12 nagari dalam pengelolaan sumber daya hutan. Efektifitas aturan kelembagaan
lokal dikatakan tinggi apabila masyarakat tidak pernah atau jarang melanggar aturan-aturan yang telah ditentukan oleh nagari. Sebaliknya, efektifitas
kelembagaan lokal dikatakan rendah apabila masyarakat pernah dan sering melanggar aturan-aturan dalam pengelolaan sumber daya hutan yang telah
ditentukan oleh nagari.
Tingkat kepercayaan diukur dengan proporsi responden yang masuk kategori percaya, ragu-ragu, dan tidak percaya terhadap aturan nagari dalam
pengelolaan sumber daya hutan lihat Tabel 3.2. Tingkat pemahaman terhadap aturan diukur dengan proporsi responden yang masuk kategori paham, cukup
paham, dan tidak paham terhadap aturan nagari dalam pengelolaan sumber daya hutan lihat Tabel 3.3. Tingkat pelanggaran terhadap aturan diukur dengan
proporsi responden yang masuk kategori sering, jarang, dan tidak pernah melanggar aturan nagari dalam pengelolaan sumber daya hutan lihat Tabel 3.4.
Tabel 3.2 Tingkat kepercayaan responden
Jumlah Jumlah
Jumlah 1
Hutan beranfaat bagi masyarakat 2
Peraturan tertulis 3
Peraturan tidak tertulis 4
Kemampuan dan kepatuhan masyarakat menjaga kelestarian hutan
5 Masyarakat mampu bekerjasama
6 Hubungan sosial masyarakat dapat
mempermudah pekerjaan 7
Masyarakat bersedia meningkatkan hubungan sosial
Tidak Percaya Ragu-ragu Percaya
No Kepercayaan responden terhadap
Tabel 3.3 Tingkat pemahaman terhadap aturan nagari dalam pengelolaan sumber daya hutan
Tingkat pemahaman Tidak paham Cukup paham
Paham Responden di Nagari
Simanau Tabel 3.4 Tingkat pelanggaran terhadap aturan nagari dalam pengelolaan
sumber daya hutan Informan di nagari Simanau
Tingkat pelanggaran Sering
Jarang Tidak pernah
Pelanggaran oleh responden sendiri Pandangan responden terhadap pelanggaran
oleh anggota masyarakat yang lain
Analisis performansi hutan dilakukan untuk mengetahui jenis tumbuhan yang terdapat pada masing-masing pola pengelolaan hutan dan untuk mengetahui
implikasi kelembagaan lokal dalam mengatur pengelolaan sumber daya hutan nagari yang berbeda-beda. Identifikasi dan komposisi jenis tumbuhan
menggunakan analisis vegetasi menurut Soerianegara dan Indrawan 1982. Analisis dilakukan dengan menghitung kerapatan tumbuhan individu per hektar
pada tingkat pertumbuhan semai, pancang, tiang, dan pohon pada hutan larangan, hutan simpanan, dan hutan olahan. Jumlah kerapatan tumbuhan individu per
hektar pada setiap tingkatan tersebut untuk menduga kecukupan jumlah tumbuhan atau kerapatan tumbuhan. Kemudian yang dianalisis adalah volume per
pohon dan volume per kelas diameter pada tingkat pohon. Beberapa rumus yang digunakan dalam perhitungan analisis vegetasi adalah sebagai berikut :
a. Kerapatan suatu jenis K
∑ individu suatu jenis K =
luas petak contoh b.
Kerapatan relatif suatu jenis KR K suatu jenis
KR = x 100 K seluruh jenis
c. Frekuensi suatu jenis F
∑ Sub - petak ditemukan suatu jenis F =
∑ Seluruh sub - petak contoh d.
Frekuensi relatif suatu jenis FR F suatu jenis
FR = x 100
F seluruh jenis e.
Dominansi suatu jenis D Luas bidang dasar suatu jenis
D = Luas petak contoh
f. Dominansi relatif suatu jenis DR
D suatu jenis DR =
x 100 D seluruh jenis
g. Indeks Nilai Penting INP INP = KR + FR + DR tiang dan pohon
INP = KR + FR pancang dan semai h.
Volume, V = ¼ � D². T . f Keanekaragaman spesies dapat digunakan untuk mengukur stabilitas
komunitas, yaitu kemampuan suatu komunitas untuk menjaga dirinya tetap stabil meskipun
ada gangguan
terhadap komponen-komponennya
Soegianto 1994;Indriyanto 2005. Suatu komunitas dikatakan memiliki keanekaragaman
spesies yang tinggi jika komunitas itu disusun oleh banyak spesies. Sebaliknya suatu komunitas dikatakan memiliki keanekaragaman spesies yang rendah jika
komunitas itu disusun oleh sedikit spesies. Keanekaragaman jenis ditentukan dengan menggunakan rumus Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener :
14
dimana : H’= Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener
n
i
= Jumlah individu jenis ke-n N = Total jumlah individu
Nilai H’2 menunjukkan keanekaragaman jenis rendah, nilai H’=2–3
menunjukkan keanekaragaman jenis sedang dan nilai H3 menunjukkan keanekaragaman tinggi.
Performansi hutan dideskripsikan berdasarkan jumlah jenis, kerapatan, INP, Indeks Keanekaragaman Jenis H’ dan volume pohon per kelas diameter pada
masing-masing pengelolaan hutan olahan, simpanan, dan larangan.
4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Letak dan Kondisi Fisik Nagari Simanau
Secara administratif Nagari Simanau terletak pada Kecamatan Tigo Lurah, Kabupaten Solok. Nagari Simanau terdiri dari 3 tiga Jorong, yaitu : Jorong
Tanjuang Manjulai, Jorong Parik Batu dan Jorong Karang Putiah. Batas Nagari Simanau adalah di sebelah utara berbatasan dengan Nagari Supayang dan Nagari
Air Luo. Di sebelah timur berbatasan Nagari Tanjuang Balik Simiso. Di sebelah selatan berbatasan dengan Nagari Rangkiang Luluih, dan sebelah barat dengan
Nagari Sungai Nanam dan Nagari Sirukam.
Nagari Simanau terletak pada jalur pegunungan bukit barisan, dengan topografi berbukit, bergelombang dan curam. Luas keseluruhan wilayah nagari
adalah 47 km², dengan ketinggian daerah 900 ─1 000 meter dari permukaan laut.
Secara geografis Nagari Simanau berada pada hamparan lembah yang dikelilingi perbukitan yang secara ekologis berupa hutan. Nagari Simanau memiliki sungai-
sungai kecil yang barasal dari anak-anak air yang berada disekeliling perbukitan. Sungai-sungai tersebut adalah Batang Simanau, Batang Kapujan dan Batang
Kipek. Muara dari sungai-sungai tersebut adalah Batang Palangki.
Simanau sendiri sering disebut sebagai pintu gerbang bagi nagari-nagari sekitarnya yang termasuk dalam Kecamatan Tigo Lurah karena sebelum menuju
nagari-nagari lainnya harus melalui Nagari Simanau terlebih dahulu. Jarak Nagari Simanau dengan nagari lainnya adalah 10 km ke Rangkiang Luluih, 15 km ke
Batu Bajanjang, 25 km ke Simiso, dan 40 km ke Garabak.
4.2 Tata Guna Lahan
Tata guna lahan di Nagari Simanau dapat dibedakan menjadi beberapa bagian, yaitu lahan untuk pemukiman 43 ha, persawahan 157 ha, perkebunan 410
ha, hutan 4 076 ha dan penggunaan lainnya 14 ha. Bentuk dan luas penggunaan lahan pada Nagari Simanau dapat dilihat pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Tata guna lahan Nagari Simanau
No. Penggunaan Lahan
Luas ha Persentase
1 Pemukiman
43 0.91
2 Persawahan
157 3.34
3 Perkebunan
410 8.72
4 Hutan
4076 86.72
5 Penggunaan Lain
14 0.30
Sumber : Diolah dari Profil Nagari Simanau Tahun 2012
Tabel 4.1 menunjukkan bahwa dari 4 700 ha luas Nagari Simanau 4 076 ha atau 86.72 diantaranya masih berbentuk hutan. Status hutan tersebut terdiri dari
hutan lindung, hutan produksi terbatas, dan areal penggunaan lain. Jika dibandingkan dengan jumlah rumah tangga pada Nagari Simanau yaitu 372 KK,
maka rata-rata setiap kepala keluarga memiliki lahan untuk bercocok tanam sebesar 1
─2 ha. Penggunaan lahan oleh masyarakat Nagari Simanau disesuaikan dengan kondisi fisik wilayah lahan, yaitu berdasarkan asas kepatutan seperti
dataran yang bisa dialiri air dijadikan sawah, lereng dijadikan ladang atau kebun.
4.3 Nagari dan Sejarah Nagari Simanau
Menurut Arifin et al.2008, nagari merupakan suatu kesatuan masyarakat adat tertinggi di Minangkabau. Nagari memiliki pemerintahanan adat dengan
batas-batas tertentu, punya harta kekayaan nagari, penguasa adat dan anggota masyarakat adat. Nagari memiliki aturan adat tersendiri dalam mengatur
kehidupan masyarakatnya. Dari wawancara dengan Bapak Thamrin Datuak Rajo Sampono dan Bapak Syahril pada tanggal 29 September 2014 dinyatakan bahwa;
“Nagari itu punya pemerintahan sendiri, yang mengatur kehidupan masyarakatnya. Suatu nagari harus memiliki sawah dan ladang sebagai
sumber ekonomi bagi masyarakat, punya rumah dan pemukiman mayarakat, punya balai-balai untuk kegiatan sosial, punya mesjid atau
surau sebagai tempat beribadah, punya tapian tempat pemandian, serta punya gelanggang sebagai sarana hiburan dan tanah pandam
pakuburan”. Sejarah kenagarian Simanau merupakan hasil penuturan dari para niniak
yang kemudian diceritakan dan diterima secara turun temurun ke generasi berikutnya. Berdasarkan penuturan dari Bapak Thamrin Datuak Rajo Sampono
tanggal 29 September 2014; “asal usul Nagari Simanau diawali dengan kedatangan beberapa
orang niniak dari bukit Siguntang-guntang sekarang letaknya kira- kira diantara Palembang dan Jambi, diantaranya Niak Patiah
Bagindo Patiah bersama 48 orang pengikutnya. Rombongan tersebut menetap di Muaro Siuk yang terletak di sekitar Batang Palangki.
Karena jumlah penduduk semakin bertambah, maka sebagian dari
mereka pergi mencari tempat pemukiman baru”.
16 Mukhlis 2000 menyatakan bahwa karena jumlah penduduk semakin
banyak, maka dicarilah pemukiman baru yakni empat buah taratak yaitu : 1. Taratak Mundan; 2. Taratak Tabulango; 3. Taratak Pakano; dan 4. Taratak Air
Hitam. Karena jumlah penduduk yang semakin berkembang, tidak memungkinkan lagi untuk tinggal di taratak-taratak tersebut, maka sebagian dari mereka pergi
mencari pemukiman baru. Penduduk dari dua taratak yakni Taratak Mundan dan Taratak Tabulango menelusuri sungai-sungai kecil yaitu: Batang Kipek, Batang
Kayu Lawang, dan Batang Pulau Tanjung Balik Sumiso. Sungai-sungai yang dilalui ini dinamakan Lurah Nan Tigo. Setelah menelusuri sungai-sungai tersebut
niniak-niniak mencari pemukiman yang baik dan subur untuk dijadikan nagari masing-masing.
Didalam buku monografi dan sejarah kenagarian Simanau diceritakan bahwa ada pertemuaan atau permufakatan masyarakat Lurah Nan Tigo yang bertempat di
Lunjuang Balai Tinggi Kayu Lawang. Pertemuan itu menghasilkan kesepakatan antara mereka bahwa setiap permukiman harus memiliki pimpinan yang dikenal
dengan sebutan datuak nan 3 X 9 yaitu : 1
Simanau Air Abang, yang terdiri dari 4 orang datuk di Simanau yang berasal dari suku Melayu, Caniago, Tanjung, dan Kutianyir ditambah dengan 5 orang
datuk di Air Abang dari suku Melayu, Caniago, Kutianyir, Panai, dan Tanjung. Dikenal dengan Datuak Nan 9 Di Mudiak.
2 Kipek, yang terdiri dari 4 datuk dari 4 suku yang terdapat di Kipek ditambah
dengan 5 orang datuk dari 5 suku yang terdapat di Kayu Lawang. Dikenal dengan Datuak Nan 9 Kipek Kayu Lawang.
3 Andaleh Tanjung Balik, yang terdiri dari 4 orang datuk dari 4 suku yang
terdapat di Andaleh ditambah dengan 5 orang datuk yang berasal dari 5 suku yang terdapat di Tanjung Balik. Dikenal dengan Datuak Nan 9 Andaleh
Tanjung Balik.
Niniak yang mula-mula pergi mencari pemukiman baru ke Simanau bernama Niak Rajo Pandak yang membuat taratak di Bukit Gobak yang
dinamakan Taratak di Aur dan tempat tinggal beliau di Parik Batu karena disekililing tempat itu seolah-olah dipagari dengan batu. Makanya sebelum
bernama Simanau, awalnya tempat ini disebut Parik Batu. Nama Simanau mulai digunakan karena banyak ditemukan manau di sepanjang pinggir sungai oleh
niniak-niniak. Lama kelamaan karena kesulitan dalam pengucapan, sungai Manau berobah penyebutannya menjadi Simanau Mukhlis 2000.
Setelah Niak Rajo membuat taratak di Bukit Gobak, menyusul pulalah kaum-kaum datuak ke Simanau dan membuat taratak-taratak untuk permukiman.
Taratak-taratak tersebut adalah Taratak di Aur, Taratak Tanjung Manjulai, Taratak Sungai Galanggang, dan Taratak Katilawarangan. Karena kaum-kaum di taratak
tersebut semakin berkembang maka terbentuklah dusun yang kemudian menjadi koto, koto selanjutnya menjadi nagari. Di sini telah terbentuk suku dan penghulu
dari masing-masing suku yang ada, yaitu penghulu suku Melayu, penghulu suku Caniago, penghulu suku Tanjung, dan penghulu suku Kutianyir. Karena telah
membentuk suku-suku dan mendirikan penghulu maka berdirilah Nagari Simanau Sungai Abang. Selanjutnya sebagian besar kekuasaan yang sebelumnya berada
ditangan Rajo Panghulu, diserahkan kepada penghulu-penghulu suku, sehingga kekuasaan Rajo Penghulu berkurang. Peristiwa Ini disebut dengan rabah pitonggo
Mukhlis 2000.
Perkembangan berikutnya dari Datuak Nan 9 Di Mudiak Simanau Air Abang, sebagiannya sudah samparono habis. Sehingga, suku-suku yang masih
berkembang di Nagari Simanau tinggal 6 suku yaitu : suku Melayu, suku Caniago, suku Panai, suku Melayu Air Abang, Suku Caniago Lasi, dan suku Kutianyia.
Salah satu suku yang samporono habis adalah suku Tanjung. Karena itu Suku Tanjung yang sekarang ada di Simanau tidak lagi merupakan suku asli Simanau.
Akibat dari punahnya suku Tanjuang Simanau, maka hak ulayat suku tersebut menjadi hak ulayat nagari.
Pada zaman Belanda, Simanau sudah berdiri sendiri menjadi wilayah nagari, berdasarkan catatan Staat Bland Van Nederland Seche Indie tahun 1863. Sampai
tahun 1930 sudah ada 10 Kepala Nagari Simanau yang saat itu disebut dengan Nagari Air Abang Simanau, dengan masa jabatan bervariasi, tergantung pada
Pemerintah Belanda. Bila Belanda sudah tidak suka kepada kepala nagari maka Belanda dapat menggantinya setiap saat. Pada zaman Belanda ini kepala nagari
dibantu oleh seorang juru tulis. Sementara kepala nagari juga merupakan seorang Penghulu Kepala. Penghulu kepala dipilih oleh 4 jinih yang diistimewakan
dengan tidak perlu membayar Blastem pajak. Tujuannya agar orang-orang 4 jinih mau mendukung kebijakan-kebijakan Belanda. Syarat pemilihan kepala
nagari saat itu adalah mampu memungut pajak dan baca tulis huruf latin. Karena pada tahun 1930-an tidak ada calon kepala nagari yang mampu, maka untuk
sementara Kepala Nagari Rangkiang Luluih merangkap menjadi Kepala Nagari Simanau, dengan seorang juru tulis di Simanau yang bernama Alif. Setelah Alif
meninggal, tidak ada lagi juru tulis yang menggantikannya. Sehingga Pemerintah Belanda menggabungkan Rangkiang Luluih dengan Nagari Simanau Mukhlis
2000.
Tahun 1949 sampai dengan tahun 1951 nagari dipimpin oleh Wali Perang, dan dalam tahun-tahun ini lahirlah MTKAM Majelis Tinggi Kerapatan Adat
Alam Minangkabau, yang kemudian membentuk tentara Hulubalang untuk menyerang Belanda pada masa agresi Belanda. Pada tahun 1961 pimpinan nagari
berubah menjadi kepala nagari yang digunakan sampai tahun 1983. Mulai tahun 1983 tersebut yang memimpin nagari dirubah lagi menjadi kepala desa, seiring
dengan diberlakukannya Undang Undang Pemerintahan Desa. Pada tahun itu juga lahir Lembaga Kerapatan Adat Nagari. Nagari Simanau akhirnya kembali
terbentuk secara resmi pada tanggal 2 Oktober 2002 sebagai nagari termuda di Kabupaten Solok Mukhlis 2000.
4.4 Sistem Kekerabatan
Sama dengan nagari lain di Sumatera Barat, sistem kekerabatan di Nagari Simanau dibangun oleh perkawinan dan keturunan menurut garis keturunan ibu
atau matrilineal. Sistem matrilineal merupakan dasar susunan kekeluargaan, norma perkawinan dan mekanisme pewarisan. Semua aturan dan mekanisme yang
berlangsung dalam masyarakat diatur dan ditetapkan berdasarkan sistem kekerabatan menurut garis keturunan matrilineal tersebut.
Keberadaan suku sangat penting di Nagari Simanau dan tidak dapat
dipisahkan dalam susunan masyarakat. Tiap suku dipimpin oleh panghulu, yang di angkat dan ditunjuk untuk menjadi pemimpin suku, dan memegang kekuasaan