Lurah Nan Tigo yang bertempat di Lunjuang Balai Tinggi Kayu Lawang. Pertemuan itu menghasilkan kesepakatan antara mereka bahwa setiap permukiman harus memiliki pimpinan yang dikenal dengan sebutan datuak nan 3 X 9 yaitu :

1) Simanau Air Abang, yang terdiri dari 4 orang datuk di Simanau yang berasal dari suku Melayu, Caniago, Tanjung, dan Kutianyir ditambah dengan 5 orang datuk di Air Abang dari suku Melayu, Caniago, Kutianyir, Panai, dan Tanjung. Dikenal dengan Datuak Nan 9 Di Mudiak.

2) Kipek, yang terdiri dari 4 datuk dari 4 suku yang terdapat di Kipek ditambah dengan 5 orang datuk dari 5 suku yang terdapat di Kayu Lawang. Dikenal dengan Datuak Nan 9 Kipek Kayu Lawang.

3) Andaleh Tanjung Balik, yang terdiri dari 4 orang datuk dari 4 suku yang terdapat di Andaleh ditambah dengan 5 orang datuk yang berasal dari 5 suku yang terdapat di Tanjung Balik. Dikenal dengan Datuak Nan 9 Andaleh Tanjung Balik.

Niniak yang mula-mula pergi mencari pemukiman baru ke Simanau bernama Niak Rajo Pandak yang membuat taratak di Bukit Gobak yang dinamakan Taratak di Aur dan tempat tinggal beliau di Parik Batu karena disekililing tempat itu seolah-olah dipagari dengan batu. Makanya sebelum bernama Simanau, awalnya tempat ini disebut Parik Batu. Nama Simanau mulai digunakan karena banyak ditemukan manau di sepanjang pinggir sungai oleh niniak-niniak. Lama kelamaan karena kesulitan dalam pengucapan, sungai Manau berobah penyebutannya menjadi Simanau (Mukhlis 2000).

Setelah Niak Rajo membuat taratak di Bukit Gobak, menyusul pulalah kaum-kaum datuak ke Simanau dan membuat taratak-taratak untuk permukiman. Taratak-taratak tersebut adalah Taratak di Aur, Taratak Tanjung Manjulai, Taratak Sungai Galanggang, dan Taratak Katilawarangan. Karena kaum-kaum di taratak tersebut semakin berkembang maka terbentuklah dusun yang kemudian menjadi koto, koto selanjutnya menjadi nagari. Di sini telah terbentuk suku dan penghulu dari masing-masing suku yang ada, yaitu penghulu suku Melayu, penghulu suku Caniago, penghulu suku Tanjung, dan penghulu suku Kutianyir. Karena telah membentuk suku-suku dan mendirikan penghulu maka berdirilah Nagari Simanau Sungai Abang. Selanjutnya sebagian besar kekuasaan yang sebelumnya berada ditangan Rajo Panghulu, diserahkan kepada penghulu-penghulu suku, sehingga kekuasaan Rajo Penghulu berkurang. Peristiwa Ini disebut dengan rabah pitonggo (Mukhlis 2000).


(33)

Perkembangan berikutnya dari Datuak Nan 9 Di Mudiak (Simanau Air Abang), sebagiannya sudah samparono habis. Sehingga, suku-suku yang masih berkembang di Nagari Simanau tinggal 6 suku yaitu : suku Melayu, suku Caniago, suku Panai, suku Melayu Air Abang, Suku Caniago Lasi, dan suku Kutianyia. Salah satu suku yang samporono habis adalah suku Tanjung. Karena itu Suku Tanjung yang sekarang ada di Simanau tidak lagi merupakan suku asli Simanau. Akibat dari punahnya suku Tanjuang Simanau, maka hak ulayat suku tersebut menjadi hak ulayat nagari.

Pada zaman Belanda, Simanau sudah berdiri sendiri menjadi wilayah nagari, berdasarkan catatan Staat Bland Van Nederland Seche Indie tahun 1863. Sampai tahun 1930 sudah ada 10 Kepala Nagari Simanau yang saat itu disebut dengan Nagari Air Abang Simanau, dengan masa jabatan bervariasi, tergantung pada Pemerintah Belanda. Bila Belanda sudah tidak suka kepada kepala nagari maka Belanda dapat menggantinya setiap saat. Pada zaman Belanda ini kepala nagari dibantu oleh seorang juru tulis. Sementara kepala nagari juga merupakan seorang Penghulu Kepala. Penghulu kepala dipilih oleh 4 jinih yang diistimewakan dengan tidak perlu membayar Blastem (pajak). Tujuannya agar orang-orang 4 jinih mau mendukung kebijakan-kebijakan Belanda. Syarat pemilihan kepala nagari saat itu adalah mampu memungut pajak dan baca tulis huruf latin. Karena pada tahun 1930-an tidak ada calon kepala nagari yang mampu, maka untuk sementara Kepala Nagari Rangkiang Luluih merangkap menjadi Kepala Nagari Simanau, dengan seorang juru tulis di Simanau yang bernama Alif. Setelah Alif meninggal, tidak ada lagi juru tulis yang menggantikannya. Sehingga Pemerintah Belanda menggabungkan Rangkiang Luluih dengan Nagari Simanau (Mukhlis 2000).

Tahun 1949 sampai dengan tahun 1951 nagari dipimpin oleh Wali Perang, dan dalam tahun-tahun ini lahirlah MTKAM (Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau), yang kemudian membentuk tentara Hulubalang untuk menyerang Belanda pada masa agresi Belanda. Pada tahun 1961 pimpinan nagari berubah menjadi kepala nagari yang digunakan sampai tahun 1983. Mulai tahun 1983 tersebut yang memimpin nagari dirubah lagi menjadi kepala desa, seiring dengan diberlakukannya Undang Undang Pemerintahan Desa. Pada tahun itu juga lahir Lembaga Kerapatan Adat Nagari. Nagari Simanau akhirnya kembali terbentuk secara resmi pada tanggal 2 Oktober 2002 sebagai nagari termuda di Kabupaten Solok (Mukhlis 2000).

4.4 Sistem Kekerabatan

Sama dengan nagari lain di Sumatera Barat, sistem kekerabatan di Nagari Simanau dibangun oleh perkawinan dan keturunan menurut garis keturunan ibu atau matrilineal. Sistem matrilineal merupakan dasar susunan kekeluargaan, norma perkawinan dan mekanisme pewarisan. Semua aturan dan mekanisme yang berlangsung dalam masyarakat diatur dan ditetapkan berdasarkan sistem kekerabatan menurut garis keturunan matrilineal tersebut.

Keberadaan suku sangat penting di Nagari Simanau dan tidak dapat dipisahkan dalam susunan masyarakat. Tiap suku dipimpin oleh panghulu, yang di angkat dan ditunjuk untuk menjadi pemimpin suku, dan memegang kekuasaan


(34)

18

atas ulayat. Arifin et al. (2008) menyatakan bahwa peran dan fungsi penghulu sangat besar dalam kehidupan masyarakat. Suku terdiri dari beberapa kaum yang dipimpin kepala kaum yang disebut dengan Tungganai yaitu laki-laki yang dipilih secara musyawarah oleh anggota kaumnya. Kaum terdiri dari beberapa paruik, anggota paruik merupakan susunan anggota keluarga yang berasal dari satu garis keturunan ibu. Paruik itu terdiri dari mamak (kaum laki-laki) sebagai kepala keluarga, sedangkan anggotanya adalah kesatuan dari paruik tersebut (anak perempauan dan anak laki-laki saudara perempuan, saudara perempuan dan saudara laki-laki sampai seterusnya ke bawah dari nenek dan seterusnya keatas).

Dalam sistem matrilineal pewarisan hutan ulayatpun diberlakukan menurut garis keturunan ibu, hal tersebut menunjukkan bukti lain dari aspek manfaat sosial dari hutan. Hutan yang dikuasai oleh masyarakat secara komunal juga dipandang sebagai pengikat dan media untuk mempertahankan ikatan kekerabatan. Sehingga bagi masyarakat Nagari Simanau, hutan merupakan bagian ulayat yang dapat mengikat hubungan sosial masyarakat. Penguasaan komunal tersebut membentuk ikatan kekerabatan dalam penguasaan ulayat, baik dalam suatu paruik, kaum, suku, dan nagari.

Hak ulayat merupakan kepemilikan tertinggi masyarakat terhadap sumber daya alamnya baik itu tanah, hutan dan air. Ulayat adalah hak dan kewenangan masyarakat adat yang diwariskan ke generasi berikutnya sesuai dengan garis keturunan ibu. Meskipun penguasaan dan pengelolaan hutan adat berada pada panghulu dan ninik mamak, namun kepemilikan secara adat tetap diwariskan kepada perempuan (Muchtar 2011). Sistem matrilineal ini secara tidak langsung memberikan perlindungan dan jaminan terhadap perempuan. Sistem pewarisan ini juga menjadi jaminan bahwa hak waris seseorang, walaupun mereka tinggal pada nagari yang berbeda ataupun menetap di perantauan.

4.4 Struktur Kelembagaan Lokal Masyarakat

Di Nagari Simanau terdapat 5 suku, yaitu : suku Melayu, Caniago, Caniago Lasi, Panai, dan Melayu Aie Abang. Setiap suku mempunyai seorang panghulu andiko. Seorang panghulu andiko mempunyai gelar adat tertentu, dan berwenang bertindak mewakili sukunya. Panghulu andiko tidak mempunyai kewenangan langsung untuk mengurus anggota sukunya karena kewenangannya didelegasikan kepada ninik mamak kaum yaitu unsur 4 jinih. Struktur kelembagaan masyarakat adat di Nagari Simanau ditampilkan pada Gambar 4.1

Mukhlis (2000) menyatakan bahwa pada jaman dahulu di dalam struktur adat Nagari Simanau, Rajo Panghulu hanyalah bersifat simbolis. Pada awalnya Rajo Panghulu adalah pemimpin adat pada saat pembukaan hutan (manaruko) yang akan dijadikan sebagai ladang atau pemukiman. Sesuai perkembangan masyarakat selanjutnya terjadi pergeseran peranan kepemimpinan adat kepada panghulu-panghulu andiko yang ada di nagari saat tagak panghulu (terbentuknya penghulu). Wadah perkumpulan penghulu-penghulu yang ada di nagari adalah Kerapatan Adat Nagari (KAN) yang dipimpin oleh seorang Ketua KAN. Ketua KAN merupakan panghulu yang ditunjuk oleh kumpulan panghulu yang ada di nagari. Peran ketua KAN sangat kuat terutama dalam merumuskan, mengajarkan, dan menegakkan aturan-aturan nagari dalam kehidupan sehari-hari termasuk


(35)

dalam hal pengelolaan sumber daya hutan, bersama dengan para panghulu lainnya, baik pada tingkatan kaum maupun suku dan nagari.

Panghulu Andiko Panghulu Andiko Panghulu Andiko Panghulu Andiko Panghulu Andiko

Gambar 4.1 Struktur kelembagaan adat Nagari Simanau

Struktur KAN di Simanau terdiri dari seorang ketua dan 19 orang anggota. Anggota KAN tersebut terdiri dari 5 orang panghulu andiko, dan 14 orang lainnya berasal dari unsur 4 jinih yang terdiri dari (1) manti, merupakan seseorang yang berfungsi sebagai pembantu panghulu dalam bidang pemerintahan adat, melaksanakan dan mengawasi orang atau keluarga dalam suku terhadap pelaksanaan adat dalam kehidupan sehari-hari. (2) dubalang merupakan orang yang membantu panghulu dalam bidang keamanan, baik dalam urusan kaum, suku ataupun nagari, atau bisa disamakan dengan polisinya nagari, pengawas dan penegak aturan adat di nagari, (3) pandito seorang alim ulama yang ditunjuk sebagai pemimpin agama dan mengurus segala hal yang berkaitan dengan keagamaan, serta (4) panghulu andiko panghulu suku itu sendiri. Sebenarnya 4 jinih ini punya kedudukan setara, tetapi panghulu andiko ditunjuk sebagai koordinator dilingkup suku.

Secara formal pemerintahan nagari berada di bawah Kecamatan Tigo Lurah, Kabupaten Solok. Nagari Simanau terdiri dari 3 (tiga) jorong yaitu Jorong Parik Batu, Jorong Tanjuang Manjulai, dan Jorong Karang Putiah. Nagari Simanau dipimpin oleh seorang Wali Nagari. Wali Nagari dipilih secara demokratis oleh masyarakat. Sedangkan jorong dipimpin oleh Kepala Jorong yang dipilih oleh Wali Nagari.

Suku Melayu

Suku Panai Ketua KAN

Anggota KAN panghulu andiko, dubalang, manti dan

pandito 4 jiniah

Suku Caniago

Suku Caniago Lasi

Suku Melayu AiaAbang

kaum

kaum kaum


(36)

20

Gambar 4.2 Struktur pemerintahan Nagari Simanau

Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Iskandar (Sekeretaris Nagari) tanggal 18 Oktober 2014 proses pemilihan Wali Nagari sebagai berikut:

“untuk menjadi Wali Nagari harus melalui beberapa tahapan seperti

berikut ini : bakal calon diusulkan masyarakat kepada KAN, kemudian bakal calon Wali Nagari tersebut akan diverifikasi kelayakannya oleh KAN, KAN akan mengeluarkan rekomendasi bakal calon yang lolos kepada panitia pemilihan Wali Nagari. Selanjutnya panitia akan menyusun jadwal pemilihan berikut tahapan pemilihan (misalnya penyampaian visi dan misi calon di depan KAN dan panitia pemilihan, masa tenang sampai dengan pencoblosan, penghitungan suara, dan penentuan pemenang). Setelah didapatkan pemenang pemilihan Wali Nagari yang dipilih secara demokratis oleh masyarakat nagari, maka calon terpilih akan diusulkan kepada Bupati Kabupaten Solok dan akhirnya ditetapkan dengan Surat Keputusan Bupati Kabupaten Solok”.

Berdasarkan struktur pemerintahan Nagari Simanau pada Gambar 4.2 terlihat bahwa Wali Nagari sebagai pemimpin Nagari Simanau, dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahannya dibantu oleh seorang Sekretaris Nagari, 3 (tiga) orang pada seksi Pemerintahan; seksi Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan; dan Seksi Kesejahteraan Rakyat, Sosial & Budaya, serta 3 (tiga) orang Kepala Jorong yang masing-masing bertanggungjawab terhadap kelancaran pemerintahan jorong yang dipimpinnya. Mereka dipilih dan diangkat oleh Wali Nagari. Disamping itu, Wali Nagari juga memiliki hubungan koordinasi dengan BMN (Badan Musyawarah Nagari). Anggota BMN terdiri dari unsur KAN, pemuda, wanita dan perwakilan tiap suku. BMN merupakan badan legislatif nagari yang memiliki wewenang untuk ikut menyusun peraturan nagari (Perna) bersama dengan Wali Nagari, memberikan saran dan masukan kepada Wali Nagari, serta ikut melakukan evaluasi bersama terhadap program dan kegiatan pemerintahan yang akan dan telah dijalankan.

Jadi Wali Nagari secara administratif merupakan orang yang menjalankan pemerintahan nagari, serta berfungsi sebagai penghubung antara kepentingan

Wali Nagari

Seksi Kesejahteraan Rakyat, Sosial &

Budaya

Kepala Jorong Tanjuang Manjulai Kepala Jorong

Karang Putiah Kepala Jorong

Parik Batu Seksi Ekonomi,

Keuangan dan Pembangunan Seksi

Pemerintahan

Sekretaris Nagari


(37)

nagari dengan pemerintahan kecamatan maupun kabupaten. Apapun kegiatan dan program pembangunan yang akan dilakukan di nagari harus sepengetahuan pemerintahan nagari dan masyarakat. Dalam pelaksanaan tugasnya Wali Nagari harus bisa menjalin kerjasama yang baik dengan KAN sebagai lembaga masyarakat adat yang diakui dan memiliki pengaruh yang kuat ditengah masyarakat beserta aturan-aturan adat yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari.

4.5 Sarana dan Prasarana Pendidikan di nagari Simanau

Sarana dan Prasarana Pendidikan yang terdapat di Nagari Simanau adalah 3 buah PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), 2 buah Sekolah Dasar dan satu buah Sekolah Menengah Pertama/sederajat. Di Nagari Simanau juga terdapat lembaga pendidikan agama (mengaji) yang sifatnya non-formal sebanyak 6 buah.

4.6 Penduduk dan Mata Pencaharian

Berdasarkan data statistik nagari tahun 2012, tercatat jumlah penduduk Nagari Simanau adalah 1 345 orang, yang terdiri dari 669 orang laki-laki dan 676 orang perempuan. Dengan jumlah kepala keluarga 372 KK, maka setiap rumah tangga rata-rata terdiri dari 3─4 orang. Jika dibandingkan dengan luas kenagarian Simanau yang 47 km² maka kepadatan penduduk Nagari Simanau adalah 28 orang per km². Penduduk Nagari Simanau bersifat homogen, hampir seluruhnya beretnis Minangkabau yang terdiri atas 5 suku yaitu suku Melayu, Caniago, Panai, Melayu Aie Abang dan Caniago Lasi. Seluruh penduduk Nagari Simanau (100%) beragama Islam. Komposisi penduduk Nagari Simanau menurut umur dapat dilihat pada Tabel 4.2

Tabel 4.2 Komposisi penduduk Nagari Simanau menurut umur

No Kelompok Umur Jumlah (orang) Persentase (%)

1 0─15 454 33.75

2 16─29 289 21.49

3 30─49 361 26.84

4 50─64 170 12.64

5 65─74 56 4.16

6 ≥ 75 15 1,11

Sumber : Diolah dari profil Nagari Simanau tahun 2012

Komposisi penduduk Nagari Simanau menurut umur termasuk penduduk muda. Penduduk yang berusia dibawah 29 tahun berjumlah 743 orang (55.24%), sedangkan yang berusia diatas 65 tahun adalah 71 orang (5.28%). Penduduk yang termasuk tenaga kerja yang berumur antara 16─64 tahun sebesar 820 orang


(38)

22

(60.97%), sedangkan yang termasuk kategori bukan tenaga kerja 0─15 tahun sebesar 454 orang (33.75%).

Berdasarkan jenis mata pencahariannya, mayoritas penduduk Nagari Simanau (85.24%) bermata pencaharian sebagai petani. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Nagari Simanau merupakan masyarakat agraris yaitu bertani di sawah, ladang dan kebun serta menjadi buruh tani. Menanam padi di sawah merupakan pekerjaan utama, hasilnya dipergunakan untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi keluarga dan sebagian disimpan sebagai cadangan bahan makanan, kalau masih berlebih biasanya dijual kepada pedagang maupun di pasar nagari dan pasar kecamatan. Selain memiliki sawah sebagian masyarakat Simanau mendapatkan penghasilan tambahan dari beternak (sapi, kerbau, kambing, ayam, dan itik) sebanyak 2.95% dan hasil perkebunan terutama kopi, karet, coklat, cengkeh, dan kulit manis. Mata pencaharian masyarakat Nagari Simanau lainnya adalah sebagai buruh (7.20%), Pegawai Negeri Sipil (2.36%), dan pekerjaan lainnya (2.24%). Komposisi penduduk berdasarkan mata pencahariannya disajikan pada Tabel 4.3

Tabel 4.3 Komposisi penduduk Nagari Simanau berdasarkan mata pencaharian

No Jenis Pekerjaan Jumlah (orang) Persentase (%)

1 Petani 722 85.24

2 Peternak 25 2.95

3 Buruh 61 7.20

4 PNS 20 2.36

5 Lain-lain 19 2.24

Jumlah 847 100

Sumber: Diolah dari Profil Nagari Simanau Tahun 2012

4.7 Aksesibilitas

Untuk mengunjungi Nagari Simanau dapat menggunakan jasa ojek motor atau mobil angkutan sewa pribadi. Tidak ada mobil bus maupun mobil angkutan umum resmi yang melayani jalur tersebut. Simanau sendiri sering disebut sebagai pintu gerbang bagi nagari-nagari sekitarnya karena jalan yang melalui Nagari Simanau tersebut merupakan jalan utama sebelum masuk ke nagari-nagari lainnya yang termasuk dalam Kecamatan Tigo Lurah. Terdapat jalan penghubung dari Nagari Sirukam ke Simanau sepanjang 32 Km, tetapi 24 Km diantaranya rusak berat. Jarak antara Nagari Simanau dari Ibukota Kabupaten Solok adalah 80 Km. Kemudian berturut-turut Jarak Nagari Simanau dengan nagari lainnya adalah, 10 Km ke Rangkiang Luluih, 15 Km ke Ibukota kecamatan Batu Bajanjang, 25 Km ke Simiso, dan 40 Km ke Garabak. Jalan menuju Nagari Simanau sebagian besar dalam kondisi rusak berat sehingga sangat menyulitkan kelancaran transportasi di nagari tersebut.


(1)

21 Parkia speciosa Mimosaceae Patai

22 Phoebe declinata Lauraceae Madang Landia

23 Pithecelobium jiringa Mimosaceae Jengkol 24 Strombosia javanica Olacaceae Kacang 25 Swietenia macrophylla Meliaceae Mahoni 26 Syzygium aromaticum Myrtaceae Cengkeh

27 Toona surenii Meliaceae Surian

28 Trema orientalis Ulmaceae Kopi Rimbo

29 Wendlandia glabrata Rubiaceae Puding 30 Xanthophyllum scortechinii Polygalaceae Rabuang

Lampiran 8 Nama jenis tumbuhan pada hutan simpanan

No Jenis Vegetasi Famili Nama Lokal

1 Actinodophne maingayi Lauraceae Madang Situngkek

2 Adenanthera sp Mimosaceae Sago

3 Adinandra polyneura Theaceae Gundiak

4 Adinandra sp Theaceae Kalek situkah

5 Adinandra subariculata Theaceae Madang Tanah 6 Aleurites moluccana Euphorbiaceae Kemiri

7 Alseodaphne Lauraceae Madang Kunyik

8 Alseodaphne macrocarpa Lauraceae Madang galundi 9 Alstonia glaucescens Apocynaceae Pulai pipik 10 Altingia excels Hamamelidaceae Sigadunduang 11 Aporosa aurita Euphorbiaceae Silimau-limau 12 Artocarpus integer Moraceae Cubadak Hutan

13 Artocarpus spp Moraceae Cubadak

14 Artocarpus spp Moraceae Cubadak Mancik

15 Bischofia javanica Euphorbiaceae Kalek uba 16 Blumeodendron sp Guttiferae Saok-saok Lukah 17 Calophyllum molle Guttiferae Bintangua 18 Carallia brachiata Rhizoporaceae Inggiran 19 Cassia siamea Caesalpiniaceae Jua Rimbo 20 Castanopsis acuminatissima Fagaceae Asam Kumbang

21 Castanopsis sp Fagaceae Sibaranak


(2)

49

Lampiran 8 (lanjutan)

No Jenis Vegetasi Famili Nama Lokal

23 Choriophyllum malayanum Euphorbiaceae Kalek Licin 24 Cinnamomum sintok Lauraceae Madang Lawang 25 Cinnnamomum subavenium Lauraceae Madang Kulik Manih 26 Coelostegia griffithii Bombacaceae Kadunduang Ampo 27 Cratoxylon formosum Guttiferae Suluang-suluang 28 Cratoxylon ligustrinum Guttiferae Silalak Kulik

29 Cratoxylon sp Guttiferae Batasan

30 Cratoxylon sp Guttiferae Damang

31 Cryptocarya zollingeriana Lauraceae Inango 32 Dacryodes costata Burseraceae Kayu Ciliang 33 Dialium platysepalum Caesalpiniaceae Kalek

34 Dipterocarpus gracilis Dipterocarpaceae Kasai Siamang 35 Dipterocarpus gracilis Dipterocarpaceae Lilipan

36 Dysoxylum Meliaceae Bangkirai

37 Elaeocarpus obtusus Tiliaceae Madang Susun 38 Endospermum sp Euphorbiaceae Madang Galang 39 Engelhardia spicata Styraxaceae Talanan 40 Eugenia cymosa Myrtaceae Kalek Kandi 41 Eugenia longiflora Rhizoporaceae Kalek Sakam 42 Eugenia rugosa Myrtaceae Kalek Baringin

43 Eugenia spp Myrtaceae Jambu lawah

44 Eugenia spp Myrtaceae Kalek Udang

45 Ficus variegata Moraceae Kayu Aro

46 Gironniera nervosa Ulmaceae Tapih

47 Gluta renghas Anacardiaceae Rangeh Kuniang 48 Gymnacranthera eugeniifolia Myristicaceae Mandarahan 49 Hopea sp Dipterocarpaceae Madang sudu-sudu 50 Horsfieldia irya Myristicaceae Madang Mantai 51 Ixonanthes petiolaris Linaceae Sitinjau Lauik

52 Lindera sp Lauraceae Silado-lado

53 Litsea odorifera Lauraceae Madang Piraweh

54 Litsea sp Lauraceae Madang Gajah

55 Litsea spp Lauraceae Madang pandan

56 Litsea spp Lauraceae Madang talua

57 Matrixia trichotoma Cornaceae Kundua 58 Memecylon costatum Melastomataceae Daliak

59 Neolitsea cassiifolia Lauraceae Madang kubang 60 Norrisia malaccensis Loganiaceae Sibareh-bareh 61 Palaquium gutta Sapotaceae Kalek Timah 62 Parinari sumatrana Rosaceae Madang Kangkuang


(3)

63 Parkia speciosa Mimosaceae Patai

64 Phoebe declinata Lauraceae Madang Landia 65 Podocarpus blumei Podocarpaceae Kalek Kareseang 66 Ptychopyxis sp Euphorbiaceae Tungau-tungau 67 Pygeum parviflorum Rosaceae Madang Kapindiang 68 Quercus bennettii Fagaceae Paniang-Paniang

69 Quercus oidocarpa Fagaceae Paniang-paniang Tambika 70 Quercus spicata Fagaceae Paniang-paniang Aia 71 Quercus spp Fagaceae Paniang-Paniang Barangan

72 Quercus spp Fagaceae

Paniang-paniang kalikih kanji

73 Quercus turbinate Fagaceae Sirantau Tuo 74 Radermachera gigantean Bignoniaceae Kayu Tui

75 Randia sp Rubiase Tampa-tampa Basi

76 Santiria laevigata Burseraceae Madang Sangkiah 77 Santiria oblongifolia Burseraceae Kadunduang Masam

78 Santiria sp Burseraceae Lalan

79 Schima wallichii Theaceae Tamasu

80 Serialbizzia splendens Mimosaceae Tanggunan 81 Shorea bracteolata Dipterocarpaceae Bangka Udang 82 Shorea gibbosa Dipterocarpaceae Rangguang Tupai 83 Shorea leprosula Dipterocarpaceae Maranti Samuik 84 Shorea ovate Dipterocarpaceae Mandiraon 85 Sloetia elongenata Moraceae Kayu Basi 86 Strombosia javanica Olacaceae Kacang 87 Sycopsis dunnii Hamamelidaceae Jirak 88 Trema orientalis Ulmaceae Kopi Rimbo 89 Turpinia sphaerocarpa Staphyleaceae Sibasah

Lampiran 9 Nama jenis tumbuhan pada hutan larangan

No Jenis Vegetasi Famili Nama Lokal

1 Actinodophne maingayi Lauraceae Madang Situngkek 2 Adina minutiflora Rubiaceae Barombong

3 Adinandra sp Theaceae Kalek Situkah

4 Adinandra subariculata Theaceae Madang Tanah 5 Alseodaphne macrocarpa Lauraceae Madang Galundi 6 Altingia excels Hamamelidaceae Sigadunduang


(4)

51

Lampiran 9 (lanjutan)

No Jenis Vegetasi Famili Nama Lokal

8 Baccaurea sp Euphorbiaceae Ganggo

9 Bischofia javanica Euphorbiaceae Kalek Uba 10 Blumeodendron kurzii Lauraceae Madang Gajah 11 Blumeodendron sp Guttiferae Saok-saok Lukah 12 Calophyllum molle Guttiferae Bintangua 13 Calophyllum spp Guttiferae Bintangua Bauik 14 Calophyllum spp Guttiferae Bintangua Udang 15 Carallia brachiata Rhizoporaceae Inggiran

16 Castanopsis acuminatissima Fagaceae Paniang-Paniang Sirauik 17 Choriophyllum malayanum Euphorbiaceae Kalek Licin

18 Cinnamomum sintok Lauraceae Madang Lawang 19 Cinnnamomum subavenium Lauraceae Madang Kulik Manih

20 Coccoceras Euphorbiaceae Kasai

21 Coelostegia griffithii Bombacaceae Kadunduang Ampo 22 Cratoxylon formosum Guttiferae Suluang-suluang

23 Cratoxylon sp Guttiferae Damang

24 Cryptocarya zollingeriana Lauraceae Inango 25 Dacryodes costata Burseraceae Kayu Ciliang 26 Dialium platysepalum Caesalpiniaceae Kalek 27 Dipterocarpus gracilis Dipterocarpaceae Lilipan 28 Elaeocarpus obtusus Tiliaceae Madang Susun 29 Endospermum sp Euphorbiaceae Madang Labu 30 Endospermum sp Euphorbiaceae Madang Galang 31 Engelhardia spicata Styraxaceae Talanan 32 Eugenia cymosa Myrtaceae Kalek Kandi 33 Eugenia longiflora Myrtaceae Kalek Sakam 34 Eugenia rugosa Myrtaceae Kalek Baringin

35 Eugenia spp Myrtaceae Kalek Udang

36 Eugenia spp Myrtaceae Kalek Jambu

37 Euricoma longifolia Simaroubaceae Pasak Bumi

38 Garcinia sp Guttiferae Manggih Hutan

39 Glochidion sp Euphorbiaceae Langkisau 40 Gluta renghas Anacardiaceae Rangeh Kuniang 41 Gymnacranthera eugeniifolia Myristicaceae Mandarahan 42 Gymnacranthera forbesii Myristicaceae Madang Sudu-sudu 43 Horsfieldia irya Myristicaceae Madang Mantai

44 Lansium sp Meliaceae Duku Rimbo

45 Lindera sp Lauraceae Silado-lado

46 Litsea odorifera Lauraceae Madang Paraweh

47 Litsea sp Lauraceae Madang Talua


(5)

49 Memecylon costatum Melastomataceae Daliak

50 Neolitsea cassiifolia Lauraceae Madang Kubang 51 Ochanostachys amentacea Olacaceae Pitata

52 Palaquium gutta Sapotaceae Kalek Timah 53 Parkia speciosa Mimosaceae Patai

54 Phoebe declinata Lauraceae Madang Landia 55 Podocarpus blumei Podocarpaceae Kalek Kareseang 56 Ptychopyxis sp Euphorbiaceae Tungau-tungau 57 Pygeum parviflorum Rosaceae Madang Kapindiang 58 Quercus bennettii Fagaceae Paniang-Paniang

59 Quercus oidocarpa Fagaceae Paniang-paniang Tambika 60 Quercus spp Fagaceae Paniang-paniang Barangan 61 Quercus spp Fagaceae Paniang-paniang Kalikih Kanji 62 Quercus spicata Fagaceae Paniang-paniang Aia

63 Randia sp Rubiase Tampa-tampa Basi

64 Rhodamnia cinerea Myrtaceae Marapuyan 65 Santiria laevigata Burseraceae Madang Sangkia 66 Santiria oblongifolia Burseraceae Kadunduang Masam

67 Santiria sp Burseraceae Lalan

68 Schima wallichii Theaceae Tamasu 69 Shorea bracteolata Dipterocarpaceae Bangka Udang 70 Shorea gibbosa Dipterocarpaceae Rangguang Tupai 71 Shorea leprosula Dipterocarpaceae Maranti Samuik 72 Shorea platycarpa Dipterocarpaceae Banio Pimpiang 73 Shorea sumatrana Dipterocarpaceae Maranti 74 Sloetia elongenata Moraceae Kayu Basi 75 Sycopsis dunnii Hamamelidaceae Jirak 76 Trema orientalis Ulmaceae Kopi Rimbo 77 Turpinia sphaerocarpa Staphyleaceae Sibasah


(6)

53

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bukittinggi pada tanggal 24 September 1972,

merupakan anak kelima dari tujuh bersaudara dari pasangan Bapak Zulkifli

Djamal dan Ibu Hafni Zahara. Pendidikan sarjana ditempuh penulis pada program

studi Teknologi Benih, jurusan Budi Daya Pertanian Fakultas Pertanian

Universitas Andalas (UNAND) Padang pada tahun 1998. Pada tahun 1999 penulis

diterima sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil pada Departemen Kehutanan

(sekarang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan). Mulai tahun 2000

penulis bekerja sebagai Polisi Kehutanan di Balai Taman Nasional Siberut,

Sumatera Barat dan ditempatkan di Seksi Konservasi Wilayah II Siberut Utara

(sekarang Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah II). Pada tahun 2011

penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan pada Program Studi

Ilmu Pengelolaan Hutan (IPH) pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian

Bogor.

Penulis menikah dengan Kemala Sari, SP pada tahun 2001. Saat ini penulis

telah dikarunia dua orang puteri, bernama Raisya Kamila Zahri dan Nayla Ashila

Zahri.