Profil Koagulasi Penelitian Utama

32 a b terhadap proses koagulasi serta tekstur curd yang dihasilkan secara nyata maka dipilih suhu awal koagulasi 63 °C dan 83 °C. Penentuan waktu koagulasi dilakukan dengan pengamatan terhadap waktu yang dibutuhkan untuk mengkoagulasi seluruh protein menggunakan koagulan GDL Glucono δ Lactone dengan konsentrasi yang telah ditetapkan. Indikator selesainya waktu koagulasi dilihat dari telah terpisahnya bagian curd dengan bagian whey dan warna whey menjadi jernih transparan. Pada penelitian awal waktu koagulasi yang digunakan adalah 10 menit, namun data hasil pengukuran tekstur obyektif curd yang diperoleh sangat tidak konsisten antar pengulangan. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh proses koagulasi yang belum berlangsung sempurna. Kemudian waktu koagulasi diperpanjang menjadi 20 menit, dan diperoleh data hasil pengukuran tekstur obyektif curd yang lebih konsisten dibandingkan dengan curd yang dikoagulasi selama 10 menit. Waktu koagulasi yang digunakan adalah 20 menit walapun untuk perlakuan suhu awal koagulasi 63 °C dan kensentrasi GDL 0.4, proses koagulasi tetap belum sempurna. Pengepresan dilakukan dalam alat pencetak dari kayu yang didesain mirip alat pencetak yang ada di pabrik „Diazara Tresna‟ dan beban penekan berupa botol berisi air. Alat pencetak curd ini berukuran 10x10 cm 2 dan berlubang-lubang kecil sebagai tempat keluarnya whey pres. Tekanan penekan curd ditentukan sebesar 4.71gcm 2 Lampiran 4. dengan lama penekanan selama 30 menit Fahmi 2010. Sehingga besarnya tekanan yang harus diberikan adalah sebesar 471 gram jumlah berat botol berisi air dengan tutup pencetak curd. Alat pencetak tahu yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 22. Gambar 22. Alat pencetak tahu skala laboratorium a yang dibuat mirip alat pencetak tahu di pabrik „Diazara Tresna‟ b Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan seperti yang telah dibahas sebelumnya, dilakukan penetapan terhadap beberapa parameter proses yang akan digunakan pada penelitian utama yaitu : suhu awal koagulasi 63 °C dan 83 °C, konsentrasi GDL 0.4, 0.8 dan 1.2, waktu koagulasi 20 menit, berat penekanan 471 g dan waktu penekanan selama 30 menit.

B. Penelitian Utama

1. Profil Koagulasi

Pembuatan curd dilakukan sesuai dengan prosedur pembuatan curd yang ditetapkan pada tahap pendahuluan. Proses diawali dengan membuat susu kedelai. Sebanyak 500 g kacang kedelai diekstrak menjadi susu kedelai dengan total penambahan air sebesar 1:15 terhadap bobot kering kacang sehingga dihasilkan total padatan susu kedelai sebesar ± 5 Brix Fahmi 2010. Total padatan ini diasumsikan mewakili konsentrasi protein yang terdapat dalam susu. Total padatan susu kedelai 33 penting dalam tahap koagulasi susu, karena semakin banyak protein yang terdapat dalam susu, koagulan yang dibutuhkan akan semakin banyak Blazek 2008. Proses koagulasi susu kedelai memerlukan pemanasan sebagai prekursor terjadinya agregasi protein Boye et al. 1997. Pada penelitian ini, dilakukan dua kali pemanasan, yaitu: 1 pemanasan pada suhu 100 o C selama 3 menit saat pembuatan susu kedelai, yang tujuan utamanya adalah untuk mengekstrak protein kedelai serta mendenaturasi struktur alami protein kedelai, dan 2 pemanasan susu kedelai pada suhu perlakuan, yaitu 63 °C dan 83 °C sebelum tahap koagulasi yang tujuannya adalah mempercepat proses koagulasi protein. Koagulan yang digunakan adalah GDL yang dipersiapkan dalam bentuk larutan stok 40 bv. Kemudian dilakukan penambahan GDL dengan konsentrasi 0.4, 0.8, dan 1.2 dari volume susu kedelai pada masing-masing suhu awal koagulasi. Volume susu kedelai yang digunakan yaitu sebesar 1200ml untuk masing-masing perlakuan. Proses koagulasi dilakukan selama 20 menit, kemudian dilakukan pemisahan antara whey dan curd. Curd yang masih panas langsung di cetak dan diberi penekanan sebesar 471 g selama 30 menit. Perlakuan dengan suhu awal koagulasi 63 °C dan 83 °C pada konsentrasi GDL 0.4, 0.8 dan 1.2 menunjukkan bahwa proses koagulasi terjadi pada pH yang berbeda. Berdasarkan hasil analisis ragam Lampiran 7, terlihat bahwa adanya pengaruh nyata suhu awal koagulasi terhadap pH whey yang dihasilkan. Koagulasi pada suhu awal 83 °C menghasilkan kondisi koagulasi pada pH yang lebih rendah dibandingkan koagulasi pada suhu awal 63 °C dengan rataan nilai pH masing-masing sebesar 5.17 dan 5.25. Hal tersebut dapat dijelaskan dengan semakin meningkatnya suhu, proses hidrolisis GDL menjadi asam glukonat akan semakin cepat. Oleh karena itu pada suhu awal koagulasi 83 °C, asam glukonat yang terbentuk akan lebih banyak sehingga pH lingkungan akan menjadi lebih rendah dibandingkan pada suhu awal koagulasi 63 °C. Selain itu, peningkatan kosentrasi koagulan juga memberikan pengaruh yang nyata terhadap pH whey. Semakin tinggi konsentrasi GDL yang ditambahkan, akan menyebabkan pH whey semakin rendah. Nilai pH whey yang tertinggi pada suhu awal koagulasi 63 °C dan 83 °C terjadi pada penambahan GDL 0.4 yaitu masing-masing sebesar 5.78 dan 5.71, sedangkan pH whey yang terendah terdapat pada penambahan GDL 1.2 yaitu masing- masing sebesar 4.82 dan 4.77. Grafik hubungan antara pH whey dengan suhu awal koagulasi dan konsentrasi GDL dapat dilihat pada Gambar 23. Gambar 23. Grafik pH whey pada berbagai perlakuan 6,41 5,78 d 5,71 d 5,14 c 5,05 b 4,82 a 4,77 a 1 2 3 4 5 6 7 60 80 pH Suhu Awal Koagulasi °C Susu kedelai GDL 0.4 GDL 0.8 GDL 1.2 34 Menurut Pearson 1983, protein kedelai memiliki kelarutan minimum pada pH 3.75-5.25, sedangkan kelarutan maksimal protein kedelai pada sisi asam di bawah titik isoelektriknya terjadi pada pH 1.5-2.5 dan pada sisi basa di atas titik isoelektriknya pada pH 6.3. Nilai pH pada proses koagulasi akan berpengaruh terhadap banyaknya protein yang terkoagulasikan menjadi curd dan kadar protein yang ada di dalam whey hasil pengepresan curd. Nilai pH koagulasi yang mendekati titik isoelektrik protein kedelai akan lebih efektif dalam mengkoagulasikan protein kedelai dibandingkan nilai pH koagulasi yang jauh dari titik isoelektrik protein kedelai. Mekanisme koagulasi dengan koagulan GDL adalah dengan penurunan pH larutan susu mendekati pH isoelektrik protein kedelai. Pada saat pH larutan susu mendekati pH isoelekriknya, protein memiliki kelarutan minimum. Hal tersebut menyebabkan protein susu kedelai lebih mudah untuk membentuk agregat dan terkoagulasi. Pada proses koagulasi, tidak semua protein kedelai terkoagulasi membentuk matriks curd. Sebagian kecil protein kedelai yang tidak terkoagulasi masih terdapat dalam whey. Shurtleff dan Aoyagi 1979 mengindikasikan bahwa konsentrasi koagulan yang optimum adalah konsentrasi terendah yang dibutuhkan untuk menghasilkan transmittan whey yang tertinggi. Pengukuran transmittan pada whey sebenarnya untuk menduga jumlah protein yang terkoagulasi. Semakin tinggi nilai transmittan whey, mengindikasikan bahwa semakin banyak protein yang terkoagulasi. Namun pengukuran transmittan whey menghasilkan data yang sangat beragam sehingga untuk menduga jumlah protein yang terkoagulasi dilakukan pengukuran kadar protein whey menggunakan metode Bradford. Data kadar protein whey dan kadar protein curd dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 . Kadar protein whey berbagai perlakuan Suhu Awal Koagulasi °C Konsentrasi GDL Kadar Protein whey mgml 63 0.4 4,4789 b 0.8 0,7350 a 1.2 0,7464 a 83 0.4 0,8563 a 0.8 0,7449 a 1.2 0,8045 a Nilai rataan dengan superskrip yang berbeda dalam kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata p0.05. Diukur dengan metode Bradford Kadar protein di dalam whey menunjukkan seberapa sempurna proses koagulasi protein, semakin rendah kadar protein whey menunjukkan semakin banyak protein yang terkoagulasi dan berarti akan meningkatkan kadar protein dan rendemen curd yang dihasilkan. Berdasarkan analisis ragam Lampiran 9., interaksi keduanya hanya memberikan pengaruh yang signifikan pada perlakuan suhu awal koagulasi 63 °C dengan konsentrasi GDL 0.4. Kadar protein whey yang masih cukup tinggi saat penambahan GDL 0.4 pada suhu awal koagulasi 63 °C menandakan bahwa proses koagulasi belum berlangsung sempurna. Hal tersebut dapat didukung oleh rendahnya kadar protein dan rendemen curd yang dihasilkan Tabel 8. Berdasarkan hasil analisis korelasi Pearson 2-tailed Lampiran 30., kadar protein whey berkorelasi positif dengan pH whey 0.627 dan berkorelasi negatif dengan massa curd -0.674 dan total padatan curd -0.759. Namun kadar protein whey tidak 35 memiliki korelasi yang signifikan terhadap kadar protein curd, hal tersebut membutuhkan pendalaman yang lebih mengenai metode pengukuran kadar protein pada whey dan curd. Mengingat metode pengukuran kadar protein untuk whey menggunakan metode Bradford sedangkan pada curd menggunakan metode Kjedahl. Curd yang dihasilkan kemudian dianalisis kadar protein, massa, kadar air, dan pengukuran tekstur obyektif menggunakan TA-XT2i. Data kadar air ini digunakan untuk mengonversi jumlah total padatan curd yang dihasilkan. Kadar protein, massa, kadar air dan total padatan curd masing- masing perlakuan dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 . Kadar Protein, massa, kadar air dan total padatan curd Sampel Kadar Protein Curd g100g Massa Curd g Kadar Air Curd g100g Total Padatan Curd g 63 °C_0.4 8.14±1.72 a 140.80±20.65 a 83.62±1.41 c 23.0631±3.38 a 63 °C_0.8 14.01±2.76 c 183.35±8.98 b 80.55±0.69 ab 35.6660 ±1.75 a 63 °C_1.2 13.17±3.73 bc 188.15±10.39 b 81.52±1.07 b 34.7701±1.92 a 83 °C_0.4 10.95±1.77 abc 201.85±9.12 b 84.98±0.52 c 30.3179±1.37 a 83 °C_0.4 10.87±1.51 ab 179.80±13.86 b 79.46±0.94 a 36.9390±2.85 a 83 °C_0.4 10.24±0.97 ab 176.35±2.33 b 80.07±0.65 a 35.1466±0.47 a Nilai rataan dengan superskrip yang berbeda dalam kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata p0.05 Diukur dengan metode Kjedahl basis basah Diukur dalam basis basah Dari 500 g kacang kedelai Interaksi antara suhu awal koagulasi dan konsentrasi GDL menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap kadar protein curd pada taraf 5. Berdasarkan hasil analisis ragam Lampiran 22., pada suhu awal koagulasi 63 °C terlihat peningkatan kadar protein curd yang signifikan pada peningkatan konsentrasi GDL 0.4 menjadi 0.8, namun kadar protein curd tidak mengalami perubahan yang signifikan pada konsentrasi GDL 1.2. Peningkatan kadar protein curd tersebut disebabkan oleh proses koagulasi pada konsentrasi GDL 0.4 belum berlangsung sempurna, sehingga saat koagulasi sempurna GDL 0.8 protein yang terkoagulasi bertambah dan meningkatkan kadar protein curd. Kadar protein curd yang dikoagulasi pada suhu awal 83 °C tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Hal ini disebabkan karena pada suhu awal koagulasi 83 °C, proses koagulasi sudah optimum sehingga jumlah protein yang mampu dikoagulasi relatif sama. Kadar protein curd yang tertinggi dihasilkan saat perlakuan suhu koagulasi 63 °C dengan penambahan GDL 0.8 14.01 g100g. Jika dikaitkan dengan pH whey yang dihasilkan, kadar protein curd tertinggi 60 °C_0.8 terjadi pada saat whey memiliki nilai pH 5.14 Gambar 21.. dan menurun dengan naikturunnya pH whey. Hal tersebut disebabkan oleh pH lingkungan yang medekati pH isoelektrik protein yang menyebabkan proses koagulasi dapat lebih optimum dalam mengkoagulasi protein. Kondisi optimum koagulasi pada perlakuan ini dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu besarnya kadar protein dalam curd atau besarnya rendemen curd. Jika dilihat dari kadar protein curd maka kondisi optimum diperoleh pada saat perlakuan 63 °C_0.8 dan jika dilihat dari rendemen curd diperoleh saat perlakuan 83 °C_0.4. Berdasarkan Tabel 8. dapat dilihat bahwa massa curd yang dihasilkan berkisar antara 140.80 – 201.85 g. Interaksi antara suhu awal koagulasi dan konsentrasi GDL menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap massa curd yang terbentuk. Massa curd yang rendah pada perlakuan 63 °C_0.4 140.80 g disebabkan oleh proses koagulasi yang belum sempurna yang ditandai dengan penampakan whey yang masih berwarna putih susu. Whey yang masih berwarna putih susu mengindikasikan masih 36 terdapatnya protein susu kedelai yang belum terkoagulasi sehingga menyebabkan penurunan rendemen curd. Peristiwa koagulasi yang tidak sempurna tersebut disebabkan oleh proses koagulasi yang berjalan lambat, yang dapat disebabkan oleh suhu koagulasi yang terlalu rendah atau kurangnya jumlah koagulan yang ditambahkan Shurtleff dan Aoyagi 1979. Menurut Blazek 2008 peningkatan temperatur koagulasi dan kecepatan pengadukan sesaat setelah penambahan koagulan juga akan menurunkan rendemen curd dan mempengaruhi kekerasan curd yang terbentuk. Pengaruh peningkatan suhu awal koagulasi maupun konsentrasi koagulan dapat mempercepat proses koagulasi dan berdampak terhadap menurunnya rendemen curd yang dihasilkan. Namun berdasarkan analisis ragam Lampiran 11., menunjukkan bahwa perlakuan peningkatan suhu awal koagulasi dan konsentrasi GDL yang digunakan hanya memberikan pengaruh yang signifikan terhadap massa curd pada perlakuan 60 °C_0.4, yang disebabkan oleh proses koagulasi yang belum sempurna. Pengaruh konsentrasi GDL dan suhu awal koagulasi terhadap kadar air curd seharusnya berbanding lurus dengan berat curd yang dihasilkan. Hal tersebut disebabkan karena gel dari protein kedelai ini, atau yang secara konvensional dikenal sebagai tahu, memiliki kemampuan untuk membentuk matriks yang mampu menahan air, lemak, polisakarida, flavor dan komponen lainnya Zayas 1997. Sehingga pada umumnya rendemen curd yang besar disebabkan oleh kandungan kadar air yang cukup tinggi pula. Hal tersebut didukung oleh besarnya total padatan dari masing-masing perlakuan yang tidak berbeda nyata Lampiran 13. Berdasarkan analisis ragam Lampiran 15. menunjukan bahwa perlakuan suhu awal koagulasi tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kadar air curd yang dihasilkan. Hal tersebut dapat dilihat dari rata-rata kadar air pada suhu awal koagulasi 63 °C dan 83 °C masing-masing sebesar 81.90 dan 81.50. Peningkatan suhu awal koagulasi dapat menyebabkan proses koagulasi berlangsung semakin cepat. Menurut Milewski 2001, pemanasan akan meningkatkan energi vibrasi dan rotasi protein terlarut. Semakin tinggi suhu pemanasan akan semakin tinggi pula energi vibrasi dan rotasi protein terlarut. Tingginya energi vibrasi dan rotasi ini menyebabkan peluang protein untuk bertabrakan dan menyatu menjadi lebih besar sehingga proses agregasi pun menjadi lebih cepat. Kecepatan koagulasi protein akan mempengaruhi banyaknya protein yang menyatu membentuk matriks curd dan kemampuan matriks protein untuk mengikat komponen lain, khususnya air yang pada akhirnya akan mempengaruhi tekstur curd yang dihasilkan. Konsentrasi GDL dan Interaksi antara suhu awal koagulasi dan konsentrasi GDL memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kadar air curd. Pengaruh konsentrasi GDL terhadap kadar air curd menunjukkan bahwa dengan meningkatnya konsentrasi koagulan menyebabkan penurunan kadar air curd. Kadar air curd yang tertinggi baik pada suhu awal koagulasi 63 °C maupun 83 °C terdapat pada saat penambahan GDL 0.4, yaitu masing-masing sebesar 83.62 dan 84.98. Hal tersebut disebabkan oleh proses koagulasi yang berlangsung lebih lambat dibandingkan pada perlakuan GDL 0.8 dan 1.2. Proses koagulasi yang lambat tersebut akan memberikan kesempatan curd untuk memerangkap air lebih banyak. Berdasarkan uji statistika Anova Lampiran 15., peningkatan konsentrasi GDL 0.8 dan 1.2 tidak menunjukkan penurunan kadar air yang signifikan pada taraf 5. Total padatan curd merupakan selisih antara massa total curd dengan massa air di dalam curd atau dapat diperoleh melaui perhitungan [ 1 - Kadar air curd x Massa curd ]. Data ini mencerminkan massa padatan yang ada dalam curd, baik protein maupun nonprotein yang terperangkap dalam matriks curd. Berdasarkan analisis ragam Lampiran 13., hanya konsentrasi GDL yang memberikan pengaruh yang signifikan terhadap total padatan curd, dimana total padatan curd terendah terjadi pada penambahan GDL dengan konsentrasi 0.4, kemudian meningkat pada penambahan GDL 0.8 dan 37 1.2 namun peningkatan total padatan pada konsentrasi GDL 0.8 dan 1.2 tidak signifikan pada taraf 5. Berdasarkan hasil analisis korelasi Pearson 2-tailed Lampiran 30., total padatan curd berkorelasi positif dengan masa curd 0.684, dan berkorelasi negatif dengan pH -0.773, kadar protein whey -0.759 dan kadar air curd -0.626 pada taraf 5.

2. Analisis Texture Curd secara Obyektif TA-XT2i