Jumlah masyarakat yang bekerja yaitu sebanyak 215 orang. Sisa penduduk lainnya adalah masyarakat usia belum bekerja balita dan usia sekolah dan lansia
yang sudah tidak dapat bekerja. Mayoritas masyarakat Kampung Cireundeu beragama Islam yaitu sebanyak 814 orang, selain itu juga terdapat penganut
kepercayaan terhadap Tuhan sebanyak 119 orang. Suku atau etnis yang terdapat di Kampung Cireundeu yaitu 1.006 orang etnis Sunda dan 5 orang etnis Jawa,
sisanya adalah etnis Cina. Data tingkat pendidikan masyarakat Kampung Cirendeu masih berupa perkiraan yaitu sekitar 3 orang yang berpendidikan sampai
S1, 1 orang D3, 7 orang D1, 25-30 persen yang tingkat pendidikannya adalah SMA, 15-25 persen SMP, 25-30 persen yang hanya sampai Sekolah Dasar SD
terutama penduduk yang sekarang usianya 40 tahun ke atas.
4.3. Kelembagaan Bahan Pangan Pokok
Kelembagaan menurut Uphoff 1993 dikutip oleh Soekanto 1990 adalah seperangkat norma dan perilaku yang bertahan dari waktu ke waktu dengan
memenuhi kebutuhan kolektif. Sebagian besar sosiolog berpendapat bahwa kelembagaan merupakan suatu konsepsi dan bukan sesuatu yang kongkrit atau
dengan kata lain dapat dikatakan bahwa kelembagaan adalah suatu kompleks peraturan-peraturan dan peranan-peranan sosial. Dengan demikian kelembagaan
memiliki aspek kultural dan struktural. Segi kultural berupa norma-norma dan nilai sedangkan segi struktural berupa pelbagai peranan sosial. Keduanya saling
berhubungan erat satu sama lain. Kelembagaan bahan pangan pokok masyarakat Kampung Cireundeu yaitu
seperangkat norma dan perilaku masyarakat Kampung Cireundeu yang berkaitan dengan konsumsi bahan pangan pokok. Terdapat dua bahan pangan pokok yang
dikenal di Kampung Cireundeu ini, yaitu beras padi dan beras singkong. Seperti masyarakat Indonesia pada umumnya, mayoritas masyarakat Kampung Cireundeu
masih mengkonsumsi beras padi. Selain karena akses beras padi yang sangat mudah didapatkan di warung maupun pasar terdekat, mereka pun telah terbiasa
mengkonsumsi beras padi sejak kecil sehingga sudah menjadi kebiasaan. Masyarakat kampung Cireundeu juga mendapatkan alokasi Raskin beras miskin
sebanyak 2 ton setiap bulannya untuk satu RW yang artinya 50 persen KK
mendapatkan beras Raskin sebanyak 5 kgKK. Harga Raskin dari pemerintaha yaitu Rp. 1.600kg, sedangkan harga beras sekarang pada umumnya berkirsar Rp.
6.500- 7.000 liter. Oleh karena itu warga yang miskin pun masih dapat mengkonsumsi beras padi.
Terdapat 199 orang warga yang setiap harinya mengkonsumsi beras singkong yang tersebar di 56 KK Data ini diperoleh berdasarkan perkiraan
sementara dari sekretaris RW, belum pernah diadakan pendataan kembali dari pemerintah. Beras singkong dapat tersedia di Kampung Cireundeu karena
disokong oleh oleh potensi sumberdaya alam yang dimiliki oleh daerah ini. Jenis pertanian yang terdapat di Kampung Cireundeu yaitu pertanian padi, singkong,
jagung, dan kacang tanah. Terdapat 42 hektar kebun yang ditanami singkong sehingga akses untuk mendapatkan bahan baku beras singkong mudah. Selain itu
juga telah terkoordinir mengenai pengolahan dan pemasaran beras singkong yang berpusat di sebuah balai di RT 02.
Di Kampung Cireundeu, warga yang mengkonsumsi beras singkong identik dengan sebutan penghayat atau penganut aliran kepercayaan terhadap
Tuhan YME. Pada awalnya, mereka juga mengkonsumsi beras padi sama seperti masyarakat pada umumnya. Sejak tahun 1924, penganut kepercayaan ini beralih
mengkonsumsi beras singkong. Hal ini seperti yang dituturkan oleh abah ES 74, tokoh penganut kepercayaan ini, mengenai sejarah mengkonsumsi singkong :
“Saat itu di zaman penjajahan Belanda, lahan sawah yang telah ditanami padi mengering dan puso. Sementara suplai beras
dari pemerintah Belanda saat itu sangatlah sulit. Di tengah masa yang teramat sulit itu, Haji Ali, tokoh masyarakat Cirendeu, mulai
mencari jalan keluarnya. Jalan keluarnya adalah dengan mengganti sawah menjadi kebun singkong. Sejak itulah warga
Cirendeu membiasakan diri makan singkong. Hal ini didahului dengan keluarnya wejangan dari Haji Ali, yang intinya meminta
masyarakat menunda mengonsumsi beras, dan beralih ke umbi- umbian. Rupanya wejangan itu tetap melekat pada warga
masyarakat Cirendeu hingga saat ini
.”
Tradisi yang dijalankan penganut kepercayaan ini adalah mengkonsumsi singkong serta tidak memakan nasi. Pantangan bagi mereka hanyalah nasi, selain
nasi mereka mau mengkonsumsinya. Hal tersebut diperkuat oleh Ibu IM 55 tahun akan pantangan mereka mengkonsumsi nasi
“…. kalo ga ada lagi beras singkong ya bisa makan yang lain, yang penting bukan nasi. Bisa makan mie,
jagung, ubi, kentang …..”.
Masyarakat yang mengkonsumsi beras singkong masih bertahan hingga sekarang disebabkan karena patuhnya mereka pada wejangan yang diberikah oleh
sesepuh. Selain itu penganut kepercayaan ini juga berpedoman pada suatu prinsip hidup yaitu Teu nyawah asal boga pare, teu boga pare asal boga beas, teu boga
beas asal bisa nyangu, teu nyangu asal dahar, teu dahar asal kuat tidak punya sawah asal punya beras, tidak punya beras asal dapat menanak nasi, tidak punya
nasi asal makan, tidak makan asal kuat. Prinsip ini yang membuat penganut aliran ini lepas dari ketergantungan mengkonsumsi beras padi. Abah ES 74
tahun sebagai tokoh paling tua dalam kelompok ini pun memberikan penekanan melalui prinsip ini bahwa yang paling penting adalah menjadi kuat dan untuk
menjadi kuat tidak harus mengkonsumsi beras padi. Melalui prinsip ini pula Abah ES 74 tahun lebih menjabarkan pentingnya prinsip ini untuk dijalani
“Masyarakat tidak dipaksa untuk makan rasi, mereka tetap makan rasi karena udah terbukti, kalo orang Cireundeu tidak mau terkena bencana maka pantang
makan nasi”. Satu hal yang menyolok dari kegiatan penganut kepercayaan ini adalah
rutinitas menggelar hajat peringatan tahun baru Saka 1 Sura. Upacara Suraan memiliki makna yang dalam bahwa manusia itu harus memahami bahwa ia hidup
berdampingan dengan mahluk hidup lainnya dan juga sebagai rasa syukur. Ketaatan penganut aliran kepercayaan ini tidak mengekang anak atau menantunya
untuk mengikuti mereka yang mengkonsumsi beras singkong sehingga jumlahnya tidak banyak bertambah bahkan berkurang. Sebenarnya, selain alasan taat pada
leluhur, kebiasaan mengkonsumsi beras singkong yang dilakukan oleh penganut kepercayaan ini memiliki manfaat dan keuntungan. Selain karena harganya yang
lebih murah daripada beras padi, yaitu Rp.3.000, Hal ini juga sejalan dengan yang dituturkan oleh Bapak YR 33 tahun, sebagai sekretaris RW Kampung
Cireundeu:
“ … Belum banyak yang sadar bahwa mengkonsumsi beras singkong sangat menguntungkan apalagi dari segi ekonomi.
Semua bagian dari tanaman singkong bisa dimanfaatkan, cara mengolahnya juga mudah. Saya sendiri meskipun sehari-hari
makan nasi tapi kalo disuruh buat rasi juga bisa kok. Beras singkong juga lebih murah, tapi tetep aja masih banyak warga
yang makan nasi karena tidak terbiasa makan rasi
“
Keuntungan mengkonsumsi beras singkong ternyata tidak begitu saja membuat masyarakat yang terbiasa mengkonsumsi beras padi beralih menjadi
beras singkong. Beras singkong tetap diterima sebagai kewajaran di tengah masyarakat Kampung Cireundeu, namun bagi sebagian besar masyarakat yang
tidak mengkonsumsi beras singkong hanya menganggap beras singkong sebagai cemilan saja atau baru mencicipinya jika ada yang memberi. Kebiasaan makan
mayoritas masyarakat Kampung Cireundeu masih tetap mengkonsumsi beras padi.
BAB V SIKAP TERHADAP BAHAN PANGAN POKOK