26 2.
Hutan Simpanan :
Gambar 5.2 Hutan simpanan Hutan simpanan boleh dibuka dan diolah apabila telah mendapat izin
dari penghulu andiko dari suku yang memiliki tanahulayat Pemanfaatan hutan ini diperbolehkan apabila tidak ada lagi sumber
penghasilan lain, situasi mendesak seperti gagal panen di nagari. Diutamakan untuk pemanfaatan hasil hutan non-kayu, sedangkan hasil
hutan kayu bisa dimanfaatkan, tapi harus mendapatkan izin dari nagari misalnya untuk kebutuhan bahan dasar pembuatan perahu, jika pada
hutan olahan sudah sulit atau tidak lagi ditemukan kayu yang berukuran cukup besar untuk dijadikan sebagai bahan utama
3. RimboHutan Larangan :
Gambar 5.3 Hutan larangan Larangan membuka hutan dan mengolah hutan larangan untuk
tujuan apapun, karena hutan berfungsi sebagai penahan air hujan, sebagai pencegahan banjir dan longsor
Hutan larangan boleh diamanfaatkan untuk mengambil hasil hutan bukan kayu, seperti madu dan buah-buahan tanpa merusak atau
menebang kayu
Pengaturan pola pengelolaan sumber daya hutan akan menentukan bentuk hak akses dan hak pemanfaatan sumber daya hutan nagari. bentuk hak akses dan
hak pemanfaatan tersebut disajikan pada Tabel 5.1
Tabel 5.1 Bentuk hak pengelolaan sumber daya hutan Nagari Simanau
Pola Pengelolaan Pemegang hak
utama dan mengatur Yang
memanfaatkan Kewenangan
1.Hutan Olahan Hak akses dan
hak pemanfaatan
2.Hutan Simpanan
Hak akses dan hak
pemanfaatan
3.Hutan Larangan
Hak akses dan hak
pemanfaatan Panghulu Ketua
KAN Panghulu Suku,
Kaum, Kepala keluarga, Anggota
keluarga individu PanghuluKetua
KAN
PanghuluKetua KAN
Semua anggota keluarga, orang
lain dari luar nagari, kerabat
Individu
Semua orang, warga nagari
maupun luar nagari
Semua orang, warga nagari
maupun luar nagari
Mengambil hasil hutan kayu dan non
kayu, menanam dengan tanaman
perkebunan, bernilai ekonomi
Menikmati manfaat hutan air dan udara
bersih, mengambil hasil hutan non
kayu, boleh untuk penelitian
Menikmati manfaat hutan air dan udara
bersih, mengambil hasil hutan non
kayu, boleh untuk penelitian,
Berdasarkan Tabel 5.1 menunjukkan bahwa pemegang hak utama dalam pengelolaan sumber daya hutan adalah panghulu suku dan kaum serta kepala
keluarga. Panghulu nagari berhak mengatur pengelolaan dan pemanfaatan hutan simpanan dan hutan larangan karena terletak pada lahan-lahan komunal milik
nagari, sedangkan kepala keluarga berhak untuk mengatur pengelolaan dan pemanfaatan hutan olahan untuk kepentingan pribadi dan keluarganya, karena
hutan olahan sudah menjadi lahan yang dikelola secara pribadi private. Meskipun demikian, panghulu nagari tetap berperan, karena adanya aturan nagari
yang ikut menentukan bahwa jenis yang ditanam selain punya nilai ekonomi sekaligus mampu menjaga kondisi ekologi. Nagari juga punya hak menentukan
wilayah-wilayah yang dijadikan hutan olahan, simpanan, dan larangan. Orang lain diperbolehkan memanfaatkan apabila telah mendapatkan persetujuan dari
panghulu pemegang hak atas tanah atau hutan olahan tersebut.
Selain itu, pengelolaan sumber daya hutan atau lahan oleh masyarakat Nagari Simanau tetap mempertimbangkan nilai-nilai keberlangsungan dan
keseimbangan alam, seperti pepatah adat Nan bancah ditanami banieh, nan kareh dibuek ladang yang rawa dijadikan sawah, yang keras dijadikan ladang.
Sehingga pengelolaan sumber daya hutan yang berdasarkan keseimbangan alam tersebut menjadi landasan untuk menentukan pemanfaatan lahan, baik untuk
persawahan, perladangan maupun dalam pemanfaatan hutan.
28 Pemanfaatan hutan dan hasil hutan merupakan mata pencaharian sebagai
tambahan bagi masyarakat. Mata pencaharian utama masyarakat Simanau adalah dari bertani dan berladang. Pengelolaan dan pemanfaatan pertanian, perladangan
dan hasil hutan yang berada di atas pusako tinggi ulayat sukukaum dan diatas ulayat nagari apabila untuk kebutuhan sendiri dan untuk masyarakat misalnya
untuk pembangunan rumah, mushalla, balai-balai adat dan keperluan publik lainnya tidak dikenakan bungo. Namun sebaliknya, apabila pemanfaatan tersebut
untuk tujuan komersial, mencari keuntungan, misalnya untuk diperdagangkan di luar komunitas atau nagari maka akan dikenakan bungo.
Bungo adalah semacam pajak yang diberlakukan atas pemanfaatan sumber daya alam nagari yang bertujuan untuk mencari keuntungan dan untuk
kepentingan komersil. Bagi masyarakat nagari, bungo merupakan salah satu bentuk pengendalian pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan. Besarnya
bungo bagi pemanfaatan sumberdaya alam adalah 10 dari total pendapatan pemanfaatan sumber daya alam. Selain itu, bungo menjadi salah satu bentuk
kompensasi bagi masyarakat nagari atas pemanfaatan sumber daya alam yang diperdagangkan. Adapun bentuk-bentuk bungo yaitu; pertama; Bungo Ampiang
terhadap ladang atau parak dan sawah, kedua; Bungo RimboKayu terhadap pemungutan hasil hutan kayu, dan ketiga; Bungo Ameh terhadap hasil tambang.
5.2 Efektifitas Aturan Nagari dalam Mengatur Penguasaan dan Pemanfaatan Sumber Daya Hutan
Masyarakat Nagari Simanau menetap tersebar diseluruh nagari pada ketiga wilayah jorong. Walaupun wilayah jorong daerahnya tersebar tetapi dalam
bermasyarakat tetap menggunakan nilai-nilai dan normaaturan yang sama di seluruh nagari baik kebiasaan maupun sistem sosial yang masih dipertahankan
sampai saat ini. Aturan nagari merupakan aturan tidak tertulis tetapi dapat menjadi acuan bagi masyarakat dalam kehidupan sehari-hari di nagari. Hal ini
sesuai dengan pendapat Grant 2001 diacu dalam Krey 2012 yang menyatakan bahwa kelembagaan yang baik itu minimal mempunyai tiga fungsi, yaitu : 1 jadi
pedoman bagi masyarakat untuk berperilaku, 2 mampu menjaga keutuhan masyarakat, dan 3 menjadi pegangan bagi masyarakat dalam pengendalian dan
pengawasan sosial.
Dalam kehidupan sehari-hari penegakkan aturan nagari diawasi oleh dubalang dan panghulu, tetapi warga tetap dilibatkan. Apabila terjadi pelanggaran
maka akan dijatuhkan sanksi. Sanksi yang lebih berat akan dijatuhkan apabila yang melanggar adalah dubalang dan panghulu yang seharusnya memberikan
tauladan bagi masyarakat. Beberapa aturan nagari yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya hutan :
1.
Dilarang maracun ikan di batang aia. Larangan menangkap ikan dengan menggunakan putas, laknat atau jenis lainnya di sungai-sungai dan anak sungai
Batang Simanau, Batang Kipek, Batang Kapujan, dan Batang Palangki maupun disekitar sawah dan rumah-rumah. Larangan ini timbul berdasarkan
pengalaman masyarakat akan bahaya racun di sungai ternyata bisa mematikan anak-anak ikan, meracuni ikan di kolam warga
2. Dilarang maambiak buah-buahan yang masih mudo. Larangan memetik buah-
buahan yang masih muda, seperti manggis dan durian di hutan larangan dan hutan simpanan. Larangan ini merupakan salah satu bentuk kearifan lokal
masyarakat yang didapat dari pengetahuan dan pengalaman dalam pemanfaatan sumber daya hutan secara turun-temurun, berguna untuk menjaga proses
pertumbuhan tumbuhan tersebut serta tidak mengganggu produktivitas buah pohon tersebut.
3. Dilarang manabang pohon patai, durian, dan jariang di dalam rimbo.
Larangan menebang pohon petai, durian, dan jengkol di dalam hutan larangan dan simpanan, karena akan menghilangkan salah satu sumber bahan makanan
dan sumber penghasilan masyarakat.
4. Dilarang manabang pohon dakek jo mato aia di hutan ulahan dan simpanan.
Larangan menebang pohon yang dekat dengan sumber mata air, karena akan merusak sumber air yang sangat dibutuhkan untuk keperluan pertanian dan
kebutuhan air bersih masyarakat nagari. Masyarakat menjaga sumber mata air karena manfaatnya yang sangat besar dalam kelangsungan hidup masyarakat,
karena masyarakat pernah mengalami bencana kelaparan yang disebabkan kekeringan.
5. Dilarang manabang kayu di rimbo larangan untuak tujuan apopun. Larangan
ini diberlakukan karena fungsi rimbo larangan sebagai penahan air hujan, sebagai pencegahan banjir dan longsor
Selain itu, ada aturan bahwa masuak sarato tau, kalua sarato isi, orang luar tidak boleh masuk hutan tanpa ijin dari nagari. Kemudian, masyarakat nagari
tidak boleh menjual lahan ke pihak luar. Secara tidak langsung aturan tersebut merupakan bentuk perlindungan sumber daya dan norma-norma yang telah
dimiliki masyarakat. Kemudian, ada pantangan bagi masyarakat bekerja ke sawah pada hari Jumat menanam padi, memperbaiki pematang sawah, menyabit padi,
atau pekerjaan yang berhubungan dengan sawah, dan pantangan menjemur padi, menumbuk padi, menggiling padi, dan menjual padi pada hari Minggu. Pantangan
ini muncul karena pada jaman dahulu nagari pernah mengalami buah padi ampo tidak berisi, sehingga gagal panen yang terjadi selama hampir 7 tujuh musim.
Atas kesepakatan niniak mamak maka dijemputlah urang tuo nagari, yang kemudian membuat pantangan-pantangan tersebut. Sejak saat itu nagari tidak
pernah lagi mengalami gagal panen, sehingga masyarakat percaya sampai sekarang masih mematuhi pantangan tersebut. Apabila pantangan-pantangan
tersebut dilanggar masyarakat percaya akan terjadi gagal panen seperti yang sudah pernah terjadi.
Apabila terjadi pelanggaran terhadap larangan dan pantangan tersebut, maka akan ada sanksi yang dijatuhkan. Jenis dan tingkat sanksi yang dijatuhkan
berbeda-beda, tergantung tingkat pelanggaran terhadap normaaturan yang ada dan dampak buruknya terhadap kehidupan sosial, budaya, dan ekologi. Bentuk
sanksi tersebut adalah teguran, denda, dan dibuang sepanjang adat. Tingkatan sanksi ringan adalah berupa dagoteguran, sanksi sedang berupa denda, dan sanksi
berat dibuang sepanjang adat. Contoh kasusnya pernah ada seorang warga masyarakat akan menebang pohon yang terletak dekat sumber mata air, kemudian
yang melakukan pelanggaran dilaporkan warga kepada mamak si pelanggar, kemudian mamak si pelanggar akan mandago menegur yang bersangkutan agar
menghentikan penebangan, selanjutnya si mamak pergi ke rumah si pelanggar
30 untuk melakukan tumpalak marah. Bagi masyarakat Simanau, tumpalak tersebut
sangat dihindari karena merupakan suatu aib yang memalukan bagi keluarga mereka, sehingga berusaha untuk tidak melakukan pelanggaran terhadap larangan
dan pantangan yang berlaku di nagari mereka.
Analisis efektifitas nagari dalam mengatur penguasaan dan pemanfaatan sumber daya hutan meliputi tingkat kepercayaan, tingkat pemahaman, dan tingkat
kepatuhan masyarakat terhadap aturan nagari. Menurut Uphoff 2000, aturan rules dan peranan roles akan mendukung fungsi dasar untuk tindakan kolektif
yaitu pembuatan keputusan, mobilisasi dan pengelolaan sumber daya, komunikasi dan koordinasi, serta resolusi konflik. Aturan yang dimaksudkan adalah aturan
yang diberlakukan dalam pengelolaan sumber daya hutan di Simanau. Aturan- aturan nagari yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya hutan dan
tingkatan sanksinya disajikan pada Tabel 5.2
Tabel 5.2 Aturan nagari Simanau dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan dan tingkatan sanksinya
Ringan Sedang
Berat 1 Urang dari lua harus ado ijin masuak hutan nagari
2 Dilarang manangkok maracun ikan di batang aia 3
Dilarang maambiak buah-buahan yang masih mudo di hutan larangan dan simpanan
4 Dilarang manabang batang patai, durian, dan
jariang di rimbo larangan dan hutan simpanan 5
Dilarang manabang kayu dakek jo mato aia di hutan simpanan dan olahan
6 Dilarang manabang kayu di rimbo larangan untuak
tujuan apopun. 7 Dilarang manjua tanahulayat ka urang lua
Aturan Nagari Tingkatan Sanksi Bagi Pelanggar
Beberapa sanksi yang pernah diberlakukan terhadap pelanggaran larangan dan pantangan adalah denda 3 sak semen terhadap penangkapan ikan dengan
racun, denda 5 sak semen kepada orang yang menebang kayu di kawasan hutan larangan dan simpanan, atau didenda dengan 1 kubik batu, ayam seekor, dan beras
1 liter bagi yang memetik tanaman muda seperti jenis manggis dan durian di hutan larangan dan simpanan. Penentuan jenis dan banyaknya denda bagi si pelanggar
ditentukan oleh niniak mamak. Proses penjatuhan sanksi adalah ; niniak mamak yang duduk di KAN diundang oleh Ketua KAN berkumpul di Balai Adat. Ketua
KAN beserta anggotanya bermusyawarah untuk menentukan apakah benar telah terjadi pelanggaran, apakah ada saksi dan barang buktinya, serta menjatuhkan
jenis sanksi kepada si pelanggar apabila terbukti melakukan pelanggaran yang dimaksud. Sanksi berat diberlakukan terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh
pemangku adat atau pelanggaran yang dilakukan berulang-ulang. Pelanggaran berat seperti ini dapat dihukum dibuang sepanjang adat.
Sanksi berat dibuang sepanjang adat juga dijatuhkan terhadap warga yang melanggar cupak usali, yaitu normaaturan asli, peraturan-peraturan asli tentang
adat dan syarak, yang tidak dapat ditambah dan dikurangi. Contoh cupak usali misalnya tidak boleh melakukan pernikahan sesuku satu suku yang sama,
menikahi anak pisang anak saudara laki-laki dari ibu, dan menikah sesama kaum. Walaupun bentuk sanksi yang diberikan terlihat ringan secara ekonomi,
tetapi sangat berat secara sosial, karena bagi masyarakat nagari, apabila ada anggota keluarga mereka mendapat sanksi adat tersebut akan menjadi aib yang
sangat memalukan bagi keluargasuku mereka.
5.2.1 Tingkat Kepercayaan Masyarakat Nagari
Adanya normaaturan dalam pengelolaan sumber daya hutan menunjukkan bahwa masyarakat Simanau berusaha untuk melindungi dan menjaga sumber daya
hutan mereka. Masyarakat percaya bahwa hutan sangat bermanfaat bagi kelangsungan hidup mereka. Masyarakat merasakan manfaat hutan secara nyata,
terutama dalam menjamin ketersediaan air untuk kehidupan sehari-hari untuk mandi, air minum maupun untuk pengairan sawah dan pertanian mereka.
Selanjutnya hal ini akan memberikan jaminan terhadap ketersediaan padi sebagai sumber bahan makanan.
Seseorang akan mematuhi aturan atas dasar kepercayaan. sehingga, menurut
Suharjito dan Saputro 2008, ada tiga tingkatan kepercayaan yang ditinjau, yaitu pertama kepercayaan atau keyakinan itu ada sehingga hutan harus dijaga, kedua
kepercayaan bahwa aturan-aturan berfungsi cukup efektif dalam pengelolaan sumber daya hutan. Ketiga, kepercayaan bahwa selain dirinya warga lain juga
mematuhi aturan-aturan dalam pengelolaan sumber daya hutan. Secara ringkas distribusi informan menurut tingkat kepercayaannya disajikan pada Tabel 5.3
Tabel 5.3 Tingkat kepercayaan masyarakat Nagari Simanau terhadap pengelolaan sumber daya hutan
Jumlah Jumlah
Jumlah 1
Hutan beranfaat bagi masyarakat -
- 1
3,33 29
96,67 2
Peraturan tertulis -
- -
- 30
100 3
Peraturan tidak tertulis -
- 1
3,33 29
96,67 4
Kemampuan dan kepatuhan masyarakat menjaga kelestarian
hutan -
- 16
53,33 14
46,67 5
Masyarakat mampu bekerjasama -
- 11
36,57 19
63,33 6
Hubungan sosial masyarakat dapat mempermudah pekerjaan
- -
14 46,67
16 53,33
7 Masyarakat bersedia meningkatkan
hubungan sosial -
- 17
56,67 13
43,33 Tidak Percaya Ragu-ragu
Percaya No
Kepercayaan informan terhadap
Tabel 5.3 menunjukkan bahwa masyarakat Nagari Simanau percaya
terhadap aturan yang ada, baik aturan tertulis maupun aturan tidak tertulis. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat percaya bahwa kelestarian sumberdaya hutan
dapat terjaga dengan adanya peraturan tertulis undang-undang, peraturan pemerintah dan peraturan tidak tertulis berupa normaaturan-aturan adat nagari
yang telah mereka miliki turun temurun. Dengan terjaganya hutan di nagari,